2 - البقرة - Al-Baqara
The Cow
Medinan
مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍۢ مِّنْهَآ أَوْ مِثْلِهَآ ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِيرٌ 106
(106) Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
(106)
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin," artinya ayat apa pun yang Kami ganti.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan tafsir ayat ini, artinya "ayat apa pun yang kami hapuskan."
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan. (Al-Baqarah: 16) Arti nasakh ialah 'ayat apa pun yang Kami tetapkan khat (tulisan)nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti'. Mujahid mengetengahkan tafsir ini dari murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abul Aliyah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.
Menurut Ad-Dahhak, makna ma nansakh min ayatin ialah ayat apa saja yang Kami buat engkau lupa padanya.
Menurut Ata, makna ma nansakh ialah apa saja dari Al-Qur'an yang Kami tinggalkan. Menurut Abu Hatim, makna yang dimaksud ialah apa pun yang ditinggalkan (oleh Allah) dan tidak diturunkan kepada Muhammad Saw.
As-Saddi mengatakan, makna ma nansakh ialah ayat apa pun yang dicabut oleh Allah.
Menurut Ibnu Abu Hatim maksudnya adalah dicabut dan diangkat oleh Allah Swt., seperti firman-Nya:
«الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ»
Kakek-kakek dan nenek-nenek (laki-laki dan perempuan dewasa yang sudah kawin) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai suatu kepastian.
"لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى لَهُمَا ثَالِثًا".
Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, niscaya dia menginginkan lembah lain yang ditambahkan kepada kedua lembah itu.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ma nansakh min ayatin ialah hukum ayat apa saja yang Kami pindahkan ke yang lainnya dan Kami ubah serta Kami ganti hukumnya. Misalnya, Kami ganti halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah menjadi dilarang, dan dilarang menjadi mubah (boleh).
Hal ini hanya terjadi dalam masalah perintah, larangan, cegahan, mutlak, larangan dan ibahah (perbolehan). Yang menyangkut masalah-masalah berita dan kisah-kisah, tiada nasikh dan mansukh padanya.
Kata nasakh berasal dari naskhul kitab, yakni menukilnya dari suatu salinan ke salinan yang lain. Demikian pula makna me-nasakh hukum ke hukum yang lainnya, hanya makna yang dimaksud ialah memindahkan hukumnya dan menukil suatu ibarat ke ibarat yang lainnya —yakni merevisinya— tanpa membedakan apakah yang di-nasakh itu hukumnya atau khat (tulisan)nya saja, mengingat dua keadaan tersebut tetap dinamakan nasakh.
Sehubungan dengan definisi nasakh, ulama ahli Usul berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Tetapi kesimpulan dari semua pendapat mereka saling berdekatan (tidak jauh berbeda), mengingat makna nasakh menurut istilah syara' sudah dimaklumi di kalangan ulama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasakh artinya menghapuskan suatu hukum dengan dalil syar'i yang datang kemudian. Termasuk ke dalam pengertian definisi ini me-nasakh hukum yang ringan dengan hukum yang berat dan sebaliknya, juga nasakh yang tidak ada gantinya. Rincian mengenai hukum-hukum nasakh, jenis-jenis serta syarat-syaratnya dibahas di dalam kitab Usul Fiqh.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شُبَيْلٍ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَرْقَمَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَرَأَ رَجُلَانِ سُورَةً أَقْرَأَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم فكانا يقرآن بِهَا، فَقَامَا ذَاتَ لَيْلَةٍ يُصَلِّيَانِ، فَلَمْ يَقْدِرَا مِنْهَا عَلَى حَرْفٍ فَأَصْبَحَا غَادِيَيْنِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهَا مِمَّا نُسِخَ وَأُنْسِي، فَالْهُوَا عَنْهَا".
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Subail (yaitu Ubaidillah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki membaca suatu surat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada keduanya, dan kedua lelaki itu selalu membaca surat tersebut dengan bacaan itu. Maka di suatu malam keduanya berdiri mengerjakan salat, tetapi keduanya tidak mampu membaca surat tersebut barang satu huruf pun. Lalu pada pagi harinya keduanya datang menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya surat itu termasuk surat yang dinasakh atau aku dijadikan lupa kepadanya. Karena itu, lupakanlah ia.
Az-Zuhri membacanya ma nansakh min ayatin au nunsiha. Akan tetapi, Sulaiman ibnul Arqam orangnya daif.
Tetapi Abu Bakar ibnul Ambari meriwayatkan hal yang semisal dari ayahnya, dari Nasr ibnu Daud, dari Abu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Saleh, dari Lais, dari Yunus dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif secara marfu’. Riwayat ini diketengahkan oleh Al-Qurtubi.
Firman Allah Swt, "Au nunsiha" (Kami jadikan manusia lupa kepadanya) dibaca menurut dua segi bacaan, yaitu nansa-uha dan nunsiha. Orang yang membaca nansa-uha artinya Kami menangguhkannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," ialah apa saja ayat yang Kami ganti atau yang Kami tinggalkan tanpa menggantinya.
Mujahid meriwayatkan dari teman-teman (murid-murid) sahabat Ibnu Mas'ud r.a. tentang makna au nansa-uha: Kami tetapkan khat-nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti.
Abdu ibnu Umair, Mujahid, dan Ata mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan dan Kami tangguhkan hukumnya.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan hukumnya, tetapi tidak Kami nasakh. As-Saddi dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan hal yang semisal.
Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini menerangkan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh (yakni ada yang merevisi dan ada yang direvisi).
Menurut Abul Aliyah, au nansa-uha artinya ialah Kami mengakhirkan (menangguhkan) hukumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Khaffaf, dari Ismail (yak-ni Ibnu Aslam), dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Khalifah Umar r.a. berkhotbah kepada kami, lalu ia membacakan firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," yakni atau Kami tangguhkan hukumnya.
Adapun menurut bacaan au nunsiha, maka Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 16) Allah Swt. menjadikan Nabi-Nya lupa kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dari ayat-ayat tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sawad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Auf ibnul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Au nunsiha," bahwa sesungguhnya Nabi kalian membaca suatu ayat Al-Qur'an, kemudian beliau dibuat-Nya lupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnuz Zubair Al-Harrani, dari Al-Hajjaj (yakni Al-Jazari), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara wahyu yang diturunkan oleh Nabi Saw. adalah wahyu yang diturunkan di malam hari, dan pada siang harinya beliau lupa. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16)
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, Abu Ja'far ibnu Nufail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Hajjaj bukan Al-Hajjaj ibnu Artah, melainkan salah seorang guru kami yang dinisbatkan kepada Al-Jazari.
Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa makna au nunsiha ialah Kami menghapuskan hukumnya dari kalian.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ya’la ibnu Ata, dari Al-Qasim ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan ayat ini seperti berikut: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 16) Yakni dengan bacaan nunsiha. Maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas bahwa sesungguhnya Sa'id ibnul Musayyab membacanya dengan bacaan au nansa-uha. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepada Al-Musayyab, juga tidak kepada keluarga Al-Musayyab." Selanjutnya Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan firman-Nya:
سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسى
Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. (Al-A’la: 6)
وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذا نَسِيتَ
Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq ibnu Hasyim. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abu Hatim Ar-Razi, dari Adam, dari Syu'bah, dari Ya’la ibnu Ata dengan lafaz yang sama, kemudian Imam Hakim mengatakan dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b, Qatadah, dan Ikrimah hal yang semisal dengan perkataan Sa'id ibnul Musayyab r.a.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Habib ibnu Abu Sab it, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Umar r.a. pernah mengatakan, "Orang yang paling adil di antara kami dan Ubay ialah orang yang paling ahli qiraat, tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena Ubay pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw." Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, "Orang yang paling ahli qiraat di antara kami adalah Ubay, sedangkan orang yang paling ahli dalam masalah peradilan di antara kami adalah Ali. Tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah Saw. 'Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya (Al-Baqarah: 16)
****************
Adapun firman Allah Swt.:
نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16)
Yakni dalam hal hukum bila dikaitkan dengan masalah kaum Mukallafin, seperti yang telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya. (Al-Baqarah: 16) Maksudnya, yang lebih baik manfaatnya buat kalian dan lebih ringan bagi kalian.
Abul Aliyah mengatakan, "Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan," maka kami tidak mengamalkannya, "atau Kami menangguhkannya," yakni Kami tangguhkan oleh pihak Kami, maka Kami akan mendatangkannya atau Kami datangkan yang sebanding dengannya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16) Yaitu Kami datangkan yang lebih baik daripada apa yang telah Kami nasakh-kan itu, atau Kami datangkan yang sebanding dengan apa yang Kami tinggalkan itu.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih balk daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16) Yang dimaksud ialah ayat yang di dalamnya terkandung keringanan atau rukhsah (kemurahan) atau perintah atau larangan.
****************
Firman Allah Swt:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ* أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (Al-Baqarah: 16-17)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dialah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang Dia kehendaki, Dialah yang menciptakan dan yang memerintah, Dialah yang mengatur, Dialah yang menciptakan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia mencelakakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia menyehatkan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membuat sakit siapa yang dikehendaki-Nya, Dia memberi taufik siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah-lah yang mengatur hukum pada hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, Dia membolehkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan tiada yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Dia menguji hamba-hamba-Nya dan ketaatan mereka kepada rasul-rasul-Nya melalui hukum nasakh.
Untuk itu, Dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya terkandung kemaslahatan yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya, kemudian Dia melarangnya karena suatu penyebab yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya. Taat yang sesungguhnya ialah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, mengikuti rasul-rasul-Nya dalam membenarkan apa yang diberitakan oleh mereka, dan mengerjakan apa yang diperintahkan mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh mereka.
Di dalam ayat ini terkandung makna bantahan yang keras dan penjelasan yang terang kepada kekufuran orang-orang Yahudi dan kepalsuan keraguan mereka yang menduga bahwa nasakh merupakan hal yang mustahil, baik menurut rasio mereka maupun menurut apa yang didugakan oleh sebagian dari kalangan mereka yang bodoh lagi ingkar, atau menurut dalil naqli seperti yang dibuat-buat oleh sebagian yang lain dari kalangan mereka untuk mendustakannya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil ayat ini adalah seperti berikut:
Tidakkah kamu mengetahui, hai Muhammad, bahwa sesungguhnya milik-Ku-lah semua kerajaan langit dan kerajaan bumi serta kekuasaan keduanya, bukan milik selain-Ku. Aku mengatur hukum pada keduanya dan semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Dan Aku memerintahkan pada keduanya serta pada semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Aku melarang semua yang Aku kehendaki. Aku me-nasakh dan mengganti sebagian dari hukum-hukum-Ku yang telah Aku tetapkan terhadap hamba-hamba-Ku menurut apa yang aku kehendaki di saat Aku menghendakinya. Aku menetapkan pada keduanya semua yang Aku kehendaki.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, sekalipun berita ini ditujukan sebagai khitab kepada Nabi Saw. oleh Allah Swt. sebagai penghormatan dari-Nya buat Nabi Saw., tetapi sekaligus sebagai bantahan yang mendustakan orang-orang Yahudi karena mereka mengingkari adanya pe-nasakh-an kitab Taurat serta ingkar kepada kenabian Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad Saw. Mereka melakukan demikian karena kedua rasul ini datang dengan membawa kitab yang diturunkan dari sisi Allah yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diturunkan oleh Allah untuk mengubah sebagian dari hukum-hukum Taurat.
Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa milik Dialah semua kerajaan langit dan bumi serta kekuasaan yang ada pada keduanya. Semua makhluk adalah penduduk dari kerajaan-Nya yang harus taat kepada-Nya. Mereka harus patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya, dan Allah berhak memerintah mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya, serta melarang mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya. Dia berhak mengadakan apa yang dikehendaki-Nya, baik berupa ketetapan, perintah, ataupun larangan-Nya.
Menurut pendapat kami, hal yang mendorong orang-orang Yahudi mengungkit-ungkit masalah nasakh tiada lain hanyalah kekufuran dan keingkaran mereka. Karena sesungguhnya menurut rasio tiada sesuatu hal pun yang mencegah adanya pe-nasakh-an dalam hukum-hukum Allah Swt., sebab Dia memutuskan hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Padahal masalah nasakh itu sesungguhnya telah terjadi di dalam kitab-kitab Allah yang terdahulu dan syariat-syariat-Nya sebelum Al-Qur'an.
Misalnya dalam syariat Nabi Adam Allah menghalalkan meni-kahkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya. Kemudian setelah populasi manusia bertambah banyak, maka hal tersebut diharamkan. Dalam syariat Nabi Nuh, sesudah dia keluar dari perahunya ia dihalalkan memakan daging semua hewan; kemudian di-mansukh, dan yang dihalalkan hanya sebagiannya saja.
Di masa lalu —dalam syariat Nabi Ya'qub— kaum Bani Israil diperbolehkan menikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak dan adiknya), kemudian di dalam kitab Taurat hal tersebut diharamkan, demikian pula pada syariat-syariat sesudahnya.
Allah Swt pernah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih anak laki-lakinya (yaitu Nabi Ismail), kemudian hal itu di-mansukh sebelum Nabi Ibrahim melakukannya. Allah memerintahkan agar membunuh semua Bani Israil yang pernah menyembah anak lembu, kemudian hukuman tersebut di-nasakh agar mereka tidak habis karena dihukum mati. Masih banyak hal lainnya yang sangat panjang kisahnya bila dikemukakan; mereka mengakui adanya pe-nasakh-m tersebut, tetapi mereka berpaling dan tidak mau mengakuinya. Bantahan yang mereka kemukakan terhadap dalil-dalil tersebut tujuan utamanya ialah untuk mengelak dari kenyataan itu sendiri.
Di dalam kitab-kitab mereka sudah dikenal adanya berita gembira mengenai kedatangan Nabi Muhammad Saw., juga perintah untuk mengikutinya. Kenyataan ini mengharuskan mereka mengikuti Nabi Saw. dan bahwa tiada lagi suatu amal pun yang dapat diterima kecuali dengan mengamalkan syariatnya, tanpa memandang kepada suatu pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariat-syariat yang terdahulu sudah berakhir sampai dengan masa Nabi Saw. diangkat menjadi utusan Allah. Maka hal ini bukan dinamakan nasakh karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Menurut pendapat lainnya apa yang disebut oleh ayat ini bersifat mutlak, dan bahwa syariat Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh-nya.
Berdasarkan interpretasi mana pun pada garis besamya diwajibkan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw., tiada pilihan lain, mengingat dia datang membawa Kitabullah yang paling akhir dan yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Melalui ayat surat Al-Baqarah ini Allah Swt. menjelaskan boleh adanya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah menimpa mereka— mengingat Allah Swt. telah berfirman: Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! (Al-Baqarah: 16-17), hingga akhir ayat.
Karena semua kerajaan ini adalah milik Allah tanpa ada yang me-nyaingi-Nya, maka Dia berhak mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Al-A'raf: 54)
Telah ditetapkan di dalam surat Ali Imran dalam salah satu ayatnya yang menceritakan perihal kaum ahli kitab, bahwa di dalamnya terdapat nasakh. Yaitu pada firman-Nya:
كُلُّ الطَّعامِ كانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرائِيلُ عَلى نَفْسِهِ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri. (Ali Imran: 93), hingga akhir ayat.
Adapun penafsirannya akan disebutkan pada tempatnya nanti.
Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa nasakh dalam hukum-hukum Allah itu ada, mengingat di dalamnya terkandung hikmah yang agung; dan mereka semua mengatakan bahwa nasakh itu ada.
Akan tetapi, mengenai pendapat Abu Muslim Al-Asbahani —seorang ulama tafsir— yang mengatakan bahwa tiada suatu nasakh-pun di dalam Al-Qur'an, pendapatnya itu lemah, tidak dapat diterima lagi tak diindahkan; karena ternyata dia memaksakan diri dalam membantah kenyataan nasakh yang ada, antara lain dalam masalah idah empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun. Dia tidak mengemukakan jawaban yang dapat diterima dalam masalah ini. Juga dalam masalah pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Masalah lainnya yang dia tidak dapat menjawabnya ialah di-nasakh-Nya perintah bersabar bagi seorang muslim dalam menghadapi sepuluh orang musyrik, hingga menjadi dua orang musyrik saja. Contoh lainnya ialah wajib bersedekah sebelum bermunajat (berbicara) dengan Rasul Saw., dan lain sebagainya.
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۗ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِن وَلِىٍّۢ وَلَا نَصِيرٍ 107
(107) Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.
(107)
Firman Allah Swt:
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ* أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu? Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! Dan tiada bagi kalian selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. (Al-Baqarah: 16-17)
Melalui ayat ini Allah Swt. memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dialah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang Dia kehendaki, Dialah yang menciptakan dan yang memerintah, Dialah yang mengatur, Dialah yang menciptakan mereka menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia membahagiakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia mencelakakan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia menyehatkan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang membuat sakit siapa yang dikehendaki-Nya, Dia memberi taufik siapa yang dikehendaki-Nya, Dia yang menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah-lah yang mengatur hukum pada hamba-hamba-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menghalalkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya, Dia membolehkan apa yang dikehendaki-Nya dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah yang mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan tiada yang menanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan merekalah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya. Dia menguji hamba-hamba-Nya dan ketaatan mereka kepada rasul-rasul-Nya melalui hukum nasakh.
Untuk itu, Dia memerintahkan sesuatu karena di dalamnya terkandung kemaslahatan yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya, kemudian Dia melarangnya karena suatu penyebab yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya. Taat yang sesungguhnya ialah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, mengikuti rasul-rasul-Nya dalam membenarkan apa yang diberitakan oleh mereka, dan mengerjakan apa yang diperintahkan mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh mereka.
Di dalam ayat ini terkandung makna bantahan yang keras dan penjelasan yang terang kepada kekufuran orang-orang Yahudi dan kepalsuan keraguan mereka yang menduga bahwa nasakh merupakan hal yang mustahil, baik menurut rasio mereka maupun menurut apa yang didugakan oleh sebagian dari kalangan mereka yang bodoh lagi ingkar, atau menurut dalil naqli seperti yang dibuat-buat oleh sebagian yang lain dari kalangan mereka untuk mendustakannya.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil ayat ini adalah seperti berikut:
Tidakkah kamu mengetahui, hai Muhammad, bahwa sesungguhnya milik-Ku-lah semua kerajaan langit dan kerajaan bumi serta kekuasaan keduanya, bukan milik selain-Ku. Aku mengatur hukum pada keduanya dan semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Dan Aku memerintahkan pada keduanya serta pada semua yang ada pada keduanya menurut apa yang Aku kehendaki. Aku melarang semua yang Aku kehendaki. Aku me-nasakh dan mengganti sebagian dari hukum-hukum-Ku yang telah Aku tetapkan terhadap hamba-hamba-Ku menurut apa yang aku kehendaki di saat Aku menghendakinya. Aku menetapkan pada keduanya semua yang Aku kehendaki.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, sekalipun berita ini ditujukan sebagai khitab kepada Nabi Saw. oleh Allah Swt. sebagai penghormatan dari-Nya buat Nabi Saw., tetapi sekaligus sebagai bantahan yang mendustakan orang-orang Yahudi karena mereka mengingkari adanya pe-nasakh-an kitab Taurat serta ingkar kepada kenabian Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad Saw. Mereka melakukan demikian karena kedua rasul ini datang dengan membawa kitab yang diturunkan dari sisi Allah yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diturunkan oleh Allah untuk mengubah sebagian dari hukum-hukum Taurat.
Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa milik Dialah semua kerajaan langit dan bumi serta kekuasaan yang ada pada keduanya. Semua makhluk adalah penduduk dari kerajaan-Nya yang harus taat kepada-Nya. Mereka harus patuh dan taat kepada perintah dan larangan-Nya, dan Allah berhak memerintah mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya, serta melarang mereka dengan apa yang dikehendaki-Nya. Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya. Dia berhak mengadakan apa yang dikehendaki-Nya, baik berupa ketetapan, perintah, ataupun larangan-Nya.
Menurut pendapat kami, hal yang mendorong orang-orang Yahudi mengungkit-ungkit masalah nasakh tiada lain hanyalah kekufuran dan keingkaran mereka. Karena sesungguhnya menurut rasio tiada sesuatu hal pun yang mencegah adanya pe-nasakh-an dalam hukum-hukum Allah Swt., sebab Dia memutuskan hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Padahal masalah nasakh itu sesungguhnya telah terjadi di dalam kitab-kitab Allah yang terdahulu dan syariat-syariat-Nya sebelum Al-Qur'an.
Misalnya dalam syariat Nabi Adam Allah menghalalkan meni-kahkan anak-anak lelakinya dengan anak-anak perempuannya. Kemudian setelah populasi manusia bertambah banyak, maka hal tersebut diharamkan. Dalam syariat Nabi Nuh, sesudah dia keluar dari perahunya ia dihalalkan memakan daging semua hewan; kemudian di-mansukh, dan yang dihalalkan hanya sebagiannya saja.
Di masa lalu —dalam syariat Nabi Ya'qub— kaum Bani Israil diperbolehkan menikahi dua orang perempuan yang bersaudara (kakak dan adiknya), kemudian di dalam kitab Taurat hal tersebut diharamkan, demikian pula pada syariat-syariat sesudahnya.
Allah Swt pernah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih anak laki-lakinya (yaitu Nabi Ismail), kemudian hal itu di-mansukh sebelum Nabi Ibrahim melakukannya. Allah memerintahkan agar membunuh semua Bani Israil yang pernah menyembah anak lembu, kemudian hukuman tersebut di-nasakh agar mereka tidak habis karena dihukum mati. Masih banyak hal lainnya yang sangat panjang kisahnya bila dikemukakan; mereka mengakui adanya pe-nasakh-m tersebut, tetapi mereka berpaling dan tidak mau mengakuinya. Bantahan yang mereka kemukakan terhadap dalil-dalil tersebut tujuan utamanya ialah untuk mengelak dari kenyataan itu sendiri.
Di dalam kitab-kitab mereka sudah dikenal adanya berita gembira mengenai kedatangan Nabi Muhammad Saw., juga perintah untuk mengikutinya. Kenyataan ini mengharuskan mereka mengikuti Nabi Saw. dan bahwa tiada lagi suatu amal pun yang dapat diterima kecuali dengan mengamalkan syariatnya, tanpa memandang kepada suatu pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya syariat-syariat yang terdahulu sudah berakhir sampai dengan masa Nabi Saw. diangkat menjadi utusan Allah. Maka hal ini bukan dinamakan nasakh karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Menurut pendapat lainnya apa yang disebut oleh ayat ini bersifat mutlak, dan bahwa syariat Nabi Muhammad Saw. telah me-nasakh-nya.
Berdasarkan interpretasi mana pun pada garis besamya diwajibkan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw., tiada pilihan lain, mengingat dia datang membawa Kitabullah yang paling akhir dan yang baru diturunkan oleh Allah Swt. Melalui ayat surat Al-Baqarah ini Allah Swt. menjelaskan boleh adanya nasakh sebagai bantahan terhadap orang-orang Yahudi —semoga laknat Allah menimpa mereka— mengingat Allah Swt. telah berfirman: Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu! Tidakkah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah! (Al-Baqarah: 16-17), hingga akhir ayat.
Karena semua kerajaan ini adalah milik Allah tanpa ada yang me-nyaingi-Nya, maka Dia berhak mengatur hukum menurut apa yang dikehendaki-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Al-A'raf: 54)
Telah ditetapkan di dalam surat Ali Imran dalam salah satu ayatnya yang menceritakan perihal kaum ahli kitab, bahwa di dalamnya terdapat nasakh. Yaitu pada firman-Nya:
كُلُّ الطَّعامِ كانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرائِيلُ عَلى نَفْسِهِ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri. (Ali Imran: 93), hingga akhir ayat.
Adapun penafsirannya akan disebutkan pada tempatnya nanti.
Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa nasakh dalam hukum-hukum Allah itu ada, mengingat di dalamnya terkandung hikmah yang agung; dan mereka semua mengatakan bahwa nasakh itu ada.
Akan tetapi, mengenai pendapat Abu Muslim Al-Asbahani —seorang ulama tafsir— yang mengatakan bahwa tiada suatu nasakh-pun di dalam Al-Qur'an, pendapatnya itu lemah, tidak dapat diterima lagi tak diindahkan; karena ternyata dia memaksakan diri dalam membantah kenyataan nasakh yang ada, antara lain dalam masalah idah empat bulan sepuluh hari yang sebelumnya adalah satu tahun. Dia tidak mengemukakan jawaban yang dapat diterima dalam masalah ini. Juga dalam masalah pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Masalah lainnya yang dia tidak dapat menjawabnya ialah di-nasakh-Nya perintah bersabar bagi seorang muslim dalam menghadapi sepuluh orang musyrik, hingga menjadi dua orang musyrik saja. Contoh lainnya ialah wajib bersedekah sebelum bermunajat (berbicara) dengan Rasul Saw., dan lain sebagainya.
أَمْ تُرِيدُونَ أَن تَسْـَٔلُوا۟ رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَىٰ مِن قَبْلُ ۗ وَمَن يَتَبَدَّلِ ٱلْكُفْرَ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ 108
(108) Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus.
(108)
Melalui ayat ini Allah Swt. melarang kaum mukmin banyak bertanya kepada Nabi Saw. mengenai hal-hal yang belum terjadi. Ayat ini semakna dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْئَلُوا عَنْ أَشْياءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْئَلُوا عَنْها حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabi kalian) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian; dan jika kalian menanyakannya di waktu Al-Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. (Al-Maidah: 11)
Maksudnya, jika kalian menanyakannya secara rinci sesudah Al-Qur'an diturunkan, niscaya hal itu akan diterangkan kepada kalian. Tetapi janganlah kalian menanyakan sesuatu sebelum ada keterangannya, karena barangkali hal itu akan diharamkan karena adanya pertanyaan kalian itu. Karena itu, di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti berikut:
«إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ»
Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya ialah seseorang yang menanyakan sesuatu yang (pada asal mulanya) tidak diharamkan, kemudian diharamkan karena pertanyaannya itu.
Ketika Rasulullah Saw. ditanya mengenai seorang lelaki yang menjumpai istrinya sedang bersama lelaki lain, beliau bingung; sebab jika menjawabnya berarti beliau membicarakan suatu perkara yang besar. Tetapi jika beliau diam, berarti beliau diam terhadap perbuatan tersebut. Maka beliau Saw. tidak suka dengan orang yang menanyakan demikian, lalu beliau mencelanya. Setelah itu turunlah ayat Mula'anah, yakni ayat tentang li’an. Karena itu, maka di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Mugirah ibnu Syu'bah telah ditetapkan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَى عَنْ قيل وقال، وإضاعة المال، وكثرة السؤال
Bahwa Rasulullah Saw. melarang perbuatan qil dan qal, memboroskan harta, dan banyak bertanya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan:
«ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِنْ نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ»
Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan buat kalian, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian hanya karena mereka banyak bertanya dan banyak menentang nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, apabila aku perintahkan suatu perintah kepada kalian, kerjakanlah oleh kalian apa yang kalian mampu darinya. Dan jika aku larang kalian dari sesuatu, maka jauhilah ia.
Tiadalah hal ini beliau ucapkan melainkan setelah beliau Saw. memberitahukan kepada mereka (kaum muslim) bahwa Allah Swt. memfardukan ibadah haji atas mereka. Lalu ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun?" Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab. Setelah tiga kali bertanya, baru Rasulullah Saw. bersabda:
«لَا، وَلَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَوْ وَجَبَتْ لَمَا اسْتَطَعْتُمْ»
Tidak. Seandainya aku katakan, "Ya," niscaya menjadi wajib. Dan sekiranya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, "Biarkanlah daku dengan apa yang aku tinggalkan buat kalian" hingga akhir hadis.
Karena itu, Anas ibnu Malik mengatakan, "Kami dilarang menanyakan sesuatu kepada Rasulullah Saw." Anas r.a. sangat senang bila ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Badui (perkampungan), lalu lelaki itu bertanya kepada Rasulullah Saw., maka kami akan mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Al-Hafiz Abu Ya’la Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan, "Sesungguhnya telah berlalu masa satu tahun memendam perasaan ingin bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang suatu masalah, tetapi aku merasa takut dan segan kepadanya. Sesungguhnya aku benar-benar berharap semoga ada orang Badui datang bertanya kepadanya (lalu aku mendengarnya)."
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Ata ibnus Sa-ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan, "Aku belum pernah melihat suatu kaum yang lebih baik daripada sahabat-sahabat Muhammad Saw. Mereka tidak pernah bertanya kecuali dua belas masalah, yang semuanya itu terdapat di dalam Al-Qur'an." Yaitu firman-Nya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. (Al-Baqarah: 217)
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْيَتَٰمَىٰۖ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. (Al-Baqarah: 22)
Yakni hal ini dan lain-lainnya yang serupa.
**************
Firman Allah Swt.:
أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ
Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? (Al-Baqarah: 18)
Yakni memang kalian menghendakinya. Atau istifham (kata tanya) di sini mempunyai arti sesuai dengan babnya, yakni istifham inkari (kata tanya yang mengandung kecaman). Hal ini bersifat menyeluruh mencakup kaum mukmin, juga orang-orang kafir, karena sesungguhnya Rasulullah Saw. diutus untuk kesemuanya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: ,
يَسْأَلُكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنْ تُنزلَ عَلَيْهِمْ كِتَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَقَدْ سَأَلُوا مُوسَى أَكْبَرَ مِنْ ذَلِكَ فَقَالُوا أَرِنَا اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata." Maka mereka disambar petir karena kezalimannya. (An-Nisa: 153)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Raff ibnu Huraimilah dan Wahb ibnu Zaid (keduanya adalah orang-orang Yahudi) bertanya, "Hai Muhammad, datangkanlah kepada kami sebuah kitab yang engkau turunkan dari langit kepada kami untuk kami baca, dan alirkanlah buat kami sungai-sungai, niscaya kami akan mengikuti kamu dan percaya kepadamu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya sebagai iawaban terhadap ucapan mereka itu, yaitu: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 18)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan takwil firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada masa dahulu? (Al-Baqarah: 18) Bahwa ada seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya kifarat kita sama dengan kifarat kaum Bani Israil." Maka Nabi Saw. menjawab:
«اللَّهُمَّ لَا نَبْغِيهَا- ثَلَاثًا- مَا أَعْطَاكُمُ الله خير مما أعطى بَنِي إِسْرَائِيلَ، كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِذَا أَصَابَ أَحَدُهُمُ الْخَطِيئَةَ وَجَدَهَا مَكْتُوبَةً عَلَى بَابِهِ وَكَفَّارَتَهَا، فَإِنْ كَفَّرَهَا كَانَتْ لَهُ خِزْيًا فِي الدُّنْيَا وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْهَا كَانَتْ لَهُ خِزْيًا فِي الْآخِرَةِ، فَمَا أَعْطَاكُمُ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا أَعْطَى بَنِي إِسْرَائِيلَ»
Ya Allah, kami tidak menginginkannya —sebanyak tiga kali— apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan kepada Bani Israil. Dahulu orang-orang Bani Israil apabila seseorang dari mereka melakukan perbuatan dosa, maka ia menjumpai dosanya itu tertulis di atas pintu rumahnya dan tertulis pula kifaratnya. Jika dia membayar kifarat-nya, maka baginya kehinaan di dunia; dan jika dia tidak membayar kifarat dosanya, maka baginya kehinaan di akhirat. Apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan kepada Bani Israil.
Selanjutnya Abul Aliyah membacakan firman-Nya:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 11)
Sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ مِنَ الْجُمْعَةِ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَاتٌ لَمَّا بَيْنَهُنَّ"
Salat lima waktu dari suatu Jumat ke Jumat yang lainnya merupakan kifarat bagi dosa-dosa di antara keduanya.
Sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"مَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً، وَمَنْ هُمْ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً وَاحِدَةً، وَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، وَلَا يَهْلَكُ عَلَى اللَّهِ إِلَّا هَالِكٌ"
Barang siapa yang berniat melakukan suatu perbuatan dosa, lalu ia tidak mengerjakannya, maka tidak dicatatkan kepadanya; dan jika dia mengerjakannya, maka dicatatkan kepadanya satu dosa. Dan barang siapa yang berniat akan mengerjakan kebaikan, lalu ia tidak melakukannya, maka dicatatkan baginya sebuah pahala; dan jika ia melakukannya, maka dicatatkan baginya pahala sepuluh kali lipat yang semisal dengannya. Dan tidak akan binasa karena Allah melainkan hanya orang (yang ditakdirkan) binasa.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? (Al-Baqarah: 18)
Mujahid menyatakan sehubungan dengan firman-Nya: Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu. (Al-Baqarah: 18) Yakni ketika mereka meminta kepada Musa a.s. agar memperlihatkan Allah secara terang-terangan kepada mereka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Quraisy pernah meminta kepada Muhammad Saw. agar menjadikan Bukit Safa menjadi emas buat mereka. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"نَعَمْ وَهُوَ لَكُمْ كَالْمَائِدَةِ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِنْ كَفَرْتُمْ"، فَأَبَوْا وَرَجَعُوا.
"Ya, Bukit Safa menjadi emas bagi kalian seperti maidah (hidangan dari langit) buat Bani Israil." Dan ternyata mereka menolak serta mencabut kembali permintaan mereka.
Hal yang semisal diriwayatkan dari As-Saddi dan Qatadah.
Makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah bahwa Allah mencela orang yang meminta sesuatu hal kepada Rasulullah Saw. dengan permintaan yang menyusahkan dan menggurui, seperti permintaan yang diajukan oleh Bani Israil kepada Nabi Musa a.s. dengan permintaan yang menyusahkan, mendustakan, dan mengingkarinya.
*******************
Firman Allah Swt.:
وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالإيمَانِ
Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekufuran. (Al-Baqarah: 18)
Maksudnya, membeli kekufuran dengan menukamya dengan keimanan.
فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
Maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 18)
Yakni dia benar-benar telah menyimpang dari jalan yang lurus dan menuju kepada kebodohan dan kesesatan. Memang demikianlah keadaan orang-orang yang menyimpang dari percaya kepada nabi-nabi, tidak mau mengikuti dan tidak mau taat kepada mereka, bahkan menentang dan mendustakan mereka serta menyusahkan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak diperlukan yang tujuannya tiada lain hanya ingkar dan memberatkan mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam firman lainnya, yaitu:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَتَ اللَّهِ كُفْراً وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دارَ الْبَوارِ. جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَها وَبِئْسَ الْقَرارُ
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk ke dalamnya, dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman. (Ibrahim: 28-29)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini (yakni Al-Baqarah: 18) ialah barang siapa yang menukar kebahagiaan dengan kesengsaraan.
وَدَّ كَثِيرٌۭ مِّنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعْدِ إِيمَٰنِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًۭا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلْحَقُّ ۖ فَٱعْفُوا۟ وَٱصْفَحُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِيرٌۭ 109
(109) Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(109)
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin," artinya ayat apa pun yang Kami ganti.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan tafsir ayat ini, artinya "ayat apa pun yang kami hapuskan."
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan. (Al-Baqarah: 16) Arti nasakh ialah 'ayat apa pun yang Kami tetapkan khat (tulisan)nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti'. Mujahid mengetengahkan tafsir ini dari murid-murid Abdullah ibnu Mas'ud r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abul Aliyah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.
Menurut Ad-Dahhak, makna ma nansakh min ayatin ialah ayat apa saja yang Kami buat engkau lupa padanya.
Menurut Ata, makna ma nansakh ialah apa saja dari Al-Qur'an yang Kami tinggalkan. Menurut Abu Hatim, makna yang dimaksud ialah apa pun yang ditinggalkan (oleh Allah) dan tidak diturunkan kepada Muhammad Saw.
As-Saddi mengatakan, makna ma nansakh ialah ayat apa pun yang dicabut oleh Allah.
Menurut Ibnu Abu Hatim maksudnya adalah dicabut dan diangkat oleh Allah Swt., seperti firman-Nya:
«الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ»
Kakek-kakek dan nenek-nenek (laki-laki dan perempuan dewasa yang sudah kawin) apabila keduanya berzina, maka rajamlah keduanya sebagai suatu kepastian.
"لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى لَهُمَا ثَالِثًا".
Seandainya anak Adam mempunyai dua lembah yang penuh dengan emas, niscaya dia menginginkan lembah lain yang ditambahkan kepada kedua lembah itu.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ma nansakh min ayatin ialah hukum ayat apa saja yang Kami pindahkan ke yang lainnya dan Kami ubah serta Kami ganti hukumnya. Misalnya, Kami ganti halal menjadi haram, haram menjadi halal, mubah menjadi dilarang, dan dilarang menjadi mubah (boleh).
Hal ini hanya terjadi dalam masalah perintah, larangan, cegahan, mutlak, larangan dan ibahah (perbolehan). Yang menyangkut masalah-masalah berita dan kisah-kisah, tiada nasikh dan mansukh padanya.
Kata nasakh berasal dari naskhul kitab, yakni menukilnya dari suatu salinan ke salinan yang lain. Demikian pula makna me-nasakh hukum ke hukum yang lainnya, hanya makna yang dimaksud ialah memindahkan hukumnya dan menukil suatu ibarat ke ibarat yang lainnya —yakni merevisinya— tanpa membedakan apakah yang di-nasakh itu hukumnya atau khat (tulisan)nya saja, mengingat dua keadaan tersebut tetap dinamakan nasakh.
Sehubungan dengan definisi nasakh, ulama ahli Usul berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Tetapi kesimpulan dari semua pendapat mereka saling berdekatan (tidak jauh berbeda), mengingat makna nasakh menurut istilah syara' sudah dimaklumi di kalangan ulama. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nasakh artinya menghapuskan suatu hukum dengan dalil syar'i yang datang kemudian. Termasuk ke dalam pengertian definisi ini me-nasakh hukum yang ringan dengan hukum yang berat dan sebaliknya, juga nasakh yang tidak ada gantinya. Rincian mengenai hukum-hukum nasakh, jenis-jenis serta syarat-syaratnya dibahas di dalam kitab Usul Fiqh.
قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو شُبَيْلٍ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَاقِدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَرْقَمَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَرَأَ رَجُلَانِ سُورَةً أَقْرَأَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم فكانا يقرآن بِهَا، فَقَامَا ذَاتَ لَيْلَةٍ يُصَلِّيَانِ، فَلَمْ يَقْدِرَا مِنْهَا عَلَى حَرْفٍ فَأَصْبَحَا غَادِيَيْنِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهَا مِمَّا نُسِخَ وَأُنْسِي، فَالْهُوَا عَنْهَا".
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Subail (yaitu Ubaidillah ibnu Abdur Rahman ibnu Waqid), telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki membaca suatu surat yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Saw. kepada keduanya, dan kedua lelaki itu selalu membaca surat tersebut dengan bacaan itu. Maka di suatu malam keduanya berdiri mengerjakan salat, tetapi keduanya tidak mampu membaca surat tersebut barang satu huruf pun. Lalu pada pagi harinya keduanya datang menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan hal tersebut. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya surat itu termasuk surat yang dinasakh atau aku dijadikan lupa kepadanya. Karena itu, lupakanlah ia.
Az-Zuhri membacanya ma nansakh min ayatin au nunsiha. Akan tetapi, Sulaiman ibnul Arqam orangnya daif.
Tetapi Abu Bakar ibnul Ambari meriwayatkan hal yang semisal dari ayahnya, dari Nasr ibnu Daud, dari Abu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Saleh, dari Lais, dari Yunus dan Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif secara marfu’. Riwayat ini diketengahkan oleh Al-Qurtubi.
Firman Allah Swt, "Au nunsiha" (Kami jadikan manusia lupa kepadanya) dibaca menurut dua segi bacaan, yaitu nansa-uha dan nunsiha. Orang yang membaca nansa-uha artinya Kami menangguhkannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," ialah apa saja ayat yang Kami ganti atau yang Kami tinggalkan tanpa menggantinya.
Mujahid meriwayatkan dari teman-teman (murid-murid) sahabat Ibnu Mas'ud r.a. tentang makna au nansa-uha: Kami tetapkan khat-nya, sedangkan hukumnya telah Kami ganti.
Abdu ibnu Umair, Mujahid, dan Ata mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan dan Kami tangguhkan hukumnya.
Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa au nansa-uha artinya Kami akhirkan hukumnya, tetapi tidak Kami nasakh. As-Saddi dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan hal yang semisal.
Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini menerangkan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh (yakni ada yang merevisi dan ada yang direvisi).
Menurut Abul Aliyah, au nansa-uha artinya ialah Kami mengakhirkan (menangguhkan) hukumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Khaffaf, dari Ismail (yak-ni Ibnu Aslam), dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada suatu hari Khalifah Umar r.a. berkhotbah kepada kami, lalu ia membacakan firman-Nya, "Ma nansakh min ayatin au nansa-uha," yakni atau Kami tangguhkan hukumnya.
Adapun menurut bacaan au nunsiha, maka Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 16) Allah Swt. menjadikan Nabi-Nya lupa kepada apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia me-nasakh apa yang dikehendaki-Nya dari ayat-ayat tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sawad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnul Haris, telah menceritakan kepada kami Auf ibnul Hasan, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya, "Au nunsiha," bahwa sesungguhnya Nabi kalian membaca suatu ayat Al-Qur'an, kemudian beliau dibuat-Nya lupa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnuz Zubair Al-Harrani, dari Al-Hajjaj (yakni Al-Jazari), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara wahyu yang diturunkan oleh Nabi Saw. adalah wahyu yang diturunkan di malam hari, dan pada siang harinya beliau lupa. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16)
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, Abu Ja'far ibnu Nufail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Hajjaj bukan Al-Hajjaj ibnu Artah, melainkan salah seorang guru kami yang dinisbatkan kepada Al-Jazari.
Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa makna au nunsiha ialah Kami menghapuskan hukumnya dari kalian.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ya’la ibnu Ata, dari Al-Qasim ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan ayat ini seperti berikut: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. (Al-Baqarah: 16) Yakni dengan bacaan nunsiha. Maka ia berkata kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas bahwa sesungguhnya Sa'id ibnul Musayyab membacanya dengan bacaan au nansa-uha. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepada Al-Musayyab, juga tidak kepada keluarga Al-Musayyab." Selanjutnya Sa'd ibnu Abu Waqqas membacakan firman-Nya:
سَنُقْرِئُكَ فَلا تَنْسى
Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa. (Al-A’la: 6)
وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذا نَسِيتَ
Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq ibnu Hasyim. Imam Hakim mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abu Hatim Ar-Razi, dari Adam, dari Syu'bah, dari Ya’la ibnu Ata dengan lafaz yang sama, kemudian Imam Hakim mengatakan dengan syarat Syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Muhammad ibnu Ka'b, Qatadah, dan Ikrimah hal yang semisal dengan perkataan Sa'id ibnul Musayyab r.a.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Habib ibnu Abu Sab it, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Umar r.a. pernah mengatakan, "Orang yang paling adil di antara kami dan Ubay ialah orang yang paling ahli qiraat, tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena Ubay pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan sesuatu pun yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw." Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat Umar pernah mengatakan, "Orang yang paling ahli qiraat di antara kami adalah Ubay, sedangkan orang yang paling ahli dalam masalah peradilan di antara kami adalah Ali. Tetapi sesungguhnya kami benar-benar meninggalkan sebagian dari perkataan Ubay. Demikian itu karena dia pernah mengatakan bahwa dia tidak akan meninggalkan sesuatu pun dari apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah Saw. 'Padahal Allah Swt. telah berfirman: Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya (Al-Baqarah: 16)
Adapun firman Allah Swt.:
نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16)
Yakni dalam hal hukum bila dikaitkan dengan masalah kaum Mukallafin, seperti yang telah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya. (Al-Baqarah: 16) Maksudnya, yang lebih baik manfaatnya buat kalian dan lebih ringan bagi kalian.
Abul Aliyah mengatakan, "Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan," maka kami tidak mengamalkannya, "atau Kami menangguhkannya," yakni Kami tangguhkan oleh pihak Kami, maka Kami akan mendatangkannya atau Kami datangkan yang sebanding dengannya.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16) Yaitu Kami datangkan yang lebih baik daripada apa yang telah Kami nasakh-kan itu, atau Kami datangkan yang sebanding dengan apa yang Kami tinggalkan itu.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kami datangkan yang lebih balk daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Al-Baqarah: 16) Yang dimaksud ialah ayat yang di dalamnya terkandung keringanan atau rukhsah (kemurahan) atau perintah atau larangan.
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍۢ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ 110
(110) Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
(110)
وقوله تعالى : ( وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة وما تقدموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله ) يحث تعالى على الاشتغال بما ينفعهم وتعود عليهم عاقبته يوم القيامة ، من إقام الصلاة وإيتاء الزكاة ، حتى يمكن لهم الله النصر في الحياة الدنيا ويوم يقوم الأشهاد ( يوم لا ينفع الظالمين معذرتهم ولهم اللعنة ولهم سوء الدار ) [ غافر : 52 ] ، ولهذا قال تعالى : ( إن الله بما تعملون بصير ) يعني : أنه تعالى لا يغفل عن عمل عامل ، ولا يضيع لديه ، سواء كان خيرا أو شرا ، فإنه سيجازي كل عامل بعمله .
وقال أبو جعفر بن جرير في قوله تعالى : ( إن الله بما تعملون بصير ) وهذا الخبر من الله للذين خاطبهم بهذه الآيات من المؤمنين ، أنهم مهما فعلوا من خير أو شر ، سرا أو علانية ، فهو به بصير لا يخفى عليه منه شيء ، فيجزيهم بالإحسان خيرا ، وبالإساءة مثلها . وهذا الكلام وإن كان خرج مخرج الخبر ، فإن فيه وعدا ووعيدا وأمرا وزجرا . وذلك أنه أعلم القوم أنه بصير بجميع أعمالهم ليجدوا في طاعته إذ كان ذلك مدخرا لهم عنده ، حتى يثيبهم عليه ، كما قال : ( وما تقدموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله ) وليحذروا معصيته .
قال : وأما قوله : ( بصير ) فإنه مبصر صرف إلى " بصير " كما صرف مبدع إلى " بديع " ، ومؤلم إلى " أليم " ، والله أعلم .
وقال ابن أبي حاتم : حدثنا أبو زرعة ، حدثنا ابن بكير ، حدثني ابن لهيعة ، عن يزيد بن أبي حبيب ، عن أبي الخير ، عن عقبة بن عامر ، قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يفسر في هذه الآية ( سميع بصير ) يقول : بكل شيء بصير .
وَقَالُوا۟ لَن يَدْخُلَ ٱلْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَٰرَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا۟ بُرْهَٰنَكُمْ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ 111
(111) Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".
(111)
Allah Swt. menjelaskan perihal orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani yang teperdaya oleh apa yang mereka berada di dalamnya, mengingat masing-masing pihak dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mendakwakan bahwa tidak akan masuk surga kecuali hanya orang yang memeluk agamanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah di dalam swt Al-Maidah, menyitir perkataan mereka, yaitu:
نَحْنُ أَبْناءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. (Al-Maidah: 18)
Maka Allah mendustakan mereka melalui berita yang Dia tujukan kepada mereka, bahwa Dia kelak akan mengazab mereka karena dosa-dosanya. Sekiranya keadaan seperti apa yang mereka dakwakan, niscaya mereka tidak akan diazab oleh Allah. Perihalnya sama saja dengan pengakuan mereka terdahulu, yaitu mereka tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali hanya beberapa hari yang sedikit, setelah itu mereka pindah masuk ke dalam surga. Kemudian Allah membantah pengakuan mereka itu. Hal yang sama dilakukan pula oleh Allah dalam ayat ini sehubungan dengan dakwaan yang mereka lakukan tanpa dalil, tanpa hujah, dan tanpa bukti. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. (Al-Baqarah: 111)
Abul Aliyah mengatakan bahwa makna ayat ini ialah cita-cita yang mereka angan-angankan terhadap Allah tanpa alasan yang benar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas.
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
قُلْ أَيْ: يَا مُحَمَّدُ، هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ
Katakanlah (hai Muhammad), "Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian." (Al-Baqarah: 111)
Menurut Abu Aliyah, Mujahid, As-Saddi, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, arti burhanakum ialah hujah (alasan) kalian, hingga kalian berani mengatakan demikian. Sedangkan menurut Qatadah, artinya bukti kalian atas hal tersebut.
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
jika kalian adalah orang-orang yang benar. (Al-Baqarah: 111)
dalam pengakuan yang kalian dakwakan itu.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
Dengan kata lain, barang siapa yang ikhlas dalam beramal karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu:
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ الْآيَةَ
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran: 2), hingga akhir ayat.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan, makna man aslama wajhahu lillah ialah barang siapa yang ikhlas kepada Allah.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa aslama ialah ikhlas, dan wajhahu artinya agamanya, yakni barang siapa yang mengikhlaskan agamanya karena Allah semata. Wahuwa muhsinun artinya mengikuti Rasulullah Saw. dalam beramal. Dikatakan demikian karena syarat bagi amal yang diterima itu ada dua; salah satunya ialah hendaknya amal perbuatan dilakukan dengan niat karena Allah semata, dan syarat lainnya ialah hendaknya amal tersebut benar lagi sesuai dengan tuntunan syariat (mengikuti petunjuk Rasul Saw.). Karena itu, dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
Barang siapa mengerjakan suatu amal yang bukan termasuk urusan kami, maka amal itu ditolak.
Hadis riwayat Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah r.a.
Untuk itu amal para rahib dan orang-orang yang semisal dengan mereka, sekalipun amal mereka dinilai ikhlas karena Allah, sesungguhnya amal tersebut tidak diterima dari mereka sebelum mereka mendasarinya karena mengikut kepada Rasulullah Saw. yang diutus kepada mereka dan kepada segenap umat manusia. Sehubungan dengan mereka dan orang-orang yang semisal dengan mereka, Allah Swt. berfirman:
وَقَدِمْنا إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al-Furqan: 23)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذا جاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً
Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila didatanginya, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur: 39)
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خاشِعَةٌ عامِلَةٌ ناصِبَةٌ تَصْلى نَارًا حامِيَةً تُسْقى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. (Al-Ghasyiyah: 2-5)
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar r.a. bahwa ia menakwilkan makna ayat ini ditujukan kepada para rahib, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Jika amal perbuatan yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan syariat dalam gambaran lahiriahnya, sedangkan niat pengamalnya tidak ikhlas karena Allah, maka amal ini pun tidak diterima dan dikembalikan kepada pelakunya. Yang demikian itu adalah keadaan orang-orang yang pamer dan orang-orang munafik, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ وَإِذا قامُوا إِلَى الصَّلاةِ قامُوا كُسالى يُراؤُنَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bersalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ ساهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُراؤُنَ وَيَمْنَعُونَ الْماعُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna. (Al-Ma'un: 4-7)
Untuk itu, dalam firman Allah yang lain disebutkan:
فَمَنْ كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 11)
Di dalam ayat ini disebutkan:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
***************
فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 112)
Melalui ayat ini Allah Swt. telah menjamin bahwa mereka pasti mendapat pahala tersebut dan mengamankan mereka dari hal-hal yang mereka takuti. Dengan kata lain, tiada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tiada pula kesedihan bagi mereka atas masa lalu mereka. Menurut Sa'id ibnu Jubair, la khaufun 'alaihim artinya tiada kekhawatiran bagi mereka, yakni di hari kemudian; wala hum yahzanuna, dan tiada pula mereka bersedih hati, yakni tiada kesedihan atas diri mereka dalam menghadapi kematiannya.
********
Firman Allah Swt.:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ
Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini Allah menjelaskan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan, dan saling mengingkari di antara kedua belah pihak, yaitu antara kaum Yahudi dan kaum Nasrani. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala datang kepada Rasulullah Saw. orang-orang Nasrani utusan penduduk negeri Najran, maka datanglah para rahib Yahudi (Madinah) menemui mereka, lalu mereka berdebat di hadapan Rasulullah Saw. Rafi’ ibnu Harmalah (dari kalangan Yahudi) berkata, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia ingkar kepada kenabian Isa dan kitab Injil-nya. Lalu salah seorang dari orang-orang Nasrani Najran mengatakan kepada orang-orang Yahudi, "Kalian tidak mempunyai pegangan apa pun," dan ia mengingkari kenabian Musa dan kitab Tauratnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan," padahal mereka membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113)
Yakni masing-masing pihak dalam kitabnya membaca hal-hal yang membenarkan apa yang diingkarinya. Orang-orang Yahudi ingkar kepada kenabian Isa, padahal pada kitab Taurat mereka terdapat janji Allah yang diambil dari mereka melalui lisan Nabi Musa agar mereka membenarkan Nabi Isa. Di dalam kitab Injil terdapat keterangan yang dibawa oleh Isa, yang isinya membenarkan Nabi Musa dan apa yang diturunkan kepadanya dari sisi Allah (yaitu kitab Taurat). Akan tetapi, masing-masing pihak mengingkari keterangan yang ada dalam kitabnya masing-masing.
Mujahid mengatakan di dalam kitab tafsirnya sehubungan dengan tafsir ayat ini, memang pada awalnya para pendahulu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani mempunyai pegangan.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Yahudi berkata, 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah mengatakan, "Tidak demikian, bahkan pada awalnya para pendahulu orang-orang Nasrani mempunyai pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dan bercerai-berai. Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Orang-orang Nasrani berkata, 'Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan' (Al-Baqarah: 113)." Qatadah berkata, "Tidak demikian, bahkan pada mulanya para pendahulu orang-orang Yahudi mempunyai suatu pegangan, tetapi pada akhirnya mereka membuat-buat kedustaan dari diri mereka sendiri dan bercerai-berai.
Dari Qatadah disebutkan pula riwayat lain yang sama dengan riwayat Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan tafsir ayat ini: Orang-orang Yahudi berkata, "Orang-orang Nasrani tidak mempunyai suatu pegangan," dan orang-orang Nasrani berkata, "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan." (Al-Baqarah: 113) Mereka adalah ahli kitab yang hidup di masa Rasulullah Saw. Akan tetapi, pendapat ini memberikan kesimpulan bahwa masing-masing pihak dari kedua golongan tersebut membenarkan tuduhan yang mereka lemparkan terhadap pihak lainnya. Akan tetapi, makna lahiriah konteks ayat menyimpulkan bahwa apa yang mereka katakan itu dicela, padahal pengetahuan mereka bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab. (Al-Baqarah: 113) Yakni mereka mengetahui syariat kitab Taurat dan Injil; masing-masing kitab pernah disyariatkan kepada mereka di suatu masa, tetapi mereka saling mengingkari apa yang ada di antara mereka (kedua belah pihak), karena keingkaran dan kekufuran mereka dan membalas kebatilan dengan kebatilan yang lain, seperti yang telah disebutkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah pada riwayat yang pertama sehubungan dengan tafsir ayat ini.
**********
Firman Allah Swt.:
كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. (Al-Baqarah: 113)
Melalui ayat ini dijelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani dalam ucapan yang mereka gunakan untuk saling menyerang pihak lainnya. Hal ini termasuk ke dalam pengertian isyarat yang menyindir kebodohan dan ketololan mereka.
Mengenai orang-orang yang dimaksud dalam firman-Nya, "Orang-orang yang tidak mengetahui" (Al-Baqarah: 113), masih diperselisihkan di kalangan Mufassirin. Untuk itu, Ar-Rabi' ibnu Anas dan Qatadah mengatakan bahwa makna firman-Nya, "Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui" ialah mereka akan mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani kepada masing-masing pihak (pengertiannya menyeluruh).
Ibnu Juraij mengatakan, ia pernah bertanya kepada Ata, "Siapakah yang dimaksud dengan mereka yang tidak mengetahui itu?" Ia menjawab bahwa mereka adalah umat-umat sebelum adanya agama Yahudi dan Nasrani, sebelum adanya kitab Taurat dan Injil.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan orang-orang yang tidak mengetahui dalam ayat ini ialah orang-orang Badui; mereka mengatakan bahwa Muhammad tidak mempunyai suatu pegangan.
Sedangkan Abu Ja'far ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini bersifat umum dan pengertiannya dapat mengena kepada semua orang.
Akan tetapi, memang tidak ada dalil yang akurat yang membantu salah satu dari pendapat-pendapat di atas. Sebagai kesimpulannya ialah menginterpretasikan makna ayat ini dengan semua pengertian di atas adalah hal yang lebih utama.
***********
Firman Allah Swt.:
فَاللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. (Al-Baqarah: 113)
Yakni di hari kemudian kelak Allah Swt. akan menghimpun mereka semua dan memutuskan hukum di antara mereka dengan keputusan yang adil, yang tiada kezaliman, tiada penyimpangan padanya barang sekecil apa pun. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang ada dalam surat Al-Hajj, yaitu firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصارى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabi-in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Al-Hajj: 17)
Semakna pula dengan firman-Nya:
قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنا رَبُّنا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنا بِالْحَقِّ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ
Katakanlah, "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui" (Saba': 26)
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌۭ فَلَهُۥٓ أَجْرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ 112
(112) (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(112)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
Dengan kata lain, barang siapa yang ikhlas dalam beramal karena Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu:
فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ الْآيَةَ
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." (Ali Imran: 2), hingga akhir ayat.
Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan, makna man aslama wajhahu lillah ialah barang siapa yang ikhlas kepada Allah.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa aslama ialah ikhlas, dan wajhahu artinya agamanya, yakni barang siapa yang mengikhlaskan agamanya karena Allah semata. Wahuwa muhsinun artinya mengikuti Rasulullah Saw. dalam beramal. Dikatakan demikian karena syarat bagi amal yang diterima itu ada dua; salah satunya ialah hendaknya amal perbuatan dilakukan dengan niat karena Allah semata, dan syarat lainnya ialah hendaknya amal tersebut benar lagi sesuai dengan tuntunan syariat (mengikuti petunjuk Rasul Saw.). Karena itu, dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam salah satu sabdanya:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ»
Barang siapa mengerjakan suatu amal yang bukan termasuk urusan kami, maka amal itu ditolak.
Hadis riwayat Imam Muslim melalui hadis Siti Aisyah r.a.
Untuk itu amal para rahib dan orang-orang yang semisal dengan mereka, sekalipun amal mereka dinilai ikhlas karena Allah, sesungguhnya amal tersebut tidak diterima dari mereka sebelum mereka mendasarinya karena mengikut kepada Rasulullah Saw. yang diutus kepada mereka dan kepada segenap umat manusia. Sehubungan dengan mereka dan orang-orang yang semisal dengan mereka, Allah Swt. berfirman:
وَقَدِمْنا إِلى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناهُ هَباءً مَنْثُوراً
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al-Furqan: 23)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمالُهُمْ كَسَرابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذا جاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئاً
Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila didatanginya, dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. (An-Nur: 39)
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خاشِعَةٌ عامِلَةٌ ناصِبَةٌ تَصْلى نَارًا حامِيَةً تُسْقى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ
Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. (Al-Ghasyiyah: 2-5)
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Umar r.a. bahwa ia menakwilkan makna ayat ini ditujukan kepada para rahib, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Jika amal perbuatan yang dikerjakan sesuai dengan tuntunan syariat dalam gambaran lahiriahnya, sedangkan niat pengamalnya tidak ikhlas karena Allah, maka amal ini pun tidak diterima dan dikembalikan kepada pelakunya. Yang demikian itu adalah keadaan orang-orang yang pamer dan orang-orang munafik, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنَّ الْمُنافِقِينَ يُخادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خادِعُهُمْ وَإِذا قامُوا إِلَى الصَّلاةِ قامُوا كُسالى يُراؤُنَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bersalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ ساهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُراؤُنَ وَيَمْنَعُونَ الْماعُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna. (Al-Ma'un: 4-7)
Untuk itu, dalam firman Allah yang lain disebutkan:
فَمَنْ كانَ يَرْجُوا لِقاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 11)
Di dalam ayat ini disebutkan:
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 112)
***************
فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Al-Baqarah: 112)
Melalui ayat ini Allah Swt. telah menjamin bahwa mereka pasti mendapat pahala tersebut dan mengamankan mereka dari hal-hal yang mereka takuti. Dengan kata lain, tiada kekhawatiran bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tiada pula kesedihan bagi mereka atas masa lalu mereka. Menurut Sa'id ibnu Jubair, la khaufun 'alaihim artinya tiada kekhawatiran bagi mereka, yakni di hari kemudian; wala hum yahzanuna, dan tiada pula mereka bersedih hati, yakni tiada kesedihan atas diri mereka dalam menghadapi kematiannya.