9 - التوبة - At-Tawba

Juz : 10

The Repentance
Medinan

ٱلتَّٰٓئِبُونَ ٱلْعَٰبِدُونَ ٱلْحَٰمِدُونَ ٱلسَّٰٓئِحُونَ ٱلرَّٰكِعُونَ ٱلسَّٰجِدُونَ ٱلْءَامِرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱلنَّاهُونَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱلْحَٰفِظُونَ لِحُدُودِ ٱللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ 112

(112) Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.

(112) 

Ayat ini menyebutkan sifat orang-orang mukmin yang pengorbanan jiwa dan harta benda mereka diterima Allah SWT mereka mempunyai sifat-sifat yang baik dan pekerti yang agung, yaitu:

التَّائِبُونَ

orang-orang yang bertobat. (At-Taubah: 112)

Yakni bertobat dari semua dosa dan meninggalkan semua perbuatan yang keji.

الْعَابِدُونَ

orang-orang yang ahli ibadah. (At-Taubah: 112)

Yaitu mereka menegakkan ibadahnya kepada Tuhan mereka dan memeliharanya dengan baik, baik ibadah yang berkaitan dengan ucapan maupun pekerjaan. Secara khusus ibadah lisan ialah membaca hamdalah (pujian) kepada Allah. Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

الْحَامِدُونَ

orang-orang yang memuji (Allah). (At-Taubah: 112)

Di antara amal yang paling utama ialah berpuasa, yaitu meninggalkan kelezatan makan dan minum serta bersetubuh. Pengertian inilah yang dimaksud dengan istilah siyahah dalam ayat ini, yaitu firman-Nya:

السَّائِحُونَ

orang-orang yang berpuasa. (At-Taubah: 112)

Sama halnya dengan sifat yang dimiliki oleh istri-istri Nabi Saw. yang disebutkan di dalam firman-Nya:

سَائِحَاتٍ

Yakni wanita-wanita yang berpuasa. (At Tahrim: 5)

Mengenai rukuk dan sujud, keduanya merupakan bagian dari salat; dan makna yang dimaksud adalah salat itu sendiri, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ

yang rukuk dan yang sujud. (At-Taubah: 112)

Sekalipun demikian, mereka memberikan manfaat kepada makhluk Al­lah, membimbing mereka untuk taat kepada Allah, dan memerintahkan mereka untuk mengerjakan hal yang makruf dan melarang mereka dari perbuatan yang mungkar. Mereka juga mengetahui semua hal yang harus mereka kerjakan dan semua hal yang wajib mereka tinggalkan, yakni mereka selalu memelihara hukum-hukum Allah dalam pengharaman dan penghalalan-Nya secara teori dan pengamalannya. Dengan demikian, berarti mereka telah menegakkan ibadah kepada Yang Mahabenar dan memberikan nasihat kepada makhluk-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan gembirakanlah orang-orang yang mukmin itu. (At-Taubah: 112)

Dikatakan demikian karena iman mencakup semua sifat tersebut, dan kebahagiaan yang paling puncak ialah bagi orang yang memiliki sifat-sifat itu.

Keterangan mengenai makna Siyahah dalam ayat ini adalah puasa

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim, dari Zar, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan sehubungan dengan makna lafaz as-saihuna, bahwa makna yang dimaksud adalah orang-orang yang berpuasa. Hal yang sama telah dikatakan oleh riwayat Sa'id ibnu Jubair dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa semua lafaz siyahah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Al Quran artinya puasa. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak rahimahullah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yazid, dari Al-Walid ibnu Abdullah, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa siyahah (pesiar)nya umat ini adalah puasa.

Hal yang sama telah dikatakan ojeh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Abdur Rahman As-Sulami, Ad-Dahhak ibnu Muzahim, Sufyan ibnu Uyaynah, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-saihun ialah orang-orang yang berpuasa.

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: orang-orang yang berpuasa. (At-Taubah: 112) Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang mengerjakan puasa di bulan Ramadan.

Abu Amr Al-Abdi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: orang-orang yang berpuasa. (At-Taubah: 112) Mereka adalah orang-orang mukmin yang menjalankan puasanya secara terus-menerus.

Di dalam sebuah hadis marfu' telah disebutkan hal yang se­misal.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بن بَزِيع، حَدَّثَنَا حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "السَّائِحُونَ هُمُ الصَّائِمُونَ"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Hakim ibnu Hizam, telah menceritakan kepada kami Sulaiman, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang-orang yang ber-siyahah adalah orang-orang yang berpuasa

Tetapi predikat mauquf hadis ini lebih sahih.

قَالَ أَيْضًا: حَدَّثَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ وَهْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عُبَيد بْنِ عُمَير قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّائِحِينَ فَقَالَ: "هُمُ الصَّائِمُونَ"

Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Umar ibnul Hari s, dari Amr ibnu Dinar, dari Ubaid ibnu Umair yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya mengenai makna as-saihun. Maka beliau menjawab: Mereka adalah orang-orang yang berpuasa.

Hadis ini berpredikat mursal lagi jayyid. Pendapat ini adalah pendapat yang paling sahih dan paling terkenal.

Akan tetapi, ada pendapat yang menunjukkan bahwa makna siyahah adalah jihad, seperti apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya melalui hadis Abu Umamah, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk ber-siyahah." Maka Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya:

"سِيَاحَةُ أُمَّتَيِ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ"

Siyahah umatku adalah berjihad di jalan Allah.

Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Ibnu Lahi'ah, bahwa telah menceritakan kepadaku Imarah ibnu Gazyah; pernah disebutkan masalah siyahah di hadapan Rasulullah Saw., maka Rasulullah Saw. bersabda:

"أَبْدَلَنَا اللَّهُ بِذَلِكَ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالتَّكْبِيرَ عَلَى كُلِّ شَرَفٍ".

Allah telah menggantikannya buat kita dengan berjihad di jalan Allah dan bertakbir di atas setiap tanjakan (tempat yang tinggi).

Dari Ikrimah, disebutkan bahwa orang-orang yang ber-siyahah adalah nara penuntut ilmu.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berhijrah.

Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Tetapi bukanlah yang dimaksud dengan siyahah apa yang dipahami oleh sebagian orang, bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan ibadah seraya ber-siyahah di muka bumi dengan menyendiri di puncak-puncak bukit, atau di gua-gua, atau di tempat-tempat yang sepi. Karena sesungguhnya hal ini tidaklah disyariatkan kecuali hanya dalam masa fitnah sedang melanda umat dan terjadi keguncangan dalam agama.

Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan sebuah hadis melalui Abu Sa'id Al-Khudri r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الرَّجُلِ غَنَم يَتْبَع بِهَا شَعفَ الْجِبَالِ، وَمَوَاقِعَ القَطْر، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ".

Hampir tiba masanya di mana sebaik-baik harta seseorang berupa ternak kambing yang ia ikuti sampai ke lereng-lereng bukit dan tempat-tempat yang berhujan, seraya melarikan diri menyelamatkan agamanya dari fitnah-fitnah (yang sedang melanda).

Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ

dan orang-orang yang memelihara hukum-hukum Allah. (At-Taubah: 112)

Maksudnya adalah orang-orang yang menjalankan ketaatan kepada Al­lah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri.

Dan dari Al-Hasan Al-Basri dalam riwayat yang lain sehubungan dengan makna firman-Nya: orang-orang yang memelihara hukum-hukum Allah. (At-Taubah: 112) Dalam riwayat itu disebutkan bahwa yang dimaksud adalah memelihara hal-hal yang difardukan oleh Allah Swt. Dan dalam riwayat lainnya lagi disebutkan orang-orang yang menegakkan perintah Allah.


مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسْتَغْفِرُوا۟ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرْبَىٰ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَٰبُ ٱلْجَحِيمِ 113

(113) Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.

(113) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ketika Abu Talib sedang menjelang ajalnya, Nabi Saw. masuk menemuinya; saat itu di sisi Abu Talib terdapat Abu Jahal dan Abdullah ibnu Abu Umayyah. Maka Nabi Saw. bersabda: Hai paman, ucapkanlah, "Tidak ada Tuhan selain Allah!" sebagai suatu kalimat yang kelak aku akan membelamu dengannya di hadapan Allah Swt. Maka Abu Jahal dan Abdullah ibnu Abu Umayyah berkata, "Hai Abu Talib apakah engkau tidak suka dengan agama Abdul Muttalib?" Abu Talib menjawab.”Saya berada pada agama Abdul Muttalib." Maka Nabi Saw. bersabda: Sungguh aku benar-benar akan memohonkan ampun buatmu selagi aku tidak dilarang untuk mendoakanmu. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahim. (At-Taubah: 113); Imam Ahmad mengatakan bahwa sehubungan dengan peristiwa ini diturunkan pula firman Allah Swt.: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Al-Qashash: 56)

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Sufyan. dari Abu Ishaq, dari Abul Khalil, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang lelaki memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, padahal kedua orang tuanya itu musyrik. Maka aku (Ali) berkata, "Apakah lelaki itu memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, padahal kedua orang tuanya musyrik?" Lelaki itu menjawab, "Bukankah Ibrahim telah memohonkan ampun bagi ayahnya?" Ali r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menceritakan hal itu kepada Nabi Saw. Maka turunlah ayat ini: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat.

Imam Ahmad mengatakan, "Kalimat 'ketika menjelang kematiannya' saya tidak tahu apakah Sufyan yang mengatakannya ataukah dikatakan oleh Israil, atau memang dalam hadisnya disebutkan kalimat ini." Menurut kami (penulis), hal ini telah dibuktikan melalui riwayat dari Mujahid, bahwa Mujahid mengatakan 'bahwa ketika Abu Talib menjelang kematiannya'.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا زُبَيْدُ بْنُ الْحَارِثِ الْيَامِيُّ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدة، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَهُ قَرِيبٌ مِنْ أَلْفِ رَاكِبٍ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفان، فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وفَداه بِالْأَبِ وَالْأُمِّ، وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا لَكَ؟ قَالَ: "إِنِّي سَأَلْتُ رَبِّي، عَزَّ وَجَلَّ، فِي الِاسْتِغْفَارِ لِأُمِّي، فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، فَدَمِعَتْ عَيْنَايَ رَحْمَةً لَهَا مِنَ النَّارِ، وَإِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلَاثٍ: نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا، لِتُذَكِّرَكُمْ زيارتُها خَيْرًا، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ بَعْدَ ثَلَاثٍ، فَكُلُوا وَأَمْسِكُوا مَا شِئْتُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ الْأَشْرِبَةِ فِي الْأَوْعِيَةِ، فَاشْرَبُوا فِي أَيِّ وِعَاءٍ وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Zubaid ibnul Hari s Al-Yami, dari Muharib ibnu Disar, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya yang menceritakan, "Ketika kami bersama Nabi Saw. dalam suatu perjalanan, lalu Nabi Saw. membawa kami turun istirahat. Saat itu jumlah kami kurang lebih seribu orang, semuanya berkendaraan. Lalu Nabi Saw. melakukan salat dua rakaat, sesudah itu Nabi Saw. menghadapkan wajahnya ke arah kami, sedangkan air mata mengalir dari kedua matanya. Umar ibnul Khattab bangkit mendekatinya dan mengucapkan kesetiaannya, lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah gerangan yang telah menimpamu?' Rasulullah Saw. menjawab: 'Sesungguhnya aku telah meminta kepada Tuhanku untuk memohonkan ampun buat ibuku, tetapi Dia tidak mengizinkanku, maka kedua mataku mengalirkan air mataku karena kasihan kepadanya di neraka. Dan sesungguhnya aku telah melarang kalian dari tiga perkara; aku telah melarang kalian ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah kubur, semoga ziarah kubur mengingatkan kebaikan bagi kalian. Dan aku telah melarang kalian memakan daging kurban sesudah tiga hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah sesuka kalian. Dan aku telah melarang kalian meminum minuman dengan memakai wadah, maka sekarang minumlah kalian dengan memakai wadah apa pun, tetapi janganlah kalian meminum minuman yang memabukkan'.”

وَرَوَى ابْنُ جَرِيرٍ، مِنْ حَدِيثِ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثد، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيدة، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ أَتَى رَسْمَ قَبْرٍ، فَجَلَسَ إِلَيْهِ، فَجَعَلَ يُخَاطِبُ، ثُمَّ قَامَ مُسْتَعْبِرًا. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا رَابَنَا مَا صَنَعْتَ. قَالَ: "إِنِّي اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّي، فَأَذِنَ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي الِاسْتِغْفَارِ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِي". فَمَا رُئِيَ بَاكِيًا أَكْثَرَ مِنْ يَوْمَئِذٍ.

Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Alqamah ibnu Marsad, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya, bahwa ketika Nabi Saw. tiba di Mekah, beliau mendatangi suatu kuburan, lalu duduk di dekatnya dan kelihatan seperti orang yang sedang berbicara, lalu bangkit seraya menangis. Maka kami bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami melihat semua yang engkau perbuat." Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya aku meminta izin kepada Tuhanku untuk menziarahi kuburan ibuku, maka Dia memberikan izin kepadaku. Dan aku meminta izin kepada-Nya untuk memohonkan ampun buat ibuku, tetapi Dia tidak mengizinkannya. Maka belum pernah kelihatan Rasulullah Saw. menangis lebih banyak daripada hari itu.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ خِداش، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، عَنِ ابْنِ جرَيج عَنْ أَيُّوبَ بْنِ هَانِئٍ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: خرجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا إِلَى الْمَقَابِرِ، فَاتَّبَعْنَاهُ، فَجَاءَ حَتَّى جَلَسَ إِلَى قَبْرٍ مِنْهَا، فَنَاجَاهُ طَوِيلًا ثُمَّ بَكَى فَبَكَيْنَا لِبُكَائِهِ ثُمَّ قَامَ فَقَامَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَدَعَاهُ ثُمَّ دَعَانَا، فَقَالَ: "مَا أَبْكَاكُمْ؟ " فَقُلْنَا: بَكَيْنَا لِبُكَائِكَ. قَالَ: "إِنَّ الْقَبْرَ الَّذِي جلستُ عِنْدَهُ قَبْرَ آمِنَةَ، وَإِنِّي استأذنتُ رَبِّي فِي زِيَارَتِهَا فَأَذِنَ لِي"

Ibnu Abu Hatim telah mengatakan dalam kitab Tafsir-nya bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Khaddasy, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, dari Ibnu Juraij, dari Ayyub ibnu Hani', dari Masruq, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Di suatu hari Rasulullah Saw. keluar menuju pekuburan, lalu kami mengikutinya. Rasulullah Saw. sampai di pekuburan itu dan duduk di salah satunya, lalu melakukan munajat cukup lama. Setelah itu beliau menangis, dan kami pun ikut menangis karena tangisannya. Kemudian bangkitlah Umar ibnul Khattab menuju ke arahnya, maka Rasul Saw. memanggilnya dan memanggil kami, lalu bersabda, 'Apakah yang membuat kalian menangis?' Kami menjawab, 'Kami menangis karena tangisanmu.' Rasul Saw . bersabda: 'Sesungguhnya kuburan yang tadi aku duduk di dekatnya adalah kuburan Aminah (ibunda Nabi Saw.). Dan sesungguhnya aku meminta izin kepada Tuhanku untuk menziarahinya, maka Dia memberikan izin kepadaku'.”

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengetengahkan hadis ini pula melalui jalur lain bersumberkan dari riwayat Ibnu Mas'ud yang isinya hampir sama. Di dalam riwayatnya ini disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda,

"وَإِنِّي اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي الدُّعَاءِ لَهَا فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، وَأَنْزَلَ عَلِيَّ: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى فَأَخَذَنِي مَا يَأْخُذُ الْوَلَدُ لِلْوَالِدَةِ، وَكُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ"

"Sesungguhnya aku meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakan ibuku, tetapi Dia tidak mengizinkan aku melakukannya, dan diturunkanlah kepadaku firman Allah Swt. yang mengatakan: 'Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman.' (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat. Maka aku pun merasa sedih sebagaimana sedihnya seorang anak terhadap orang tuanya. Dan aku telah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang berziarahlah, karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingat­kan akhirat."

Hadis lain yang semakna yaitu, Imam Tabrani mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو الدَّرْدَاءِ عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُنِيبٍ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَيْسَان، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عِكْرِمة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ لَمَّا أَقْبَلَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ وَاعْتَمَرَ، فَلَمَّا هَبَطَ مِنْ ثَنِيَّةِ عُسْفان أَمَرَ أَصْحَابَهُ: أَنِ اسْتَنِدُوا إِلَى الْعَقَبَةِ حَتَّى أَرْجِعَ إِلَيْكُمْ، فَذَهَبَ فَنَزَلَ عَلَى قَبْرِ أُمِّهِ، فَنَاجَى ربَّه طَوِيلًا ثُمَّ إِنَّهُ بَكَى فَاشْتَدَّ بُكَاؤُهُ، وَبَكَى هَؤُلَاءِ لِبُكَائِهِ، وَقَالُوا: مَا بَكَى نَبِيُّ اللَّهِ بِهَذَا الْمَكَانِ إِلَّا وَقَدْ أُحدثَ فِي أُمَّتِهِ شَيْءٌ لَا تُطيقه. فَلَمَّا بَكَى هَؤُلَاءِ قَامَ فَرَجَعَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: "مَا يُبْكِيكُمْ؟ ". قَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، بَكَيْنَا لِبُكَائِكَ، فَقُلْنَا: لَعَلَّهُ أُحْدِثَ فِي أُمَّتِكَ شَيْءٌ لَا تُطِيقُهُ، قَالَ: "لَا وَقَدْ كَانَ بَعْضُهُ، وَلَكِنْ نَزَلْتُ عَلَى قَبْرِ أمي فَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يَأْذَنَ لِي فِي شَفَاعَتِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَأَبَى اللَّهُ أَنْ يَأْذَنَ لِي، فَرَحِمْتُهَا وَهِيَ أُمِّي، فَبَكَيْتُ، ثُمَّ جَاءَنِي جِبْرِيلُ فَقَالَ: وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ فَتَبَرَّأْ أَنْتَ مِنْ أُمِّكَ، كَمَا تَبَرَّأَ إِبْرَاهِيمُ مِنْ أَبِيهِ، فرحمْتُها وَهِيَ أُمِّي، وَدَعَوْتُ رَبِّي أَنْ يَرْفَعَ عَنْ أُمَّتِي أَرْبَعًا، فَرَفَعَ عَنْهُمُ اثْنَتَيْنِ، وَأَبَى أَنْ يَرْفَعَ عَنْهُمُ اثْنَتَيْنِ: دعوتُ رَبِّي أَنْ يَرْفَعَ عَنْهُمُ الرَّجْمَ مِنَ السَّمَاءِ والغَرَق مِنَ الأرض، وألا يلبسهم شيعا، وألا يذيق بعضهم بَأْسَ بَعْضٍ، فَرَفَعَ اللَّهُ عَنْهُمُ الرَّجْمَ مِنَ السَّمَاءِ، وَالْغَرَقَ مِنَ الْأَرْضِ، وَأَبَى اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَ عَنْهُمُ الْقَتْلَ وَالْهَرْجَ". وَإِنَّمَا عَدَلَ إِلَى قَبْرِ أُمِّهِ لِأَنَّهَا كَانَتْ مَدْفُونَةً تَحْتَ كَداء وَكَانَتْ عُسْفان لَهُمْ.

bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Marwazi, telah menceritakan kepada kami Abud Darda Abdul Aziz ibnu Munib, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Abdullah ibnu Kaisan, dari ayahnya, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. ketika kembali dari medan Tabuk melakukan ibadah Umrah. Ketika turun dari Lereng Asfan, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk beristirahat di Aqabah menunggunya yang akan pergi hingga beliau bergabung kembali dengan mereka. Nabi Saw. pergi, lalu turun di kuburan ibunya dan bermunajat kepada Tuhannya cukup lama. Setelah itu beliau menangis dengan tangisan yang berat, maka mereka yang menemaninya ikut menangis pula karena tangisannya. Mereka mengatakan bahwa tidak sekali-kali Nabi Allah menangis di tempat seperti ini melainkan Allah telah menurunkan sesuatu buat umatnya yang tidak akan mampu mereka melakukannya. Ketika mereka menangis, maka Nabi Saw. bangkit dan kembali kepada mereka, lalu bertanya, "Apakah yang menyebabkan kalian menangis?" Mereka menjawab, "Wahai Nabi Allah, kami menangis karena tangisanmu." Mereka mengatakan kepadanya, "Barangkali Allah telah memerintahkan sesuatu kepada umatmu yang tidak mampu mereka sanggah." Nabi Saw. bersabda, "Tidak, memang sebagiannya. Tetapi aku turun di atas kubur ibuku, lalu aku memohon kepada Allah agar Dia memberiku izin untuk memberikan syafaat buat ibuku di hari kiamat nanti, tetapi Allah menolak dan tidak memberiku izin, sehingga aku menangis karena dia adalah ibuku sendiri, aku kasihan kepadanya. Lalu datanglah Jibril kepadaku dan membawakan firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. (At-Taubah: 114); Jibril berkata, 'Maka berlepas dirilah kamu dari ibumu sebagaimana Ibrahim berlepas diri dari ayahnya.' Maka aku merasa kasihan kepadanya karena dia adalah ibuku sendiri. Dan aku berdoa kepada Tuhanku semoga Dia melenyapkan dari umatku empat perkara. Maka Allah melenyapkan dari mereka dua perkara dan menolak tidak mau melenyapkan yang duanya lagi. Aku berdoa kepada Tuhanku, semoga Dia melenyapkan dari mereka rajam dari langit dan banjir dari bumi yang menenggelam­kan, dan hendaklah Dia tidak memecah belah mereka menjadi berbagai golongan, serta hendaklah Dia tidak merasakan kepada sebagian dari mereka dengan keganasan sebagian yang lainnya. Maka ternyata Allah melenyapkan dari mereka azab rajam dari langit dan banjir yang menenggelamkan dari tanah, tetapi Allah menolak, tidak mau melenyap­kan dari mereka pembunuhan dan perpecahan."

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa Nabi Saw. turun ke bawah karena letak kubur ibunya di bawah Lereng Kida, sedangkan Asfan berada di lereng bagian atasnya.

Hadis ini dinilai garib dan konteksnya aneh, tetapi ada lagi hadis yang lebih garib dan lebih mungkar daripada hadis di atas, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Bagdadi di dalam Kitab As-Sabiq wal Lahiq dengan sanad yang majhul melalui Siti Aisyah. Di dalamnya disebutkan suatu kisah bahwa Allah menghidupkan kembali ibu Aminah, lalu ibu Aminah beriman kepada Rasul Saw., setelah itu dikembalikan kepada keadaan semula.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Suhaili di dalam kitab Ar-Raud dengan sanad yang di dalamnya terdapat sejumlah orang yang berpredikat majhul. Disebutkan bahwa Allah menghidupkan kedua orang tua Nabi Saw. berkat permintaan Nabi Saw., lalu keduanya beriman kepada Nabi Saw.

Al-Hafiz ibnu Dahiyyah telah mengatakan bahwa hadis ini maudu', bertentangan dengan Al-Qur'an dan ijmak. Allah Swt. telah berfirman:

وَلا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ

Dan tidak (pula diterima tobat) orang-orang yang mati, sedangkan mereka di dalam kekafiran. (An-Nisa: 18)

Abu Abdullah Al-Qurtubi mengatakan, sesungguhnya pengertian hadis ini yang disanggah oleh Ibnu Dahiyyah menunjukkan bahwa apa yang dimaksud oleh hadis adalah kehidupan yang baru, perihalnya sama dengan kembalinya matahari sesudah terbenamnya, lalu Nabi Saw. melakukan salat Asar. At-Tahawi mengatakan bahwa hadis mengenai kembalinya matahari ini memang telah dikuatkan. Al-Qurtubi mengatakan, dinilai dari segi akal dan syara' masalah dihidupkan-Nya kembali kedua orang tua Nabi Saw. tidaklah mustahil. Al-Qurtubi mengatakan pula, ia pernah mendengar bahwa Allah menghidupkan kembali paman Nabi Saw., Abu Talib; lalu Abu Talib beriman kepada Nabi Saw.

Menurut kami, semuanya itu bergantung kepada kesahihan hadis. Apabila hadisnya memang berpredikat sahih, maka tidak mustahil hal itu dapat terjadi.

*******************

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat. Nabi Saw. bermaksud memohonkan ampun kepada Allah buat ibunya, tetapi Allah Swt. melarangnya melakukan hal tersebut. Maka Nabi Saw. berkata, "Sesungguhnya Ibrahim kekasih Allah telah memohonkan ampun kepada Engkau buat ayahnya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. (At-Taubah: 114), hingga akhir ayat.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa pada awal mulanya mereka memohonkan ampun kepada Allah buat orang tua-orang tua mereka (di masa Jahiliah), hingga ayat ini diturunkan. Maka sejak itu mereka tidak lagi memohonkan ampun buat orang-orang mati mereka (di masa Jahiliah). Mereka juga tidak dilarang memohonkan ampun kepada Allah buat orang-orang yang masih hidup sebelum matinya, kemudian Allah menurunkan firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tiada lain. (At-Taubah: 114), hingga akhir ayat.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini: telah diceritakan kepada kami bahwa pernah ada sejumlah sahabat Nabi Saw. bertanya, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya di antara bapak-bapak kita ada yang selalu berbuat baik kepada tetangganya, menghubungkan silaturahmi, menolong orang-orang yang kesusahan, dan menunaikan janji-janjinya. Maka bolehkah kami memohonkan ampun kepada Allah buat mereka?" Nabi Saw. bersabda, "Memang benar, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar akan memohonkan ampun kepada Al­lah buat ayahku, sebagaimana Ibrahim memohonkan ampun kepada Allah buat bapaknya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113) sampai dengan firman-Nya: adalah penghuni neraka Jahim. (At-Taubah: 113) Kemudian Allah Swt. membela Nabi Ibrahim a.s. melalui firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tiada lain. (At-Taubah: 114), hingga akhir ayat.

Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. telah bersabda:

"أَوْحِيَ إِلَيَّ كَلِمَاتٌ، فَدَخَلْنَ فِي أُذُنِي ووقَرْن فِي قَلْبِي: أمِرْتُ أَلَّا أستغفرَ لِمَنْ مَاتَ مُشْرِكًا، وَمَنْ أَعْطَى فَضْلَ مَالِهِ فَهُوَ خيرٌ لَهُ، وَمَنْ أَمْسَكَ فَهُوَ شرٌ لَهُ، وَلَا يَلُومُ اللَّهُ عَلَى كَفاف".

Allah telah mewahyukan kepadaku beberapa kalimat yang kudengar dengan baik dan menetap tinggal di hatiku, yaitu aku diperintahkan agar tidak memohonkan ampun untuk orang yang mati dalam keadaan musyrik. Barang siapa yang memberikan lebihan dari hartanya, maka hal itu lebih baik baginya; dan barang siapa yang memegangnya, maka hal itu lebih buruk baginya, tetapi tidaklah Allah mencela orang yang beroleh pas-pasan.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Asy-Syaibani, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki Yahudi mati meninggalkan seorang anak lelaki yang muslim. Maka anaknya itu tidak keluar mengantarkan jenazah ayahnya. Ketika hal tersebut diceritakan kepada Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas berkata bahwa seharusnya dia ikut berjalan mengiringinya dan mengebumikannya serta mendoakan kebaikan baginya selagi ayahnya masih hidup. Tetapi apabila ayahnya telah mati, hendaklah ia menyerahkan nasib ayahnya itu kepada ayahnya sendiri. Lalu Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tiada lain. (At-Taubah: 114) sampai dengan firman-Nya: maka Ibrahim berlepas diri darinya. (At-Taubah: 114) Yaitu tidak mendoakannya lagi.

Kesahihan riwayat ini terbuktikan melalui apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan lain-lainnya melalui Ali r.a. Bahwa ketika Abu Talib meninggal dunia, aku (Ali) berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya pamanmu —syekh yang sesat itu— telah meninggal dunia." Maka Nabi Saw. bersabda, ”Pergilah kamu dan kebumikanlah jenazahnya, dan janganlah engkau menceritakan sesuatu pun mengenai diriku sebelum kamu datang kepadaku." Lalu Imam Abu Daud menceritakan hadis ini hingga selesai.

Diriwayatkan pula bahwa ketika iringan jenazah Abu Talib —paman Nabi Saw.— melewatinya, maka beliau Saw. berkata:

"وَصَلتكَ رَحِمٌ يَا عَمِّ"

“semoga rahmat mencapaimu hai paman.”

Ata ibnu Abu Rabah pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggal­kan permohonan rahmat (ampunan) buat seorang pun dari kalangan ahli kiblat, sekalipun dia adalah seorang wanita Habsyah yang mengandung karena zina; karena sesungguhnya dia belum pernah mendengar Allah melarang memohonkan rahmat kecuali hanya terhadap orang-orang musyrik. Allah Swt. telah berfirman: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Waki', dari ayahnya, dari Ismah ibnu Ramil, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata, "Semoga Allah merahmati orang lelaki yang me­mohonkan ampun kepada Allah untuk Abu Hurairah dan ibunya." Aku bertanya," Juga buat ayah Abu Hurairah." Abu Hurairah menjawab, "Tidak, karena sesungguhnya ayahku mati dalam keadaan musyrik."

*******************

Firman Allah Swt.:

فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ

Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. (At-Taubah: 114)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Ibrahim masih terus memohonkan ampun kepada Allah untuk bapaknya hingga bapaknya meninggal dunia. Setelah nyata bagi Nabi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka berlepas dirilah ia dari ayahnya. Riwayat lain menyebutkan bahwa setelah ayahnya itu mati, jelaslah bagi Ibrahim a.s. bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, serta lain-lainnya.

Ubaid ibnu Umair dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berlepas diri dari bapaknya kelak di hari kiamat, yaitu di saat ia bersua dengan bapaknya yang wajahnya hitam legam. Lalu bapaknya berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya dahulu aku mendurhakaimu, tetapi sekarang aku tidak akan mendurhakaimu lagi." Maka Ibrahim berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan membuatku terhina di hari manusia dibangkitkan. Maka kehinaan apalagi yang lebih berat daripada mempunyai seorang bapak yang dijauhkan dari rahmat." Maka dikatakan, "Lihatlah ke belakangmu." Maka tiba-tiba terdapat hewan kurban yang berlumuran darah yang telah diubah wujudnya menjadi dubuk. Kemudian dubuk itu ditarik dan diseret kakinya, lalu dilemparkan ke dalam neraka.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)

Sufyan As-Sauri dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa makna al-awwah ialah banyak berdoa. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Mas'ud.

وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى: حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَهْرام، حَدَّثَنَا شَهْر بْنُ حَوشب، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْأَوَّاهُ؟ قَالَ: "الْمُتَضَرِّعُ"، قَالَ: إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepadaku Abdul Hamid ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab, dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had yang mengatakan bahwa ketika Nabi Saw. sedang duduk, seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah makna al-awwah?' Rasulullah Saw. menjawab bahwa al-awwah artinya orang yang sangat lembut hatinya. Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (At Taubah : 114)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Ibnul Mubarak, dari Abdul Hamid ibnu Bahram dengan sanad yang sama, yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Al-awwah artinya sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari Mus­lim Al-Batin, dari Abul Gadir, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang makna al-awwah. Maka ia menjawab bahwa al-awwah artinya penyayang.

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Abu Maisarah Umar ibnu Syurahbil, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan lain-lainnya, bahwa makna al-awwah ialah penyayang terhadap hamba-hamba Allah.

Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-awwah artinya orang yang mempunyai keyakinan menurut bahasa Habsyah (Etiopia).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah artinya orang yang berkeyakinan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Ad-Dahhak.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan —begitu pula Mujahid— dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah artinya orang yang beriman. Menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, ditambahkan bahwa al-awwah artinya orang yang beriman lagi banyak bertobat.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah menurut bahasa Habsyah artinya orang yang mukmin. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Juraij, bahwa al-awwah menurut bahasa Habsyah artinya orang mukmin.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi 'ah, dari Al-Hari s ibnu Yazid, dari Ali ibnu Rabah, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada seorang lelaki yang dikenal dengan julukan "Zun Nijddain' (orang yang memiliki dua pedang), bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang lembut hatinya. Dikatakan demikian karena lelaki itu setiap disebutkan nama Allah di dalam Al-Qur'an, maka ia berdoa dengan suara yang keras. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Sa'id ibnu Jubair dan Asy-Sya'bi mengatakan bahwa al-awwah artinya orang yang suka bertasbih (salat)

Ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Abuz Zahiriyyah, dari Jubair ibnu Nafir, dari Abu Darda r.a. yang mengatakan, "Tiada yang dapat memelihara salat duha kecuali hanya orang yang berhati lemah lembut."

Syafi ibnu Mati', dari Ayyub, menyebutkan bahwa al-awwah artinya 'orang yang apabila teringat akan kesalahan-kesalahannya, maka ia memohon ampun kepada Allah darinya'.

Dari Mujahid, disebutkan bahwa al-awwah ialah orang yang memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia bertobat dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula. Semua riwayat di atas diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ يَنَّاقٍ: أَنَّ رَجُلًا كَانَ يُكْثِرُ ذِكْرَ اللَّهِ وَيُسَبِّحُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "إِنَّهُ أَوَّاهٌ"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Bayan, bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian perihalnya diceritakan kepada Nabi Saw. Maka Rasul Saw. bersabda: Sesungguhnya dia orang yang berhati lemah lembut.

قَالَ أَيْضًا حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيب، حَدَّثَنَا ابْنُ يَمَانٍ، حَدَّثَنَا المِنْهَال بْنُ خَلِيفَةَ، عَنْ حَجّاج بْنِ أَرْطَأَةَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفَنَ مَيِّتًا، فَقَالَ: "رَحِمَكَ اللَّهُ إِنْ كنتَ لَأَوَّاهًا"! يَعْنِي: تَلاءً لِلْقُرْآنِ

Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hani, telah menceritakan kepada kami Al-Minhal ibnu Khalifah, dari Hajjaj ibnu Artah, dari Ata, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau bersabda: Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang awwah. Yakni banyak membaca Al-Qur'an.

Syu'bah telah meriwayatkan dari Abu Yunus Al-Bahili yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang laki-laki dari Mekkah yang aslinya berasal dari Romawi, dia ahli cerita. Dia menceritakan hadis ini dari Abu Zar yang telah mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki tawaf di Baitullah seraya berdoa, dalam doanya itu ia selalu mengucapkan kata-kata, "Aduh. aduh." Ketika disebutkan hal itu kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda bahwa dia adalah orang yang banyak mengaduh, Abu Zar melanjutkan kisahnya.”Lalu ia keluar di suatu malam, tiba-tiba ia menjumpai Rasulullah Saw. sedang mengebumikan jenazah lelaki tersebut di malam hari seraya membawa pelita." Hadis ini garib. diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Telah diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar, bahwa ia mengatakan bahwa ia telah mendengar firman-Nya: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114) Perawi mengatakan, tersebutlah apabila Ka'bul Ahbar teringat kepada neraka, maka ia selalu mengatakan, "Aduh, semoga dijauhkan dari neraka."

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih, yakni ahli fiqih.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah artinya banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Swt. telah menyebutkan bahwa Ibrahim a.s. tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan karena dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya. Nabi Ibrahim adalah orang yang banyak berdoa lagi penyantun terhadap orang yang berbuat aniaya dan orang yang menimpakan hal-hal yang tidak disukai terhadap dirinya. Karena itulah maka Nabi Ibrahim memohonkan ampun kepada Allah untuk bapaknya, sekalipun bapaknya itu sangat menyakitinya, seperti yang dikisahkan oleh firman-Nya:

أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لأرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا. قَالَ سَلامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

Berkata bapaknya, "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” Berkata Ibrahim, "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 46-47)

Ternyata Nabi Ibrahim bersikap penyantun terhadap bapaknya, sekalipun bapaknya menyakitinya. Beliau bahkan berdoa dan memohonkan ampun untuknya. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)


وَمَا كَانَ ٱسْتِغْفَارُ إِبْرَٰهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَن مَّوْعِدَةٍۢ وَعَدَهَآ إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥٓ أَنَّهُۥ عَدُوٌّۭ لِّلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ لَأَوَّٰهٌ حَلِيمٌۭ 114

(114) Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

(114) 

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat. Nabi Saw. bermaksud memohonkan ampun kepada Allah buat ibunya, tetapi Allah Swt. melarangnya melakukan hal tersebut. Maka Nabi Saw. berkata, "Sesungguhnya Ibrahim kekasih Allah telah memohonkan ampun kepada Engkau buat ayahnya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. (At-Taubah: 114), hingga akhir ayat.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa pada awal mulanya mereka memohonkan ampun kepada Allah buat orang tua-orang tua mereka (di masa Jahiliah), hingga ayat ini diturunkan. Maka sejak itu mereka tidak lagi memohonkan ampun buat orang-orang mati mereka (di masa Jahiliah). Mereka juga tidak dilarang memohonkan ampun kepada Allah buat orang-orang yang masih hidup sebelum matinya, kemudian Allah menurunkan firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tiada lain. (At-Taubah: 114), hingga akhir ayat.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini: telah diceritakan kepada kami bahwa pernah ada sejumlah sahabat Nabi Saw. bertanya, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya di antara bapak-bapak kita ada yang selalu berbuat baik kepada tetangganya, menghubungkan silaturahmi, menolong orang-orang yang kesusahan, dan menunaikan janji-janjinya. Maka bolehkah kami memohonkan ampun kepada Allah buat mereka?" Nabi Saw. bersabda, "Memang benar, demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar akan memohonkan ampun kepada Al­lah buat ayahku, sebagaimana Ibrahim memohonkan ampun kepada Allah buat bapaknya." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113) sampai dengan firman-Nya: adalah penghuni neraka Jahim. (At-Taubah: 113) Kemudian Allah Swt. membela Nabi Ibrahim a.s. melalui firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tiada lain. (At-Taubah: 114), hingga akhir ayat.

Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. telah bersabda:

"أَوْحِيَ إِلَيَّ كَلِمَاتٌ، فَدَخَلْنَ فِي أُذُنِي ووقَرْن فِي قَلْبِي: أمِرْتُ أَلَّا أستغفرَ لِمَنْ مَاتَ مُشْرِكًا، وَمَنْ أَعْطَى فَضْلَ مَالِهِ فَهُوَ خيرٌ لَهُ، وَمَنْ أَمْسَكَ فَهُوَ شرٌ لَهُ، وَلَا يَلُومُ اللَّهُ عَلَى كَفاف".

Allah telah mewahyukan kepadaku beberapa kalimat yang kudengar dengan baik dan menetap tinggal di hatiku, yaitu aku diperintahkan agar tidak memohonkan ampun untuk orang yang mati dalam keadaan musyrik. Barang siapa yang memberikan lebihan dari hartanya, maka hal itu lebih baik baginya; dan barang siapa yang memegangnya, maka hal itu lebih buruk baginya, tetapi tidaklah Allah mencela orang yang beroleh pas-pasan.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Asy-Syaibani, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki Yahudi mati meninggalkan seorang anak lelaki yang muslim. Maka anaknya itu tidak keluar mengantarkan jenazah ayahnya. Ketika hal tersebut diceritakan kepada Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas berkata bahwa seharusnya dia ikut berjalan mengiringinya dan mengebumikannya serta mendoakan kebaikan baginya selagi ayahnya masih hidup. Tetapi apabila ayahnya telah mati, hendaklah ia menyerahkan nasib ayahnya itu kepada ayahnya sendiri. Lalu Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tiada lain. (At-Taubah: 114) sampai dengan firman-Nya: maka Ibrahim berlepas diri darinya. (At-Taubah: 114) Yaitu tidak mendoakannya lagi.

Kesahihan riwayat ini terbuktikan melalui apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan lain-lainnya melalui Ali r.a. Bahwa ketika Abu Talib meninggal dunia, aku (Ali) berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya pamanmu —syekh yang sesat itu— telah meninggal dunia." Maka Nabi Saw. bersabda, ”Pergilah kamu dan kebumikanlah jenazahnya, dan janganlah engkau menceritakan sesuatu pun mengenai diriku sebelum kamu datang kepadaku." Lalu Imam Abu Daud menceritakan hadis ini hingga selesai.

Diriwayatkan pula bahwa ketika iringan jenazah Abu Talib —paman Nabi Saw.— melewatinya, maka beliau Saw. berkata:

"وَصَلتكَ رَحِمٌ يَا عَمِّ"

“semoga rahmat mencapaimu hai paman.”

Ata ibnu Abu Rabah pernah mengatakan bahwa ia tidak akan meninggal­kan permohonan rahmat (ampunan) buat seorang pun dari kalangan ahli kiblat, sekalipun dia adalah seorang wanita Habsyah yang mengandung karena zina; karena sesungguhnya dia belum pernah mendengar Allah melarang memohonkan rahmat kecuali hanya terhadap orang-orang musyrik. Allah Swt. telah berfirman: Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. (At-Taubah: 113), hingga akhir ayat.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Waki', dari ayahnya, dari Ismah ibnu Ramil, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah berkata, "Semoga Allah merahmati orang lelaki yang me­mohonkan ampun kepada Allah untuk Abu Hurairah dan ibunya." Aku bertanya," Juga buat ayah Abu Hurairah." Abu Hurairah menjawab, "Tidak, karena sesungguhnya ayahku mati dalam keadaan musyrik."

*******************

Firman Allah Swt.:

فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ

Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. (At-Taubah: 114)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Ibrahim masih terus memohonkan ampun kepada Allah untuk bapaknya hingga bapaknya meninggal dunia. Setelah nyata bagi Nabi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka berlepas dirilah ia dari ayahnya. Riwayat lain menyebutkan bahwa setelah ayahnya itu mati, jelaslah bagi Ibrahim a.s. bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, serta lain-lainnya.

Ubaid ibnu Umair dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berlepas diri dari bapaknya kelak di hari kiamat, yaitu di saat ia bersua dengan bapaknya yang wajahnya hitam legam. Lalu bapaknya berkata, "Hai Ibrahim, sesungguhnya dahulu aku mendurhakaimu, tetapi sekarang aku tidak akan mendurhakaimu lagi." Maka Ibrahim berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah berjanji kepadaku bahwa Engkau tidak akan membuatku terhina di hari manusia dibangkitkan. Maka kehinaan apalagi yang lebih berat daripada mempunyai seorang bapak yang dijauhkan dari rahmat." Maka dikatakan, "Lihatlah ke belakangmu." Maka tiba-tiba terdapat hewan kurban yang berlumuran darah yang telah diubah wujudnya menjadi dubuk. Kemudian dubuk itu ditarik dan diseret kakinya, lalu dilemparkan ke dalam neraka.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)

Sufyan As-Sauri dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa makna al-awwah ialah banyak berdoa. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Mas'ud.

وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى: حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ بَهْرام، حَدَّثَنَا شَهْر بْنُ حَوشب، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادِ بْنِ الْهَادِ قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْأَوَّاهُ؟ قَالَ: "الْمُتَضَرِّعُ"، قَالَ: إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepadaku Abdul Hamid ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab, dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had yang mengatakan bahwa ketika Nabi Saw. sedang duduk, seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah makna al-awwah?' Rasulullah Saw. menjawab bahwa al-awwah artinya orang yang sangat lembut hatinya. Allah Swt. telah berfirman: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (At Taubah : 114)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Ibnul Mubarak, dari Abdul Hamid ibnu Bahram dengan sanad yang sama, yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Al-awwah artinya sangat lembut hatinya lagi banyak berdoa.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari Mus­lim Al-Batin, dari Abul Gadir, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Mas'ud tentang makna al-awwah. Maka ia menjawab bahwa al-awwah artinya penyayang.

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Abu Maisarah Umar ibnu Syurahbil, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan lain-lainnya, bahwa makna al-awwah ialah penyayang terhadap hamba-hamba Allah.

Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-awwah artinya orang yang mempunyai keyakinan menurut bahasa Habsyah (Etiopia).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah artinya orang yang berkeyakinan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan Ad-Dahhak.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan —begitu pula Mujahid— dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah artinya orang yang beriman. Menurut riwayat Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, ditambahkan bahwa al-awwah artinya orang yang beriman lagi banyak bertobat.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa al-awwah menurut bahasa Habsyah artinya orang yang mukmin. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Juraij, bahwa al-awwah menurut bahasa Habsyah artinya orang mukmin.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi 'ah, dari Al-Hari s ibnu Yazid, dari Ali ibnu Rabah, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada seorang lelaki yang dikenal dengan julukan "Zun Nijddain' (orang yang memiliki dua pedang), bahwa sesungguhnya dia adalah orang yang lembut hatinya. Dikatakan demikian karena lelaki itu setiap disebutkan nama Allah di dalam Al-Qur'an, maka ia berdoa dengan suara yang keras. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir.

Sa'id ibnu Jubair dan Asy-Sya'bi mengatakan bahwa al-awwah artinya orang yang suka bertasbih (salat)

Ibnu Wahb telah meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Abuz Zahiriyyah, dari Jubair ibnu Nafir, dari Abu Darda r.a. yang mengatakan, "Tiada yang dapat memelihara salat duha kecuali hanya orang yang berhati lemah lembut."

Syafi ibnu Mati', dari Ayyub, menyebutkan bahwa al-awwah artinya 'orang yang apabila teringat akan kesalahan-kesalahannya, maka ia memohon ampun kepada Allah darinya'.

Dari Mujahid, disebutkan bahwa al-awwah ialah orang yang memelihara diri, yakni seseorang yang berbuat dosa secara sembunyi-sembunyi, lalu ia bertobat dari dosanya itu dengan sembunyi-sembunyi pula. Semua riwayat di atas diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ وَكِيع، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ يَنَّاقٍ: أَنَّ رَجُلًا كَانَ يُكْثِرُ ذِكْرَ اللَّهِ وَيُسَبِّحُ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "إِنَّهُ أَوَّاهٌ"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, dari Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Al-Hasan ibnu Muslim ibnu Bayan, bahwa pernah ada seorang lelaki yang banyak berzikir dan bertasbih kepada Allah. Kemudian perihalnya diceritakan kepada Nabi Saw. Maka Rasul Saw. bersabda: Sesungguhnya dia orang yang berhati lemah lembut.

قَالَ أَيْضًا حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيب، حَدَّثَنَا ابْنُ يَمَانٍ، حَدَّثَنَا المِنْهَال بْنُ خَلِيفَةَ، عَنْ حَجّاج بْنِ أَرْطَأَةَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَفَنَ مَيِّتًا، فَقَالَ: "رَحِمَكَ اللَّهُ إِنْ كنتَ لَأَوَّاهًا"! يَعْنِي: تَلاءً لِلْقُرْآنِ

Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hani, telah menceritakan kepada kami Al-Minhal ibnu Khalifah, dari Hajjaj ibnu Artah, dari Ata, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah mengubur jenazah seseorang, lalu beliau bersabda: Semoga Allah merahmati engkau, sesungguhnya engkau adalah orang yang awwah. Yakni banyak membaca Al-Qur'an.

Syu'bah telah meriwayatkan dari Abu Yunus Al-Bahili yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang laki-laki dari Mekkah yang aslinya berasal dari Romawi, dia ahli cerita. Dia menceritakan hadis ini dari Abu Zar yang telah mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki tawaf di Baitullah seraya berdoa, dalam doanya itu ia selalu mengucapkan kata-kata, "Aduh. aduh." Ketika disebutkan hal itu kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda bahwa dia adalah orang yang banyak mengaduh, Abu Zar melanjutkan kisahnya.”Lalu ia keluar di suatu malam, tiba-tiba ia menjumpai Rasulullah Saw. sedang mengebumikan jenazah lelaki tersebut di malam hari seraya membawa pelita." Hadis ini garib. diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Telah diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar, bahwa ia mengatakan bahwa ia telah mendengar firman-Nya: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114) Perawi mengatakan, tersebutlah apabila Ka'bul Ahbar teringat kepada neraka, maka ia selalu mengatakan, "Aduh, semoga dijauhkan dari neraka."

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114) Yang dimaksud dengan awwah ialah faqih, yakni ahli fiqih.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang paling utama ialah yang mengatakan bahwa al-awwah artinya banyak berdoa, ini sesuai dengan konteks, karena Allah Swt. telah menyebutkan bahwa Ibrahim a.s. tidak sekali-kali memintakan ampun kepada Allah untuk bapaknya, melainkan karena dia telah berjanji akan melakukannya buat bapaknya. Nabi Ibrahim adalah orang yang banyak berdoa lagi penyantun terhadap orang yang berbuat aniaya dan orang yang menimpakan hal-hal yang tidak disukai terhadap dirinya. Karena itulah maka Nabi Ibrahim memohonkan ampun kepada Allah untuk bapaknya, sekalipun bapaknya itu sangat menyakitinya, seperti yang dikisahkan oleh firman-Nya:

أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لأرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا. قَالَ سَلامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

Berkata bapaknya, "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” Berkata Ibrahim, "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 46-47)

Ternyata Nabi Ibrahim bersikap penyantun terhadap bapaknya, sekalipun bapaknya menyakitinya. Beliau bahkan berdoa dan memohonkan ampun untuknya. Karena itulah dalam akhir ayat ini disebutkan:

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (At-Taubah: 114)


وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًۢا بَعْدَ إِذْ هَدَىٰهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُم مَّا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ 115

(115) Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(115) 

Allah Swt. menceritakan perihal Diri-Nya Yang Maha Mulia dan hukum­Nya yang adil, bahwa sesungguhnya Dia tidak akan menyesatkan suatu kaum, melainkan sesudah disampaikan kepada mereka risalah dari sisi­Nya, sehingga hujah telah ditegakkan atas mereka. Seperti yang di­sebutkan di dalam firman-Nya:

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى

Dan adapun kaum Samud, maka mereka telah Kami beri petunjuk. (Fushshilat: 17), hingga akhir ayat.

Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt.: Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka. (At-Taubah: 115), hingga akhir ayat. Hal ini merupakan penjelasan dari Allah Swt. kepada orang-orang mukmin dalam masalah tidak memohonkan ampun kepada-Nya khusus bagi kaum musyrik. Dan di dalam penjelasan-Nya untuk mereka biasanya terkandung larangan dan perintah-Nya secara umum. Dengan kata lain, kerjakanlah atau tinggalkanlah.

Ibnu Jarir mengatakan, Allah Swt. berfirman bahwa tidak sekali-kali Allah akan memutuskan terhadap kalian kesesatan karena kalian telah memintakan ampun kepada-Nya buat orang-orang mati kalian yang musyrik, padahal Allah telah memberikan hidayah kepada kalian dan memberikan taufik-Nya kepada kalian untuk beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Terkecuali jika Dia telah menyodorkan larangan hal itu kepada kalian, maka kalian harus meninggalkannya. Adapun sebelum dijelaskan kepada kalian bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang, kemudian kalian melakukannya, maka kalian tidak akan dihukumi sebagai orang-orang yang melakukan kesesatan. Sesungguhnya maksiat dan taat itu hanyalah berdasarkan perintah dan larangan. Adapun terhadap hal-hal yang tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang, maka melakukannya bukan terbilang sebagai orang yang taat, tidak pula sebagai orang yang durhaka.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ

Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagi kalian selain Allah. (At-Taubah: 116)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian anjuran dari Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memerangi orang-orang musyrik dan pemimpin kekufuran. Dan hendaknyalah mereka percaya akan pertolongan Allah, Raja langit dan bumi; dan janganlah mereka merasa gentar dalam menghadapi musuh-musuhnya, karena sesungguhnya tidak ada pelindung bagi mereka dan tidak ada penolong bagi mereka selain Dia.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي دُلَامَةَ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ صَفْوَانِ بْنِ مُحْرِز، عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ إِذْ قَالَ لَهُمْ: "هَلْ تَسْمَعُونَ مَا أَسْمَعُ؟ " قَالُوا مَا نَسْمَعُ مِنْ شَيْءٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي لَأَسْمَعُ أَطِيطَ السَّمَاءِ، وَمَا تُلَامُ أَنْ تَئطَّ، وَمَا فِيهَا مِنْ مَوْضِعِ شِبْرٍ إِلَّا وَعَلَيْهِ مَلَكٌ سَاجِدٌ أَوْ قَائِمٌ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abu Dilamah Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Safwan ibnu Muharriz, dari Hakim ibnu Hizam yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. berada di antara para sahabatnya, tiba-tiba beliau Saw. bertanya kepada mereka, "Apakah kalian mendengar apa yang saya dengar?" Mereka menjawab, "Kami tidak mendengar sesuatupun." Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya aku mendengar suara gemuruh langit, tetapi tidaklah dicela bila langit mengeluarkan suara gemuruh, karena tiada suatu jengkal tempat pun darinya melainkan padanya terdapat seorang malaikat sedang sujud atau sedang berdiri.

Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa tidak ada suatu tempat sebesar lubang jarum pun dari bumi ini melainkan padanya terdapat malaikat yang ditugaskan menjaganya dan melaporkan pengetahuan hal tersebut kepada Allah. Dan sesungguhnya jumlah malaikat langit benar-benar lebih banyak daripada bilangan pasir. Dan sesungguhnya malaikat penyangga 'Arasy itu panjang antara tumit kaki seseorang dari mereka sampai kepada betisnya sama dengan perjalanan seratus tahun.


إِنَّ ٱللَّهَ لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ يُحْىِۦ وَيُمِيتُ ۚ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِن وَلِىٍّۢ وَلَا نَصِيرٍۢ 116

(116) Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah.

(116) 

Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ

Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagi kalian selain Allah. (At-Taubah: 116)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian anjuran dari Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memerangi orang-orang musyrik dan pemimpin kekufuran. Dan hendaknyalah mereka percaya akan pertolongan Allah, Raja langit dan bumi; dan janganlah mereka merasa gentar dalam menghadapi musuh-musuhnya, karena sesungguhnya tidak ada pelindung bagi mereka dan tidak ada penolong bagi mereka selain Dia.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي دُلَامَةَ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ صَفْوَانِ بْنِ مُحْرِز، عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَصْحَابِهِ إِذْ قَالَ لَهُمْ: "هَلْ تَسْمَعُونَ مَا أَسْمَعُ؟ " قَالُوا مَا نَسْمَعُ مِنْ شَيْءٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي لَأَسْمَعُ أَطِيطَ السَّمَاءِ، وَمَا تُلَامُ أَنْ تَئطَّ، وَمَا فِيهَا مِنْ مَوْضِعِ شِبْرٍ إِلَّا وَعَلَيْهِ مَلَكٌ سَاجِدٌ أَوْ قَائِمٌ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abu Dilamah Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Safwan ibnu Muharriz, dari Hakim ibnu Hizam yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. berada di antara para sahabatnya, tiba-tiba beliau Saw. bertanya kepada mereka, "Apakah kalian mendengar apa yang saya dengar?" Mereka menjawab, "Kami tidak mendengar sesuatupun." Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya aku mendengar suara gemuruh langit, tetapi tidaklah dicela bila langit mengeluarkan suara gemuruh, karena tiada suatu jengkal tempat pun darinya melainkan padanya terdapat seorang malaikat sedang sujud atau sedang berdiri.

Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa tidak ada suatu tempat sebesar lubang jarum pun dari bumi ini melainkan padanya terdapat malaikat yang ditugaskan menjaganya dan melaporkan pengetahuan hal tersebut kepada Allah. Dan sesungguhnya jumlah malaikat langit benar-benar lebih banyak daripada bilangan pasir. Dan sesungguhnya malaikat penyangga 'Arasy itu panjang antara tumit kaki seseorang dari mereka sampai kepada betisnya sama dengan perjalanan seratus tahun.


لَّقَد تَّابَ ٱللَّهُ عَلَى ٱلنَّبِىِّ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُ فِى سَاعَةِ ٱلْعُسْرَةِ مِنۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍۢ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُۥ بِهِمْ رَءُوفٌۭ رَّحِيمٌۭ 117

(117) Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka,

(117) 

Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan dalam Perang Tabuk. Demikian itu karena mereka berangkat menuju medan Tabuk dalam situasi yang sangat berat, yaitu di musim kering, panas yang terik, serta sulit untuk mendapat bekal dan air.

Qatadah mengatakan bahwa mereka berangkat menuju negeri Syam —yaitu medan Tabuk— dalam musim panas yang sangat terik dan musim paceklik. Mereka mengalami musim paceklik yang berat tahun itu, sehingga disebutkan bahwa ada dua orang lelaki membagi dua sebiji buah kurma di antara keduanya. Tersebut pula bahwa sejumlah pasukan terbiasa silih berganti mengisap sebiji kurma di antara sesama mereka, setelah itu barulah minum air. Kemudian sebiji kurma itu berpindah tangan ke yang lain, setelah minum diberikannya kepada yang belum. Akhirnya Allah menerima tobat mereka dan memulangkan mereka dari medan perangnya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Hari s, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Atabah, dari Nafi' ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa pernah ditanyakan kepada Umar ibnul Khattab tentang kisah pasukan Usrah. Maka Umar ibnul Khattab menjawab, "Kami berangkat ke medan Perang Tabuk dengan Rasulullah Saw. di tengah musim panas yang keras. Lalu kami turun istirahat di suatu tempat, karena saat itu kami mengalami kehausan, sehingga kami merasa seakan-akan leher kami akan terputus (mati kehausan). Sesungguhnya seseorang di antara kami pergi untuk mencari air, tetapi ia tidak mendapatkannya sehingga ia menduga bahwa lehernya terputus. Dan ada seorang lelaki menyembelih untanya, lalu memeras bagian perut unta yang mengandung air, kemudian meminumnya, lalu sisanya ia siramkan ke dadanya. Maka Abu Bakar berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menjanjikan kebaikan kepadamu dalam berdoa, maka doakanlah buat kami.' Rasul Saw. bertanya, 'Apakah kamu suka hal itu?' Abu Bakar menjawab, 'Ya.' Maka Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Sebelum beliau menurunkan kedua tangannya, langit menurunkan hujan yang lebat, kemudian keadaan menjadi tenang. Maka mereka memenuhi semua wadah yang mereka bawa dengan air. Kemudian kami berangkat memeriksa, dan ternyata hujan itu tidak melampaui markas pasukan kaum muslim."

Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan. (At-Taubah: 117) Yakni sulit mendapat biaya, kendaraan, bekal, dan air. setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling. (At-Taubah: 117) Artinya, berpaling dari kebenaran, merasa ragu kepada agama Rasulullah Saw., serta bimbang karena masyaqat dan kesengsaraan yang mereka alami dalam perjalanan mereka menuju medan perang. kemudian Allah menerima tobat mereka itu. (At-Taubah: 117) Yakni kemudian Allah mengilhamkan kepada mereka bertobat kepada-Nya dan kembali teguh dalam membela agama-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. (At-Taubah: 117)