2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ 177

(177) Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

(177) 

Ayat yang mulia ini mengandung kalimat-kalimat yang agung, kaidah-kaidah yang luas, dan akidah yang lurus. Seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim:

حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبيد بْنُ هِشَامٍ الْحَلَبِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ عَامِرِ بْنِ شُفَي، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ: أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَتَلَا عَلَيْهِ: لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ. قَالَ: ثُمَّ سَأَلَهُ أَيْضًا، فَتَلَاهَا عَلَيْهِ ثُمَّ سَأَلَهُ. فَقَالَ: "إِذَا عَمِلْتَ حَسَنَةً أَحَبَّهَا قَلْبُكَ، وَإِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً أَبْغَضَهَا قَلْبُكَ"

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Hisyam Al-Halbi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Amr, dari Amir ibnu Syafi, dari Abdul Karim, dari Mujahid, dari Abu Zar r.a., telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang iman, "Apakah yang dinamakan iman itu?" Maka Rasulullah Saw. membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar kembali bertanya, dan Rasulullah Saw. membacakan lagi ayat ini kepadanya. Kemudian Abu Zar bertanya lagi, maka Rasul Saw. menjawab: Apabila kamu hendak mengerjakan suatu kebaikan, maka buatlah hatimu cinta kepadanya; dan apabila kamu hendak melakukan suatu keburukan, maka buatlah hatimu benci kepadanya.

Akan tetapi, hadis ini berpredikat munqati (terputus mata rantai sanadnya), mengingat Mujahid sebenarnya belum pernah bersua dengan sahabat Abu Zar, karena Abu Zar telah meninggal dunia di masa sebelumnya.

قَالَ الْمَسْعُودِيُّ: حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي ذَرٍّ، فَقَالَ: مَا الْإِيمَانُ؟ فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ: لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ حَتَّى فَرَغَ مِنْهَا. فَقَالَ الرَّجُلُ: لَيْسَ عَنِ الْبَرِّ سألتُكَ. فَقَالَ أَبُو ذَرٍّ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَمَّا سَأَلْتَنِي عَنْهُ، فَقَرَأَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ، فَأَبَى أن يرضى كما أبيت [أنت] أن تَرْضَى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ -: "الْمُؤْمِنُ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً سَرته وَرَجَا ثَوَابَهَا، وَإِذَا عَمِلَ سَيِّئَةً أَحْزَنَتْهُ وَخَافَ عِقَابَهَا"

Al-Mas'udi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim Abdur Rahman, bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Abu Zar, lalu lelaki itu bertanya, "Apakah iman itu?" Kemudian Abu Zar membacakan kepadanya ayat berikut: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Kemudian lelaki itu berkata, "Yang kutanyakan kepadamu bukanlah masalah kebajikan." Maka Abu Zar r.a. menceritakan kepadanya bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu menanyakan kepadanya seperti pertanyaan yang baru kamu ajukan kepadaku, maka beliau Saw. membacakan ayat ini kepadanya. Akan tetapi, lelaki itu masih kurang puas sebagaimana kamu kurang puas. Maka akhirnya Rasulullah Saw. bersabda kepadanya dan mengisyaratkan dengan tangannya: Orang mukmin itu apabila melakukan suatu kebaikan, ia merasa gembira dan mengharapkan pahalanya; dan apabila dia mengerjakan suatu keburukan (dosa), maka hatinya sedih dan takut akan siksaannya.

Hadis riwayat Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berpredikat munqati' pula.

Pembahasan mengenai tafsir ayat ini ialah: Sesungguhnya Allah Swt. setelah memerintahkan kepada orang-orang mukmin pada mulanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, lalu Allah memalingkan mereka ke arah Ka'bah, maka hal tersebut terasa berat oleh segolongan orang-orang dari kalangan Ahli Kitab dan sebagian kaum muslim. Maka Allah Swt. menurunkan penjelasan hikmah yang terkandung di dalam hal tersebut. Yang intinya berisikan bahwa tujuan utama dari hal tersebut tiada lain adalah taat kepada Allah dan mengerjakan perintah-perintah-Nya dengan patuh, serta menghadap ke arah mana yang dikehendaki-Nya dan mengikuti apa yang telah disyariatkan-Nya.

Demikianlah makna kebajikan, takwa, dan iman yang sempurna; dan kebajikan serta ketaatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepatuhan menghadap ke arah timur atau barat, jika bukan karena perintah Allah dan syariatnya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat.

Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam masalah kurban dan menyembelih hadyu, yaitu firman-Nya:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan kalianlah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kebajikan itu bukanlah kalian melakukan salat tetapi tidak beramal. Hal ini diturunkan ketika Nabi Saw. hijrah dari Mekah ke Madinah, dan diturunkan hukum-hukum fardu dan hukum-hukum had, maka Allah memerintahkan mereka untuk mengerjakan fardu-fardu dan mengamalkannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ad-Dahhak serta Muqatil.

Abul Aliyah mengatakan bahwa orang-orang Yahudi menghadap ke arah barat, dan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatii kebajikan. (Al-Baqarah: 177) Apa yang dibahas oleh ayat ini adalah iman dan hakikatnya, yaitu pengalamannya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Al-Hasan serta Ar-Rabi' ibnu Anas.

Mujahid mengatakan, "Kebajikan yang sesungguhnya ialah ketaatan kepada Allah Swt. yang telah meresap ke dalam hati."

Ad-Dahhak mengatakan bahwa kebajikan dan ketakwaan itu ialah bila kalian menunaikan fardu-fardu sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.

As-Sauri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177), hingga akhir ayat. Semua yang disebutkan oleh ayat ini merupakan aneka ragam kebajikan.

Memang benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Sauri ini, karena sesungguhnya orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan oleh ayat ini berarti dia telah memasukkan dirinya ke dalam ikatan Islam secara keseluruhan dan mengamalkan semua kebaikan secara menyeluruh; yaitu iman kepada Allah dan tidak ada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, juga beriman kepada para malaikat yang merupakan duta-duta antara Allah dan rasul-rasul-Nya.

Wal kitabi, merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua kitab yang diturunkan dari langit kepada para nabi hingga diakhiri dengan yang paling mulia di antara semuanya, yaitu kitab Al-Qur'an yang isinya mencakup semua kitab sebelumnya, berakhir padanya semua kebaikan, serta mengandung semua kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dengan diturunkan-Nya Al-Qur'an, maka di-na-sakh-lah semua kitab sebelumnya, di dalamnya terdapat anjuran beriman kepada semua nabi Allah dari permulaan hingga yang paling akhir, yaitu Nabi Muhammad Saw.

*********

Firman Allah Swt.:

وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ

dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)

Yakni mengeluarkannya, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnu Jubair, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahihain dari hadis Abu Hurairah secara marfu', yaitu:

"أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى، وَتَخْشَى الْفَقْرَ".

Sedekah yang paling ulama ialah bila kamu mengeluarkannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit bercita-cita ingin kaya dan takut jatuh miskin.

وَقَدْ رَوَى الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ، مِنْ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَالثَّوْرِيِّ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ زُبَيد، عَنْ مُرَّة، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ أَنْ تُعْطِيَهُ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَأْمُلُ الْغِنَى وَتَخْشَى الْفَقْرَ".

Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Syu'bah dan As-Sauri, dari Mansur, dari Zubair, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: "Dan memberikan harta yang dicintainya" (Al-Baqarah: 177), yaitu hendaknya kamu memberikannya, sedangkan kamu dalam keadaan sehat lagi pelit, mengharapkan kecukupan dan takut jatuh miskin.

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya.

Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Waki', dari Al-A'masy, dan Sufyan, dari Zubaid, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf dan lebih sahih.

Allah Swt. telah berfirman:

وَيُطْعِمُونَ الطَّعامَ عَلى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيماً وَأَسِيراً. إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزاءً وَلا شُكُوراً

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih. (Al-Insan: 8-9)

لَنْ تَنالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92)

وَيُؤْثِرُونَ عَلى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. (Al-Hasyr: 9)

Apa yang telah disebutkan oleh ketiga ayat di atas merupakan jenis lain dari cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya daripada yang disebutkan oleh ayat ini (Al-Baqarah: 177). Demikian itu karena mereka lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukannya, tetapi mereka tetap memberikannya dan memberi makan orang-orang lain dari harta yang mereka sendiri mencintai dan memerlukannya.

Yang dimaksud dengan Zawil Qurba dalam ayat ini ialah kaum kerabat lelaki yang bersangkutan, mereka adalah orang-orang yang lebih utama untuk diberi sedekah. Seperti yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:

«الصَّدَقَةُ عَلَى الْمَسَاكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ، فَهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِكَ وَبِبِرِّكَ وَإِعْطَائِكَ»

Sedekah kepada orang-orang miskin adalah suatu sedekah, dan sedekah kepada kerabat merupakan dua amal, yaitu sedekah dan silaturahmi. Karena kaum kerabat adalah orang-orang yang lebih utama bagimu untuk mendapatkan kebajikan dan pemberianmu.

Allah Swt. telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, hal ini diutarakan-Nya bukan hanya pada satu tempat dari kitab-Nya.

Wal yatama, yang dimaksud dengan anak-anak yatim ialah mereka yang tidak mempunyai penghasilan, sedangkan ayah-ayah mereka telah tiada, mereka dalam keadaan lemah, masih kecil, dan berusia di bawah usia balig serta belum mampu mencari mata pencaharian. Sehubungan dengan masalah ini Abdur Razzaq mengatakan:

أَنْبَأَنَا مَعْمَر، عَنْ جُوَيْبِرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ النَّزَّالِ بْنِ سَبْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يُتْم بَعْدَ حُلُم".

telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Juwaibir, dari Ad-Dahhak, dari An-Nizal ibnu Sabrah, dari sahabat Ali, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tiada yatim lagi sesudah usia balig.

Wal masakin, mereka adalah orang-orang yang tidak dapat menemukan apa yang mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Untuk itu mereka diberi apa yang dapat memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari sahabat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَيْسَ الْمِسْكِينُ بهذا الطوَّاف الذي تَرده التمرة وَالتَّمْرَتَانِ وَاللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدق عَلَيْهِ.

Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling (meminta-minta) yang pergi setelah diberi sebutir atau dua butir kurma, dan sesuap atau dua suap makanan, tetapi orang miskin yang sesungguhnya ialah orang yang tidak mendapatkan apa yang mencukupinya, dan pula keadaan dirinya tidak diketahui (sebagai orang miskin) hingga mudah diberi sedekah.

Yang dimaksud dengan ibnu sabil ialah orang musafir jauh yang kehabisan bekalnya, untuk itu dia harus diberi bekal yang dapat memulangkannya ke tempat tinggalnya. Demikian pula halnya orang yang akan mengadakan perjalanan untuk tujuan ketaatan, ia boleh diberi bekal yang mencukupinya buat pulang pergi.

Termasuk ke dalam pengertian ibnu sabil ialah tamu, seperti yang dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Ibnu Sabil ialah tamu yang menginap di kalangan orang-orang muslim. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ja'far Al-Baqir, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Wassailina, mereka adalah orang-orang yang merelakan dirinya meminta-minta, maka mereka diberi dari sebagian harta zakat dan sedekah. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا وَكِيع وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا -قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ".

bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya (yakni Husain ibnu Ali), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak (untuk diberi), sekalipun dia datang dengan berkendaraan kuda. (Riwayat Imam Abu Daud)

Ar-Riqab, mereka adalah budak-budak mukatab yang tidak menemukan apa yang mereka jadikan untuk melunasi transaksi kitabahnya.

Pembahasan mengenai golongan tersebut nanti akan diterangkan di dalam ayat sedekah (zakat), bagian dari surat Al-Bara’ah (surat Taubah).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepadaku Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan kepadaku Fatimah binti Qais yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Apakah pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat?" Maka beliau membacakan ayat berikut kepadanya, yaitu firman-Nya: dan memberikan harta yang dicintainya. (Al-Baqarah: 177)

وَرَوَاهُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ، وَيَحْيَى بْنِ عَبْدِ الْحَمِيدِ، كِلَاهُمَا، عن شريك، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ" ثُمَّ تَلَا لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ إِلَى قَوْلِهِ: وَفِي الرِّقَابِ

Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Adam ibnu Abu Iyas dan Yahya ibnu Abdul Hamid, keduanya menerima hadis berikut dari Syarik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya'bi, dari Fatimah binti Qais yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Di dalam harta benda terdapat kewajiban selain zakat." Kemudian beliau membacakan firman-Nya, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan —sampai dengan firman-Nya—dan (memerdekakan) hamba sahaya" (Al-Baqarah: 177).

Hadis diketengahkan oleh Ibnu Majah dan Imam Turmuzi, tetapi Abu Hamzah (yakni Maimun Al-A'war, salah seorang perawinya) dinilai daif. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Sayyar dan Ismail ibnu Salim, dari Asy-Sya'bi.

Firman Allah Swt., "Wa-aqamas salata," artinya 'dan merampungkan semua pekerjaan salat pada waktunya masing-masing', yakni menyempurnakan rukuk-rukuknya, sujud-sujudnya, dan tumaninah serta khusyuknya sesuai dengan perintah syariat yang diridai.

Firman Allah Swt., "Wa-ataz zakata," artinya 'dan menunaikan zakat', tetapi dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian membersihkan jiwa dan membebaskannya dari akhlak-akhlak yang rendah lagi kotor, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها. وَقَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 9-1)

Ucapan Musa a.s. kepada Fir'aun yang disitir oleh firman-Nya:

هَلْ لَكَ إِلى أَنْ تَزَكَّى وَأَهْدِيَكَ إِلى رَبِّكَ فَتَخْشى

Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya?" (An-Nazi'at: 18-19)

Firman Allah Swt. yang mengatakan:

وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكاةَ

Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat. (Fushshilat: 6-7)

Dapat pula diartikan zakat harta benda, seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan. Dengan demikian, berarti hal yang telah disebutkan sebelumnya —yaitu memberikan sebagian harta kepada golongan-golongan yang telah disebutkan— hanyalah dianggap sebagai amal tatawwu' (sunat), kebajikan, dan silaturahmi. Sebagai dalilnya ialah hadis Fatimah binti Qais yang telah disebutkan di atas, yaitu yang menyatakan bahwa pada harta benda terdapat kewajiban selain zakat.

******

Firman Allah Swt.:

وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا

dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji. (Al-Baqarah: 177)

Ayat ini semakna dengan firman Allah Swt.:

الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلا يَنْقُضُونَ الْمِيثَاقَ

(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. (Ar-Ra'd: 2)

Kebalikan dari sifat ini adalah sifat munafik. Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:

"آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ".

Pertanda munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, berkhianat.

Di dalam hadis lainnya disebutkan seperti berikut:

:"إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ"

Apabila berbicara, berdusta; apabila berjanji, merusak (janjinya); dan apabila bersengketa, berbuat curang.

*********

Firman Allah Swt.:

وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ

dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. (Al-Baqarah: 177)

Yang dimaksud dengan ba-sa ialah dalam keadaan miskin dan fakir, sedangkan yang dimaksud dengan darra ialah dalam keadaan sakit dan kesusahan. Yang dimaksud dengan hinal ba-su ialah ketika peperangan sedang berkecamuk. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Murrah Al-Hamdani, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abu Malik, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.

Sesungguhnya lafaz sabirina di-nasab-kan karena mengandung pujian terhadap sikap sabar dan sekaligus sebagai anjuran untuk bersikap sabar dalam situasi seperti itu, mengingat situasinya sangat keras lagi sulit.

******

Firman Allah Swt.:

أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا

Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). (Al-Baqarah: 177)

Maksudnya, mereka yang memiliki sifat-sifat ini adalah orang-orang yang benar imannya, karena mereka merealisasikan iman hati dengan ucapan dan amal perbuatan; maka mereka itulah orang-orang yang benar. Mereka itulah orang-orang yang bertakwa, karena mereka memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan dan mengerjakan semua amal ketaatan.


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌۭ 178

(178) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

(178) 

Allah Swt. berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum qisas, hai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita; janganlah kalian melampaui batas dan jangan pula kalian berbuat aniaya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat kelewat batas karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas."

Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir. Di masa Jahiliah Bani Nadir berperang melawan Bani Quraizz dan dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa apabila seorang dari Bani Nadir membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si pembunuh tidak dikenakan hukum balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa seratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan dikenakan hukuman qisas (dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam hukum qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang merusak lagi menyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka karena ingkar dan melampaui batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى

Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178)

Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Al-Baqarah: 178) Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berperang di zaman Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka waktu yang tidak begitu lama. Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk budak-budak dan kaum wanita. Maka sebagian dari mereka belum sempat menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu dari kedua belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang menjadi lawannya dalam hal persenjataan dan harta benda (perbekalan). Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh karena membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Berkenaan dengan mereka itu turunlah firman-Nya: Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa."

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita. (Al-Baqarah: 178) Demikian itu membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena membunuh wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena membunuh lelaki lainnya, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita lainnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah: 45)

Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama mereka dengan sengaja; kaum lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka dalam kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus pelukaan di antara kaum lelaki dan kaum wanitanya.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: jiwa (dibalas) dengan jiwa. (Al-Maidah: 45)

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dihukum mati karena membunuh budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan Al-Hakam.

Imam Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan As-Sauri menurut salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum mati karena membunuh budaknya, karena keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah yang mengatakan:

"مَنْ قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ، وَمَنْ جَذَعَهُ جَذَعْنَاهُ، وَمَنْ خَصَاهُ خَصَيْنَاهُ"

Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula dia; dan barang siapa yang memotong hidung budaknya, maka kami potong pula hidungnya; dan barang siapa yang mengebiri budaknya, maka kami kebiri pula ia.

Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena membunuh budak, karena budak kedudukannya sama dengan barang dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh secara keliru (tidak sengaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan yang wajib hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam kasus pemotongan anggota tubuh, tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, berdasarkan sebuah hadis sahih yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"

Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang kafir.

Tidak ada suatu hadis atau asar sahih pun yang bertentangan dengan makna hadis ini.

Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum mati karena membunuh orang kafir, karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45.

Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa seorang lelaki tidak dihukum mati karena membunuh seorang wanita, berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 178. Berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah ayat 45. Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:

"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"

Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama lainnya).

Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, maka si suami tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh istrinya.

Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa sejumlah orang-orang terkena hukuman mati semuanya karena membunuh satu orang. Khalifah Umar r.a. pernah berkata dalam kasus seorang pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang, "Seandainya semua penduduk San'a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang menentang pendapatnya; yang demikian itu sama kedudukannya dengan ijma' (kesepakatan).

Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu jamaah tidak dibunuh karena hanya membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa itu dihukum mati kecuali karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian Ibnul Munzir mengatakan bahwa sanad riwayat ini lebih sahih, dan tidak ada hujah bagi orang yang membolehkan menghukum mati suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang. Sesungguhnya terbukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang pendapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, maka jalan keluarnya ialah mempertirnbangkannya.

************

Firman Allah Swt.:

فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ

Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)

Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf dalam kasus pembunuhan secara sengaja ialah menerima pembayaran diat.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya, yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut darah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan. Selanjutnya disebutkan: hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 178) Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang baik bila ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada. dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak.

Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang diberi maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan cara yang baik. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya. Begitu pula Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, juga Imam Syafii dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa pihak wali darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat, kecuali dengan kerelaan dari pihak si pembunuh. Sedangkan ulama lainnya berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun pihak si pembunuh tidak rela.

Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak untuk memberi maaf. Mereka yang mengatakan demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Lais, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya berpendapat berbeda.

*************

Firman Allah Swt.:

ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ

Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat. (Al-Baqarah: 178)

Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu keringanan dari Allah buat kalian dan merupakan suatu rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa yang berlaku di kalangan umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati atau memaafkan secara cuma-cuma.

Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di kalangan mereka. Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.): Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan sengaja. Yang demikian itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwajibkan atas kaum Bani Israil dan umat-umat sebelum kalian. hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)

Takwil ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja, melalui Amr. Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Amr ibnu Dinar; hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu Abbas.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 178) Semoga Allah merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi mereka makan hasil diat yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum yang berlaku di kalangan ahli Taurat hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat. Sedangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.

***********

Firman Allah Swt.:

فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (Al-Baqarah: 178)

Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil diat dari si terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat, maka baginya siksa Allah yang sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras.

Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Kesimpulan dari semuanya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas ialah orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya.

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ أَبِي الْعَوْجَاءِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْل فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ؛ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ. وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا"

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau pelukaan, maka sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara, yaitu: Adakalanya meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafnya, dan adakalanya mengambil diat. Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah kedua tangannya (lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. (Riwayat Imam Ahmad)

Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

"لا أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ -يَعْنِي: لَا أَقْبَلُ مِنْهُ الدِّيَةَ -بَلْ أَقْتُلُهُ"

Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si pembunuh) sesudah dia mengambil diat (darinya).

Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan kujalankan hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun.

************

Firman Allah Swt.:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ

Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)

Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar, yaitu jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.

Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)

Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan kelangsungan hidup bagi kalian; karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.

************

Firman Allah Swt.:

يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 179)

Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.


وَلَكُمْ فِى ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌۭ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 179

(179) Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

(179) 

Firman Allah Swt.:

يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 179)

Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.


كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ 180

(180) Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

(180) 

Ayat yang mulia ini mengandung perintah berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat. Pada mulanya hal ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang paling sahih di antara dua pendapat, yakni sebelum turunnya ayat mawaris (pembagian waris). Setelah ayat faraid (pembagian waris) diturunkan, maka ayat ini di-mansukh olehnya.

Dengan demikian, sejak diturunkan ayat faraid, maka bagian-bagian waris yang telah ditentukan merupakan hukum fardu dari Allah yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang bersangkutan dengan tegas tanpa melalui proses wasiat lagi. Hukum-hukum bagian waris ini tidak mengandung pengertian pemberian dari pihak orang yang berwasiat.

Karena itu, telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah dan kitab lainnya, melalui Amr ibnu Kharijah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw, berkhotbah, yang antara lain mengatakan:

"إِنِ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ"

Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak atas bagiannya (masing-masing), maka tidak ada lagi wasiat bagi ahli waris.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Abbas duduk di suatu majelis, lalu ia membaca surat Al-Baqarah sampai pada firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 18) Lalu ia mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Hasyim, dari Yunus dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, dan mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat keduanya (yakni Bukhari dan Muslim).

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya. (Al-Baqarah: 18) Pada mulanya tidak ada yang berhak mewaris selain dari ibu bapak, kecuali melalui proses wasiat bagi kaum kerabat. Maka Allah menurunkan ayat mira's (pembagian waris) dan menjelaskan padanya bagian waris dari ibu bapak, serta menetapkan wasiat buat kaum kerabat dalam sepertiga dari harta peninggalan si mayat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: berwasiat buat ibu bapak dan kaum kerabatnya. (Al-Baqarah: 18)

Ayat ini dimansukh oleh firman-Nya:

لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوالِدانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيباً مَفْرُوضاً

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa: 7)

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Abu Musa, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Sirin, Ikrimah, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, Tawus Ibrahim An-Nakha'i, Syuraih, Ad-Dahhak, dan Az-Zuhri, bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 18) telah dimansukh; yang me-mansukh-nya adalah ayatul miras (ayat yang menerangkan bagian-bagian tertentu dalam pewarisan).

Akan tetapi, yang mengherankan adalah pendapat yang dikatakan oleh Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi. Dia mengatakan di dalam kitab Tafsirul Kabir-nya, meriwayatkan pendapat Abu Muslim Al-Asfahani, bahwa ayat ini tidak di-mansukh, dan sesungguhnya ia hanya ditafsirkan oleh ayatul mawaris. Hal ini berarti makna yang dimaksud ialah diwajibkan atas kalian apa yang telah disyariatkan Allah kepada kalian tentang pembagian pusaka untuk ibu bapak dan kaum kerabat, yakni bagian dari firman-Nya:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ

Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11)

Selanjutnya Abu Abdullah Muhammad ibnu Umar Ar-Razi mengatakan, hal ini merupakan pendapat kebanyakan ahli tafsir dan ahli fiqih yang dianggap. Ia mengatakan pula bahwa di antara mereka ada yang mengatakan, sesungguhnya surat Al-Baqarah ayat 18 ini di-mansukh berkenaan dengan orang-orang yang mempunyai hak waris, dan tetap hukumnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai hak waris. Pendapat ini merupakan mazhab Ibnu Abbas, Al-Hasan, Masruq, Thawus, Ad-Dahhak, Muslim ibnu Yasar, dan Al-Ala ibnu Ziad.

Menurut kami, pendapat ini dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan; tetapi pendapat mereka ini menurut peristilahan di kalangan kami ulama mutaakhkhirin bukan dinamakan nasakh, karena ayatul mawaris hanyalah menghapus sebagian hukum yang ditunjukkan oleh keumuman makna ayat wasiat. Mengingat istilah kaum kerabat mencakup orang-orang yang mempunyai hak waris dan orang-orang yang tidak mempunyai hak waris, maka dihapuslah hukum yang menyangkut orang-orang yang berhak mewaris karena telah ada bagian tertentu baginya, sedangkan untuk yang lainnya yang tidak mempunyai bagian tertentu masih tetap berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh ayat pertama (Al-Baqarah ayat 18). Pengertian ini hanyalah berdasarkan interpretasi pendapat sebagian dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa wasiat itu pada permulaan Islam hanyalah sunat, hingga ia di-mansukh.

Menurut orang yang berpendapat bahwa hukum wasiat itu pada mulanya adalah wajib, seperti yang ditunjukkan oleh makna lahiriah konteks ayat, maka sudah dapat ditentukan bahwa ia di-mansukh oleh ayat miras. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan Mufassirin dan para ahli fiqih terkemuka. Mereka mengatakan, sesungguhnya hukum wajib berwasiat buat kedua orang tua dan kaum kerabat yang mewaris dimansukh oleh ayat miras menurut ijma', dan bahkan dilarang karena dalil hadis yang telah lalu, yaitu sabda Nabi Saw.: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang berhak (mewaris) bagiannya masing-masing. Maka tidak ada wasiat (lagi) bagi orang yang mewaris.

Ayat mengenai pembagian waris merupakan hukum menyendiri dan kewajiban dari sisi Allah buat orang-orang yang memiliki bagian tertentu dan asabah. Ayat ini menghapuskan hukum yang mewajibkan wasiat secara keseluruhan.

Dengan demikian, yang tertinggal adalah kaum kerabat yang tidak mempunyai bagian tertentu. Untuk mereka disunatkan berwasiat yang diambil dari sepertiga harta peninggalan, demi menghargai ayat wasiat dan keumuman maknanya; juga karena apa yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Umar r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ مَا مَرَّتْ عَلَيّ لَيْلَةً مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا وَعِنْدِي وَصِيَّتِي

Tiadalah kewajiban seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang akan ia wasiatkan, lalu ia lewatkan waktu selama dua malam, melainkan wasiatnya itu harus sudah tertulis di sisinya. Selanjutnya Ibnu Umar r.a. mengatakan, "Tidak sekali-kali lewat bagiku satu malam sejak aku mendengar hadis ini dari Rasulullah Saw. kecuali wasiatku telah kupersiapkan di sisiku."

Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Saw. yang menganjurkan berbuat baik kepada kaum kerabat dan menyantuni mereka sangat banyak.

قَالَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ مُبَارَكِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ نَافِعٍ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، ثِنْتَانِ لَمْ يَكُنْ لَكَ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا: جَعَلْتُ لَكَ نَصِيبًا فِي مَالِكَ حِينَ أَخَذْتُ بِكَظْمِكَ؛ لِأُطَهِّرَكَ بِهِ وَأُزَكِّيَكَ، وَصَلَاةُ عِبَادِي عَلَيْكَ بَعْدَ انْقِضَاءِ أَجَلِكَ".

Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Abdullah, dari Mubarak ibnu Hassan, dari Nafi' yang menceritakan, Abdullah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman, "Hai anak Adam, ada dua perkara yang tiada satu pun di antaranya merupakan milikmu: Aku jadikan buatmu suatu bagian pada harta milikmu di saat Aku menimpakan sakit kepadamu untuk membersihkan dan menyucikan dirimu melaluinya, dan salat hamba-hamba-Ku untukmu sesudah kamu menunaikan ajalmu (mati)."

**************

Firman Allah Swt.:

إِنْ تَرَكَ خَيْرًا

jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 18)

Yang dimaksud dengan khairan atau kebaikan ialah harta benda. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Atiyyah Al-Aufi, Ad-Dahhak, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Qatadah, dan lain-lainnya.

Kemudian sebagian di antara mereka mengatakan bahwa wasiat itu disyariatkan tanpa memandang apakah harta peninggalan berjumlah banyak ataupun sedikit, perihalnya sama dengan yang untuk ahli waris.

Di antara mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wasiat itu diwajibkan hanya bila orang yang bersangkutan meninggalkan harta yang berjumlah banyak. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai kadar yang termasuk jumlah banyak ini.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ali r.a. bahwa sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah Quraisy telah meninggal dunia dan meninggalkan harta sebanyak tiga ratus atau empat ratus dinar, tetapi ia tidak berwasiat. Maka Ali r.a. menjawab bahwa jumlah tersebut masih belum banyak, karena sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman: jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 18)

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa Ali r.a. masuk ke dalam rumah seorang lelaki dari kalangan kaumnya (Quraisy) untuk menjenguknya. Maka lelaki itu berkata kepadanya, "Apakah aku harus berwasiat?" Ali r.a. menjawab: "Sesungguhnya Allah Swt. hanya mengatakan dalam firman-Nya, ‘Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat' (Al-Baqarah: 18) Dan sesungguhnya harta yang kamu tinggalkan hanyalah berjumlah sedikit, maka biarkanlah untuk anakmu.”

Imam Hakim bin Iban mengatakan: pernah menceritakan kepadaku sebuah asar dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Jika ia meninggalkan harta yang banyak. (Al-Baqarah: 18) Maka Ibnu Abbas berkata, "Barang siapa yang tidak meninggalkan sejumlah enam puluh dinar, berarti dia tidak meninggalkan kebaikan (harta yang banyak)."

Imam Hakim mengatakan bahwa Tawus pernah mengatakan, "Masih belum dikatakan meninggalkan harta yang banyak seseorang yang tidak meninggalkan harta sejumlah delapan puluh dinar."

Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan harta yang banyak ialah sejumlah seribu dinar hingga lebih.

Yang dimaksud dengan bil ma'ruf ialah dengan cara yang baik dan lemah lembut.

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Diwajibkan atas kalian apabila seorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut. (Al-Baqarah: 18) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Sebaik-baik wasiat, yang merupakan perkara yang hak atas setiap orang muslim, ialah hendaknya ia berwasiat dengan cara yang makruf (bukan mungkar) apabila kedatangan tanda-tanda maut." Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah hendaknya dia berwasiat untuk kaum kerabatnya suatu wasiat yang tidak menghabiskan bagian ahli warisnya, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula terlalu pelit. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:

أَنَّ سَعْدًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي مَالًا وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي، أَفَأُوصِي بثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فبالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا" قَالَ: فَالثُّلُثُ ؟ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ؛ إِنَّكَ أن تذر ورثتك أغنياء خير من أن تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ".

Bahwa Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta yang banyak, sedangkan aku tidak mempunyai ahli waris selain anak perempuanku, maka bolehkah aku berwasiat dengan dua pertiga hartaku?" Rasul Saw. menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan separonya?" Rasul Saw. menjawab, "Tidak." Sa'd bertanya, "Bagaimana dengan sepertiga?" Rasul Saw. menjawab, "Sepertiga, ya sepertiga cukup banyak. Sesungguhnya kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, jauh lebih baik daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang lain."

Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan:

لَوْ أَنَّ النَّاسَ غَضوا مِنَ الثُّلُثِ إِلَى الرُّبُعِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ"

Seandainya orang-orang mengurangi sepertiga hingga seperempatnya (niscaya baik bagi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, "Sepertiga. Sepertiga itu cukup banyak."

رَوَى الْإِمَامُ أَحْمَدُ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، عَنْ ذَيَّالِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ حَنْظَلَةَ، سَمِعْتُ حَنْظَلَةَ بْنَ حِذْيَمِ بْنِ حَنِيفَةَ: أَنَّ جِدَّهُ حَنِيفَةَ أَوْصَى لِيَتِيمٍ فِي حِجْرِهِ بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى بَنِيهِ، فَارْتَفَعُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ حَنِيفَةُ: إِنِّي أَوْصَيْتُ لِيَتِيمٍ لِي بِمِائَةٍ مِنَ الْإِبِلِ، كُنَّا نُسَمِّيهَا الْمُطَيَّبَةَ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، "لَا لَا لَا. الصَّدَقَةُ: خَمْسٌ، وَإِلَّا فعَشْر، وَإِلَّا فَخَمْسَ عَشْرَةَ، وَإِلَّا فَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ، وَإِلَّا فَثَلَاثُونَ، وَإِلَّا فَخَمْسٌ وَثَلَاثُونَ، فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَأَرْبَعُونَ". وَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ

Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id maula Bani Hasyim, dari Ziad ibnu Atabah ibnu Hanzalah bahwa ia pernah mendengar Hanzalah ibnu Juzaim ibnu Hanifah menceritakan bahwa kakeknya yang bernama Hanifah pernah berwasiat seratus ekor unta untuk seorang anak yatim yang berada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut dirasakan amat berat bagi anak-anaknya, lalu mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Hanifah berkata, "Sesungguhnya aku mewasiatkan buat anak yatimku ini sebanyak seratus ekor unta. Unta-unta itu kami namakan Matiyyah." Maka Nabi Saw. menjawab: Tidak, tidak, tidak, sedekah (zakat) saja hanya seperlimanya. Jika tidak, maka sepuluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka lima belas ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka dua puluh lima ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh ekor unta saja; dan jika tidak, maka tiga puluh lima ekor unta saja. Akan tetapi, jika ternak unta berjumlah banyak, boleh empat puluh ekor unta. Lalu hadis ini dikemukakannya hingga selesai.

***********

Firman Allah Swt.:

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ

Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. (Al-Baqarah: 181)

Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya hingga menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya atau menguranginya, dan termasuk ke dalam pengertian ini ialah orang yang menyembunyikan wasiat secara lebih prioritasnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.

Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada di sisi Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang-orang yang mengubahnya."

إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 181)

Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia Maha Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang yang menerima wasiat.

**************

Firman Allah Swt.:

فَمَنْ خَافَ مِنْ مُوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا

(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa. (Al-Baqarah: 182)

Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi mengatakan bahwa al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini pengertiannya mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka menambahkan bagian salah seorang ahli waris dengan memakai suatu perantara atau suatu cara. Umpamanya bila ia mewasiatkan untuk menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang sangat murah, atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari anak perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perempuan, atau dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak sengaja —karena terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya tanpa berpikir terlebih dahulu— ataupun ia lakukan dengan sengaja tanpa memikirkan dosanya, maka dalam keadaan seperti ini si penerima harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap adil dalam menangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum syara'. Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh si mayat dengan meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum yang benar dan maksud yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, menggabungkan tujuan si pemberi wasiat dengan hukum syar'i. Perbaikan dan penyesuaian ini sama sekali bukan termasuk ke dalam pengertian mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf"-kan (dikaitkan) dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang, untuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda dengan cara pertama tadi.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ مَزيد، قِرَاءَةً، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ الزُّهْرِيُّ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ قَالَ: "يُرَدّ مِنْ صَدقة الْحَائِفِ فِي حَيَاتِهِ مَا يُرَدُّ مِنْ وَصِيَّةِ الْمُجْنِفِ عِنْدَ مَوْتِهِ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikembalikan sebagian dari sedekah orang yang aniaya selagi ia masih hidup, sebagaimana dikembalikan sebagian wasiat orang yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia.

Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Abbas ibnul Walid dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Walid ibnu Mazid melakukan kekeliruan padanya, perkataan ini hanyalah dari Urwah saja. Al-Walid ibnu Muslim meriwayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini ia tidak sampai kepada Urwah.

قَالَ ابْنُ مَرْدويه أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيِ هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْحَيْفُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ"

Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa besar.

Mengenai status rafa" hadis ini masih perlu dipertimbangkan.

Hadis yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Abdur Razzaq:

حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ أشعثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ ليعملُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سبعينَ سنة، فإذا أوصى حاف في وصيته فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ، فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ الرجل ليعمل بعَمَل أهل الشر سبعينَ سنة، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ، فيدخل الجنة"

telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia berwasiat, lalu ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia akan diakhiri dengan keburukan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia akan diakhiri dengan kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam surga.

Selanjutnya Abu Hurairah r.a. mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila kalian suka," yaitu firman-Nya: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. (Al-Baqarah: 229)


فَمَنۢ بَدَّلَهُۥ بَعْدَمَا سَمِعَهُۥ فَإِنَّمَآ إِثْمُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ 181

(181) Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

(181) 

Firman Allah Swt.:

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ

Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. (Al-Baqarah: 181)

Yakni barang siapa yang mengubah wasiat dan menyelewengkannya hingga menyimpang dari ketentuannya, baik dengan melebihkannya atau menguranginya, dan termasuk ke dalam pengertian ini ialah orang yang menyembunyikan wasiat secara lebih prioritasnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya.

Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan, "Pahala mayat tetap ada di sisi Allah, sedangkan dosa mengubah wasiat ditanggung oleh orang-orang yang mengubahnya."

إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 181)

Yakni Allah melihat apa yang diwasiatkan oleh si mayat, dan Dia Maha Mengetahui hal tersebut dan apa yang diubah oleh orang-orang yang menerima wasiat.