16 - النحل - An-Nahl

Juz : 14

The Bee
Meccan

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُۥ بَشَرٌۭ ۗ لِّسَانُ ٱلَّذِى يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِىٌّۭ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِىٌّۭ مُّبِينٌ 103

(103) Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.

(103) 

Allah Swt. menyebutkan tentang kedustaan, buat-buatan, dan kebohongan orang-orang musyrik dalam tuduhan mereka terhadap Nabi Saw., bahwa sesungguhnya Al-Qur'an yang dibacakan oleh Muhammad kepada mereka tiada lain diajarkan oleh seorang manusia kepadanya. Lalu mereka mengisyaratkan kepada seorang lelaki 'Ajam yang ada di antara mereka, yaitu seorang pelayan milik salah satu puak dari kabilah Quraisy. Lelaki itu seorang pedagang yang menjajakan barang-barangnya di Safa. Adakalanya Rasulullah Saw. duduk dengannya dan berbincang-bincang dengannya mengenai sesuatu hal.

Padahal orang tersebut berbahasa 'Ajam, tidak mengetahui bahasa Arab, atau hanya mengetahui sedikit bahasa Arab, menyangkut keperluannya yang darurat untuk berkomunikasi. Karena itulah Allah membantah tuduhan tersebut melalui firman-Nya:

لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ

Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedangkan Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (An-Nahl: 103)

Dengan kata lain, mana mungkin Al-Qur'an yang bahasanya sangat fasih, berparamasastra sangat tinggi, dan mengandung makna-makna yang sempurna lagi mencakup segalanya —yang menjadikannya jauh lebih sempurna daripada makna-makna yang terkandung di dalam semua kitab yang diturunkan kepada kaum Bani Israil— merupakan buah dari pelajaran yang diterimanya! Dan mana mungkin dia belajar dari seorang 'Ajam (non-Arab)! Jelas hal ini tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal rendah pun.

Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah mengatakan, "Dahulu Rasulullah Saw. —menurut berita yang sampai kepadaku— sering duduk di Marwah di tenda (jongko) seorang budak beragama Nasrani bernama Jabar, dia adalah seorang budak milik seseorang dari Banil Hadrami." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, "Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedangkan Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (An-Nahl: 103)

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdullah ibnu Kasir. Dari Ikrimah dan Qatadah, disebutkan bahwa nama budak itu Ya'isy.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Muhammad At-Tusi, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Tuhman, dari Muslim ibnu Abdullah Al-Malai, dari Mujahid, dari ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada seorang penyanyi di Mekah, namanya Bal'am, padahal dia berbahasa 'Ajam. Orang-orang musyrik melihat Rasulullah Saw. sering mengunjunginya, lalu mereka mengatakan, "Sesungguhnya dia diajari oleh Bal'am," Maka Allah menurunkan firman berikut: sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, "Sesungguhnya Al-Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)." Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedangkan Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (An-Nahl: 103)

Ad-Dahhak ibnu Muzahim mengatakan bahwa budak lelaki tersebut adalah Salman Al-Farisi. Tetapi pendapat Ad-Dahhak ini lemah, karena ayat ini adalah ayat Makkiyyah, sedangkan Salman baru masuk Islam di Madinah.

Ubaidillah ibnu Muslim mengatakan, "Dahulu kami mempunyai dua orang budak Romawi yang membaca kitab milik keduanya dengan bahasanya. Dan tersebutlah bahwa Nabi Saw. mampir kepada keduanya, lalu berdiri dan mendengarkan bacaan yang dilakukan keduanya. Maka orang-orang musyrik mengatakan, "Muhammad sedang belajar dari kedua orang itu.' Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini."

Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa orang yang melancarkan tuduhan ini adalah seorang lelaki dari kalangan kaum musyrik yang pernah bertugas menjadi juru tulis wahyu bagi Rasulullah Saw. Tetapi dia murtad sesudah masuk Islam, lalu ia melancarkan tuduhan ini; semoga Allah melaknatnya.


إِنَّ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ لَا يَهْدِيهِمُ ٱللَّهُ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ 104

(104) Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah (Al Quran), Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka dan bagi mereka azab yang pedih.

(104) 

Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang berpaling dari mengingat-Nya dan berpura-pura tidak tahu terhadap apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, serta tidak ada niat dalam dirinya untuk beriman kepada apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya dari sisi-Nya. Manusia yang berkarakter seperti ini tidak akan diberi petunjuk oleh Allah untuk beriman kepada ayat-ayat-Nya dan apa yang disampaikan oleh rasul-rasul-Nya di dunia. Dan bagi mereka di akhirat nanti ada azab'yang pedih lagi sangat menyakitkan.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bukanlah orang yang mengada-ada, bukan pula pendusta, bahkan sebaliknya hanyalah makhluk yang jahatlah yang berani membuat kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah:

الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ

orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. (An-Nahl: 104)

dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang ateis yang terkenal kedustaannya di kalangan manusia. Utusan Allah —yaitu Nabi Muhammad Saw.— adalah orang yang paling benar, paling bertakwa, serta paling sempurna ilmu, pengamalan, iman, dan keyakinannya. Dia terkenal dengan kejujurannya di kalangan kaumnya. Tiada seorang pun yang meragukan hal ini dari kalangan mereka, sehingga mereka memberinya julukan di antara sesama mereka dengan panggilan "Al-Amin".

Ketika Heraklius, Raja Romawi, bertanya kepada Abu Sufyan tentang sifat yang dimiliki oleh Rasulullah Saw., yaitu antara lain Heraklius mengatakan, "Apakah kalian pernah menuduhnya sebagai pendusta sebelum dia mempermaklumatkan seruannya?" Abu Sufyan menjawab, "Tidak pernah." Maka Heraklius berkata, "Tidaklah logis bila dia meninggalkan kedustaan terhadap manusia, lalu ia pergi dan berbuat kedustaan terhadap Allah Swt."


إِنَّمَا يَفْتَرِى ٱلْكَذِبَ ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰذِبُونَ 105

(105) Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.

(105) 

إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ

Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (An-Nahl: 105)


مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلْكُفْرِ صَدْرًۭا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌۭ 106

(106) Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.

(106) 

Allah Swt. menyebutkan perihal orang yang kafir sesudah beriman dan menyaksikan kebenaran, lalu ia melegakan dadanya untuk kekafiran dan merasa tenang dengan kekafirannya. Allah Swt. murka terhadap orang tersebut, karena ia telah beriman, tetapi kemudian menggantikannya dengan kekafiran. Di hari akhirat nanti mereka akan mendapat siksa yang besar, disebabkan mereka lebih menyukai kehidupan dunia daripada akhirat. Sebagai buktinya ialah mereka rela murtad dari Islam demi memperoleh imbalan duniawi. Allah tidak memberi petunjuk kepada hati mereka serta tidak mengukuhkan mereka pada agama yang hak, karenanya hati mereka terkunci mati, dan mereka tidak dapat memikirkan sesuatu pun yang bermanfaat bagi diri mereka (di hari kemudian); pendengaran serta penglihatan mereka terkunci pula, sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan secara semestinya, dan pendengaran serta penglihatan mereka tidak dapat memberikan suatu manfaat pun kepada mereka. Mereka dalam keadaan lalai akan akibat buruk yang ditakdirkan atas diri mereka.

لَا جَرَمَ أَنَّهُمْ فِي الآخِرَةِ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi. (An-Nahl: 109)

Yakni sudah pasti dan tidak mengherankan, begitulah sifatnya, mereka adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya kelak di hari kiamat.

Adapun mengenai makna firman-Nya:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (An-Nahl: 106)

Hal ini merupakan pengecualian, ditujukan kepada orang yang kafir hanya dengan lisannya saja; dan kata-katanya menuruti orang-orang musyrik, sebab ia dipaksa dan dalam keadaan tekanan, pukulan, dan penindasan, sedangkan hatinya menolak apa yang diucapkannya, serta dalam keadaan tetap tenang dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh Ammar ibnu Yasir di saat ia disiksa oleh orang-orang musyrik sehingga ia kafir kepada Nabi Muhammad Saw. Ia mau menuruti kemauan mereka dalam hal tersebut karena terpaksa. Setelah itu Ammar datang menghadap kepada Nabi Saw. seraya meminta maaf, maka Allah menurunkan ayat ini. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Asy-Sya'bi, Qatadah, dan Abu Malik.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَور، عَنْ مَعْمَر، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ الجَزَريّ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ [بْنِ] مُحَمَّدِ بْنِ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ: أَخَذَ الْمُشْرِكُونَ عَمَّارَ بْنَ يَاسِرٍ فَعَذَّبُوهُ حَتَّى قَارَبَهُمْ فِي بَعْضِ مَا أَرَادُوا، فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَيْفَ تَجِدُ قَلْبَكَ؟ " قَالَ: مُطَمْئِنًا بِالْإِيمَانِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ عَادُوا فَعُدْ"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saur, dari Ma'mar, dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Abu Ubaidah Muhammad ibnu Ammar ibnu Yasir yang mengatakan bahwa orang-orang musyrik menangkap Ammar, lalu mereka menyiksanya sehingga Ammar terpaksa mau mendekati sebagian dari apa yang dikehendaki oleh mereka karena dalam tekanan siksaan. Setelah itu Ammar mengadukan perkaranya kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. bersabda, "Bagaimanakah kamu jumpai hatimu?" Ammar menjawab, "Tetap tenang dalam keadaan beriman." Nabi Saw. bersabda: Jika mereka kembali menyiksamu, maka lakukanlah pula hal itu.

Imam Baihaqi telah meriwayatkan hadis ini secara panjang lebar, lebih panjang daripada hadis ini; antara lain disebutkan di dalamnya:

أَنَّهُ سَبَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَكَرَ آلِهَتَهُمْ بِخَيْرٍ، وَأَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تُركتُ حَتَّى سَببتك وَذَكَرْتُ آلِهَتَهُمْ بِخَيْرٍ! قَالَ: "كَيْفَ تَجِدُ قَلْبَكَ؟ " قَالَ: مُطَمْئِنًا بِالْإِيمَانِ. فَقَالَ: "إِنْ عَادُوا فَعُدْ". وَفِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ: إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ

bahwa Ammar terpaksa mencaci Nabi Saw. dan menyebut tuhan-tuhan mereka dengan sebutan yang baik. Sesudah itu Ammar datang menghadap kepada Nabi Saw. dan mengadukan perihal apa yang telah dilakukannya, "Wahai Rasulullah, saya terus-menerus disiksa hingga saya terpaksa mencacimu dan menyebutkan tuhan-tuhan mereka dengan sebutan yang baik." Nabi Saw. bertanya, "Bagaimanakah dengan hatimu?" Ammar menjawab bahwa hatinya tetap tenang dalam beriman. Maka Nabi Saw. bersabda: Jika mereka (orang-orang musyrik) kembali menyiksamu, maka lakukan pula hal itu. Sehubungan dengan peristiwa ini Allah menurunkan firman-Nya: kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman. (An-Nahl: 106)

Karena itulah para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan kekufuran diperbolehkan berpura-pura menuruti kemauan si pemaksa demi menjaga keselamatan jiwanya. Ia diperbolehkan pula tetap menolak, seperti apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Bilal r.a.; dia menolak keinginan mereka yang memaksanya untuk kafir. Karena itulah mereka menyiksanya dengan berbagai macam siksaan, sehingga mereka meletakkan batu besar di atas dadanya di hari yang sangat panas.

Mereka memerintahkan Bilal untuk musyrik (mempersekutukan Allah), tetapi Bilal menolak seraya mengucapkan, "Esa, Esa (yakni Allah Maha Esa)."

Bilal r.a. mengatakan, "Demi Allah, seandainya saya mengetahui ada kalimat yang lebih membuat kalian marah, tentulah aku akan mengatakannya." Semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada Bilal dan memberinya pahala yang memuaskannya.

Hal yang sama dilakukan oleh Habib ibnu Zaid Al-Ansari. Ketika Musailamah berkata kepadanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" Habib menjawab, "Ya." Musailamah bertanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa diriku adalah utusan Allah?" Habib menjawab, "Saya tidak mendengar." Lalu Musailamah memotongi anggota tubuh Habib sedikit demi sedikit, sedangkan Habib tetap pada pendirian imannya.

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ عِكْرِمة، أَنَّ عَلِيًّا، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، حَرَّق نَاسًا ارْتَدَوْا عَنِ الْإِسْلَامِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: لَمْ أَكُنْ لِأُحَرِّقَهُمْ بِالنَّارِ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ". وَكُنْتُ قَاتِلَهُمْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ" فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا فَقَالَ: وَيْحَ أُمِّ ابْنِ عَبَّاسٍ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Ali r.a. pernah membakar hidup-hidup sejumlah orang yang murtad dari agama Islam. Ketika berita itu sampai kepada Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas mengatakan, "Jika aku, maka sesungguhnya aku tidak akan menghukum mereka dengan membakar mereka, karena sesungguhnya Rasulullah Saw. telah bersabda: 'Janganlah kalian menyiksa dengan memakai siksaan Allah (yakni memakai api).' Sedangkan engkau perangi mereka atas dasar sabda Rasulullah Saw. pula yang mengatakan: 'Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia'.” Ketika berita ucapan Ibnu Abbas sampai kepada Ali, maka ia berkata, "Beruntunglah ibu Ibnu Abbas!"

Imam Bukhari telah meriwayatkan hadis ini pula.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنْبَأَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ حُمَيْد بْنِ هِلَالٍ العَدَويّ، عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قَالَ: قَدِمَ عَلَى أَبِي مُوسَى معاذُ بْنُ جَبَلٍ بِالْيَمَنِ، فَإِذَا رَجُلٌ عِنْدَهُ، قَالَ: مَا هَذَا؟ قَالَ رَجُلٌ كَانَ يَهُودِيًّا فَأَسْلَمَ، ثُمَّ تَهَوَّدَ، وَنَحْنُ نُرِيدُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ مُنْذُ -قَالَ: أَحْسَبُ-شَهْرَيْنِ فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا أَقْعُدُ حَتَّى تَضْرِبُوا عُنُقَهُ. فَضُرِبَتْ عُنُقُهُ. فَقَالَ: قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَنَّ مَنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ فَاقْتُلُوهُ-أَوْ قَالَ: مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Burdah yang menceritakan bahwa Mu'az ibnu Jabal datang kepada Abu Musa di negeri Yaman, tiba-tiba ia menjumpai seorang lelaki sedang bersama Abu Musa. Maka Mu'az bertanya, "Apakah yang telah terjadi dengan orang ini?" Abu Musa menjawab, "Dia adalah seorang Yahudi dan masuk Islam, kemudian kembali memeluk agama Yahudi, sedangkan kami menginginkan agar dia tetap Islam sejak dia mengatakannya dua bulan yang silam." Maka sahabat Anas berkata, "Demi Allah, aku tidak akan duduk sebelum kamu penggal lehernya." Maka lelaki itu dipenggal lehernya. Setelah itu Mu'az ibnu Jabal mengatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan bahwa barang siapa yang murtad dari agamanya, maka kalian harus membunuhnya. Atau Mu'az mengatakan: Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia oleh kalian.

Kisah ini yang terdapat di dalam kitab Sahihain disebutkan dengan lafaz yang lain.

Tetapi yang lebih afdal dan paling utama hendaknya seorang muslim tetap pada agamanya, sekalipun sikap ini akan membuatnya mati terbunuh.

Al-Hafiz ibnu Asakir dalam biografi Abdullah ibnu Huzafah As-Sahmi —salah seorang sahabat— menceritakan bahwa Ibnu Huzafah ditawan oleh orang-orang (pasukan) Romawi, lalu mereka menghadap­kannya kepada raja mereka. Raja mereka berkata, "'Masuk Nasranilah kamu, maka aku akan menjadikanmu sekutuku dalam kerajaanku. dan aku akan mengawinkanmu dengan anak perempuanku." Ibnu Huzafah menjawab, "Seandainya engkau berikan kepadaku semua yang engkau miliki dan semua apa yang dimiliki oleh bangsa Arab agar aku murtad dari agama Muhammad Saw., barang sekejap saja saya tetap menolak." Raja Romawi berkata, "Kalau begitu, saya akan membunuhmu." Ibnu Huzafah menjawab, "Itu terserah kamu." Maka Raja Romawi memerintahkan agar Ibnu Huzafah disalib, dan memerintahkan para juru pemanah agar memanahinya pada sasaran yang berdekatan dengan kedua tangan dan kedua kakinya, sedangkan si Raja Romawi itu sendiri terus menawarkan, kepadanya untuk menjadi seorang Nasrani. Tetapi Ibnu Huzafah tetap menolak. Kemudian Raja Romawi memerintahkan agar Ibnu Huzafah diturunkan dari penyalibannya, dan ia memerintahkan agar disediakan sebuah ketel besar—menurut riwayat lain panci tembaga yang besar— lalu dipanaskan. Dan didatangkanlah seorang tawanan dari pasukan kaum muslim, kemudian dilemparkan ke dalam panci panas itu, sedangkan Ibnu Huzafah melihat kejadian itu. Tiba-tiba orang yang dimasukkan ke dalamnya itu tulang-tulangnya kelihatan dalam waktu tidak lama. Raja Romawi menawarkan kepada Ibnu Huzafah untuk masuk Nasrani, tetapi Ibnu Huzafah tetap menolak, maka Raja Romawi memerintahkan agar Ibnu Huzafah dicampakkan ke dalam panci tersebut. Lalu tubuhnya diangkat memakai pelontar untuk dimasukkan ke dalam panci yang mendidih itu. Maka menangislah Ibnu Huzafah, hal ini membuat Raja Romawi ingin tahu penyebabnya, lalu dia memanggilnya (memerintahkan agar dia diturunkan dan menghadap kepadanya). Maka Ibnu Huzafah berkata, "Sesungguhnya saya menangis tiada lain karena jiwaku hanya satu yang akan dilemparkan ke dalam panci panas ini demi membela agama Allah. Padahal aku menginginkan bila setiap helai rambut dari tubuhku memiliki jiwa yang disiksa dengan siksaan ini demi membela agama Allah."

Menurut riwayat yang lainnya, Raja Romawi memenjarakannya dan tidak memberinya makan dan minum selama beberapa hari. Kemudian dikirimkan kepadanya khamr dan daging babi, tetapi Ibnu Huzafah jangankan menjamah, mendekatinya pun tidak. Lalu Raja Romawi memanggilnya dan berkata, "Apakah gerangan yang menghalang-halangi dirimu untuk makan?" Ibnu Huzafah menjawab, "Ingatlah, sesungguhnya makanan tersebut sebenarnya boleh kumakan (karena keadaan darurat), tetapi aku tidak ingin menjadi penyebab kamu menertawakan diriku." Maka Raja Romawi mencium kepalanya dan berkata kepadanya, "Aku akan melepaskanmu menjadi bebas." Ibnu Huzafah berkata, "Apa kamu bebaskan pula bersamaku semua tawanan kaum muslim?" Raja Romawi menjawab, "Ya." Lalu Raja Romawi mencium kepala Ibnu Huzafah dan membebaskannya bersama-sama dengan semua tawanan kaum muslim yang ada padanya. Ketika Ibnu Huzafah kembali, maka Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. berkata kepadanya, "Sudah sepantasnya bagi setiap muslim mencium kepala Abdullah ibnu Huzafah. dan sayalah orang yang memulainya." Umar r.a. berdiri, lalu mencium kepala Ibnu Huzafah r.a.


ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ ٱسْتَحَبُّوا۟ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا عَلَى ٱلْءَاخِرَةِ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ 107

(107) Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.

(107) 

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. (An-Nahl: 107)


أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ طَبَعَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَٰرِهِمْ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ 108

(108) Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.

(108) 

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai. (An-Nahl: 108)


لَا جَرَمَ أَنَّهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ 109

(109) Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi.

(109) 

لَا جَرَمَ أَنَّهُمْ فِي الآخِرَةِ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Pastilah bahwa mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi. (An-Nahl: 109)

Yakni sudah pasti dan tidak mengherankan, begitulah sifatnya, mereka adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya kelak di hari kiamat.


ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ مِنۢ بَعْدِ مَا فُتِنُوا۟ ثُمَّ جَٰهَدُوا۟ وَصَبَرُوٓا۟ إِنَّ رَبَّكَ مِنۢ بَعْدِهَا لَغَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 110

(110) Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(110) 

ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nahl: 110)

Mereka adalah golongan lain yang dahulu di Mekah dalam keadaan lemah dan tertindas oleh kaumnya, keadaan mereka yang lemah itu membuat mereka terpaksa menyetujui fitnah yang menimpa mereka. Kemudian mereka dapat meloloskan dirinya dengan berhijrah. Mereka rela meninggalkan negerinya, keluarga, dan harta bendanya demi mencari keridaan Allah dan ampunan-Nya.

Kemudian mereka bergabung ke dalam barisan orang-orang mukmin dan berjihad melawan orang-orang kafir bersama saudara-saudara seiman mereka, dan mereka bersabar (dalam menghadapi semua tantangan).

Maka Allah Swt. memberitakan bahwa Dia benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka atas perbuatan (terpaksa menyetujui fitnah) yang telah dilakukannya kelak di hari mereka dikembalikan ke sisi-Nya.