2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍۢ جَنَفًا أَوْ إِثْمًۭا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 182

(182) (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(182) 

(Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah atau berbuat dosa. (Al-Baqarah: 182)

Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi mengatakan bahwa al-janaf ialah keliru, tetapi yang ini pengertiannya mencakup segala macam kekeliruan. Misalnya mereka menambahkan bagian salah seorang ahli waris dengan memakai suatu perantara atau suatu cara. Umpamanya bila ia mewasiatkan untuk menjual sesuatu kepada si Fulan dengan harga yang sangat murah, atau mewasiatkan sesuatu kepada cucu lelakinya yang lahir dari anak perempuan dengan tujuan untuk menambah bagian si anak perempuan, atau dengan cara lainnya. Hal ini dia lakukan baik secara tidak sengaja —karena terdorong oleh emosi dan kekuatan kasih sayangnya tanpa berpikir terlebih dahulu— ataupun ia lakukan dengan sengaja tanpa memikirkan dosanya, maka dalam keadaan seperti ini si penerima harus memperbaiki permasalahannya dan bersikap adil dalam menangani wasiat yang diterimanya itu sesuai dengan ketentuan hukum syara'. Dan hendaknya merevisi apa yang diwasiatkan oleh si mayat dengan meluruskannya kepada apa yang lebih dekat kepada hukum yang benar dan maksud yang dituju oleh si mayat. Singkatnya, menggabungkan tujuan si pemberi wasiat dengan hukum syar'i. Perbaikan dan penyesuaian ini sama sekali bukan termasuk ke dalam pengertian mengubah wasiat. Karena itulah maka ia di-'ataf"-kan (dikaitkan) dengan kalimat sebelumnya yang menunjukkan pengertian dilarang, untuk diketahui bahwa cara ini sama sekali berbeda dengan cara pertama tadi.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ مَزيد، قِرَاءَةً، أَخْبَرَنِي أَبِي، عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ الزُّهْرِيُّ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّهُ قَالَ: "يُرَدّ مِنْ صَدقة الْحَائِفِ فِي حَيَاتِهِ مَا يُرَدُّ مِنْ وَصِيَّةِ الْمُجْنِفِ عِنْدَ مَوْتِهِ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazid secara qiraah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Auza'i, bahwa Az-Zuhri pernah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Urwah, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Dikembalikan sebagian dari sedekah orang yang aniaya selagi ia masih hidup, sebagaimana dikembalikan sebagian wasiat orang yang berat sebelah setelah ia meninggal dunia.

Diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih melalui hadis Al-Abbas ibnul Walid dengan lafaz yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Al-Walid ibnu Mazid melakukan kekeliruan padanya, perkataan ini hanyalah dari Urwah saja. Al-Walid ibnu Muslim meriwayatkannya pula dari Al-Auza'i, dan dalam sanadnya ini ia tidak sampai kepada Urwah.

قَالَ ابْنُ مَرْدويه أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيِ هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْحَيْفُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ"

Ibnu Murdawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Berat sebelah dalam wasiat merupakan dosa besar.

Mengenai status rafa" hadis ini masih perlu dipertimbangkan.

Hadis yang paling baik mengenai bab ini ialah apa yang dikatakan oleh Abdur Razzaq:

حَدَّثَنَا مَعْمَر، عَنْ أشعثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ ليعملُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سبعينَ سنة، فإذا أوصى حاف في وصيته فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ، فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ الرجل ليعمل بعَمَل أهل الشر سبعينَ سنة، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ، فيدخل الجنة"

telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun; tetapi apabila ia berwasiat, lalu ia berat sebelah dalam wasiatnya itu, maka dia akan diakhiri dengan keburukan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengamalkan suatu amalan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ternyata berlaku adil dalam wasiatnya, maka dia akan diakhiri dengan kebaikan amalnya, lalu dimasukkan ke dalam surga.

Selanjutnya Abu Hurairah r.a. mengatakan, "Bacalah oleh kalian bila kalian suka," yaitu firman-Nya: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. (Al-Baqarah: 229)


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 183

(183) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

(183) 

Melalui ayat ini Allah Swt. ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah Swt. Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang rendah.

Allah menyebutkan, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka, sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka dalam menunaikan kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ

Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja); tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (Al-Maidah: 48), hingga akhir ayat.

Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 183)

Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain, yaitu:

"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ"

Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.

Kemudian Allah Swt. menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan padanya puasa, hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan hanya dalam beberapa hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah puasa pada permulaan Islam, yaitu mereka melakukan puasa tiga hari setiap bulan. Kemudian hal ini di-mansukh oleh perintah puasa bulan Ramadan sepenuhnya, seperti yang akan dijelaskan kemudian.

Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Riwayat ini dari Mu'az, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ata, Qatadah, dan Ad-Dahhak Ibnu Muzahim. Puasa demikian masih terus berlangsung sejak zaman Nabi Nuh a.s. sampai Allah me-nasakh-nya. dengan puasa bulan Ramadan.

Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (Al-Baqarah: 183-184) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Memang benar, demi Allah, sesungguhnya ibadah puasa diwajibkan atas semua umat yang telah lalu, sebagaimana diwajibkan atas kita sebulan penuh; yang dimaksud dengan ayyamam ma'dudat ialah hari-hari tertentu yang telah dimaklumi." Dan telah diriwayatkan dari As-Saddi hal yang semisal.

وَرَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُقْرِيِّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ.."

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abur Rabi' (seorang ulama Madinah), dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh Allah atas umat-umat terdahulu.

Demikianlah nukilan dari sebuah hadis panjang, yang sengaja kami singkat seperlunya menyangkut pembahasan ini.

Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari orang yang menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Bahwa diwajibkan atas mereka apabila seseorang di antara mereka salat malam hari lalu tidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan bersetubuh dengan istri sampai waktu yang semisal di besok malamnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ata Al-Khurrasani.

Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Yakni atas kaum Ahli Kitab.

Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, As-Saddi serta Ata Al-Khurrasani hal yang semisal.

Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)

Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal-kannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi makan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka, maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih utama baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 184)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛ فَأَمَّا أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا [الْبَقَرَةِ: 144] فوجهَهُ اللهُ إِلَى مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ: وَكَانُوا يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ -وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ نَائِمًا لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إذْ رَأَيْتُ شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ فِي ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ -مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن بِهَا". فَكَانَ بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذًا كَمْ صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قضيتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَضَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا". فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ . إِلَى قَوْلِهِ: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ إِلَى قَوْلِهِ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ: ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a. yang menceritakan bahwa ibadah salat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula. Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah salat ialah ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, maka beliau Saw. salat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah Swt. memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya mereka berkumpul menunaikan salat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar —yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih— datang kepada Rasulullah Saw. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu mengucapkan. 'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar), asyhadu alia ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).' Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya. Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya salat akan didirikan) sebanyak dua kali." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Ajarkanlah itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini. Mu'az ibnu Jabar r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah Umar ibnul Khattab r.a. dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami sebutkan di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat sering datang terlambat di tempat salat; mereka datang ketika Nabi Saw. telah menyelesaikan sebagian dari salatnya. Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang salat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat salat yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia mengerjakan salat yang tertinggal itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi Saw. Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Saw. melainkan aku terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi Saw. telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. Maka Mu'az langsung ikut bermakmum kepada Nabi Saw. Setelah Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, bangkitlah Mu'az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari salatnya, baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari salat.

Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an —sampai dengan firman-Nya— Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal dengan nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Keesokan harinya ia melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah Saw. melihat dirinya dalam keadaan sangat kepayahan, lalu beliau Saw. bertanya, "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa." Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah: 187).

Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama.

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:

كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura.

Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.

**************

Firman Allah Swt.:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)

Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu Jabal, yaitu 'pada mulanya barang siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya'.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa' yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Maka bagi orang yang hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya.

Telah diriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa memang ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.

As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)

Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan penuh masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa, mengerjakan puasa; dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. (Al-Baqarah: 184) Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan seorang miskin). (Al-Baqarah: 184)

Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)

Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Lalu Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.

Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang ulama, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.

Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Si war, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika puasa, keadaannya sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang menceritakan, "Ata masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, sedangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya'."

Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)

Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaannya bukanlah seperti keadaan orang yang mampu mengqadainya. Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang lemah kondisinya karena usia yang sudah tua? Ada dua pendapat di kalangan ulama sehubungan dengan masalah ini. Pertama, tidak wajib baginya memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua; maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan anak kecil. Karena Allah Swt. tidak sekali-kali mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii. Kedua, pendapat yang sahih dan di-jadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa'alal lazina yufiqunahu, yakni berat menjalankannya.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lain-nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, karena Imam Bukhari mengatakan, "Adapun orang yang berusia lanjut, bila tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Sesungguhnya Anas sesudah usianya sangat lanjut, setiap hari yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan daging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya selama satu atau dua tahun."

Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa Anas r.a. tidak mampu mengerjakan puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi mereka makan.

Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafaz yang sama.

Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah, bersumber dari murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna.

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya. Sehubungan dengan keduanya para ulama berselisih pendapat. Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini telah kami bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami pisahkan di dalam kitab yang lain.


أَيَّامًۭا مَّعْدُودَٰتٍۢ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًۭا فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ 184

(184) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

(184) 

Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)

Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal-kannya itu di hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi berada di tempat, tetapi berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia boleh memilih antara puasa dan memberi makan. Dengan kata lain, jika dia suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka, maka berbuka boleh baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap hari. Jika dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa lebih utama baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 184)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛ فَأَمَّا أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا [الْبَقَرَةِ: 144] فوجهَهُ اللهُ إِلَى مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ: وَكَانُوا يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ -وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ نَائِمًا لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ إذْ رَأَيْتُ شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ فِي ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ -مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن بِهَا". فَكَانَ بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذًا كَمْ صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ: لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قضيتُ مَا سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَضَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ قَد سَنَّ لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا". فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ

وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ . إِلَى قَوْلِهِ: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ إِلَى قَوْلِهِ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ: ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a. yang menceritakan bahwa ibadah salat difardukan melalui tiga tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula. Adapun mengenai tahapan-tahapan ibadah salat ialah ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, maka beliau Saw. salat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah Swt. memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya mereka berkumpul menunaikan salat dengan cara sebagian dari mereka mengundang sebagian lainnya hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja mereka membuat kentong untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar —yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid ibnu Abdu Rabbih— datang kepada Rasulullah Saw. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku suatu peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya kepada apa yang kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu mengucapkan. 'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar), asyhadu alia ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).' Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya. Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama, hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya salat akan didirikan) sebanyak dua kali." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Ajarkanlah itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat ini. Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan kalimat ini. Mu'az ibnu Jabar r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu datanglah Umar ibnul Khattab r.a. dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami sebutkan di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua. Mu'az ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat sering datang terlambat di tempat salat; mereka datang ketika Nabi Saw. telah menyelesaikan sebagian dari salatnya. Maka seorang lelaki dari mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang salat melalui isyarat yang maksudnya ialah berapa rakaat salat yang telah dikerjakan. Lelaki yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia mengerjakan salat yang tertinggal itu sendirian, setelah itu ia baru masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi Saw. Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak sekali-kali ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Saw. melainkan aku terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi Saw. telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. Maka Mu'az langsung ikut bermakmum kepada Nabi Saw. Setelah Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, bangkitlah Mu'az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi kalian, maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung masuk ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari salatnya, baru ia menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). Hal yang ketiga ini merupakan tahapan terakhir dari salat.

Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya melalui firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an —sampai dengan firman-Nya— Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan yang dialami oleh puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal dengan nama Sirmah. Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Keesokan harinya ia melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah Saw. melihat dirinya dalam keadaan sangat kepayahan, lalu beliau Saw. bertanya, "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa." Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah: 187).

Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama.

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:

كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa 'Asyura.

Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.

**************

Firman Allah Swt.:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)

Seperti yang dijelaskan oleh Mu'az ibnu Jabal, yaitu 'pada mulanya barang siapa yang ingin puasa, maka ia boleh puasa; dan barang siapa yang tidak ingin puasa, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya'.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari melalui Salamah ibnul Akwa' yang menceritakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Maka bagi orang yang hendak berbuka, ia harus menebusnya dengan fidyah hingga turunlah ayat yang selanjutnya, yaitu berfungsi me-nasakh-nya.

Telah diriwayatkan pula melalui hadis Ubaidillah, dari Nafi, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa memang ayat ini di-mansukh oleh ayat sesudahnya.

As-Saddi meriwayatkan dari Murrah, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya:. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184)

Yang dimaksud dengan yutiqunahu ialah mengerjakannya dengan penuh masyaqat (berat). Orang yang ingin puasa, mengerjakan puasa; dan orang yang ingin berbuka, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai fidyah. Yaitu yang dimaksud dengan firman-Nya: Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. (Al-Baqarah: 184) Yakni barang siapa yang memberi makan seorang miskin lagi, maka itulah yang lebih baik baginya, tetapi berpuasa lebih baik bagi kalian (daripada berbuka dan memberi makan seorang miskin). (Al-Baqarah: 184)

Pada mulanya mereka tetap dalam keadaan demikian hingga ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)

Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ata; ia pernah mendengar Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) Lalu Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini tidak di-mansukh, yaitu berkenaan bagi manula laki-laki dan perempuan yang tidak mampu mengerjakan ibadah puasa, maka keduanya harus memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.

Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang ulama, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.

Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Asy'as ibnu Si war, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini (yakni firman-Nya): Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 184) diturunkan berkenaan dengan manula yang tidak kuat puasa; jika puasa, keadaannya sangat lemah. Maka Allah memberinya keringanan boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Bahran Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari Ibnu Abu Laila yang menceritakan, "Ata masuk menemuiku dalam bulan Ramadan, sedangkan dia tidak berpuasa, lalu ia mengatakan, 'Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ayat ini (Al-Baqarah ayat 185) diturunkan me-nasakh ayat yang sebelumnya, kecuali orang yang sudah lanjut usia; maka jika ingin berbuka, ia boleh berbuka dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya'."

Kesimpulan bahwa nasakh berlaku bagi orang sehat yang mukim di tempat tinggalnya harus puasa karena berdasarkan firman-Nya: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)

Orang yang sudah sangat lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, boleh berbuka dan tidak wajib qada baginya karena keadaannya bukanlah seperti keadaan orang yang mampu mengqadainya. Tetapi bila ia berbuka, apakah wajib baginya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, jika memang dia orang yang lemah kondisinya karena usia yang sudah tua? Ada dua pendapat di kalangan ulama sehubungan dengan masalah ini. Pertama, tidak wajib baginya memberi makan seorang miskin, mengingat kondisinya lemah, tidak kuat melakukan puasa karena pengaruh usia yang sudah sangat tua; maka tidak wajib baginya membayar fidyah, perihalnya sama dengan anak kecil. Karena Allah Swt. tidak sekali-kali mernbebankan kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafii. Kedua, pendapat yang sahih dan di-jadikan pegangan oleh kebanyakan ulama, yaitu wajib baginya membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. Seperti penafsiran ibnu Abbas dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf berdasarkan qiraat orang-orang yang membacakan wa'alal lazina yufiqunahu, yakni berat menjalankannya.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lain-nya. Hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Imam Bukhari, karena Imam Bukhari mengatakan, "Adapun orang yang berusia lanjut, bila tidak mampu mengerjakan puasa, maka dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Sesungguhnya Anas sesudah usianya sangat lanjut, setiap hari yang ditinggalkannya ia memberi makan seorang miskin berupa roti dan daging, lalu ia sendiri berbuka (tidak puasa); hal ini dilakukannya selama satu atau dua tahun."

Riwayat yang dinilai mu'allaq oleh Imam Bukhari ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli di dalam kitab Musnad-nya. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran, dari Ayyub ibnu Abu Tamimah yang menceritakan bahwa Anas r.a. tidak mampu mengerjakan puasa karena usianya yang sangat lanjut, maka ia memasak makanan Sarid dalam panci, lalu ia memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi mereka makan.

Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid, dari Rauh ibnu Ubadah, dari Imran (yakni Ibnu Jarir), dari Ayyub dengan lafaz yang sama.

Abdu meriwayatkan pula melalui hadis Sittah, bersumber dari murid-murid Anas, dari Anas hal yang semakna.

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah wanita yang sedang hamil dan yang sedang menyusui, jika keduanya merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya atau kesehatan anaknya. Sehubungan dengan keduanya para ulama berselisih pendapat. Sebagian dari mereka mengatakan, keduanya boleh berbuka, tetapi harus membayar fidyah dan qada. Menurut pendapat lainnya, keduanya hanya diwajibkan membayar fidyah, tanpa ada qada. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa yang wajib hanya qadanya saja, tanpa fidyah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya boleh berbuka (tidak puasa) tanpa harus membayar fidyah dan qada. Masalah ini telah kami bahas secara rinci di dalam Kitabus Siyam yang kami pisahkan di dalam kitab yang lain.


شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 185

(185) (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

(185) 

Allah Swt. memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya diturunkan Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan Ramadan sebagai bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah disebutkan oleh hadis bahwa pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya diturunkan kepada para nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عمْران أَبُو الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ -يَعْنِي ابْنَ الْأَسْقَعِ-أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ. وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul Awwam, dari Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadan.

Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya disebutkan:

أَنَّ الزَّبُورَ أُنْزِلَ لثنتَي عَشْرَةَ [لَيْلَةً] َلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ،

Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.

Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.

Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil, masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus. Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul 'Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar: 1)

إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Ad-Dukhan: 3)

Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw. secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh seorang perawi saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil, dari As-Saddi, dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.

Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya: Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 185); Firman-Nya: Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu malam yang diberkahi. (Ad-Dukhan: 3); Serta firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar. 1) Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal, ada yang dalam bulan Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada yang dalam bulan Muharram, ada yang dalam bulan Safar, ada pula yang diturunkan dalam bulan Rabi'. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu dalam malam yang penuh dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang berbeda-beda."

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih.

Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu Baitul 'Izzah. Kemudian diturunkan kepada Rasulullah Saw. selama dua puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia."

Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar) ke langit dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman kepada Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali orang-orang musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi Saw. melainkan Allah Swt. mendatangkan jawabannya. Yang demikian itulah pengertian firman-Nya:

وَقالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَرَتَّلْناهُ تَرْتِيلًا وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً

Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33)

*********

Adapun firman Allah Swt.:

هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Al-Baqarah: 185)

Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Swt. sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikutinya.

Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara perkara yang hak dan yang batil serta ha-lal dan haram.

Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan Ramadan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Sa'id (yakni Al-Maqbari), dari Abu Hurairah r.a., ia pernah mengatakan, "Janganlah kalian katakan Ramadan, karena sesungguhnya Ramadan itu merupakan salah satu dari asma Allah Swt. Tetapi katakanlah bulan Ramadan."

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas. Akan tetapi, Ibnu Abbas dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut.

Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani, seorang imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi daif (dalam periwayatan hadis); anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil riwayat hadis darinya. Dialah yang me-rafa'-kan hadis ini sampai kepada Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya ditolak oleh Al-Hafiz Ibnu Addi, dan ia memang berhak untuk ditolak karena predikatnya matruk; sesungguhnya dia hanya menduga-duga saja akan predikat marfu' hadis ini. Tetapi Imam Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar, untuk itu ia mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan Ramadan, lalu ia mengetengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara lain ialah hadis yang mengatakan:

"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"

Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah, niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.

Dan hadis-hadis lainnya yang semisal.

*********

Firman Allah Swt.:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)

Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.

Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.

Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185)

Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)

Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, teta-pi puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se-hat. Hal ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan memperi-ngan kalian sebagai rahmat dari Allah Swt. buat kalian.

Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini

Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang sejak permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka tidak diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada dalam perjalanannya, karena firman Allah Swt.: Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanannya sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia telah berada dalam perjalanannya.

Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in. Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di dalam sunnah dari Rasulullah Saw. bahwa beliau pernah melakukan suatu perjalanan di dalam bulan Ramadan untuk melakukan Perang Fatah (penaklukan kota Mekah). Beliau Saw. berjalan bersama pasukannya sampai di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat, wajib berbuka dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka dalam perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu keharusan. Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula yang berbuka. Maka Nabi Saw. tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya berbuka merupakan suatu keharusan, niscaya beliau Saw. mencela orang-orang yang berpuasa di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula dari perbuatan Rasulullah Saw. sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan demikian (berada dalam suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa." Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ من شدة، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ

Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, cuaca saat itu sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada seorang pun di antara kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah Saw. sendiri dan Abdullah ibnu Rawwahah.

Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii mengatakan bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena berdasarkan perbuatan Nabi Saw., seperti yang disebutkan di atas tadi.

Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang menceritakan bahwa beliau Saw. pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:

«مَنْ أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»

Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya.

Di dalam hadis yang lain disebutkan:

«عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ»

Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.

Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadis Siti Aisyah yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa, maka bolehkah aku berpuasa dalam perjalanan?" Rasulullah Saw. menjawab:

«إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»

Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan berbuka, berbukalah.

Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.

Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka adalah lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang mengatakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: " لَيْسَ مِنَ الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ".

Bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi (dikerumuni oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?" Mereka menjawab, "Orang yang berpuasa." Maka beliau Saw. bersabda, "Bukanlah merupakan suatu kebaktian melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan sebuah hadis di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengatakan:

مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ جِبَالِ عَرَفَةَ

Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.

Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan pengulangan dari ada'an.

Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf —dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat— karena berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan Ramadan telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah : 185) Kemudian Allah Swt. berfirman: Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ الْأَعْرَابِيِّ الذِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إن خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ، إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu Hilal Al-Adawi, dari Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya langsung dari Nabi Saw.: Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah, sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama kalian ialah yang paling mudah.

قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا عَاصِمُ بْنُ هِلَالٍ، حَدَّثَنَا غَاضِرَةُ بْنُ عُرْوة الفُقَيْمي، حَدَّثَنِي أَبِي عُرْوَة، قَالَ: كُنَّا نَنْتَظِرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَجلا يَقْطُرُ رَأْسُهُ مِنْ وُضُوءٍ أَوْ غُسْلٍ، فَصَلَّى، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ: عَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ دِينَ اللَّهِ فِي يُسْرٍ" ثَلَاثًا يَقُولُهَا

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan kepadaku Abu Urwah yang menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi Saw., maka keluarlah beliau dengan kepala yang masih meneteskan air karena habis wudu atau mandi, lalu beliau salat. Setelah beliau selesai dari salat-nya, maka orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah kami berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu Hilal dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ، سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "يَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abut Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Mudahkanlah dan janganlah kalian mempersulit, serta bersikap simpatilah kalian dan janganlah kalian bersikap tidak disenangi.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahih masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa ketika Rasulullah Saw. mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri Yaman, beliau bersabda kepada keduanya:

"بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا"

Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu berdua bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahkanlah oleh kamu dan janganlah kamu berdua mempersulit; dan saling bantulah kamu berdua dan jangan sampai kamu berdua berselisih pendapat.

Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"بُعِثْتُ بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"

Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang hak dan penuh dengan toleransi.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ابْنُ أَبِي طَالِبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ الجُرَيري، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ مِحْجَن بْنِ الْأَدْرَعِ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَتَرَاءَاهُ بِبَصَرِهِ سَاعَةً، فَقَالَ: "أَتُرَاهُ يُصَلِّي صَادِقًا؟ " قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا أَكْثَرُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ صَلَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُسْمِعْه فَتُهلِكَه". وَقَالَ: "إِنَّ اللَّهَ إِنَّمَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ اليُسْر، وَلَمْ يَرِدْ بِهِمُ العُسْر"

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud Al-Hariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang menceritakan: Bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki yang sedang salat, lalu beliau menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama sesaat, kemudian bersabda, "Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini salat dengan sebenarnya?" Perawi berkata, "Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah yang paling banyak mengerjakan salat'." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah kamu memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan membinasakannya (membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, dan Dia tidak menghendaki mereka kesulitan."

**********

Firman Allah Swt:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya. (Al-Baqarah: 185)

Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan sesungguhnya Aku memerintahkan kalian untuk mengqadainya agar kalian menyempurnakan bilangan bulan Ramadan kalian.

**************

Firman Allah Swt.:

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. (Al-Baqarah: 185)

Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.

Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:

فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً

Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 2)

فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung. (Al-Jumu'ah: 1)

Dan firman Allah Swt.:

سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبارَ السُّجُودِ

Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai salat. (Qaf: 39-4)

Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat lima waktu. Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya salat Nabi Saw. melainkan melalui takbirnya."

Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya: Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 185) Hingga Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat wajib membaca takbir dalam Hari Raya Idul Fitri berdasarkan makna lahiriah perintah yang terkandung di dalam firman-Nya: dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 185)

Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam sebagian cabang-cabangnya.

********

Firman Allah Swt.:

وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang difardukan-Nya dan meninggalkan semua apa yang diharamkan-Nya serta memelihara batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan menjadi orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut.


وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ 186

(186) Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

(186) 

Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As-Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah (yakni Ibnu Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat, maka kita akan bermunajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia jauh, maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi Saw. diam, tidak menjawab. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)

Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka untuk berdoa kepada-Ku, hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan mereka.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Humaid Ar-Razi, dari Jarir dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui hadis Muhammad ibnu Abu Humaid, dari Jarir dengan lafaz yang sama.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw., "Di manakah Tuhan kita?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat.

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, telah sampai kepada Ata bahwa ketika firman-Nya ini diturunkan: Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mumin: 6) Maka orang-orang bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat manakah yang lebih tepat untuk melakukan doa bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاة فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ وَادِيًا إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ. قَالَ: فَدَنَا مِنَّا فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أرْبعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛ فإنَّكم لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، إِنَّ الذِي تَدْعُونَ أقربُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُق رَاحِلَتِهِ. يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِالْلَّهِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan, "Ketika kami (para sahabat) bersama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan, tidak sekali-kali kami menaiki suatu tanjakan dan berada di tempat yang tinggi serta tidak pula kami menuruni suatu lembah melainkan kami mengeraskan suara kami seraya mengucapkan takbir." Abu Musa melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. mendekat ke arah kami dan bersabda: 'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada orang yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang di antara kalian daripada leher unta kendaraannya. Hai Abdullah ibnu Qais, maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga? (Yaitu) la haula wala quwwata ilia billah (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)'."

Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan jamaah lainnya melalui hadis Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur Rahman ibnu Ali, dari Abu Musa Al-Asy'ari dengan lafaz yang semisal.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku mengenai diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ كَرِيمَةَ بِنْتِ الْخَشْخَاشِ الْمُزَنِيَّةِ، قَالَتْ: حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "قَالَ اللَّهُ: أَنَا مَعَ عَبْدِي مَا ذَكَرَنِي، وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ"

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaidillah, dari Karimah binti Ibnu Khasykhasy Al-Muzaniyyah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah yang pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku selagi ia ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku."

Menurut kami, hadis ini sama pengertiannya dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128)

Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, yaitu:

إِنَّنِي مَعَكُما أَسْمَعُ وَأَرى

Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Thaha: 46)

Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah Swt. tidak akan mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak sesuatu pun yang menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha Mendengar doa. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk berdoa, dan bahwa Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا رَجُلٌ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عُثْمَانَ -هُوَ النَّهْدِيُّ -يُحَدِّثُ عَنْ سَلْمَانَ -يَعْنِي الْفَارِسِيَّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيَسْتَحْيِي أَنْ يَبْسُطَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ فِيهِمَا خَيْرًا فَيَرُدُّهُمَا خَائِبَتَيْنِ". قَالَ يَزِيدُ: سَمَّوْا لِي هَذَا الرَّجُلَ، فَقَالُوا: جَعْفَرُ بْنُ مَيْمُونٍ

telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki yang pernah mendengar dari Abu Usman (yakni An-Nahdi) ketika ia menceritakan hadis berikut dari Salman (yakni Al-Farisi r.a.), bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa. Yazid berkata, "Sebutkanlah kepadaku nama lelaki itu." Mereka menjawab bahwa dia adalah Ja'far ibnu Maimun.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah melalui hadis Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Hadis ini diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia tidak me-rafa'-kannya. Syekh Al-Hafiz Abul Hajjah Al-Mazi di dalam kitab Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti pula oleh Abu Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi dengan lafaz yang sama.

Imam Ahmad mengatakan pula:

حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَليّ بْنُ دُؤاد أَبُو الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يعجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدّخرها لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا" قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: "اللَّهُ أَكْثَرُ "

telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abul Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabulkan, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat) berkata, "Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa." Nabi Saw. menjawab, "Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa)."

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّ عُبَادة بْنَ الصَّامِتِ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ مِنْ رَجُلٍ مُسْلِم يَدْعُو اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا، أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ"

Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sauban, dari ayahnya, dari Makhul, dari Jubair ibnu Nafir, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan hadis berikut kepada mereka, yaitu Nabi Saw. pernah bersabda: tiada seorang lelaki muslim pun di muka bumi ini berdoa kepada Allah Swt. memohon sesuatu melainkan Allah pasti mengabulkan permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang seimbang dengan permintaannya, selagi dia tidak meminta hal yang berdosa atau memutuskan hubungan silaturahmi.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Ibnu Sauban (yaitu Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) dengan lafaz yang sama.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih bila ditinjau dari jalur yang terakhir ini.

وَقَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ -مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ -عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "يُسْتَجَاب لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجل، يَقُولُ: دعوتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي".

Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid maula Ibnu Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dikabulkan bagi seseorang di antara kalian selagi dia tidak tergesa-gesa mengatakan, "Aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku."

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama. Hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari rahimahullah.

قَالَ مُسْلِمٌ أَيْضًا : حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ ربيعة ابن يَزِيدَ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الخَوْلاني، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الاستعجال؟ قال: "يقول: قد دعوتُ، وَقَدْ دَعَوتُ، فَلَمْ أرَ يستجابُ لِي، فَيَسْتَحسر عِنْدَ ذَلِكَ، وَيَتْرُكُ الدُّعَاءَ"

Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Rabi'ah, dari Yazid, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Doa .seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak mendoakan hal yang berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, bilamana dia tidak tergesa-gesa. Lalu ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Seorang hamba mengatakan, 'Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku,' lalu saat itu dia merasa kecewa dan menghentikan doanya."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قَالُوا: وَكَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: "يَقُولُ: قَدْ دعوتُ رَبِّي فَلَمْ يَسُتَجبْ لِي"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang hamba masih tetap berada dalam kebaikan selagi dia tidak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimanakah pengertian tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku'."

Imam Abu Ja'far At-Tabari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit telah menceritakan kepadanya, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah r.a. yang pernah mengatakan bahwa tidak sekali-kali seorang hamba yang mukmin berdoa kepada Allah memohon sesuatu, lalu doanya itu disia-siakan, sebelum disegerakan baginya di dunia atau ditangguhkan baginya untuk di akhirat, selagi dia tidak tergesa-gesa atau putus asa. Urwah bertanya, "Wahai bibi, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa dan putus asa itu?" Siti Aisyah menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah meminta, tetapi tidak diberi; dan aku telah berdoa, tetapi tidak dikabulkan'."

Ibnu Qasit mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Siti Aisyah r.a.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُليّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "الْقُلُوبُ أَوْعِيَةٌ، وَبَعْضُهَا أَوْعَى مِنْ بَعْضٍ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ فَاسْأَلُوهُ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْتَجِيبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ غَافِلٍ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hati manusia itu bagaikan wadah, sebagian di antaranya lebih memuat daripada sebagian yang lain. Karena itu, apabila kalian meminta kepada Allah, hai manusia, mintalah kepada-Nya, sedangkan hati kalian merasa yakin diperkenankan; karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba yang berdoa kepada-Nya dengan hati yang lalai.

قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ أَيُّوبَ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بن إبراهيم بن أبيَّ بن نافع ابن مَعْدِ يكَرِبَ بِبَغْدَادَ، حَدَّثَنِي أُبَيُّ بْنُ نَافِعٍ، حدثني أبي نَافِعِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا وَعَائِشَةُ سألتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْآيَةِ: أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ قَالَ: "يَا رَبِّ، مَسْأَلَةُ عَائِشَةَ". فَهَبَطَ جِبْرِيلُ فَقَالَ: اللَّهُ يُقْرِؤُكَ السَّلَامَ، هَذَا عَبْدِي الصَالِحٍ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ، وقلبُه نَقِيٌّ يَقُولُ: يَا رَبِّ، فَأَقُولُ: لَبَّيْكَ. فَأَقْضِي حَاجَتَهُ.

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba di Bagdad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba yang mengatakan bahwa ia dan Siti Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai makna firman-Nya: Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Tuhanku, ini adalah pertanyaan Aisyah?" Maka turunlah Malaikat Jibril dan berkata: Allah menyampaikan salam-Nya kepadamu, ada seorang hamba-Ku yang saleh, dengan niat yang benar dan hatinya bersih mengatakan, "Wahai Tuhanku." Maka Aku berfirman, "Labbaika," lalu Aku penuhi permintaannya.

Akan tetapi, hadis ini garib bila ditinjau dari sanad ini.

وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ الْكَلْبِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: حَدَّثَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ الْآيَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ أَمَرْتَ بِالدُّعَاءِ، وتوكَّلْتَ بِالْإِجَابَةِ، لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَرْدٌ أَحَدٌ صَمَد لَمْ تَلِدْ وَلَمْ تُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَكَ كُفُوًا أَحَدٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ وَعْدَكَ حَقٌّ، وَلِقَاءَكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا، وَأَنْتَ تَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ"

Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi Saw. pernah membacakan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: ya Allah, Engkau memerintahkan untuk berdoa dan aku bertawakal dalam masalah pengabulannya. Kupenuhi seruan-Mu, ya Allah, kupenuhi seruan-Mu, kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagimu, kupenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah milik-Mu dan begitu pula semua kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau tiada tandingan lagi Maha Esa, bergantung kepada-Mu segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara dengan-Mu. Aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, dan hari kiamat pasti akan datang tanpa diragukan lagi, dan Engkaulah yang akan membangkitkan manusia dari kuburnya.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى الْأَرْزِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى القُطَعي قَالَا حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا صَالِحٍ المُرِّي، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، وَاحِدَةٌ لَكَ وَوَاحِدَةٌ لِي، وَوَاحِدَةٌ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَكَ؛ فَأَمَّا التِي لِي فَتَعْبُدُنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، وَأَمَّا التِي لَكَ فَمَا عملتَ مِنْ شَيْءٍ وَفَّيْتُكَه وَأَمَّا التِي بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَمِنْكَ الدُّعَاءُ وَعَلِيَّ الْإِجَابَةُ"

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan pada kami Al-Hasan ibnu Yahya Al-Azdi dan Muhammad ibnu Yahya Al-Qat'i; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Mari, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, satu hal untukmu, dan satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. Adapun hal yang untuk-Ku ialah kamu harus menyembah-Ku, janganlah kamu persekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan adapun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan atau amal apa pun, maka Aku pasti menunaikan (pahala)nya kepadamu. Dan adapun yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan Aku yang memperkenankan (mengabulkan).

Penyisipan anjuran untuk berdoa di antara hukum-hukum puasa ini mengandung petunjuk yang menganjurkan agar berdoa dengan sekuat tenaga di saat menyempurnakan bilangan Ramadan, dan bahkan di setiap berbuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab Musnad-nya:

حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْمَلِيكِيُّ، عَنْ عَمْرو -هُوَ ابْنُ شُعَيْبِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطَارِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ". فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو إِذْ أَفْطَرَ دَعَا أَهْلَهُ، وَوَلَدَهَ وَدَعَا

telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Mulaiki, dari Amr (yakni Ibnu Syu'aib ibnu Muhammad ibnu Abdullah ibnu Amr), dari ayahnya, dari kakeknya (yakni Abdullah Ibnu Amr) yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Bagi orang puasa di saat berbukanya ada doa yang dikabulkan. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Amr selalu berdoa untuk keluarga dan anaknya; begitu pula anak dan keluarganya, sama-sama berdoa ketika berbuka puasa.

Abu Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab sunannya;

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَدَنِيِّ، عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوةً مَا تُرَدّ". قَالَ عَبْد اللَّهِ بْنُ أَبِي مُليَكة: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ التِي وسعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي .

telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ishaq ibnu Abdullah Al-Madani, dari Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya bagi orang puasa di saat berbukanya terdapat doa yang tidak ditolak (untuknya). Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah mengatakan, ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr selalu mengucapkan doa berikut bila berbuka: Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon demi rahmat-Mu yang memuat segala sesuatu, sudilah kiranya Engkau mengampuniku.

Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan Turmuzi, Nasai, dan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

" ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حتى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَيَقُولُ: بعزتي لأنصرنك ولو بعد حين"

Ada tiga macam orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam yang adil, orang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang teraniaya diangkat oleh Allah sampai di bawah gamam (awan) di hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya semua pintu langit, dan Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu, sekalipun sesudahnya.”