18 - الكهف - Al-Kahf

Juz : 15

The Cave
Meccan

مَّا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍۢ وَلَا لِءَابَآئِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةًۭ تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَٰهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًۭا 5

(5) Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.

(5) 

مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ

Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan. (Al-Kahfi: 5)

Yaitu dengan ucapan yang mereka buat-buat dan mereka dustakan dari diri mereka sendiri itu.

وَلا لآبَائِهِمْ

begitu pula nenek moyang mereka. (Al-Kahfi: 5)

Yakni para pendahulu mereka,

كَبُرَتْ كَلِمَةً

Alangkah jeleknya kata-kata. (Al-Kahfi: 5)

Lafaz kalimatan di-nasab-kan sebagai tamyiz, bentuk lengkapnya ialah 'Alangkah buruknya kalimat mereka yang ini'. Menurut pendapat yang lain, ungkapan ini adalah sigat (bentuk) ta'ajjub, bentuk lengkapnya ialah 'Alangkah buruknya kata-kata mereka itu', seperti kalimat, "Akrim bizaidin rajutan," yakni alangkah mulianya Zaid sebagai seorang laki-laki. Demikianlah menurut sebagian ulama Basrah, dan sebagian ahli Qiraat Mekah membacanya demikian, yaitu kaburat kalimatan. Perihal­nya sama dengan kalimat kabura syanuka dan azuma qauluka, yakni 'alangkah buruknya keadaanmu' dan 'alangkah buruknya ucapanmu'.

Makna yang dimaksud menurut qiraat jumhur ulama lebih jelas, bah­wa sesungguhnya ungkapan ini dimaksudkan kecaman terhadap ucapan mereka, dan bahwa apa yang mereka katakan itu merupakan kebohongan yang besar. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ

Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka. (Al-Kahfi: 5)

Yakni tidak berdasarkan kepada suatu bukti pun melainkan hanya semata-mata dari ucapan mereka sendiri yang dibuat-buat oleh mereka sebagai suatu kedustaan. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

إِنْ يَقُولُونَ إِلا كَذِبًا

mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusla. (Al-Kahfi: 5)

Muhammad ibnu Ishaq telah menyebutkan tentang latar belakang turun­nya ayat ini. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepadanya seorang syekh (guru) dari kalangan ulama Mesir yang telah tinggal bersa­ma kaumnya sejak empat puluh tahun yang lalu, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang kafir Quraisy mengutus An-Nadr ibnul Haris dan Uqbah ibnu Abu Mu'h kepada orang-orang alim Yahudi di Madinah. Kaumnya berpesan kepada mereka, "Tanyakan­lah kepada orang-orang Yahudi itu tentang Muhammad, dan ceritakanlah kepada mereka tentang sifatnya serta beritahukanlah kepada mereka tentang apa yang diucapkannya, karena sesungguhnya mereka adalah Ahli Kitab yang terdahulu. Mereka mempunyai pengetahuan yang tidak kita miliki tentang para nabi."

Keduanya berangkat meninggalkan kota Mekah menuju Madinah. Setelah sampai di Madinah, keduanya bertanya kepada ulama Yahudi tentang Rasulullah Saw. dan menceritakan kepada mereka sifat-sifatnya serta sebagian dari ucapannya. Untuk itu keduanya mengatakan, "Se­sungguhnya kalian adalah Ahli Kitab Taurat, kami datang kepada kalian untuk memperoleh informasi tentang teman kami ini (maksudnya Nabi Saw.)"

Ulama Yahudi itu menjawab, "Tanyakanlah oleh kalian kepada dia tentang tiga perkara yang akan kami terangkan ini. Jika dia dapat menja­wabnya, berarti dia benar-benar seorang nabi yang diutus. Tetapi jika dia tidak dapat menjawabnya, berarti dia adalah seseorang yang mengaku-aku dirinya menjadi nabi; saat itulah kalian dapat memilih pendapat sendiri terhadapnya. Tanyakanlah kepadanya tentang beberapa orang pemuda yang pergi meninggalkan kaumnya di masa silam, apakah yang dialami oleh mereka? Karena sesungguhnya kisah mereka sangat menakjubkan. Dan tanyakanlah kepadanya tentang seorang lelaki yang melanglang buana sampai ke belahan timur dan barat, bagaimanakah kisahnya. Dan tanyakanlah kepadanya tentang roh, apakah roh itu? Jika dia mencerita­kannya kepada kalian, berarti dia adalah seorang nabi dan kalian harus mengikutinya. Tetapi jika dia tidak menceritakannya kepada kalian, maka sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang mengaku-aku saja. Bila demikian, terserah kalian, apa yang harus kalian lakukan terhadapnya."

Maka An-Nadr dan Uqbah kembali ke Mekah. Setelah tiba di Me­kah, ia langsung menemui orang-orang Quraisy dan mengatakan kepada mereka, "Hai orang-orang Quraisy kami datang kepada kalian dengan membawa suatu kepastian yang memutuskan antara kalian dan Muham­mad. Ulama Yahudi telah menganjurkan kepada kami untuk menanyakan kepadanya beberapa perkara," lalu keduanya menceritakan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada mereka.

Mereka datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Hai Muham­mad, ceritakanlah kepada kami!' Lalu mereka menanyainya dengan per­tanyaan-pertanyaan yang dianjurkan oleh para pendeta Yahudi tadi. Dan Rasulullah Saw. menjawab mereka, "Aku akan menceritakan jawaban dari pertanyaan kalian itu besok," tanpa menentukan batas waktunya.

Mereka bubar meninggalkan Nabi Saw., dan Nabi Saw. tinggal selama lima belas hari tanpa ada wahyu dari Allah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut Malaikat Jibril pun tidak turun kepadanya selama itu, hingga penduduk Mekah ramai membicarakannya. Mereka mengatakan, "Muhammad telah menjanjikan kepada kita besok, tetapi sampai lima belas hari dia tidak menjawab sepatah kata pun tentang apa yang kami tanyakan kepadanya."

Karenanya Rasulullah Saw. bersedih hati, wahyu terhenti darinya dan beliau merasa berat terhadap apa yang diperbincangkan oleh pendu­duk Mekah tentang dirinya. Tidak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril kepadanya dengan membawa surat yang di dalamnya terkandung kisah Ashabul Kahfi (para penghuni gua), dan surat itu mengandung teguran pula terhadap diri Nabi Saw. yang bersedih hati atas sikap mere­ka. Surat itu juga mengandung jawaban dari pertanyaan mereka tentang kisah para pemuda yang menghuni gua serta lelaki yang melanglang buana (Zul Qarnain), juga firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, katakanlah, "Roh itu, (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat."


فَلَعَلَّكَ بَٰخِعٌۭ نَّفْسَكَ عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِمْ إِن لَّمْ يُؤْمِنُوا۟ بِهَٰذَا ٱلْحَدِيثِ أَسَفًا 6

(6) Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).

(6) 

Allah Swt. menghibur hati Rasul-Nya dalam kesedihannya menghadapi sikap kaum musyrik, karena mereka tidak mau beriman dan menjauhinya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya:

فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ

maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap me­reka. (Fathir: 8)

وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ

dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka. (An-Nahl: 127)

Dan firman Allah Swt. yang mengatakan:

لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, kare­na mereka tidak beriman. (Asy-Syu'ara: 3)

Bakhi'un, membinasakan diri sendiri, karena sedih melihat mereka tidak mau beriman.

Dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya:

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an). (Al-Kahfi: 6)

Yang dimaksud dengan keterangan adalah Al-Qur'an. Asafan artinya kecewa, yakni janganlah kamu membinasakan (merusak) dirimu sendiri karena kecewa.

Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan asafab ialah membu­nuh diri sendiri karena marah dan bersedih hati terhadap mereka yang tidak mau beriman.

Mujahid mengatakan, maknanya ialah kecewa.

Pada garis besarnya semua makna yang telah disebutkan di atas mirip pengertiannya, yang kesimpulannya dapat dikatakan sebagai berikut: "Janganlah kamu buat dirimu kecewa terhadap mereka yang tidak mau beriman ke­padamu, melainkan sampaikanlah risalah Allah. Barang siapa yang mau menerimanya sebagai petunjuk, maka manfaatnya buat dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat dari mereka, maka sesungguhnya dia me­nyesatkan dirinya sendiri. Janganlah dirimu binasa karena kesedihan ter­hadap mereka."

Kemudian Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia telah menjadikan dunia ini kampung yang fana yang dihiasi dengan perluasan yang fana pula pada akhirnya. Dan sesungguhnya dunia berikut kegerlapannya ini hanya dijadikan oleh Allah sebagai kampung ujian, bukan kampung mene­tap. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan untuknya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al-Kahfi: 7)

Qatadah telah meriwayatkan dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, dari Ra­sulullah Saw. yang telah bersabda:

"إِنَّ الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَنَاظِرٌ مَاذَا تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ"

Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah padanya; maka Dia akan melihat, apakah yang akan diperbuat oleh kalian. Karena itu, takutlah kalian terhadap dunia dan takutlah kalian terha­dap wanita, karena sesungguhnya fitnah yang mula-mula melan­da kaum Bani Israil adalah tentang wanita.

Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa dunia itu pasti lenyap dan fana, masanya pasti habis dan lenyap serta hancur. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)

Yakni sesungguhnya sesudah menghiasinya Kami benar-benar akan men­jadikan dunia rusak dan hancur, dan Kami akan menjadikan segala sesuatu yang berada di atasnya binasa.

صَعِيدًا جُرُزًا

tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)

Artinya, tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan dan tidak bermanfaat.

Seperti yang dikatakan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Yaitu segala sesuatu yang ada di atasnya binasa dan lenyap.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Maksudnya, tandus tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan.

Qatadah me­ngatakan, as-sa id artinya tanah yang tidak ada pohon dan tidak ada tanamannya.

Ibnu Zaid mengatakan bahwa as-sa'id ialah tanah yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya sama sekali. Tidakkah Anda perhatikan firman Allah Swt. yang mengatakan:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ إِلَى الأرْضِ الْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَامُهُمْ وَأَنْفُسُهُمْ أَفَلا يُبْصِرُونَ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami meng­halau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus. Lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajdah: 27)

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Yakni apa yang ada di atas bumi, sesungguhnya semuanya itu pasti akan lenyap dan binasa. Dan sesungguhnya kembali semuanya adalah kepada Allah. Makaj anganlah kamu berputus asa, janganlah pula bersedih hati terhadap apa yang kamu dengar dan kamu lihat.


إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى ٱلْأَرْضِ زِينَةًۭ لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًۭا 7

(7) Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.

(7) 

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan untuknya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al-Kahfi: 7)

Qatadah telah meriwayatkan dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, dari Ra­sulullah Saw. yang telah bersabda:

"إِنَّ الدُّنْيَا خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَنَاظِرٌ مَاذَا تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ"

Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah padanya; maka Dia akan melihat, apakah yang akan diperbuat oleh kalian. Karena itu, takutlah kalian terhadap dunia dan takutlah kalian terha­dap wanita, karena sesungguhnya fitnah yang mula-mula melan­da kaum Bani Israil adalah tentang wanita.

Kemudian Allah Swt. memberitahukan bahwa dunia itu pasti lenyap dan fana, masanya pasti habis dan lenyap serta hancur. Untuk itu Allah Swt. berfirman:



وَإِنَّا لَجَٰعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًۭا جُرُزًا 8

(8) Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.

(8) 

وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)

Yakni sesungguhnya sesudah menghiasinya Kami benar-benar akan men­jadikan dunia rusak dan hancur, dan Kami akan menjadikan segala sesuatu yang berada di atasnya binasa.

صَعِيدًا جُرُزًا

tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8)

Artinya, tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan dan tidak bermanfaat.

Seperti yang dikatakan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Yaitu segala sesuatu yang ada di atasnya binasa dan lenyap.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Maksudnya, tandus tidak dapat menumbuhkan tetumbuhan.

Qatadah me­ngatakan, as-sa id artinya tanah yang tidak ada pohon dan tidak ada tanamannya.

Ibnu Zaid mengatakan bahwa as-sa'id ialah tanah yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya sama sekali. Tidakkah Anda perhatikan firman Allah Swt. yang mengatakan:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَسُوقُ الْمَاءَ إِلَى الأرْضِ الْجُرُزِ فَنُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا تَأْكُلُ مِنْهُ أَنْعَامُهُمْ وَأَنْفُسُهُمْ أَفَلا يُبْصِرُونَ

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami meng­halau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus. Lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajdah: 27)

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Yakni apa yang ada di atas bumi, sesungguhnya semuanya itu pasti akan lenyap dan binasa. Dan sesungguhnya kembali semuanya adalah kepada Allah. Makaj anganlah kamu berputus asa, janganlah pula bersedih hati terhadap apa yang kamu dengar dan kamu lihat.


أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَٰبَ ٱلْكَهْفِ وَٱلرَّقِيمِ كَانُوا۟ مِنْ ءَايَٰتِنَا عَجَبًا 9

(9) Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?

(9) 

Hal ini merupakan berita dari Allah Swt. yang menceritakan tentang orang-orang yang menghuni gua secara singkat, kemudian diterangkan dengan panjang lebar sesudahnya. Allah Swt. berfirman:

أَمْ حَسِبْتَ

Atau kamu mengira. (Al-Kahfi: 9)

hai Muhammad.

أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا

bahwa orang-orang yang menghuni gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan. (Al-Kahfi: 9)

Yakni tiadalah perkara mereka mengherankan bagi kekuasaan dan ke­mampuan Kami, karena sesungguhnya menciptakan langit dan bumi, si­lih bergantinya siang dan malam hari, menundukkan matahari serta rembu­lan, bintang-bintang, dan !ain-!ainnya dari tanda-tanda yang besar yang menunjukkan akan kekuasaan Allah Swt. sangatlah mudah. Dan bahwa Allah Mahakuasa atas semua yang dikehendaki-Nya, tiada sesuatu pun yang melemahkan-Nya. Semuanya itu jauh lebih mengherankan daripada perihal orang-orang yang menghuni gua.

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Al-Kahfi: 9) Yaitu sesungguhnya pada sebagian tanda-tanda yang menunjukkan ke­kuasaan Kami terdapat banyak hal yang lebih mengherankan dari itu.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang menghuni gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Al-Kahfi: 9) Artinya, apa yang Aku berikan kepadamu berupa ilmu, sunnah, dan Al-Qur'an ini jauh lebih mengherankan daripada kisah ashabul kahfi (orang-orang yang menghuni gua) dan yang mempunyai raqim.

Muhammad ibnu Ishaq telah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud seakan-akan mengatakan, "Hujah-hujah-Ku yang jelas terhadap hamba-hamba-Ku jauh lebih mengherankan daripada kisah para penghuni gua dan pemilik raqim itu."

Al-Kahfi artinya gua yang terdapat di sebuah bukit yang dijadikan tempat bersembunyi oleh para pemuda yang disebutkan kisahnya dalam surat ini.

Yang dimaksud dengan ar-raqim, menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas adalah sebuah lembah yang terletak di dekat kota Ailah (Yordania seka­rang). Hal yang sama telah dikatakan oleh Atiyyah, Al-Aufi, dan Qatadah.

Ad-Dahhak mengatakan, kahfi adalah sebuah gua yang ada di lem­bah itu, sedangkan ar-raqim adalah nama lembah tersebut.

Mujahid mengatakan bahwa ar-raqim adalah nama sebuah kitab yang diletakkan di depan bangunan tempat mereka. Sebagian orang me­ngatakan bahwa raqim adalah nama sebuah lembah yang padanya terda­pat gua tempat mereka.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ar-raqim, bahwa Ka'b menduga ar-raqim adalah nama sebuah kampung (kota).

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ar-raqim adalah sebuah bukit yang di dalamnya terdapat gua tersebut.

Ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa nama bukit itu adalah Banglius.

Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Wahb ibnu Sulaiman, dari Syu'aib Al-Jiba-i, bahwa nama bukit tempat gua itu adalah Banglius, nama guanya adalah Haizam, dan nama anjing mereka adalah Hamran.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Semua nama di dalam Al-Qur'an saya mengetahuinya kecuali Hannan, Awwah, dan Raqim.

Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Dinar; ia pernah mendengar Ikrimah berkata, "Ibnu Abbas pernah menga­takan bahwa ia tidak mengetahui apakah ar-raqim itu, nama sebuah prasasti ataukah bangunan?"

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ar-raqim adalah sebuah prasasti.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan, raqim adalah sebuah prasasti yang tertulis pada sebuah batu; mereka menulis kisah ashabul kahfi padanya, kemudian meletakkannya di pintu gua itu.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan bahwa ar-raqim artinya kitab, kemudian ia membacakan firman-Nya untuk mengu­atkan alasannya, yaitu:

كِتَابٌ مَرْقُومٌ

(Ialah) kitab yang bertulis. (Al-Muthaffifin: 9)

Memang inilah yang tersimpulkan dari makna lahiriah ayat, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa raqim ber-wazan fa'il yang maknanya marqum (tertulis). Sebagaimana dikata­kan qatil terhadap si terbunuh, dan orang yang terluka disebut jarih.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, beri­kanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (Al-Kahfi: 1)

Allah Swt. menceritakan tentang para pemuda yang melarikan diri dengan membawa agamanya agar agama mereka selamat dari gangguan kaum­nya yang pasti akan memfitnah mereka. Mereka lari memisahkan diri dari kaumnya, lalu berlindung di dalam gua yang berada di suatu bukit, sebagai tempat persembunyian mereka agar kaumnya tidak tahu keber­adaan mereka. Ketika hendak memasuki gua itu, mereka memohon kepa­da Allah agar rahmat dan kelembutan-Nya dilimpahkan kepada diri mere­ka. Mereka mengatakan dalam doanya seperti yang disitir oleh firman-Nya:

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً

Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi­Mu. (Al-Kahfi: 1)

Yakni anugerahkanlah kepada kami dari sisi-Mu rahmat yang dengannya Engkau merahmati kami dan menyembunyikan kami dari kaum kami.

وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urus­an kami (ini). (Al-Kahfi: 1)

Maksudnya, berikanlah kami petunjuk ke jalan yang lurus dalam urusan kami ini. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwajadikanlah bagi akibat urusan kami ini jalan yang lurus. Seperti pengertian yang terdapat di da­lam sebuah hadis, yaitu:

"وَمَا قَضَيْتَ لَنَا مِنْ قَضَاءٍ، فَاجْعَلْ عَاقِبَتَهُ رَشَدًا"

Dan segala apa yang Engkau putuskan bagi kami, kami memo­hon agar sudilah engkau menjadikan akibatnya bagi kami jalan yang lurus.

Di dalam kitab "Musnad disebutkan melalui hadis Busr ibnu Artah, dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. pernah mengatakan dalam doanya:

"اللَّهُمَّ، أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ"

Ya Allah, berikanlah akhir yang baik bagi semua urusan kami, dan lindungilah kami dari kehinaan di dunia dan azab akhirat.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu..(Al-Kahfi: 11)

Yaitu Kami jatuhkan rasa kantuk yang berat kepada mereka di saat me­reka memasuki gua itu, lalu mereka tidur selama bertahun-tahun.

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ

Kemudian Kami bangunkan mereka. (Al-Kahfi: 12)

Yakni dari tidur mereka yang lelap itu. Kemudian salah seorang di antara mereka keluar dari gua itu dengan membawa uang dirham perbekalan mereka, untuk mereka tukarkan dengan makanan yang diperlukannya. Perincian tentang hal tersebut akan diterangkan sesudah ini.

Allah Swt. berfirman:

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ

kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui ma­nakah di antara kedua golongan itu. (Al-Kahfi: 12)

Yaitu di antara kedua kelompok yang memperselisihkan tentang lamanya mereka tinggal di gua itu.

أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (Al-Kahfi: 12)

Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah bilangan mereka. Sedangkan menurut pendapat yang lain adalah lamanya mereka tinggal di dalam gua itu, seperti dalam pengertian kata-kata orang Arab, "Saba-qal jawadu," bilamana kuda tersebut telah mencapai garis finis. Kata al-amad ini menunjukkan tujuan, dan makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah lamanya masa.


إِذْ أَوَى ٱلْفِتْيَةُ إِلَى ٱلْكَهْفِ فَقَالُوا۟ رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةًۭ وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًۭا 10

(10) (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)".

(10) 

Firman Allah Swt.:

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, beri­kanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” (Al-Kahfi: 1)

Allah Swt. menceritakan tentang para pemuda yang melarikan diri dengan membawa agamanya agar agama mereka selamat dari gangguan kaum­nya yang pasti akan memfitnah mereka. Mereka lari memisahkan diri dari kaumnya, lalu berlindung di dalam gua yang berada di suatu bukit, sebagai tempat persembunyian mereka agar kaumnya tidak tahu keber­adaan mereka. Ketika hendak memasuki gua itu, mereka memohon kepa­da Allah agar rahmat dan kelembutan-Nya dilimpahkan kepada diri mere­ka. Mereka mengatakan dalam doanya seperti yang disitir oleh firman-Nya:

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً

Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi­Mu. (Al-Kahfi: 1)

Yakni anugerahkanlah kepada kami dari sisi-Mu rahmat yang dengannya Engkau merahmati kami dan menyembunyikan kami dari kaum kami.

وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urus­an kami (ini). (Al-Kahfi: 1)

Maksudnya, berikanlah kami petunjuk ke jalan yang lurus dalam urusan kami ini. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwajadikanlah bagi akibat urusan kami ini jalan yang lurus. Seperti pengertian yang terdapat di da­lam sebuah hadis, yaitu:

"وَمَا قَضَيْتَ لَنَا مِنْ قَضَاءٍ، فَاجْعَلْ عَاقِبَتَهُ رَشَدًا"

Dan segala apa yang Engkau putuskan bagi kami, kami memo­hon agar sudilah engkau menjadikan akibatnya bagi kami jalan yang lurus.

Di dalam kitab "Musnad disebutkan melalui hadis Busr ibnu Artah, dari Rasulullah Saw., bahwa beliau Saw. pernah mengatakan dalam doanya:

"اللَّهُمَّ، أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ"

Ya Allah, berikanlah akhir yang baik bagi semua urusan kami, dan lindungilah kami dari kehinaan di dunia dan azab akhirat.

*******************



فَضَرَبْنَا عَلَىٰٓ ءَاذَانِهِمْ فِى ٱلْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًۭا 11

(11) Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu,

(11) 

Firman Allah Swt.:

فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu..(Al-Kahfi: 11)

Yaitu Kami jatuhkan rasa kantuk yang berat kepada mereka di saat me­reka memasuki gua itu, lalu mereka tidur selama bertahun-tahun.



ثُمَّ بَعَثْنَٰهُمْ لِنَعْلَمَ أَىُّ ٱلْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوٓا۟ أَمَدًۭا 12

(12) Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).

(12) 

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ

Kemudian Kami bangunkan mereka. (Al-Kahfi: 12)

Yakni dari tidur mereka yang lelap itu. Kemudian salah seorang di antara mereka keluar dari gua itu dengan membawa uang dirham perbekalan mereka, untuk mereka tukarkan dengan makanan yang diperlukannya. Perincian tentang hal tersebut akan diterangkan sesudah ini.

Allah Swt. berfirman:

ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ

kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui ma­nakah di antara kedua golongan itu. (Al-Kahfi: 12)

Yaitu di antara kedua kelompok yang memperselisihkan tentang lamanya mereka tinggal di gua itu.

أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا

yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu). (Al-Kahfi: 12)

Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah bilangan mereka. Sedangkan menurut pendapat yang lain adalah lamanya mereka tinggal di dalam gua itu, seperti dalam pengertian kata-kata orang Arab, "Saba-qal jawadu," bilamana kuda tersebut telah mencapai garis finis. Kata al-amad ini menunjukkan tujuan, dan makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah lamanya masa.


نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِٱلْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا۟ بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَٰهُمْ هُدًۭى 13

(13) Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.

(13) 

Dari sini dimulailah penjabaran kisah tentang mereka secara rinci. Allah menyebutkan bahwa mereka adalah segolongan kaum muda yang menerima perkara yang hak dan mendapat petunjuk ke jalan yang lurus dari guru-guru mereka yang saat itu telah durhaka dan tenggelam ke dalam agama kebatilan menjadi sesat. Karena itulah kebanyakan orang yang menyambut baik seruan Allah dan Rasul-Nya adalah dari kalangan kaum muda. Adapun orang-orang tuanya, sebagian besar dari mereka tetap berpegang pada agamanya dan tidak ada yang masuk Islam dari kalangan mereka kecuali sedikit.

Demikianlah Allah Swt. menceritakan tentang para penghuni gua, bahwa mereka semua terdiri dari kalangan kaum muda.

Mujahid mengatakan, telah sampai berita kepadaku bahwa sebagian dari kalangan mereka ada yang memakai anting-anting. Lalu Allah mem­berikan kepada mereka jalan petunjuk dan menggerakkan mereka untuk bertakwa kepada-Nya, sehingga mereka beriman kepada Tuhannya, yakni mengakui keesaan Allah dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.

وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. (Al-Kahfi: 13)

Dengan berlandaskan kepada dalil ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang semakna, sebagian para imam—seperti Imam Bukhari dan lain-lainnya dari kalangan mereka— berpendapat bahwa iman itu berbeda-beda ting­katannya, dan iman itu dapat bertambah serta dapat berkurang. Karena itulah disebutkan dalam ayat ini: dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. (Al-Kahfi: 13) Sama seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (ba­lasan) ketakwaannya. (Muhammad: 17)

فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا

Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. (At-Taubah: 124)

لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ

supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan me­reka (yang telah ada). (Al-Fath: 4)

Dan masih banyak ayat lainnya yang semakna.

Menurut suatu kisah, mereka memeluk agama Al-Masih Isa putra Maryam. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.

Akan tetapi, makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa mereka ber­ada di masa sebelum adanya agama Nasrani. Seandainya mereka meme­luk agama Nasrani, tentulah orang-orang Yahudi dari kalangan pendetanya tidak mau mencatat cerita mereka dan hal ikhwal yang dialami oleh para pemuda penghuni gua itu, karena orang-orang Yahudi bertentangan de­ngan orang-orang Nasrani.

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa orang-orang Quraisy mengirimkan utusannya kepada pendeta-pendeta Yahudi di Madinah dengan maksud meminta berbagai saran dari mereka untuk menguji kebenaran Rasulullah Saw. Maka mereka mengutus beberapa orang kaumnya untuk menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang berita para pemuda penghuni gua itu, kisah tentang Zul Qarnain, dan pertanyaan mengenai roh.

Dari riwayat ini tersimpulkan bahwa kisah para pemuda itu tercatat di dalam kitab-kitab Ahli Kitab, dan kejadian itu terjadi jauh sebelum agama Nasrani.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdi­ri, lalu mereka berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi.”(Al-Kahfi: 14)

Allah Swt. menceritakan tentang mereka, "Kami buat mereka dapat bertahan dalam menentang kaumnya dan seluruh penduduk kota tempat tinggal mereka, serta Kami jadikan mereka dapat bersabar dan rela me­ninggalkan kehidupan makmur dan mewah yang bergelimang dengan kenikmatan di kalangan kaumnya."

Kalangan Mufassirin —baik dari golongan ulama Salaf maupun Khalaf, bukan hanya seorang dari mereka— mengatakan bahwa mereka (yakni para pemuda itu) terdiri atas kalangan anak-anak para pembesar Kerajaan Romawi dan pemimpinnya. Disebutkan pula bahwa pada suatu hari mereka keluar menuju tempat perayaan kaumnya; setiap tahun kaum­nya selalu mengadakan perayaan di suatu tempat yang terletak di luar kota mereka.

Mereka adalah para penyembah berhala dan Tagut, dan selalu meng­adakan kurban penyembelihan hewan untuk berhala sesembahan mereka. Raja mereka saat itu adalah seorang yang diktator lagi keras kepala, bernama Dekianus. Ia menganjurkan rakyatnya untuk melakukan hai tersebut, menyeru serta memerintah mereka Untuk menyembah berhala dan berkurban untuk berhala.

Ketika orang-orang keluar menuju tempat pertemuan mereka dalam hari raya itu, para pemuda tersebut ikut keluar bersama bapak-bapak mereka dan kaumnya untuk menyaksikan apa yang diperbuat oleh kaum­nya dengan mata kepala sendiri.

Setelah menyaksikan perayaan itu, mereka mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh kaumnya —yaitu bersujud kepada berhala dan ber­kurban untuknya— tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi. Maka para pemuda itu melolos­kan diri masing-masing dari kaumnya dan memisahkan diri di tempat yang terpisah jauh dari mereka. Pada mulanya seseorang dari mereka duduk bernaung di bawah pohon, lalu datanglah pemuda lain ikut duduk bergabung dengannya. Kemudian datang lagi pemuda yang lain. Demikianlah seterusnya hingga semuanya berkumpul di tempat tersebut, tanpa saling mengenal di antara sesama mereka.

Sesungguhnya motivasi yang mendorong mereka berkumpul di tempat itu tiada lain dorongan hati mereka yang beriman, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara ta'liq, melalui hadis Yahya ibnu Sa’id, dari Amrah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدة، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ"

Roh-roh itu bagaikan tentara yang terlatih; maka yang mana di antaranya yang kenal akan menjadi rukun, dan yang mana di antaranya yang tidak kenal akan bertentangan.

Imam Muslim telah mengetengahkan pula hadis ini di dalam kitab sahih­nya melalui riwayat Suhail, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. dan orang-orang mengatakan bahwa kebangsaan adalah motivasi persatuan.

Masing-masing dari mereka menutup diri dari yang lainnya karena takut pribadinya terbuka, sedangkan dia tidak mengetahui apakah teman­nya itu seakidah dengannya ataukah tidak? Akhirnya salah seorang dari mereka memberanikan diri mengatakan, "Hai kaumku, kalian mengetahui, demi Allah, sesungguhnya tiada yang menjauhkan kalian dari kaum kalian hingga kalian memisahkan diri dari mereka kecuali karena suatu alasan, maka hendaklah kita mengutarakan tujuannya masing-masing."

Seseorang dari mereka menjawab, "Sesungguhnya saya, demi Allah, setelah melihat apa yang dilakukan oleh kaum saya menyimpulkan bahwa apa yang mereka lakukan itu batil. Karena sesungguhnya yang berhak disembah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu hanyalah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya."

Yang lainnya mengatakan, "Saya pun mempunyai pemikiran yang sama dengan apa yang dia katakan," dan yang lainnya lagi mengatakan hal yang sama, hingga mereka semua sepakat dalam suatu kalimat dan ternyata mereka senasib dan sepenanggungan; mereka menjadi bersauda­ra yang sebenarnya dalam ikatan iman. Lalu mereka membangun sebuah tempat peribadatan untuk menyembah Allah.

Tetapi kaum mereka mengetahuinya dan melaporkan keadaan mere­ka kepada raja mereka. Raja memanggil mereka, lalu menanyai urusan mereka dan apa yang sedang mereka lakukan. Mereka menjawab dengan jawaban yang benar dan menyeru raja untuk menyembah Allah Swt. karena itulah dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا

dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdi­ri, lalu mereka berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia." (Al-Kahfi: 14)

Kata lan menunjukkan makna negatif untuk selamanya, yakni kami sama sekali tidak akan melakukan penyembahan kepada selain-Nya untuk sela­ma-lamanya. Karena sesungguhnya jika kami berbuat demikian, tentulah apa yang kami lakukan itu adalah hal yang batil. Maka pada akhir ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:

لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

"Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan per­kataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Al-Kahfi: 14)

Yakni batil, dusta, dan bohong.

هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ

Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka).” (Al-Kahfi: 15)

Dengan kata lain, tidaklah mereka mengemukakan alasan yang jelas dan benar untuk membuktikan kebenaran pendapat mereka yang demikian itu.

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? (Al-Kahfi: 15)

Sebenarnya merekalah orang-orang yang aniaya lagi dusta dalam ucapan­nya yang demikian itu.

Alkisah, tatkala raja mereka diseru dan diajak oleh mereka untuk beriman kepada Allah, ia menolak dan bahkan mengancam serta mena­kut-nakuti mereka dengan mengeluarkan perintah agar pakaian tradisi kaum mereka dilucuti dari diri mereka. Kemudian raja memberi mereka masa tangguh untuk memikirkan perihal mereka, barangkali saja mereka mau kembali kepada agama kaumnya.

Kesempatan ini merupakan belas kasihan dari Allah kepada mereka, yang kemudian mereka jadikan saat untuk melarikan diri dari raja mereka dengan membawa agama mereka agar selamat dari fitnah.

Memang sikap demikianlah yang diperintahkan oleh syariat di saat fitnah melanda manusia, yaitu hendaknya seseorang melarikan diri dari mereka demi menyelamatkan agamanya, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis berikut ini:

"يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خيرُ مَالِ أَحَدِكُمْ غَنَمًا يَتْبَعُ بِهَا شَغَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ القَطْر، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ"

Sudah dekat masanya akan terjadi harta yang paling baik bagi seseorang di antara kalian ialah ternak yang ia bawa menelu­suri lereng-lereng bukit dan tempat-tempat turunnya hujan, me­larikan diri dari fitnah demi menyelamatkan agamanya.

Dalam keadaan seperti itu disyariatkan mengisolasi diri dari manusia, la­in dari itu tidak, karena dengan begitu berarti memisahkan diri dari jamaah dan persatuan.

Setelah tekad mereka bulat untuk lari meninggalkan kaumnya, maka Allah Swt. memudahkan mereka melakukan demikian, seperti yang diki­sahkan dalam firman-Nya:

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ

Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah. (Al-Kahfi: 16)

Yakni bila kalian menentang mereka dan memisahkan diri dari mereka dalam hal beragama, maka pisahkanlah diri kalian dari rrereka.

فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ

maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu. niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya. (Al-Kahfi: 16)

Artinya, Tuhan kalian pasti akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian dan menyembunyikan kalian dari kaum kalian.

وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ

dan menyediakan bagi kalian dalam urusan kalian. (Al-Kahfi: 16)

yang sedang kalian kerjakan.

مِرفَقًا

sesuatu yang berguna. (Al-Kahfi: 16)

Yakni hal yang berguna dan bermanfaat bagi tujuan kalian. Maka pada saat itulah mereka melarikan diri dari kaumnya dan berlindung di dalam sebuah gua. Ketika kaum mereka merasa kehilangan mereka, raja mereka mencari-cari mereka. Menurut suatu riwayat, si raja tidak berhasil mene­mukan mereka karena Allah menjadikan mata raja itu tidak dapat melihat mereka, seperti yang Dia lakukan kepada Nabi Muhammad Saw. dan sahabat Abu Bakar As-Siddiq, saat keduanya bersembunyi di dalam gua Sur. Orang-orang musyrik Quraisy datang mencari mereka berdua, tetapi mereka tidak dapat menemukan keduanya, padahal mereka mele­wati jalan yang dilalui keduanya. Saat-itu Nabi Saw. melihat ketakutan yang mencekam diri sahabat Abu Bakar melalui kata-katanya yang ber­ucap, "Wahai Rasulullah, seandainya seseorang dari mereka melihat ke arah tempat telapak kakinya, tentulah dia dapat melihat kita." Tetapi Rasulullah Saw. bersabda:

"يَا أَبَا بَكْرٍ، مَا ظَنُّكَ بِاثْنَيْنِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا؟ "

Hai Abu Bakar, apakah yang mengkhawatirkanmu terhadap dua orang, sedangkan yang ketiganya adalah Allah?

Peristiwa itu disebutkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

إِلا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنزلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad), maka sesung­guhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengusirnya (dari Mekah), sedangkan dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada da­lam gua, di waktu dia berkala kepada temannya, "Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi, Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (At-Taubah: 4)

Kisah gua tempat Nabi Saw. bersembunyi lebih mulia, lebih terhormat, lebih besar, dan lebih mengagumkan daripada kisah para pemuda penghuni gua itu.

Menurut suatu pendapat, kaum para pemuda itu dapat menemukan mereka, lalu mereka berdiri di depan pintu gua tempat para pemuda ber­sembunyi. Kaum mereka berkata, "Kami tidak menginginkan menghu­kum mereka dengan hukuman yang lebih berat daripada apa yang mereka perbuat terhadap diri mereka sendiri." Kemudian raja mereka memerin­tahkan agar gua itu ditimbun dan ditutup pintunya agar mereka binasa di dalamnya. Maka kaum para pemuda itu melaksanakan perintah rajanya. Akan tetapi, pendapat ini perlu dipertimbangkan kebenarannya. Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya, karena sesungguhnya Allah telah menceritakan bahwa matahari dapat menyinari mereka mela­lui pintu gua di setiap pagi dan petang, seperti yang disebutkan di dalam ayat berikut.


وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا۟ فَقَالُوا۟ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ لَن نَّدْعُوَا۟ مِن دُونِهِۦٓ إِلَٰهًۭا ۖ لَّقَدْ قُلْنَآ إِذًۭا شَطَطًا 14

(14) Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran".

(14) 

Firman Allah Swt.:

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdi­ri, lalu mereka berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi.”(Al-Kahfi: 14)

Allah Swt. menceritakan tentang mereka, "Kami buat mereka dapat bertahan dalam menentang kaumnya dan seluruh penduduk kota tempat tinggal mereka, serta Kami jadikan mereka dapat bersabar dan rela me­ninggalkan kehidupan makmur dan mewah yang bergelimang dengan kenikmatan di kalangan kaumnya."

Kalangan Mufassirin —baik dari golongan ulama Salaf maupun Khalaf, bukan hanya seorang dari mereka— mengatakan bahwa mereka (yakni para pemuda itu) terdiri atas kalangan anak-anak para pembesar Kerajaan Romawi dan pemimpinnya. Disebutkan pula bahwa pada suatu hari mereka keluar menuju tempat perayaan kaumnya; setiap tahun kaum­nya selalu mengadakan perayaan di suatu tempat yang terletak di luar kota mereka.

Mereka adalah para penyembah berhala dan Tagut, dan selalu meng­adakan kurban penyembelihan hewan untuk berhala sesembahan mereka. Raja mereka saat itu adalah seorang yang diktator lagi keras kepala, bernama Dekianus. Ia menganjurkan rakyatnya untuk melakukan hai tersebut, menyeru serta memerintah mereka Untuk menyembah berhala dan berkurban untuk berhala.

Ketika orang-orang keluar menuju tempat pertemuan mereka dalam hari raya itu, para pemuda tersebut ikut keluar bersama bapak-bapak mereka dan kaumnya untuk menyaksikan apa yang diperbuat oleh kaum­nya dengan mata kepala sendiri.

Setelah menyaksikan perayaan itu, mereka mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh kaumnya —yaitu bersujud kepada berhala dan ber­kurban untuknya— tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah yang telah menciptakan langit dan bumi. Maka para pemuda itu melolos­kan diri masing-masing dari kaumnya dan memisahkan diri di tempat yang terpisah jauh dari mereka. Pada mulanya seseorang dari mereka duduk bernaung di bawah pohon, lalu datanglah pemuda lain ikut duduk bergabung dengannya. Kemudian datang lagi pemuda yang lain. Demikianlah seterusnya hingga semuanya berkumpul di tempat tersebut, tanpa saling mengenal di antara sesama mereka.

Sesungguhnya motivasi yang mendorong mereka berkumpul di tempat itu tiada lain dorongan hati mereka yang beriman, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara ta'liq, melalui hadis Yahya ibnu Sa’id, dari Amrah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدة، فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ، وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ"

Roh-roh itu bagaikan tentara yang terlatih; maka yang mana di antaranya yang kenal akan menjadi rukun, dan yang mana di antaranya yang tidak kenal akan bertentangan.

Imam Muslim telah mengetengahkan pula hadis ini di dalam kitab sahih­nya melalui riwayat Suhail, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. dan orang-orang mengatakan bahwa kebangsaan adalah motivasi persatuan.

Masing-masing dari mereka menutup diri dari yang lainnya karena takut pribadinya terbuka, sedangkan dia tidak mengetahui apakah teman­nya itu seakidah dengannya ataukah tidak? Akhirnya salah seorang dari mereka memberanikan diri mengatakan, "Hai kaumku, kalian mengetahui, demi Allah, sesungguhnya tiada yang menjauhkan kalian dari kaum kalian hingga kalian memisahkan diri dari mereka kecuali karena suatu alasan, maka hendaklah kita mengutarakan tujuannya masing-masing."

Seseorang dari mereka menjawab, "Sesungguhnya saya, demi Allah, setelah melihat apa yang dilakukan oleh kaum saya menyimpulkan bahwa apa yang mereka lakukan itu batil. Karena sesungguhnya yang berhak disembah semata dan tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu hanyalah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya."

Yang lainnya mengatakan, "Saya pun mempunyai pemikiran yang sama dengan apa yang dia katakan," dan yang lainnya lagi mengatakan hal yang sama, hingga mereka semua sepakat dalam suatu kalimat dan ternyata mereka senasib dan sepenanggungan; mereka menjadi bersauda­ra yang sebenarnya dalam ikatan iman. Lalu mereka membangun sebuah tempat peribadatan untuk menyembah Allah.

Tetapi kaum mereka mengetahuinya dan melaporkan keadaan mere­ka kepada raja mereka. Raja memanggil mereka, lalu menanyai urusan mereka dan apa yang sedang mereka lakukan. Mereka menjawab dengan jawaban yang benar dan menyeru raja untuk menyembah Allah Swt. karena itulah dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا

dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdi­ri, lalu mereka berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia." (Al-Kahfi: 14)

Kata lan menunjukkan makna negatif untuk selamanya, yakni kami sama sekali tidak akan melakukan penyembahan kepada selain-Nya untuk sela­ma-lamanya. Karena sesungguhnya jika kami berbuat demikian, tentulah apa yang kami lakukan itu adalah hal yang batil. Maka pada akhir ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:

لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

"Sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan per­kataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Al-Kahfi: 14)

Yakni batil, dusta, dan bohong.



هَٰٓؤُلَآءِ قَوْمُنَا ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ ءَالِهَةًۭ ۖ لَّوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِم بِسُلْطَٰنٍۭ بَيِّنٍۢ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ ٱفْتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًۭا 15

(15) Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?

(15) 

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? (Al-Kahfi: 15)

Sebenarnya merekalah orang-orang yang aniaya lagi dusta dalam ucapan­nya yang demikian itu.

Alkisah, tatkala raja mereka diseru dan diajak oleh mereka untuk beriman kepada Allah, ia menolak dan bahkan mengancam serta mena­kut-nakuti mereka dengan mengeluarkan perintah agar pakaian tradisi kaum mereka dilucuti dari diri mereka. Kemudian raja memberi mereka masa tangguh untuk memikirkan perihal mereka, barangkali saja mereka mau kembali kepada agama kaumnya.

Kesempatan ini merupakan belas kasihan dari Allah kepada mereka, yang kemudian mereka jadikan saat untuk melarikan diri dari raja mereka dengan membawa agama mereka agar selamat dari fitnah.

Memang sikap demikianlah yang diperintahkan oleh syariat di saat fitnah melanda manusia, yaitu hendaknya seseorang melarikan diri dari mereka demi menyelamatkan agamanya, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis berikut ini:

"يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خيرُ مَالِ أَحَدِكُمْ غَنَمًا يَتْبَعُ بِهَا شَغَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ القَطْر، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ"

Sudah dekat masanya akan terjadi harta yang paling baik bagi seseorang di antara kalian ialah ternak yang ia bawa menelu­suri lereng-lereng bukit dan tempat-tempat turunnya hujan, me­larikan diri dari fitnah demi menyelamatkan agamanya.

Dalam keadaan seperti itu disyariatkan mengisolasi diri dari manusia, la­in dari itu tidak, karena dengan begitu berarti memisahkan diri dari jamaah dan persatuan.

Setelah tekad mereka bulat untuk lari meninggalkan kaumnya, maka Allah Swt. memudahkan mereka melakukan demikian, seperti yang diki­sahkan dalam firman-Nya: