2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌۭ مَّعْلُومَٰتٌۭ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍۢ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ 197

(197) (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

(197) 

Ulama bahasa berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya: Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Sebagian di antara mereka mengatakan, bentuk lengkapnya ialah bahwa ibadah haji yang sesungguhnya yaitu haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi untuk itu.

Berdasarkan pengertian ini, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan ihram ibadah haji dalam bulan-bulan haji lebih sempurna daripada melakukan ihram haji di luar bulan haji, sekalipun melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji hukumnya sah.

Pendapat yang mengatakan sah melakukan ihram ibadah haji di sepanjang tahun merupakan. mazhab Imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Rahawaih. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim An-Nakha'i, As-Sauri, dan Al-Lais ibnu Sa'd. Hal yang dijadikan hujah untuk memperkuat pendapat mereka adalah firman-Nya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji." (Al-Baqarah: 189)

Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya sah melakukan ihram untuk haji di waktu kapan pun sepanjang tahun. Perihalnya sama dengan ibadah umrah.

Imam Syafii berpendapat, tidak sah melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulannya. Untuk itu seandainya seseorang melakukan ihram haji sebelum bulan haji tiba, maka ihramnya tidak sah.

Akan tetapi, sehubungan dengan umrahnya, apakah sah atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak sah melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Tawus, dan Mujahid. Sebagai dalilnya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)

Menurut makna lahiriah, ayat ini mengandung makna lain yang diutarakan oleh ulama Nahwu. Pendapat ini mengartikan bahwa musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi; Allah mengkhususkan haji dalam bulan-bulan tersebut di antara bulan-bulan lainnya, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak sah melakukan ihram sebelum tiba bulan-bulan haji. Perihalnya sama dengan waktu-waklu salat.

Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali dalam musim haji, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Yahya ibnu Malik As-Susi, dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A'war, dari Ibnu Juraij dengan lafaz yang sama.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, dari Hajjaj ibnu Artah, dari Al-Hakim ibnu Utaibah, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Termasuk tuntunan Nabi Saw. ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji (musim haji)."

Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Syu'bah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak boleh ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji, karena sesungguhnya termasuk sunnah haji ialah melakukan ihram haji dalam bulan-bulan haji.

Sanad asar ini berpredikat sahih. Perkataan seorang sahabat yang menyatakan bahwa termasuk sunnah (tuntunan Nabi Saw.) dikategorikan sebagai hadis marfu' menurut kebanyakan ulama. Terlebih lagi jika yang mengatakannya adalah Ibnu Abbas yang dijuluki sebagai 'juru terjemah Al-Qur'an dan ahli menafsirkannya'. Memang ada sebuah hadis marfu' sehubungan dengan masalah ini.

قَالَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي بْنُ قَانِعٍ (7) حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ المُثَنى، حَدَّثَنَا أَبُو حُذَيْفَةَ، حدثنا سفيان، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلَّا فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ".

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah mencertakan kepada kami Nafi', telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulan haji.

Sanad hadis ini tidak ada masalah. Tetapi Imam Syafii dan Imam Baihaqi meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah bertanya:

أَيُهَلُّ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ؟ فَقَالَ: لَا،

"Bolehkah melakukan ihram haji sebelum musim haji?" Beliau menjawab, "Tidak boleh."

Hadis mauquf ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya daripada hadis marfu' tadi. Dengan demikian, berarti mazhab sahabat menjadi kuat berkat adanya ucapan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa termasuk sunnah ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji.

*************

Firman Allah Swt.:

أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ

beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197)

Imam Bukhari mengatakan bahwa menurut Ibnu Umar, yang dimaksud dengan bulan-bulan haji ialah Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari bulan Zul-Hijjah.

Asar yang di-ta'liq (dikomentari) oleh Imam Bukhari dengan ungkapan yang pasti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir secara mausul.

Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim ibnu Abu Zagrah, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Warqa, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Bahwa yang dimaksud ialah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan sepuluh hari dari bulan Zul-Hijjah. Sanad asar ini berpredikat sahih.

Dan sesungguhnya Imam Hakim pun meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak, dari Al-Asam, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Abdullah ibnu Numair, dari Ubaidillah ibnu Nafi', dari Ibnu Umar, lalu ia mengetengahkan asar ini dan mengatakan bahwa asar ini (dikatakan sahih) dengan syarat Syaikhain.

Menurut kami, asar ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abdullah ibnuz Zubair, Ibnu Abbas, Ata, Tawus, Mujahid, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, Qatadah, Ad-Dahhak ibnu Muzahim, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. Hal ini merupakan pegangan bagi mazhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Yusuf, dan Abu Saur. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa dibenarkan menyebutkan jamak untuk pengertian dua bulan dan sepertiga dari satu bulan dengan pengertian taglib (prioritas). Perihalnya sama dengan perkataan orang-orang Arab, "Aku melihatnya tahun ini," dan "Aku melihatnya hari ini," sedangkan makna yang dimaksud ialah sebagian dari satu tahun dan sehari. Juga seperti pengertian dalam firman-Nya:

فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ

Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 23)

Karena sesungguhnya pengertian cepat berangkat ini tertuju kepada satu setengah hari (bukan setelah dua hari).

Imam Malik ibnu Anas dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah secara lengkap. Pendapat ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa ia bertanya kepada Nafi', "Apakah engkau pernah mendengar Ibnu Umar menyebutkan tentang bulan-bulan haji itu?" Nafi' menjawab, "Ya, Abdullah ibnu Umar menyebutnya bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah."

Ibnu Juraij mengatakan bahwa hal tersebut dikatakan pula oleh Ibnu Syihab, Ata, dan Jabir ibnu Abdullah r.a. Sanad asar ini berpredikat sahih sampai kepada Ibnu Juraij. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Tawus, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah.

Sehubungan dengan masalah ini ada hadis marfu', hanya sayangnya berpredikat maudu', diriwayatkan oleh Al-Hafiz ibnu Murdawaih melalui jalur Husain ibnu Mukhariq —sedangkan dia orangnya dicurigai suka membuat hadis maudu'—, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"الْحَجُّ أَشْهَرٌ مَعْلُومَاتٌ: شَوَّالٌ وَذُو الْقِعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ"

Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, bulan Zul-Qa'dah, dan bulan Zul-Hijjah.

Akan tetapi, seperti yang disebutkan di atas, predikat marfu' hadis ini tidak sah.

Faedah dari mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa musim haji itu berlangsung sampai akhir bulan Zul-Hijjah mengandung pengertian bahwa bulan tersebut khusus buat ibadah haji, maka makruh melakukan ihram umrah pada sisa bulan Zul-Hijjah, tetapi bukan berarti bahwa sah melakukan ihram haji sesudah malam kurban.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan, "Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, tanpa ada umrah padanya." Sanad asar ini sahih.

Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa'dah, dan Zul-Hijjah hanyalah bermaksud bahwa bulan-bulan tersebut bukanlah bulan-bulan untuk melakukan umrah. Sesungguhnya bulan-bulan tersebut hanyalah untuk ibadah haji, sekalipun pada kenyataannya semua pekerjaan ibadah haji telah rampung dengan selesainya hari-hari Mina. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Sirin, "Tiada seorang pun dari kalangan ahlul ilmi merasa ragu bahwa ibadah umrah di luar bulan-bulan haji lebih utama daripada melakukan ibadah umrah dalam bulan-bulan haji."

Ibnu Aun mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Qasim ibnu Muhammad tentang. ibadah umrah dalam bulan-bulan haji. Lalu Al-Qasim menjawab, "Mereka menganggapnya kurang sempurna."

Menurut kami, ada sebuah asar dari Umar dan Usman yang mengatakan bahwa keduanya menyukai ibadah umrah dalam selain bulan-bulan haji, dan keduanya melarang hal tersebut dalam bulan-bulan haji.

*************

Firman Allah Swt.:

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ

Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)

Maksudnya, telah mewajibkan haji dengan memasuki ihramnya. Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan keharusan ihram haji dan melangsungkannya.

Ibnu Jarir mengatakan, mereka sepakat bahwa makna yang dimaksud dengan al-fard dalam ayat ini ialah wajib dan harus.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yakni orang yang telah berihram untuk haji atau umrah.

Menurut Ata, yang dimaksud dengan fard ialah ihram.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Ata, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak layak bagi seseorang bila melakukan ihram untuk haji, kemudian ia tinggal di suatu tempat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah, Ad-Dahhak, Qatadah, Sufyan As-Sauri, Az-Zuhri, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Tawus dan Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, yang dimaksud dengan fard ialah talbiyah.

**********

Firman Allah Swt.:

فَلا رَفَثَ

maka tidak boleh rafas. (Al-Baqarah: 197)

Yakni barang siapa yang memasuki ihram untuk ibadah haji atau umrah, hendaklah ia menjauhi rafas. Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)

Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menjurus ke arahnya, seperti berpelukan dan berciuman serta lain-lainnya yang semisal; juga diharamkan membicarakan hal-hal tersebut di hadapan kaum wanita.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus; Nafi' pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Umar acapkali mengatakan bahwa rafas artinya menggauli istri dan membicarakan hal-hal yang berbau porno.

Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qatadah, dari seorang lelaki, dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mendendangkan syair untuk memberi semangat kepada unta kendaraannya, sedangkan dia dalam keadaan berihram, yaitu ucapan penyair:

وَهُنَّ يَمْشينَ بنَا هَمِيسَا ... إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...

Sedangkan wanita-wanita itu berjalan bersama kami dengan langkah yang tak bersuara; sekiranya ada burung, niscaya kami dapat menyentuhnya.

Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, "Apakah engkau mengeluarkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya rafas yang dilarang ialah bila dituturkan di hadapan kaum wanita."

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A'masy, dari Ziyad ibnu Husain, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkan asar ini.

Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi,-dari Auf, telah menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku Abu Husain ibnu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah berangkat haji bersama Ibnu Abbas, dan pada tahun itu dia menjadi teman Ibnu Abbas. Setelah kami ihram (memasuki miqat), Ibnu Abbas mendendangkan sebuah syair untuk memberikan semangat kepada unta kendaraannya, yaitu:

وَهُنَّ يَمْشِينَ بنَا هَمِيسَا ... إنْ يَصْدُق الطَّيْرُ نَنَلْ لَميسَا ...

Mereka (wanita-wanita itu) berjalan bersama kami dengan langkah-langkah yang tak bersuara; seandainya kami menjumpai burung, niscaya kami dapat memegangnya.

Abu Husain ibnu Qais bertanya, "Apakah engkau berani mengucapkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?" Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang dinamakan rafas ialah bila diucapkan di hadapan kaum wanita."

Abdullah ibnu Tawus meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: maka tidak boleh rafas dan berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Rafas artinya mengeluarkan kata-kata sindiran yang mengandung arti persetubuhan. Ungkapan ini dinamakan 'irabah menurut islilah orang-orang Arab yang artinya 'kata-kata yang jorok'."

Ata ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa rafas artinya persetubuhan dan yang lebih rendah daripada itu berupa perkataan yang jorok. Hal yang sama dikatakan pula oleh Amr ibnu Dinar.

Ata mengatakan bahwa orang-orang Arab tidak menyukai ungkapan 'irabah yang artinya kata-kata sindiran ke arah persetubuhan, hal ini hukumnya haram.

Tawus mengatakan, rafas ialah bila seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Apabila kamu telah ber-tahallul, niscaya aku akan menggaulimu." Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa rafas artinya menyetubuhi wanita, menciumnya, dan mencumbu rayunya serta mengeluarkan kata-kata sindiran yang jorok kepadanya yang menjurus ke arah persetubuhan dan lain-lainnya yang semisal.

Ibnu Abbas mengatakan pula —juga Ibnu Umar— bahwa rafas artinya menyetubuhi wanita. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, Ibrahim, Abul Aliyah, dari Ata, Makhul, Ata Al-Khurrasani, Ata ibnu Yasar, Atiyyah, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi', Az-Zuhri, As-Saddi, Malik ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Abdul Karim ibnu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.

*************

Firman Allah Swt.:

وَلا فُسُوقَ

dan tidak boleh berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197)

Miqsam dan bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah perbuatan-perbuatan maksiat.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ata, Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata ibnu Yasar, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi', dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah semua jenis perbuatan maksiat terhadap Allah, baik berupa berburu (di waktu ihram) ataupun perbuatan lainnya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', bahwa Abdullah ibnu Umar pernah berkata, "Yang dinamakan fusuq ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang durhaka terhadap Allah di Tanah Suci."

Sedangkan ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan fusuq dalam ayat ini ialah mencaci maki. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, Mujahid, As-Saddi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan. Barangkali mereka yang mengatakan demikian (caci maki) berpegang kepada apa yang telah ditetapkan di dalam hadis sahih, yaitu:

«سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ»

Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik, dan memeranginya adalah kekufuran.

Karena itulah maka dalam bab ini Abu Muhammad ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri, dari Zubaid, dari Abu Wail, dari Abdullah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Mencaci orang muslim hukumnya fasik dan memeranginya hukumnya kufur.

Telah diriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Mas'ud, dari ayahnya, juga melalui hadis Abu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sa'd, dari ayahnya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa fusuq dalam ayat ini artinya melakukan sembelihan untuk berhala-berhala, seperti pengertian yang terdapat di dalam Firman-Nya:

أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An'am: 145)

Ad-Dahhak mengatakan, al-fusuq artinya saling memanggil dengan julukan-julukan yang buruk.

Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna fusuq dalam ayat ini ialah semua perbuatan maksiat merupakan pendapat yang benar, sebagaimana Allah melarang perbuatan zalim (aniaya) dalam bulan-bulan haram, sekalipun dalam sepanjang masa perbuatan ini diharamkan, hanya saja dalam bulan-bulan haram lebih keras lagi keharamannya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:

مِنْها أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat ini. (At-Taubah: 36)

Sehubungan dengan melakukan perbuatan zalim di Tanah Suci, Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذابٍ أَلِيمٍ

Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa isitilah fusuq dalam ayat ini ialah semua perbuatan yang dilarang di dalam ihram, seperti membunuh binatang buruan, mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan lain sebagainya yang sejenis, seperti yang disebutkan dari Ibnu Umar. Akan tetapi, semua apa yang telah kami sebutkan adalah harus lebih dijauhi.

Disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Abu Hazm, dari sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«من حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»

Barang siapa yang melakukan haji di Baitullah ini, lalu ia tidak rafas dan tidak berbuat fasik, maka seakan-akan ia bersih dari semua dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.

*************

Firman Allah Swt.:

وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)

Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berbantah-bantahan dalam musim haji, yakni sewaktu sedang melaksanakan manasik-manasiknya. Allah Swt. telah menjelaskannya dengan keterangan yang sempurna dan merincikannya dengan rincian yang gamblang.

Sehubungan dengan hal ini Waki' telah meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Sesungguhnya Allah Swt. telah menjelaskan bulan-bulan haji, maka tidak boleh lagi ada bantah-bantahan di antara manusia dalam mengerjakannya.

Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak ada bulan yang ditangguhkan dan tidak ada bantahan-bantahan dalam masalah haji, semuanya sudah jelas. Kemudian Mujahid menyebutkan tingkah laku yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap apa yang disebutkan di kalangan mereka dengan nama nasi' (menangguhkan bulan haji, lalu memindahkannya ke bulan yang lain). Perbuatan mereka itu sangat dicela oleh Allah Swt.

As-Sauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi', dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa masalah haji telah diluruskan, maka tidak boleh ada bantah-bantahan lagi mengenainya.

Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Saddi. Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan jidal ialah berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan ibadah haji.

Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Makna yang dimaksud ialah melakukan bantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji. Hanya Allah yang lebih mengetahui, bahwa pada mulanya orang-orang Quraisy melakukan wuquf di Masy'aril Haram, yaitu di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab lainnya dan selain orang-orang Arab melakukan wuquf di Arafah. Mereka selalu berbantah-bantahan. Golongan yang pertama mengatakan, "Kami lebih benar," sedangkan golongan yang lain mengatakan, "Kamilah yang lebih benar." Demikianlah menurut pandangan kami, dan hanya Allah yang lebih mengetahui.

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam bahwa mereka mengambil tempat wuqufnya sendiri-sendiri se-cara berbeda-beda yang masih mereka perdebatkan, masing-masing pihak mengakui bahwa mauqif-nya adalah berdasarkan mauqif Nabi Ibrahim a.s. Maka Allah memutuskannya, yaitu ketika Dia memberi-tahukan kepada Nabi-Nya tentang manasik yang sesungguhnya.

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy apabila berkumpul di Mina, maka sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lainnya, "Haji kami lebih sempurna daripada haji kalian," begitu pula sebaliknya.

Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Jabir ibnu Habib, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam ibadah haji ialah bila sebagian dari mereka yang terlibat mengatakan, "Haji adalah esok hari." Sedangkan sebagian yang lain mengatakan, "Haji adalah hari ini."

Sementara itu Ibnu Jarir memilih kandungan makna dari semua pendapat yang telah disebutkan di atas, yaitu tidak boleh berbantah-bantahan dalam manasik haji.

Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan istilah jidal dalam ayat ini ialah bertengkar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Hassan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abul Ah-was, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197)

Makna yang dimaksud dengan al-jidal ialah bila kamu membantah saudaramu hingga kamu buat dia marah karenanya.

Dengan sanad yang sama sampai kepada Abu Ishaq, dari At-Tamimi, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna al-jidal, maka Ibnu Abbas menjawab, "Artinya berbantah-bantahan, yaitu bila kamu melakukan bantahan terhadap temanmu hingga kamu buat dia marah karenanya." Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Miqsan dan Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Makhul, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Arar ibnu Dinar, Ad-Dahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ibrahim An-Nakha'i, Ata ibnu Yasar, Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Artinya, berbantah-bantahan dan perdebatan hingga engkau membuat marah saudara dan temanmu, kemudian Allah Swt. melarang hal tersebut.

Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa mereka tidak menyukai berbantah-bantahan.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa al-jidal dalam ibadah haji artinya mencaci maki dan bertengkar.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi', Umar pernah mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji artinya melakukan caci maki, perdebatan, dan pertengkaran.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnuz Zubair, Al-Hasan, Ibrahim,Tawus, dan Muhammad ibnu Ka'b, bahwa mereka mengatakan, "Al-jidal artinya berbantah-bantahan."

Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Yahya ibnu Basyir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah 197) Al-jidal artinya marah, yaitu bila kamu membuat marah seorang muslim, kecuali jika kamu menegur budak, lalu kamu membuatnya marah tanpa memukulnya, maka tidak menjadi masalah bagimu, insya Allah.

Menurut kami, seandainya seseorang memukul budaknya, hal ini masih tetap diperbolehkan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبَّادِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجّاجًا، حَتَّى إِذَا كُنَّا بالعَرْج نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَلَسَتْ عائشةُ إِلَى جَنْبِ رَسُولِ اللَّهِ، وجلستُ إِلَى جَنْب أَبِي. وَكَانَتْ زِمَالة أَبِي بَكْرٍ وزِمَالة رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدَةً مَعَ غُلَامِ أَبِي بَكْرٍ، فَجَلَسَ أَبُو بَكْرٍ يَنْتَظِرُهُ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ عَلَيْهِ، فأطْلَعَ وَلَيْسَ مَعَهُ بَعِيرُهُ، فَقَالَ: أَيْنَ بَعِيرُكَ؟ فَقَالَ: أضللتُه الْبَارِحَةَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: بَعِيرٌ وَاحِدٌ تُضلَّه؟ فَطَفِقَ يَضْرِبُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَسَّمُ وَيَقُولُ: "انْظُرُوا إِلَى هَذَا المُحْرِم مَا يَصْنَعُ؟ ".

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayah-nya, dari Asma binti Abu Bakar yang menceritakan hadis berikut: Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. untuk menunaikan ibadah haji. Ketika kami berada di Araj, Rasulullah Saw. turun istirahat. Maka Siti Aisyah r.a. duduk di sebelah Rasulullah Saw., sedangkan aku duduk di sebelah Abu Bakar (ayahku). Ketika itu pelayan perempuan Abu Bakar dan Rasulullah Saw. hanya satu orang disertai dengan budak laki-laki milik Abu Bakar. Abu Bakar duduk menunggu budaknya muncul. Si budak muncul tanpa hewan untanya, maka Abu Bakar bertanya, "Ke mana untamu?" Si budak menjawab, "Tadi malam aku kehilangan dia." Abu Bakar berkata, "Mengapa seekor unta saja kamu tidak dapat menjaganya, hingga ia kabur?" Lalu Abu Bakar memukul budaknya itu, sedangkan Rasulullah Saw. tersenyum seraya berkata: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram ini.’

Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui hadis Ibnu Ishaq.

Berangkat dari pengertian hadis ini, ada sebagian ulama Salaf yang menyimpulkan bahwa termasuk kesempurnaan ibadah haji ialah memukul unta (kendaraan). Akan tetapi, dari sabda Nabi Saw. terhadap Abu Bakar ini, yaitu: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram ini. dapat ditarik kesimpulan adanya teguran yang lembut. Maknanya menyatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama.

قَالَ الْإِمَامُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ مُوسَى بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَخِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ قضَى نُسُكَه وسلِم الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"

Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Musa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidillah), dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang telah menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang terdahulu.

********

Firman Allah Swt.:

وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ

Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. (Al-Baqarah: 197)

Setelah Allah Swt. melarang mereka melakukan perbuatan yang buruk, baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka Allah menganjurkan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, dan Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahuinya; kelak Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan balasan yang berlimpah di hari kiamat nanti.

************

Firman Allah Swt.:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada orang-orang yang berangkat meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan, "Kami akan melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami makan?" (yakni niscaya Allah memberi kami makan). Maka turunlah ayat ini yang maknanya, "Berbekallah kalian untuk mencegah diri kalian dari meminta-minta kepada orang lain."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, bahwa orang-orang ada yang menunaikan hajinya tanpa membawa bekal. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Amr (yaitu Al-Fallas), dari Ibnu Uyaynah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, sesungguhnya hadis ini diriwayatkan pula oleh Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh Warqa, dari Ibnu Uyaynah lebih sahih.

Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Sa'id ibnu Abdur Rahman Al-Makhzumi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada orang-orang yang menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Adapun hadis Warqa, diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr, dari Syababah.

Diketengahkan oleh Abu Daud, dari Abu Mas'ud (yaitu Ahmad ibnul Furat Ar-Razi) dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, dari Syababah, dari Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Yaman melakukan ibadah hajinya tanpa membawa bekal, dan mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang yang bertawakal." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya dari Syababah.

Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syababah dengan lafaz yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Abdul Gaffar, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa tersebutlah apabila mereka telah memasuki ihram, sedangkan bekal yang mereka bawa masih ada pada mereka, maka mereka membuangnya, lalu mereka mengadakan perbekalan lain yang baru. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Mereka dilarang melakukan hal tersebut dan mereka diperintahkan agar membawa perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering (yakni makanan yang tahan lama). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnuz Zubair, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Salim ibnu Abdullah, Ata Al-Khurrasani, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Berbekallah kalian dengan perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering."

Waki' ibnul Jarrah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Suqah, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berbekallah (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud ialah bekal berupa tepung dan sagon.

Waki' meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Makki, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Amr yang mengatakan bahwa sesungguhnya termasuk kedermawanan seorang laki-laki ialah membawa bekal yang baik dalam perjalanannya.

Hammad ibnu Salamah menambahkan pada riwayat di atas, dari Abu Raihanah, bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan kepada orang yang mau bepergian dengannya agar membawa bekal yang baik.

****************

Firman Allah Swt.:

فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197)

Setelah Allah Swt. memerintahkan mereka agar membawa bekal dalam bepergian di dunia, maka Allah Swt. memberikan pctunjuk-Nya kepada mereka bekal lainnya untuk kebahagiaan di negeri akhirat, yaitu takwa kepada Allah. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَرِيشاً وَلِباسُ التَّقْوى ذلِكَ خَيْرٌ

dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. (Al-A'raf: 26)

Dengan kata lain, setelah Allah menyebutkan pakaian hissi (konkret), lalu Allah mengingatkan seraya memberikan petunjuk kepada jenis pakaian lainnya, yaitu pakaian maknawi (abstrak) berupa khusyuk, taat, dan takwa. Allah menyebutkan pula bahwa pakaian yang terakhir ini lebih baik dan lebih bermanfaat daripada jenis yang per-tama tadi.

Ata Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan takwa ialah bekal untuk akhirat.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [قَالَ] : "مَنْ يَتَزَوَّدْ فِي الدُّنْيَا يَنْفَعه فِي الْآخِرَةِ"

Imam Tabrani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang bersabda: Barang siapa yang membuat bekal di dunia, maka bekal ini akan bermanfaat di akhirat.

Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, ketika diturunkan firman-Nya: Dan berbekallah. (Al-Baqarah: 197) Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan kaum fakir miskin kaum muslim, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak menemukan apa yang bisa dipergunakan buat bekal kami." Maka Rasulullah Saw. bersabda:

"تَزَوَّدْ مَا تَكُفُّ بِهِ وَجْهَكَ عَنِ النَّاسِ، وَخَيْرُ مَا تَزَوَّدْتُمُ التَّقْوَى".

Berbekallah untuk mencegah dirimu dari meminta-minta kepada orang lain, dan sebaik-baik apa yang dijadikan bekal bagi kalian ialah takwa. (Riwayat Ibnu Abu Hatim)

**************

Firman Allah Swt.:

وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ

dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah: 197)

Yakni hindarilah oleh kalian siksaan-Ku, pembalasan-Ku, dan azab-Ku bagi orang yang menentang-Ku dan tidak mau mengerjakan perintah-Ku, hai orang-orang yang berakal dan berpemahaman!


لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا۟ فَضْلًۭا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَٰتٍۢ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ عِندَ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ ۖ وَٱذْكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ 198

(198) Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

(198) 

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan; mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. Maka turunlah firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yaitu dalam musim haji.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq dan Sa'id ibnu Mansur serta lain-lainnya yang bukan hanya satu orang, dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafaz yang sama.

Menurut sebagian di antara mereka, setelah Islam datang, mereka masih tetap merasa berdosa bila melakukan perniagaan (dalam musim haji), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai hal tersebut, lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa Jahiliah, tempat perniagaan orang-orang berada di Ukaz, Majinnah, dan Zul-Majaz. Setelah Islam datang, mereka tidak menyukai hal tersebut. Maka turunlah ayat ini.

Imam Abu Daud dan lain-lainnya meriwayatkan melalui hadis Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa mereka selalu menghindarkan dirinya dari melakukan perniagaan dalam musim haji, dan mereka mengatakan bahwa musim haji adalah hari-hari zikir. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Yakni dalam musim haji.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: "Tidak ada dosa bagi kalian dalam melakukan transaksi jual beli, sebelum dan sesudah ihram." Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.

Waki' mengatakan, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Amr Al-Hadrami, dari Ata, dari ibnu Abbas, bahwa ia membacakan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) dalam musim haji.

Abdurrahman mengatakan dari Ibnu Uyaynah, dari Abdullah ibnu Abu Yazid, "Aku pernah mendengar Ibnu Zubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: 'Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian' (Al-Baqarah: 198). dalam musim haji."

Tafsir yang sama dikemukakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mansuf ibnul Mu'tamir, Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Syababah ibnu Siwar, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Umaimah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Ibnu Umar ketika Ibnu Umar ditanya mengenai perihal seorang lelaki yang menunaikan ibadah haji dengan membawa barang dagangannya. Lalu Ibnu Umar membacakan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198) Maka Nabi Saw. memanggilnya dan bersabda kepadanya.

Predikat asar ini mauquf, tetapi sanadnya kuat dan baik. Sesungguhnya asar ini telah diriwayatkan pula secara marfu'.

Ahmad telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asbat, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr Al-Faqimi, dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami biasa melakukan transaksi kira (sewa-menyewa), maka apakah kami beroleh ibadah haji?" Ibnu Umar balik bertanya, "Bukankah kamu telah melakukan tawaf di Baitullah, datang ke Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambutmu?" Lelaki itu menjawab, "Tentu saja." Ibnu Umar berkata bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya tentang masalah seperti apa yang kamu tanyakan kepadaku, maka beliau tidak menjawab hingga Malaikat Jibril turun membawa ayat ini, yaitu firman-Nya: Kalian adalah jamaah haji.

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ai-Sauri, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari seorang lelaki Bani Tamim yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Abdullah ib-nu Umar, lalu berkata, "Hai Abu Abdur Rahman, sesungguhnya kami adalah dari kaum yang berprofesi sewa-menyewa, dan mereka menduga bahwa kami tidak akan mendapat haji (karena berbisnis)." Ibnu Umar menjawab, "Bukankah kalian telah berihram seperti mereka berihram, dan kalian bertawaf seperti mereka bertawaf, serta melempar jumrah seperti yang dilakukan oleh jamaah haji lainnya?" Lelaki itu menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar berkata, "Kalau demikian, kamu beroleh haji." Kemudian Ibnu Umar mengemukakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu ia bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku ini, maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian." (Al-Baqarah: 198)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya melalui Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Abu Huzaifah, dari As-Sauri secara marfu', dan telah diriwayatkan pula melalui jalur lainnya secara marfu'.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah kaum yang suka berniaga kira ke arah ini —yakni ke Mekah— dan sesungguhnya ada segolongan orang yang menduga bahwa kami tidak akan memperoleh pahala haji. Bagaimanakah menurutmu, apakah kami memperoleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian berihram, bertawaf di Baitullah, dan menunaikan semua manasik?" Ia menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar berkata, "Kalau demikian, kalian adalah orang-orang yang telah berhaji." Selanjutnya Ibnu Umar mengatakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepad-nya mengenai pertanyaan seperti yang kamu ajukan itu, maka Nabi Saw. tidak mengetahui apa yang harus ia katakan kepada-nya —atau beliau tidak menjawab sepatah kata pun— hingga turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian" (Al-Baqarah: 198). Maka beliau memanggil lelaki itu dan membacakan ayat ini kepadanya, lalu bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang telah berhaji."

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Mas'ud ibnu Sa'd dan Abdul Wahid ibnu Ziyad serta Syarik Al-Qadi, dari Al-Ala ibnul Musayyab dengan lafaz yang sama secara marfu'.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Taliq ibnu Muhammad Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Asbat (yaitu Ibnu Muhammad), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Umar (yaitu Al-Faqimi), dari Abu Umamah At-Taimi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang suka sewa-menyewakan. Apakah kami beroleh pahala haji?" Ibnu Umar bertanya, "Bukankah kalian tawaf di Baitullah, datang di Arafah, melempar jumrah, dan mencukur rambut kalian?" Kami menjawab, "Memang benar." Ibnu Umar menjawab dengan mengemukakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya kepadanya seperti pertanyaan yang kamu ajukan kepadaku, maka beliau tidak mengetahui apa yang harus beliau katakan kepadanya, hingga turunlah Jibril a.s. membawa firman-Nya, "Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian" (Al-Baqarah: 198), hingga akhir ayat. Dan Nabi Saw. bersabda, "Kalian adalah orang-orang yang berhaji."

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Gundar, dari Abdur Rahman ibnul Muhajir, dari Abu Saleh maula Umar yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Khalifah Umar, "Wahai Amirul Muminin, mengapa kalian berdagang dalam musim haji?" Umar r.a. menjawab, "Karena tiada lain penghidupan mereka hanyalah dari hasil perniagaan dalam musim haji."

********

Firman Allah Swt.:

فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ

Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198)

Sesungguhnya lafaz arafah di-fathah-kan, sekalipun ia sebagai alam yang muannas, karena pada asalnya berbentuk jamak seperti muslimat dan muminat, kemudian dijadikan nama untuk suatu daerah tertentu, maka bentuk asalnya ini dipelihara hingga ia menerima tanwin. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Arafah merupakan tempat wuquf dalam ibadah haji dan sebagai tiang dari semua pekerjaan haji. Karena itu, Imam Ahmad dan pemilik kitab-kitab sunan meriwayatkan sebuah hadis yang sahih sanad-nya:

عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَطَاءٍ، عن عبد الرحمن بن يَعْمر الديَلي، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "الْحَجُّ عَرَفَاتٌ -ثَلَاثًا -فَمَنْ أَدْرَكَ عَرَفَةَ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ، فَقَدْ أَدْرَكَ. وَأَيَّامُ مِنًى ثَلَاثَةٌ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ"

dari As-Sauri, dari Bukair bin Ata, dari Abdur Rahman ibnu Ya'mur Ad-Daili yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Haji itu hanyalah di Arafah —sebanyak tiga kali—. Barang siapa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji. Dan hari-hari Mina itu adalah tiga hari, karenanya barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa baginya.

Waktu wuquf itu dimulai dari tergelincirnya matahari (dari pertengahan langit) di hari Arafah sampai dengan munculnya fajar yang kedua dari hari Kurban, karena Nabi Saw. melakukan wuqufnya dalam haji wada' sesudah salat Lohor sampai dengan matahari terbenam, lalu beliau bersabda:

"لتأخُذوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ"

Ambillah (contoh) manasik-manasik kalian dariku.

Dalam hadis ini Nabi Saw. bersabda pula: Barang siapa yang menjumpai (hari) Arafah sebelum fajar menyingsing, berarti dia telah menjumpai haji. Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafii.

Imam Ahmad berpendapat bahwa waktu wuquf dimulai dari permulaan hari Arafah. Ia dan para pengikutnya mengatakan demikian dengan berdalilkan sebuah hadis dari Asy-Sya'bi, dari Urwah ibnu Midras ibnu Harisah ibnu Lamut Ta-i yang menceritakan:

أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، حِينَ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي جِئْتُ مِنْ جَبَليْ طَيْئٍ، أَكْلَلْتُ رَاحِلَتِي، وَأَتْعَبْتُ نَفْسِي، وَاللَّهِ مَا تَرَكْتُ مِنْ جَبَلٍ إِلَّا وَقَفْتُ عَلَيْهِ، فَهَلْ لِي مِنْ حَج؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "من شَهِد صَلَاتَنَا هَذِهِ، فَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ، وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا، فَقَدْ تَمَّ حَجّه، وَقَضَى تَفَثَه".

Aku datang kepada Rasulullah Saw. di Muzdalifah ketika beliau berangkat untuk menunaikan salat. Maka aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang dari Pegunungan Ta-i, unta kendaraanku telah lelah dan juga diriku. Demi Allah, tiada suatu bukit pun yang aku tinggalkan melainkan aku berwuqufpa-danya. Maka apakah aku memperoleh haji?" Rasulullah Saw. menjawab, "Barang siapa yang mengikuti salat kami ini dan wuquf bersama kami hingga kami berangkat, sedang sebelum itu ia telah wuquf di Arafah di malam. atau siang hari, maka sesungguhnya hajinya telah lengkap dan keperluannya telah dipenuhinya."

Hadis riwayat Imam Ahmad dan As-Habus Sunan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi.

Kemudian dikatakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf itu dinamakan Arafah karena ada sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang menceritakan bahwa Ibnul Musayyab pernah menceritakan kisah yang pernah dikatakan oleh Ali ibnu Abu Talib seperti berikut: Allah Swt. mengutus Jibril a.s. kepada Nabi Ibrahim a.s., lalu menuntunnya menunaikan ibadah haji. Dan ketika sampai di Arafah, Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah kenal daerah ini," sebelum itu Nabi Ibrahim pernah mendatanginya sekali. Karena itulah maka tempat wuquf dinamakan Arafah.

Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Abul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Ata yang menceritakan bahwa sesungguhnya tempat wuquf dinamakan Arafah, karena ketika Malaikat Jibril memperlihatkan kepada Nabi Ibrahim a.s. tempat-tempat manasik, Nabi Ibrahim berkata, "Aku telah mengenal ini" (yang dalam bahasa Arabnya disebut 'Araftu), kemudian dinamakanlah Arafah.

Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Abu Mijlaz.

Arafah dinamakan pula dengan sebutan Al-Masy'aril Haram, Al-Masy'aril Aqsa, dan Hal, sama wazannya dengan Hilal. Bukit yang ada di tengah-tengahnya dinamakan Jabal Rahmah. Sehubungan dengan hal ini Abu Talib pernah mengatakan dalam salah satu syairnya yang terkenal, yaitu:

وَبِالْمَشْعَرِ الْأَقْصَى إِذَا قَصَدُوا لَهُ ... إِلَالُ إِلَى تِلْكَ الشِّرَاجِ الْقَوَابِلِ

Apabila mereka hendak melakukan wuquf maka mereka berada di Al-Masy'aril Aqsa, yaitu dikenal pula dengan sebutan Hal sebagai kata persamaannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnul Hasan ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah (yaitu Ibnu Saleh), dari Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Jahiliah melakukan wuqufnya di Arafah. Manakala matahari berada di atas bukit seakan-akan seperti kain sorban di atas kepala laki-laki, maka mereka berangkat. Karena itu, maka Rasululluh Saw. menangguhkan keberangkatan dari Arafah hingga matahari tenggelam.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Zam'ah ibnu Saleh, dan menambahkan, "Kemudian Rasulullah Saw. berhenti di Muzdalifah, lalu melakukan salat Subuh di pagi buta. Manakala segala sesuatu tampak kuning dan berada di akhir waktu Subuh, barulah beliau bertolak." Hadis ini lebih baik sanadnya.

قَالَ ابْنُ جُرَيْج، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنِ المسْوَر بْنِ مَخْرَمة قَالَ: خَطَبنا رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وهو بِعَرَفَاتٍ، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ: "أَمَّا بَعْدُ -وَكَانَ إِذَا خَطَبَ خُطْبَةً قَالَ: أَمَّا بَعْدُ -فَإِنَّ هَذَا الْيَوْمَ الحجَ الْأَكْبَرَ، أَلَا وَإِنَّ أهلَ الشِّرْكِ وَالْأَوْثَانِ كَانُوا يَدْفَعُونَ فِي هَذَا الْيَوْمِ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ الْجِبَالِ، كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا، وَإِنَّا نَدْفَعُ بَعْدَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، وَكَانُوا يَدْفَعُونَ مِنَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ بَعْدَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، إِذَا كَانَتِ الشَّمْسُ فِي رُؤُوسِ الْجِبَالِ كَأَنَّهَا عَمَائِمُ الرِّجَالِ فِي وُجُوهِهَا وَإِنَّا نَدْفَعُ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ، مُخَالفاً هَدْيُنَا هَدْي أَهْلِ الشِّرْكِ".

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Muhammad ibnu Qais, dari Al-Miswar ibnu Makhramah yang menceritakan hadis berikut: Ketika Rasulullah Saw. berada di Arafah, beliau berkhotbah kepada kami. Untuk itu beliau mengucapkan hamdalah, puja serta puji kepada Allah Swt., setelah itu baru beliau bersabda, "Amma Ba'du, - dan memang kebiasaan beliau apabila berkhotbah selalu mengucapkan kalimat amma ba'du pada permulaannya- . Sesungguhnya hari ini adalah hari haji akbar. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang musyrik dan para penyembah berhala berangkat pada hari ini sebelum matahari tenggelam. Yaitu bila matahari berada di atas bukil-bukit seakan-akan seperti kain sorban laki-laki yang berlengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak sesudah matahari tenggelam. Dahulu mereka bertolak dari Masy'aril Haram sesudah matahari terbit, yaitu bila matahari (kelihatan) berada di atas bukit seakan-akan kain sorban laki-laki yang berlengger di kepalanya. Sesungguhnya kami bertolak sebelum matahari terbit agar petunjuk kita berbeda dengan petunjuk kaum musyrik.”

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih, dan hadis ini berdasarkan lafaz darinya; Imam Hakim meriwayatkannya pula di dalam kitab Mustadrak-nya, kedua-duanya melalui hadis Abdur Rahman ibnul Mubarak Al-Aisyi, dari Abdul Waris ibnu Sa'id, dari Ibnu Juraij. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.

Sesungguhnya terbukti dengan benar apa yang telah kami sebutkan di atas yang menyatakan bahwa Al-Miswar benar-benar mendengar langsung dari Rasulullah Saw. Tidak seperti apa yang diduga oleh segolongan teman-teman kami yang mengatakan bahwa Al-Miswar termasuk orang yang hanya pernah melihat Nabi Saw., tetapi tidak pernah mendengar hadis darinya.

Waki' meriwayatkan dari Syu'bah, dari Ismail ibnu Raja Az-Zubaidi, dari Al-Ma'rur ibnu Suwaid yang menceritakan bahwa ia pernah melihat sahabat Umar r.a. ketika bertolak dari Arafah, seakan-akan ia melihatnya seperti lelaki yang botak dengan mengendarai untanya seraya bertolak dan berkata, "Sesungguhnya kami menemukan cara berifadah (bertolak) ialah dengan langkah-langkah yang cepat."

Di dalam hadis Jabir ibnu Abdullah yang cukup panjang yang berada pada kitab Sahih Muslim disebutkan di dalamnya bahwa Nabi Saw. masih tetap berwuquf, yakni di Arafah, hingga matahari tenggelam dan awan kuning mulai tampak sedikit, hingga bulatan matahari benar-benar tenggelam. Nabi Saw. memboncengkan Usamah di belakangnya, lalu beliau bertolak seraya mengencangkan tali kendali qaswa unta kendaraannya, sehingga kepala unta kendaraannya hampir menyentuh bagian depan rahl (pelana)nya, seraya mengisyaratkan dengan tangannya seakan-akan mengatakan:

"أَيُّهَا النَّاسُ، السَّكِينَةَ السَّكِينَةَ"

Hai manusia, tenanglah, tenanglah.

Manakala menaiki bukit, beliau mengendurkan tali kendalinya sedikit agar qaswa dapat naik dengan mudah, hingga sampailah di Muzdalifah, lalu salat Magrib dan Isya padanya dengan sekali azan dan dua kali iqamah, tidak membaca tasbih apa pun di antara keduanya.

Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit, lalu salat Subuh ketika fajar Subuh telah tampak baginya dengan sekali azan dan sekali iqamah. Sesudah itu beliau mengendarai qaswa dan berangkat hingga sampai di Masy'aril Haram, lalu menghadap ke arah kiblat dan berdoa kepada Allah seraya bertakbir, bertahlil, dan menauhidkan-Nya. Beliau Saw. masih tetap dalam keadaan wuquf hingga cahaya pagi kelihatan kuning sekali. Kemudian beliau bertolak sebelum matahari terbit.

Di dalam kitab Sahihain, dari Usamah ibnu Zaid disebutkan bahwa ia pernah ditanya mengenai kecepatan kendaraan Rasulullah Saw. ketika bertolak (dari Muzdalifah ke Masy'aril Haram). Maka Usamah menjawab bahwa beliau Saw. memacu kendaraannya dengan langkah-langkah yang sedang; dan apabila menjumpai tanah yang legok, maka beliau memacunya dengan langkah yang lebih lebar lagi.

Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad (anak lelaki dari anak perempuan Imam Syafii) dalam surat yang ditujukannya kepadaku. Ia menceritakannya dari ayahnya atau dari pamannya, dari Sufyan ibnu Uyaynah sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) Yang dimaksud dengan zikir dalam ayat ini ialah menjamak dua salat.

Abu Ishaq As-Subai'i meriwayatkan dari Ainr ibnu Maimun, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang Masy'aril Haram. Maka Ibnu Amr diam, tidak menjawab. Tetapi ketika kaki depan unta kendaraan kami mulai mengambil jalan menurun di Muzdalifah, ia bertanya, "Ke manakah orang yang tadi bertanya tentang Masy'aril Haram? Inilah Masy'aril Haram."

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Salim yang mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, "Masy'aril Haram adalah seluruh Muzdalifah."

Hisyam meriwayatkan dari Hajjaj, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: Berzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram. (Al-Baqarah: 198) Maka Ibnu Umar menjawab bahwa Masy'aril Haram ialah bukit ini dan daerah sekitarnya.

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Al-Mugirah, dari Ibrahim, bahwa Ibnu Umar melihat mereka berkumpul di Quzah. Maka ia berkata, "Mengapa mereka berkumpul di suatu tempat, padahal semua kawasan ini adalah Masy'aril Haram."

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, As-Saddi, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, dan Qatadah, bahwa mereka pernah mengatakan, "Masy'aril Haram itu terletak di antara kedua buah bukit."

Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata letak Muzdalifah, maka Ata menjawab, "Apabila kamu bertolak dari kedua ma'zam 'Arafah yang menuju ke arah lembah Muhassar, dan bukan kedua ma'zam 'Arafah itu termasuk bagian dari Muzdalifah, melainkan jalan menuju ke arah keduanya; maka berhentilah kamu di antara keduanya jika kamu suka. Aku suka bila kamu berhenti sebelum Quzah. Sekarang marilah bersamaku untuk memberi kesempatan kepada jalan yang dilalui oleh orang banyak."

Menurut kami, tempat-tempat untuk menunaikan haji merupakan rambu-rambu yang sudah jelas, dan sesungguhnya Muzdalifah dinamakan Masy'aril Haram hanyalah karena masih termasuk bagian dari Tanah Suci. Tetapi apakah melakukan wuquf di Muzdalifah merupakan rukun haji; bila tidak dilakukan, hajinya tidak sah? Seperti yang dikatakan oleh segolongan ulama Salaf dan sebagian murid-murid Imam Syafii, antara lain Al-Qaffal dan Ibnu Khuzaimah, berdasarkan kepada hadis Urwah ibnu Midras. Ataukah hukumnya wajib, seperti yang dikatakan oleh salah satu dari dua pendapat Imam Syafii yang mengatakan jika ditinggalkan dapat ditambal dengan membayar dam Ataukah hukumnya sunat; dengan kata lain, tidak ada sanksi apa pun bila ditinggalkan, seperti yang dikatakan oleh selainnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan para ulama, pembahasannya secara panjang lebar terdapat dalam kitab lain.

Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sufyan As-Sauri, dari Zaid ibnu Aslam, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"عَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنة، وجَمْع كُلُّهَا مَوقف إِلَّا مُحَسرًا"

Arafah semuanya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian (lembah Arafah). Dan Jam'un (Arafah) seluruhnya adalah tempat wuquf kecuali lembah Muhassar.

Hadis ini mursal.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ: "كُلُّ عَرَفَاتٍ مَوْقِفٌ، وَارْفَعُوا عَنْ عُرَنة. وَكُلُّ مُزْدَلِفَةَ مَوْقِفٌ وَارْفَعُوا عَنْ مُحَسِّر، وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحر، وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ"

Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Musa, dari Jubair ibnu Mut'im, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Semua kawasan Arafah adalah tempat wuquf dan tinggalkanlah oleh kalian (lembah) Arafah. Muzdalifah seluruhnya adalah tempat wuquf, tetapi tinggalkanlah oleh kalian lembah Muhassar. Dan seluruh pelosok Mekah adalah tempat penyembelihan kurban. Dan seluruh hari-hari tasyriq adalah hari-hari penyembelihan kurban.

Hadis ini pun munqati', karena sesungguhnya Sulaiman ibnu Musa yang dikenal dengan sebutan Al-Asydaq tidak menjumpai masa Jubair ibnu Mut'im.

Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan oleh Al-Walid ibnu Muslim dan Suwaid ibnu Abdul Aziz, dari Sa’id ibnu Abdul Aziz, dari Sulaiman; dan Al-Walid mengatakan dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya. Sedangkan Suwaid mengatakan dari Nafi' ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkannya.

************

Firman Allah Swt.:

وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ

Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang di-tunjukkan-Nya kepada kalian. (Al-Baqarah: 198)

Ayat ini mengingatkan mereka akan limpahan nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, yaitu berupa hidayah, keterangan, dan bimbingan kepada masya'irul hajji. Hal ini sesuai dengan hidayah yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. Karena itulah sesudahnya disebutkan:

وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ

dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. (Al-Baqarah: 198)

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan sebelum itu ialah sebelum adanya petunjuk tersebut. Menurut pendapat yang lain, sebelum adanya Al-Qur'an; dan menurut pendapat yang lainnya lagi sebelum adanya Rasul Saw. Akan tetapi, pada prinsipnya masing-masing pendapat berdekatan pengertiannya, saling mengukuhkan dan benar.


ثُمَّ أَفِيضُوا۟ مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ ٱلنَّاسُ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 199

(199) Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(199) 

Lafaz summa dalam ayat ini untuk meng-ataf-kan suatu khabar kepada khabar yang lain dan menunjukkan pengertian urutannya. Seakan-akan Allah memerintahkan kepada orang yang wakaf di Arafah agar bertolak menuju Muzdalifah untuk berzikir kepada Allah Swt. di Masy'aril Haram. Allah memerintahkan kepadanya agar wuquf bersama orang-orang banyak di Arafah, seperti yang telah dilakukan oleh mayoritas orang-orang di masa silam, kecuali orang-orang Quraisy; orang-orang Quraisy tidak mau keluar dari batasan Tanah Suci. Mereka melakukan wuqufnya di perbatasan Kota Suci yang berdekatan dengan Tanah Halal, lalu mereka mengatakan, "Kami adalah orang-orang kepercayaan Allah di negeri-Nya dan pengurus aimah-Nya."

Imam Bukhari meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy dan orang-orang yang mengikuti mereka berwuquf di Muzdalifah, lalu mereka menamakannya Al-Hams, sedangkan orang-orang Arab lainnya berwuquf di Arafah.

Ketika Islam datang, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar datang ke Arafah, kemudian melakukan wuquf padanya, lalu bertolak darinya. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: dari bertolaknya orang-orang. (Al-Baqarah: 199)

Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir dan mengatakannya sebagai suatu kesepakatan.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya yang menceritakan, "Aku pernah kehilangan seekor unta milikku di Arafah, maka aku berangkat mencarinya. Tiba-tiba aku menjumpai Nabi Saw. sedang wuquf. Maka aku berkata (kepada diriku sendiri), 'Sesungguhnya hal ini termasuk Hams, apakah gerangan yang sedang dilakukannya di sini?'."

Riwayat ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing.

Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari hadis Musa Ibnu Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang kesimpulannya menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan istilah ifadah (bertolak) dalam ayat ini ialah bertolak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melempar jumrah.

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim saja, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang dalam ayat ini adalah Nabi Ibrahim a.s., juga menurut salah satu riwayat lainnya yang ada pada Imam (Ibnu Jarir). Ibnu Jarir mengatakan, "Seandainya tidak ada kesepakatan hujah yang memberikan pengertian sebaliknya, niscaya riwayat ini lebih kuat."

*************

Firman Allah Swt.:

وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 199)

Allah Swt. sering memerintahkan berzikir sesudah menunaikan ibadah. Karena itulah maka di dalam sebuah hadis sahih dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw. apabila selesai dari salat selalu membaca istigfar sebanyak tiga kali. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Nabi Saw. menganjurkan membaca tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak tiga puluh tiga kali (masing-masing).

Dalam bab ini Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Abbas ibnu Mirdas As-Sulami tentang pemiohonan ampun Nabi Saw. buat umatnya pada sore hari Arafah. Kami telah menghimpunnya di dalam sebuah kitab mengenai keutamaan hari Arafah.

Ibnu Murdawaih dalam bab ini meriwayatkan sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, dari Syaddad ibnu Aus yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتِنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلِيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، مَنْ قَالَهَا فِي لَيْلَةٍ فَمَاتَ فِي لَيْلَتِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ قَالَهَا فِي يَوْمِهِ فَمَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ»

Penghulu istigfar ialah bacaan seorang hamba akan doa berikut: "Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkaulah yang menciptakan diriku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku berada di bawah perintah-Mu dan janji-Mu menurut kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahalan apa yang telah kuperbuat, aku kembali kepada-Mu dengan semua nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku, dan aku kembali kepada-Mu dengan semua dosaku. Maka ampunilah daku, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali hanya Engkau." Barang siapa yang membacanya di suatu malam, lalu di malam itu juga ia meninggal dunia, niscaya ia masuk surga. Dan barang siapa yang membacanya di siang hari, lalu ia meninggal dunia. niscaya masuk surga.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadis dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Abu Bakar pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu doa yang akan kubacakan dalam salatku." Maka Rasulullah Saw. bersabda:

"قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي، إنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ"

Katakanlah, "Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan perbuatan aniaya yang banyak sekali, sedangkan tiada seorang pun yang dapat memberikan ampunan kecuali Engkau; maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan belas kasihanilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."

Hadis-hadis mengenai istigfar cukup banyak, dan yang disebutkan di sini hanya sebagian kecil saja.


فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَٰسِكَكُمْ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَذِكْرِكُمْ ءَابَآءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًۭا ۗ فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى ٱلدُّنْيَا وَمَا لَهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنْ خَلَٰقٍۢ 200

(200) Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.

(200) 

Allah memerintahkan banyak berzikir kepada-Nya sesudah menunaikan manasik dan merampungkannya.

***********

Firman Allah Swt.:

كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ

sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian. (Al-Baqarah: 2)

Para ulama berbeda pendapat mengenai maknanya. Menurut Ibnu Jarir, dari Ata, disebutkan bahwa yang dimaksud ialah seperti ucapan seorang anak kecil kepada ayah dan ibunya. Yakni seperti anak kecil menyebut-nyebut ayah dan ibunya. Dengan kata lain, demikian pula kalian, maka sebut-sebutlah Allah dalam zikir kalian sesudah menunaikan semua manasik.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas hal yang semisal.

Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Jahiliah di masa lalu melakukan wuquf dalam musim haji dan seseorang dari mereka mengatakan bahwa ayahnya dahulu suka memberi makan dan menanggung beban serta menanggung diat orang lain. Tiada yang mereka sebut-sebut selain dari perbuatan bapak-bapak mereka. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu: Maka berzikiriah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 2)

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa As-Saddi meriwayatkan dari Anas ibnu Malik, Abu Wail, dan Ata ibnu Abu Rabbah menurut salah satu pendapatnya, juga Sa'id ibnu Jubair; serta Ikrimah menurut salah satu riwayatnya; juga Mujahid, As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, Ar-Rabi' ibnu Anas, Al-Hasan, Qatadah, Muhammad ibnu Ka'b, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang semisal dengan riwayat di atas. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Jama'ah.

Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah anjuran untuk banyak berzikir kepada Allah Swt. Karena itu, maka lafaz asyadda dibaca nasab sebagai tamyiz. Bentuk lengkapnya ialah seperti kalian menyebut-nyebut nenek moyang kalian atau bahkan lebih banyak lagi dari itu. Huruf au dalam ayat ini menunjukkan pengertian merealisasikan persamaan dalam berita. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:

فَهِيَ كَالْحِجارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً

hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (Al-Baqarah: 74)

يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً

mereka (orang-orang munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. (An-Nisa: 77)

وَأَرْسَلْناهُ إِلى مِائَةِ أَلْفٍ أَوْ يَزِيدُونَ

Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih. (As-Saffat: 147)

Dan firman Allah Swt.:

فَكانَ قابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنى

Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (An-Najm: 9)

Au di sini bukan menunjukkan makna syak (ragu), melainkan untuk merealisasikan subyek berita seperti apa adanya atau lebih banyak dari itu.

Kemudian Allah Swt. memberikan petunjuk kepada mereka untuk berdoa kepada-Nya sesudah banyak berzikir kepada-Nya, karena keadaan seperti itu sangat dekat untuk diperkenankan. Dan Allah mencela orang yang tidak mau meminta kepada-Nya kecuali hanya mengenai urusan duniawinya, sedangkan urusan akhiratnya dia kesampingkan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 2)

Yang dimaksud dengan khalaq ialah bagian, yakni tiada keberuntungan baginya di akhirat nanti. Di dalam kalimat ini terkandung makna celaan dan menanamkan rasa antipati terhadap perbuatan seperti itu.

Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab datang ke tempat wuquf, lalu mereka berdoa, "Ya Allah, jadikanlah tahun ini tahun yang penuh dengan hujan, tahun kesuburan, dan tahun banyak anak yang baik-baik," mereka tidak menyinggung permintaan untuk akhiratnya barang sedikit pun. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Maka di antara manusia ada yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berikanlah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 2)

Lain halnya dengan orang-orang yang datang sesudah mereka dari kalangan kaum mukmin. Maka doa mereka ialah seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Baqarah: 21)

Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya berkenaan dengan mereka itu, yaitu:

أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Al-Baqarah: 22)

Karena itulah Allah Swt. memuji mereka yang meminta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat melalui firman-Nya: Dan di antara mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." (Al-Baqarah: 21)

Doa ini mencakup semua kebaikan di dunia dan memalingkan semua keburukan, karena sesungguhnya kebaikan di dunia itu mencakup semua yang didambakan dalam kehidupan dunia, seperti kesehatan, rumah yang luas, istri yang cantik, rezeki yang berlimpah, ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kendaraan yang mudah, dan sebutan yang baik serta lain-lainnya; semuanya itu tercakup di dalam ungkapan mufassirin. Semua hal yang kami sebutkan tadi termasuk ke dalam pengertian kebaikan di dunia.

Adapun mengenai kebaikan di akhirat, yang paling tinggi ialah masuk surga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti aman dari rasa takut yang amat besar di padang mahsyar, dapat kemudahan dalam hisab, dan lain sebagainya.

Bagi orang yang menghendaki keselamatan, dituntut mengerjakan hal-hal yang membawa dirinya ke jalan keselamatan itu, misalnya menjauhi hal-hal yang diharamkan, perbuatan-perbuatan yang berdosa, serta meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang diharamkan. Sehubungan dengan hal ini Abul Qasim Abu Abdur Rahman pernah mengatakan, "Barang siapa yang dianugerahi hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berzikir, dan tubuh yang sabar, maka sesungguhnya dia telah dianugerahi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta dipelihara dari siksa neraka."

Karena itulah maka banyak anjuran di dalam sunnah yang memerintahkan membaca doa ini.

فَقَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اللَّهم ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ"

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Abdul Aziz, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَكْثَرُ دَعْوَةٍ يَدْعُو بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [يَقُولُ] : "اللَّهُمَّ ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وقنا عذاب النار"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib yang menceritakan bahwa Qatadah pernah bertanya kepada Anas suatu doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi Saw. Maka Anas r.a. menjawab bahwa Nabi Saw. acapkali membaca doa berikut, yaitu: Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.

Anas r.a. apabila hendak mengucapkan suatu doa, ia pasti membaca doa ini; atau bila dia hendak mengucapkan suatu doa, maka ia mengikutkan doa ini di dalamnya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Syaddad (yakni Abu Talut), bahwa ia pernah berada di rumah Anas ibnu Malik, lalu Sabit berkata kepadanya, "Sesungguhnya saudara-saudaramu menginginkan agar engkau berdoa untuk mereka." Maka Anas r.a. membaca doa berikut: Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Lalu mereka mengobrol selama sesaat; dan ketika mereka hendak bubar dari rumah sahabat Anas, mereka berkata, "Wahai Abu Hamzah, sesungguhnya saudara-saudaramu hendak bubar, maka doakanlah kepada Allah buat mereka." Sahabat Anas menjawab, "Apakah kalian menghendaki agar aku memecah-belah semua urusan kalian? Apabila Allah memberi kalian kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta Allah memelihara diri kalian dari siksa neraka, berarti kalian telah diberi semua kebaikan."

قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ حُمَيْدٍ، [وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ السَّهْمِيِّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ] (3) عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ رَجُلا مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ صَارَ مِثْلَ الفَرْخ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَلْ تَدْعُو اللَّهَ بِشَيْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إيَّاه؟ " قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَقُولُ: اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سُبْحَانَ اللَّهِ! لَا تُطِيقُهُ -أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ -فَهَلَّا قُلْتَ: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ". قَالَ: فَدَعَا اللَّهَ، فَشَفَاهُ.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Sabit, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menjenguk seorang lelaki dari kaum muslim yang keadaannya sudah sangat lemah. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: "Pernahkah engkau mendoakan sesuatu kepada Allah atau kamu meminta sesuatu kepada-Nya?" Lelaki itu menjawab, "Ya, aku sering mengucapkan, 'Ya Allah, jika Engkau akan menyiksaku di akhirat, maka kumohon agar Engkau menyegerakannya di dunia ini bagiku." Rasulullah Saw. bersabda, "Mahasuci Allah, kamu tidak akan kuat, atau kamu tidak akan mampu. Mengapa engkau tidak katakan, 'Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka' Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu lelaki tersebut mendoa kepada Allah dengan doa itu; akhirnya Allah menyembuhkannya.

Hadis ini hanya Imam Muslim sendiri yang mengetengahkannya. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abu Addi dengan lafaz yang telah disebutkan di atas.

قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ: أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ الْقَدَّاحُ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ -مَوْلَى السَّائِبِ -عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ: أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِيمَا بَيْنُ الرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ وَالرُّكْنِ الْأَسْوَدِ: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salim Al-Qaddah, dari Ibnu Juraij, dari Yahya ibnu Ubaid maula As-Saib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnus Saib, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan doa berikut di antara rukun Bani Jumah dan rukun Aswad, yaitu: Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.

As-Sauri meriwayatkannya pula dari Ibnu Juraij dengan lafaz yang sama. Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi Saw. dengan makna yang semisal, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan.

قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي، أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ مُسَاوِرٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُرْمُزَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَرَرْتُ عَلَى الرُّكْنِ إِلَّا رَأَيْتُ عَلَيْهِ مَلَكًا يَقُولُ: آمِينَ. فَإِذَا مَرَرْتُمْ عَلَيْهِ فَقُولُوا: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Musawir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, dari Abdullah ibnu Hurmuz, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali aku melewati rukun melainkan aku melihat padanya seorang malaikat yang mengucapkan amin. Karena itu, apabila kalian melewatinya, maka katakanlah, "Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka."

Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zakaria Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Juhair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku telah memberikan bayaran kepada suatu kaum agar mereka mau menanggungku. Untuk itu aku berikan kepada mereka semua perongkosanku dengan syarat mereka harus menghajikan aku bersama-sama mereka, apakah hal itu sudah dianggap cukup (yakni dihajikan oleh orang lain dengan perongkosan dari orang yang bersangkutan)?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Engkau termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: 'Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya' (Al-Baqarah: 22)."

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.


وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِى ٱلدُّنْيَا حَسَنَةًۭ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ حَسَنَةًۭ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ 201

(201) Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".

(201) 

Kemudian Allah Swt. memberikan petunjuk kepada mereka untuk berdoa kepada-Nya sesudah banyak berzikir kepada-Nya, karena keadaan seperti itu sangat dekat untuk diperkenankan. Dan Allah mencela orang yang tidak mau meminta kepada-Nya kecuali hanya mengenai urusan duniawinya, sedangkan urusan akhiratnya dia kesampingkan. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ

Maka di antara manusia ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 2)

Yang dimaksud dengan khalaq ialah bagian, yakni tiada keberuntungan baginya di akhirat nanti. Di dalam kalimat ini terkandung makna celaan dan menanamkan rasa antipati terhadap perbuatan seperti itu.

Sa'id ibnu Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab datang ke tempat wuquf, lalu mereka berdoa, "Ya Allah, jadikanlah tahun ini tahun yang penuh dengan hujan, tahun kesuburan, dan tahun banyak anak yang baik-baik," mereka tidak menyinggung permintaan untuk akhiratnya barang sedikit pun. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Maka di antara manusia ada yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berikanlah kami (kebaikan) di dunia," dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat. (Al-Baqarah: 2)

Lain halnya dengan orang-orang yang datang sesudah mereka dari kalangan kaum mukmin. Maka doa mereka ialah seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. (Al-Baqarah: 21)


أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌۭ مِّمَّا كَسَبُوا۟ ۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ 202

(202) Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

(202) 

أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Al-Baqarah: 22)

Karena itulah Allah Swt. memuji mereka yang meminta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat melalui firman-Nya: Dan di antara mereka ada orang yang mendoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." (Al-Baqarah: 21)

Doa ini mencakup semua kebaikan di dunia dan memalingkan semua keburukan, karena sesungguhnya kebaikan di dunia itu mencakup semua yang didambakan dalam kehidupan dunia, seperti kesehatan, rumah yang luas, istri yang cantik, rezeki yang berlimpah, ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kendaraan yang mudah, dan sebutan yang baik serta lain-lainnya; semuanya itu tercakup di dalam ungkapan mufassirin. Semua hal yang kami sebutkan tadi termasuk ke dalam pengertian kebaikan di dunia.

Adapun mengenai kebaikan di akhirat, yang paling tinggi ialah masuk surga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti aman dari rasa takut yang amat besar di padang mahsyar, dapat kemudahan dalam hisab, dan lain sebagainya.

Bagi orang yang menghendaki keselamatan, dituntut mengerjakan hal-hal yang membawa dirinya ke jalan keselamatan itu, misalnya menjauhi hal-hal yang diharamkan, perbuatan-perbuatan yang berdosa, serta meninggalkan hal-hal yang syubhat dan yang diharamkan. Sehubungan dengan hal ini Abul Qasim Abu Abdur Rahman pernah mengatakan, "Barang siapa yang dianugerahi hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berzikir, dan tubuh yang sabar, maka sesungguhnya dia telah dianugerahi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta dipelihara dari siksa neraka."

Karena itulah maka banyak anjuran di dalam sunnah yang memerintahkan membaca doa ini.

فَقَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "اللَّهم ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ"

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Abdul Aziz, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Nabi Saw. acapkali mengucapkan doa berikut: Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَكْثَرُ دَعْوَةٍ يَدْعُو بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [يَقُولُ] : "اللَّهُمَّ ربَّنا، آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وقنا عذاب النار"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib yang menceritakan bahwa Qatadah pernah bertanya kepada Anas suatu doa yang paling banyak dibaca oleh Nabi Saw. Maka Anas r.a. menjawab bahwa Nabi Saw. acapkali membaca doa berikut, yaitu: Ya Allah, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.

Anas r.a. apabila hendak mengucapkan suatu doa, ia pasti membaca doa ini; atau bila dia hendak mengucapkan suatu doa, maka ia mengikutkan doa ini di dalamnya. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Syaddad (yakni Abu Talut), bahwa ia pernah berada di rumah Anas ibnu Malik, lalu Sabit berkata kepadanya, "Sesungguhnya saudara-saudaramu menginginkan agar engkau berdoa untuk mereka." Maka Anas r.a. membaca doa berikut: Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Lalu mereka mengobrol selama sesaat; dan ketika mereka hendak bubar dari rumah sahabat Anas, mereka berkata, "Wahai Abu Hamzah, sesungguhnya saudara-saudaramu hendak bubar, maka doakanlah kepada Allah buat mereka." Sahabat Anas menjawab, "Apakah kalian menghendaki agar aku memecah-belah semua urusan kalian? Apabila Allah memberi kalian kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta Allah memelihara diri kalian dari siksa neraka, berarti kalian telah diberi semua kebaikan."

قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ حُمَيْدٍ، [وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ السَّهْمِيِّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ] (3) عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَادَ رَجُلا مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ صَارَ مِثْلَ الفَرْخ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَلْ تَدْعُو اللَّهَ بِشَيْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إيَّاه؟ " قَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَقُولُ: اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "سُبْحَانَ اللَّهِ! لَا تُطِيقُهُ -أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ -فَهَلَّا قُلْتَ: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ". قَالَ: فَدَعَا اللَّهَ، فَشَفَاهُ.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Humaid, dari Sabit, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menjenguk seorang lelaki dari kaum muslim yang keadaannya sudah sangat lemah. Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: "Pernahkah engkau mendoakan sesuatu kepada Allah atau kamu meminta sesuatu kepada-Nya?" Lelaki itu menjawab, "Ya, aku sering mengucapkan, 'Ya Allah, jika Engkau akan menyiksaku di akhirat, maka kumohon agar Engkau menyegerakannya di dunia ini bagiku." Rasulullah Saw. bersabda, "Mahasuci Allah, kamu tidak akan kuat, atau kamu tidak akan mampu. Mengapa engkau tidak katakan, 'Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka' Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu lelaki tersebut mendoa kepada Allah dengan doa itu; akhirnya Allah menyembuhkannya.

Hadis ini hanya Imam Muslim sendiri yang mengetengahkannya. Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abu Addi dengan lafaz yang telah disebutkan di atas.

قَالَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ: أَخْبَرَنَا سَعِيدُ بْنُ سَالِمٍ الْقَدَّاحُ، عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدٍ -مَوْلَى السَّائِبِ -عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ: أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِيمَا بَيْنُ الرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ وَالرُّكْنِ الْأَسْوَدِ: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salim Al-Qaddah, dari Ibnu Juraij, dari Yahya ibnu Ubaid maula As-Saib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnus Saib, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. mengucapkan doa berikut di antara rukun Bani Jumah dan rukun Aswad, yaitu: Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.

As-Sauri meriwayatkannya pula dari Ibnu Juraij dengan lafaz yang sama. Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi Saw. dengan makna yang semisal, tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan.

قَالَ ابْنُ مَرْدويه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْبَاقِي، أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْقَاسِمِ بْنِ مُسَاوِرٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُرْمُزَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مَرَرْتُ عَلَى الرُّكْنِ إِلَّا رَأَيْتُ عَلَيْهِ مَلَكًا يَقُولُ: آمِينَ. فَإِذَا مَرَرْتُمْ عَلَيْهِ فَقُولُوا: رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Musawir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, dari Abdullah ibnu Hurmuz, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali aku melewati rukun melainkan aku melihat padanya seorang malaikat yang mengucapkan amin. Karena itu, apabila kalian melewatinya, maka katakanlah, "Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka."

Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zakaria Al-Anbari, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdus Salam, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Juhair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku telah memberikan bayaran kepada suatu kaum agar mereka mau menanggungku. Untuk itu aku berikan kepada mereka semua perongkosanku dengan syarat mereka harus menghajikan aku bersama-sama mereka, apakah hal itu sudah dianggap cukup (yakni dihajikan oleh orang lain dengan perongkosan dari orang yang bersangkutan)?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Engkau termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: 'Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya' (Al-Baqarah: 22)."

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa asar ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.