22 - الحج - Al-Hajj

Juz : 17

The Pilgrimage
Medinan & Meccan

وَهُدُوٓا۟ إِلَى ٱلطَّيِّبِ مِنَ ٱلْقَوْلِ وَهُدُوٓا۟ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلْحَمِيدِ 24

(24) Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.

(24) 

Adapun firman Allah Swt.:

وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ

Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik. (Al-Hajj: 24)

Makna ayat ini ditafsirkan oleh ayat lain melalui firman-Nya:

وَأُدْخِلَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ تَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلامٌ

Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam surga itu ialah 'Salam'. (Ibrahim: 23)

وَالْمَلائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ. سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

sedangkan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan), "Saldmun 'alaikum bimd sabartum.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. (Ar-Ra'd: 23-24)'

Dan firman Allah Swt.:

لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلا تَأْثِيمًا * إِلا قِيلا سَلامًا سَلامًا

Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, tetapi mereka mendengar ucapan salam. (Al-Waqi'ah: 25-26)

Yakni mereka diberi petunjuk ke tempat yang di dalamnya mereka mendengar perkataan yang baik-baik saja. Dan firman Allah Swt. lainnya yang menyebutkan:

وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلامًا

dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. (Al-Furqan: 75)

Keadaan mereka berbeda dengan ahli neraka yang terus-menerus dihina, dicela, dan dikecam. Dikatakan kepada mereka:

وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ

Rasakanlah azab yang membakar ini. (Al-Hajj: 22)

*******************

Firman Allah Swt.:

وَهُدُوا إِلَى صِرَاطِ الْحَمِيدِ

dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji. (Al-Hajj: 24)

Yaitu ke tempat yang di tempat itu mereka memuji Tuhannya atas kebaikan-Nya kepada mereka yang telah memberikan segala nikmat itu kepada mereka. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

"إِنَّهُمْ يُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ، كَمَا يُلْهَمُونَ النَّفَسَ".

Sesungguhnya mereka (ahli surga) diberi ilham untuk bertasbih dan bertahmid sebagaimana mereka diberi ilham untuk bernapas.

Sebagian ulama tafsir mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik. (Al-Hajj: 24) Bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur'an.

Menurut pendapat lain, kalimat La ilaha Illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah).

Sedangkan menurut pendapat yang lainnya lagi, zikir-zikir yang dianjurkan oleh syariat.

وَهُدُوا إِلَى صِرَاطِ الْحَمِيدِ

dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji. (Al-Hajj: 24)

Yakni jalan yang lurus ketika di dunianya.

Pada garis besarnya pendapat-pendapat ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah disebutkan di atas.


إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ٱلَّذِى جَعَلْنَٰهُ لِلنَّاسِ سَوَآءً ٱلْعَٰكِفُ فِيهِ وَٱلْبَادِ ۚ وَمَن يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍۭ بِظُلْمٍۢ نُّذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍۢ 25

(25) Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidilharam yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.

(25) 

Allah Swt. berfirman, memprotes perbuatan orang-orang kafir yang menghalang-halangi orang-orang mukmin untuk mendatangi Masjidil Haram guna menunaikan manasik mereka di dalamnya, juga memprotes pengakuan mereka yang mengklaim bahwa mereka adalah para penguasa Masjidil Haram. Untuk itu Allah Swt. telah berfirman:

وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلا الْمُتَّقُونَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya. Orang-orang yang berhak menguasainya) hanyalah orang-orang yang bertakwa. (Al-Anfal: 34), hingga akhir ayat.

Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa ayat yang sedang kita bahas adalah ayat Madaniyyah, sama halnya seperti yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah oleh firman-Nya:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217)

Dan dalam ayat berikut ini disebutkan oleh firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram. (Al-Hajj: 25)

Yakni ciri khas orang-orang kafir itu di samping mereka adalah kafir, juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan menghalang-halangi mereka untuk sampai ke Masjidil Haram. Yaitu menghalang-halangi kaum mukmin yang hendak menuju ke Masjidil Haram, padahal mereka adalah orang-orang yang paling berhak terhadap Masjidil Haram. Ungkapan tertib dalam ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain oleh firman-Nya:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar-Ra'd: 28)

Artinya, ciri khas orang-orang yang beriman itu ialah hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.

*******************

Firman Allah Swt.:

الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ

yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25)

Yakni orang-orang kafir itu menghalang-halangi orang-orang yang beriman untuk dapat sampai ke Masjidil Haram, padahal Allah telah menjadikannya sebagai tempat ibadah bagi semua manusia, tanpa ada beda, baik yang bermukim di situ maupun yang datang jauh dari luar.

سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ

sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25)

Karena itulah maka manusia mempunyai hak yang sama terhadap kawasan Mekah dan untuk tinggal di dalamnya.

seperti yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Bahwa penduduk Mekah dan selain mereka dapat tinggal di sekitar Masjidil Haram.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Bahwa penduduk asli Mekah dan selain mereka mempunyai hak yang sama untuk bertempat tinggal di Mekah.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Saleh, Abdur Rahman ibnu Sabit, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa sama saja haknya bagi penduduk asli Mekah maupun selain mereka dalam bertempat tinggal di Mekah.

Masalah inilah yang diperselisihkan oleh Imam Syafii dan Ishaq ibnu Rahawaih di Masjid Khaif, saat itu Imam Ahmad ibnu Hambal hadir pula. Imam Syafii berpendapat bahwa tanah kawasan Mekah boleh dimiliki, diwariskan, dan disewakan.

Imam Syafii mengatakan pendapat ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, dari Ali ibnul Hasan, dari Amr ibnu Usman, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.; "Wahai Rasulullah, apakah engkau besok akan turun di rumahmu di Mekah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Apakah Uqail telah meninggalkan sebidang tanah bagi kami (untuk tempat tinggal)?" Kemudian beliau Saw. bersabda:

"لَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ، وَلَا الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ"

Orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim, dan tidak pula orang muslim mewarisi orang kafir.

Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain.

Juga dengan sebuah asar yang telah menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah membeli sebuah rumah di Mekah dari Safwan ibnu Umayyah dengan harga empat ribu dirham, lalu Khalifah Umar menjadikannya sebagai rumah tahanan.

Tawus dan Amr ibnu Dinar mengatakan, Ishaq ibnu Rahawaih berpendapat bahwa tanah Mekah tidak dapat diwariskan dan tidak boleh disewakan. Pendapat inilah yang dianut oleh mazhab segolongan ulama Salaf, dan dinaskan oleh Mujahid serta Ata. Ishaq ibnu Rahawaih melandasi pendapatnya dengan sebuah riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Isa ibnu Yunus, dari Umar ibnu Sa'id ibnu Abu Haiwah, dari Usman ibnu Abu Sulaiman, dari Alqamah ibnu Nadlah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. wafat, begitu pula Abu Bakar dan Umar; sedangkan kawasan Mekah tiada seorang pun mengklaim memilikinya, melainkan semuanya adalah tanah sawaib (milik Allah). Barang siapa yang miskin, boleh tinggal padanya; dan barang siapa yang kaya, boleh memberikan tempat tinggal.

Abdur Razzaq ibnu Mujahid telah meriwayatkan dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa rumah-rumah di Mekah tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh pula disewakan. Abdur Razzaq telah meriwayatkan pula dari Ibnu Juraij, bahwa Ata melarang menyewakan tanah Mekah. Ibnu Juraij telah menceritakan pula kepadanya bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab melarang pembuatan pintu di rumah-rumah di Mekah agar para jamaah haji dapat tinggal di halaman-halamannya. Orang yang mula-mula membuat pintu pada rumahnya adalah Suhail ibnu Amr. Maka Umar ibnul Khattab mengirimkan utusan kepadanya guna menyelesaikan perkara tersebut. Maka Suhail ibnu Amr menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya saya adalah seorang pedagang, maka saya bermaksud membuat dua buah pintu guna memelihara barang dagangan saya." Maka Khalifah Umar berkata, "Kalau demikian, kamu boleh melakukannya."

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Mansur,dari Mujahid, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah berkata, "Hai ahli Mekah, janganlah kalian buat pintu-pintu di rumah-rumah kalian agar orang yang datang dari jauh dapat tinggal di mana pun ia suka."

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seseorang yang mendengarnya dari Ata sehubungan dengan makna firman-Nya: sama saja, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. (Al-Hajj: 25) Bahwa mereka boleh tinggal di mana pun mereka suka di Mekah.

Imam Daruqutni telah meriwayatkan melalui hadis Ibnu Abu Nujaih, dari Abdullah ibnu Amr secara mauquf. Barang siapa yang memakan dari hasil sewa rumah Mekah, berarti dia memakan api."

Imam Ahmad ber­pendapat pertengahan, untuk itu ia mengatakan bahwa tanah Mekah boleh dimiliki, tetapi tidak boleh diwariskan dan tidak boleh disewakan. Pen­dapatnya ini merupakan kesimpulan gabungan dari dalil-dalil yang ada mengenai masalah ini. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25)

Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa perbuatan tersebut ditujukan kepada orang Arab. Huruf ba dalam ayat ini adalah zaidah, sama halnya dengan huruf ba yang ada dalam firman-Nya:

تَنْبُتُ بِالدُّهْنِ

yang menghasilkan minyak. (Al-Mu’minun: 2)

Artinya adalah tanbutud duhna (menghasilkan minyak). Begitu pula makna firman-Nya:

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ

dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan. (Al-Hajj: 25)

Artinya adalah man yurid fihi ilhadan, yakni barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan di dalamnya. Sama pula dengan apa yaag terdapat di dalam perkataan seorang penyair, yaitu Al-Asya:

ضَمنَتْ بِرِزْقِ عِيَالِنَا أرْماحُنا ... بَيْنَ المَرَاجِل، والصّريحَ الْأَجْرَدِ

Tombak-tombak kami yang ada di antara panci-panci dan wadah-wadah kosong menjadi sarana yang menjamin rezeki anak-anak kami.

Dan ucapan seorang penyair lainnya, yaitu:

بوَاد يَمانِ يُنْبتُ الشَّثّ صَدْرُهُ ... وَأسْفَله بالمَرْخ والشَّبَهَان ...

Di Lembah Yaman di Markh dan Syabhan tumbuhlah rerumputan di bagian tengah dan bagian bawahnya.

Akan tetapi, pendapat yang terbaik ialah yang mengatakan bahwa kata kerja yurid dalam ayat ini mengandung makna yuhimmu. Karena itulah maka diperlukan adanya huruf ba sebagai ta'diyah:

وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ

dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan. (Al-Hajj: 25)

Yakni berniat hendak melakukan suatu perbuatan maksiat yang besar di dalamnya.

Firman-Nya:

بِظُلْمٍ

secara zalim. (Al-Hajj: 25)

Yaitu melakukannya dengan sengaja dan sadar bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan zalim, tidak mengandung arti lain. Demikianlah menurut penafsiran Ibnu Juraij, dari Ibnu Abbas; pendapat ini dapat dijadikan sebagai pegangan.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan zalim di sini adalah perbuatan musyrik.

Mujahid mengatakan, maksudnya bila disembah di dalamnya selain Allah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa perbuatan zalim ini ialah bila kamu melanggar kesucian tanah haram dengan melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah kamu melakukannya, seperti perbuatan menyakiti orang lain atau membunuh. Dengan kata lain, kamu menganiaya orang yang tidak menganiaya kamu dan membunuh orang yang tidak bermaksud membunuhmu. Apabila seseorang melakukan hal tersebut, pastilah baginya azab yang pedih.

Mujahid mengatakan bahwa zalim di sini maksudnya perbuatan yang buruk atau jahat akan ia lakukan di tanah suci. Ini merupakan salah satu dari kekhususan tanah suci, yaitu bahwa seorang yang jauh akan dihukum dengan keburukan oleh Allah bilamana ia berniat akan melakukannya di tanah suci, sekalipun ia masih belum melakukannya.

Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim di dalam kitab tafsirnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari As-Saddi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar seseorang menceritakan hadis dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim. (Al-Hajj: 25) Bahwa seandainya ada seorang lelaki berniat akan melakukan suatu kejahatan secara zalim di dalamnya, sedangkan ia masih berada di negeri 'Adn yang jauh, tentulah Allah akan merasakan kepadanya sebagian dari azab-Nya yang pedih.

Syu'bah mengatakan, "As-Saddi-lah orang yang me-rafa'-kannya bagi kami, dan saya tidak me-rafa'-kannya bagi kalian."

Syu'bah bermaksud bahwa dia pun ikut terlibat dalam me-rafa-kan hadis ini. Ahmad telah meriwayatkannya dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama.

Menurut saya, sanad hadis ini berpredikat sahih dengan syarat Imam Bukhari, tetapi predikat mauquf-nya lebih mendekati kebenaran daripada predikat marfu'-nya. Karena itulah maka Syu'bah meyakinkan akan ke-mauquf-annya hanya sampai pada perkataan sahabat Ibnu Mas'ud r.a.

Demikian pula Asbat dan As-Sauri telah meriwayatkannya dari As-Saddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud secara mauquf hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.

As-Sauri telah meriwayatkan dari As-Saddi, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa tiada seorang lelaki pun yang berniat akan melakukan suatu perbuatan jahat (di tanah suci), melainkan dicatatkan baginya niat jahatnya itu. Dan seandainya seorang lelaki yang berada jauh di negeri 'Adn berniat akan membunuh seseorang di tanah suci ini, tentulah Allah akan merasakan terhadapnya sebagian dari azab-Nya yang pedih.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak ibnu Muzahim. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid sehubungan dengan makna bi-ilhadin fihi. Ia mengatakan bahwa maknanya adalah ilhadin fihi. Pada mulanya ia menolak, kemudian mengiyakan (yakni huruf ba-nya dapat dikatakan sebagai ba zaidah atau ba ta'diyah, pent.)

Telah diriwayatkan dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr hal yang semisal dengan riwayat di atas. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa mencaci pelayan adalah perbuatan zalim, terlebih lagi yang lebih parah dari itu.

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Ata, dari Maimun ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al-Hajj: 25) Bahwa termasuk perbuatan zalim ialah seorang amir melakukan perniagaan di tanah suci.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa memperjualbelikan makanan di tanah suci merupakan perbuatan ilhad (jahat).

Habib ibnu Abu Sabit telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al-Hajj: 25) Makna yang dimaksud ialah melakukan penimbunan di Mekah. Hal yang sama telah dikatakan oleh bukan hanya seorang.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ الْجَوْهَرِيُّ، أَنْبَأَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ يَحْيَى، عَنْ عَمِّهِ عُمَارَةَ بْنِ ثَوْبَانَ، حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ بَاذَانَ، عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ؛ أن رسولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: "احْتِكَارُ الطَّعَامِ بِمَكَّةَ إِلْحَادٌ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya, dari pamannya (Imarah ibnu Sauban), telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Bazan, dari Ya'la ibnu Umayyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Melakukan penimbunan makanan di Mekah merupakan perbuatan jahat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Ata ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara aniaya. (Al-Hajj: 25) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Unais. Rasulullah Saw. mengutusnya bersama dua orang lelaki, yang salah seorangnya dari kalangan Muhajirin, sedangkan yang lainnya dari kalangan Ansar. Kemudian di tengah jalan mereka saling membanggakan diri dengan keturunannya masing-masing. Abdullah ibnu Unais naik pitam, akhirnya ia membunuh orang Ansar tersebut. Kemudian ia murtad dari Islam dan lari ke Mekah (menggabungkan diri dengan orang-orang musyrik). Lalu turunlah firman Allah Swt.: dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim. (Al-Hajj: 25) Yakni barang siapa yang datang ke tanah suci dengan niat berbuat jahat. Yang dimaksud ialah menyimpang dari ajaran Islam (alias kafir).

Semua asar yang telah disebutkan di atas —sekalipun pengertiannya menunjukkan bahwa hal-hal tersebut termasuk perbuatan ilhad (jahat)— tetapi makna yang dimaksud lebih mencakup dari semuanya, bahkan di dalam pengertiannya terkandung peringatan terhadap perbuatan yang lebih parah daripada hanya sekadar perbuatan ilhad. Karena itulah di saat tentara bergajah bermaksud merobohkan Ka'bah, mereka diazab oleh Allah. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ *تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ * فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ

dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (Al-Fil: 3-5)

Yakni Allah menghancurkan mereka dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran dan peringatan terhadap setiap orang yang berniat akan melakukan perbuatan jahat terhadap Baitullah. Karena itulah telah di­sebutkan di dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"يَغْزُو هَذَا الْبَيْتَ جَيْشٌ، حَتَّى إِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الْأَرْضِ خُسِف بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ" الْحَدِيثَ

Kelak Baitullah ini akan diserang oleh suatu tentara, hingga manakala mereka berada di tengah padang sahara, maka barisan yang terdepan dan barisan terbelakang dari mereka semuanya dibenamkan ke dalam bumi.

# Hadis ini menceritakan kejadian yang akan terjadi menjelang hari kiamat nanti. Orang-orang tersebut dikenal dengan sebutan Zus Suwaiqatain (pent).#

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كُنَاسة، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنِ أَبِيهِ قَالَ: أَتَى عبدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عبدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ: يَا ابْنَ الزُّبَيْرِ، إِيَّاكَ وَالْإِلْحَادَ فِي حَرَم اللَّهِ، فَإِنِّي سمعتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: "إِنَّهُ سيلحدُ فِيهِ رَجُلٌ مَنْ قُرَيْشٍ، لَوْ تُوزَن ذُنُوبُهُ بِذُنُوبِ الثَّقَلَيْنِ لَرَجَحَتْ"، فَانْظُرْ لَا تَكُنْ هُوَ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kanasah, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id, dari ayahnya yang mengatakan, bahwa Abdullah ibnu Umar datang menemui Abdullah Ibnuz Zubair, lalu ia bertanya, "Hai Ibnuz Zubair, jangan sekali-kali kamu berbuat ilhad di tanah suci Allah ini, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya kelak akan berbuat ilhad seseorang lelaki dari kalangan Quraisy di Masjidil Haram ini; seandainya dosa-dosanya ditimbang dengan dosa-dosa dua makhluk (jin dan manusia), tentulah dosanya lebih berat.' Maka berhati-hatilah, janganlah sampai dia itu adalah kamu."

Imam Ahmad telah mengatakan pula di dalam Musnad Abdullah ibnu Amr ibnul As,

حَدَّثَنَا هاشم، حدثنا إسحاق بن سعيد، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ: أَتَى عبدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو ابنَ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ جَالِسٌ فِي الحِجْر فَقَالَ: يَا بْنَ الزُّبَيْرِ، إِيَّاكَ والإلحادَ فِي الْحَرَمِ، فَإِنِّي أَشْهَدُ لسَمعتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "يَحِلُّهَا وَيَحِلُّ بِهِ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ، وَلَوْ وُزنت ذُنُوبُهُ بِذُنُوبِ الثَّقَلَيْنِ لَوَزَنَتْهَا". قَالَ: فَانْظُرْ لَا تَكُنْ هُوَ

bahwa telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amr yang mengatakan, bahwa Abdullah ibnu Umar datang kepada Abdullah ibnuz Zubair yang saat itu sedang duduk di Hijir Isma'il. Lalu Ibnu Umar berkata, "Hai Ibnuz Zubair, hati-hatilah terhadap perbuatan ilhad di tanah suci, karena sesungguhnya aku bersumpah bahwa aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Bahwa kelak tanah suci ini akan dihalalkan oleh seorang lelaki dari kalangan Quraisy; seandainya dosa-dosa dia ditimbang dengan dosa-dosa dua makhluk (jin dan manusia), tentulah sebanding'." Kemudian Abdullah ibnu Umar berkata, "Maka perhatikanlah, janganlah sampai dia adalah kamu."

Akan tetapi, tiada seorang pun dari pemilik kitab hadis yang mengetengahkannya dari kedua jalur periwayatan ini.


وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَٰهِيمَ مَكَانَ ٱلْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِى شَيْـًۭٔا وَطَهِّرْ بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْقَآئِمِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ 26

(26) Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.

(26) 

Di dalam ayat ini, terkandung makna yang mengecam dan mencela orang-orang yang menyembah selain Allah dan mempersekutukan-Nya dengan yang lain dari kalangan Quraisy; yang justru hal itu dilakukan di negeri yang pada mulanya dibangun untuk tujuan mengesakan Allah dan menyembah-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya. Kemudian Allah menyebutkan bahwa Dia telah menempatkan Ibrahim di suatu tempat di Baitullah, yakni Allah memberinya petunjuk ke tempat itu dan me­nyerahkannya kepada dia serta mengizinkannya untuk membangun rumah di tempat tersebut. Kebanyakan ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa sesungguhnya Ibrahim a.s. adalah orang yang pertama membangun Baitul Atiq (Ka'bah), dan bahwa sebelum itu Ka'bah tidak ada yang membangunnya.

Disebutkan di dalam kitab sahih­nya melalui Abu Zar yang mengatakan bahwa:

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ مَسْجِدٍ وُضعَ أَوَّلُ؟ قَالَ: "الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ". قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "بَيْتُ الْمَقْدِسِ". قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: "أَرْبَعُونَ سَنَةً"

ia bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, masjid manakah yang pertama dibangun?" Rasulullah Saw. menjawab, "Masjidil Haram." Ia bertanya lagi, "Lalu masjid mana lagi?" Rasulullah Saw. menjawab, "Baitul Muqaddas." Ia bertanya, "Berapakah jarak di antara keduanya?" Rasulullah Saw. menjawab.”Empat puluh tahun."

*******************

Allah Swt. telah berfirman:

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ. فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيم

Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkati. (Ali-Imran: 96), hingga akhir ayat berikutnya.

Dan Allah Swt. telah berfirman:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf i’tikaf, rukuk, dan yang sujud.” (Al-Baqarah: 125)

Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan semua hadis dan asar yang sahih-sahih yang menceritakan tentang pembangunan Baitullah, sehingga dalam pembahasan ini tidak perlu diulangi lagi.

Dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:

أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي

Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku. (Al-Hajj: 26)

Yakni bangunlah Baitullah dengan menyebut nama-Ku semata.

وَطَهِّرْ بَيْتِيَ

dan sucikanlah rumah-Ku ini. (Al-Hajj: 26)

Qatadah dan Mujahid mengatakan, maksudnya yaitu menyucikannya dari segala kemusyrikan.

لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang rukuk, dan sujud. (Al-Hajj: 26)

Maksudnya, jadikanlah Baitullah ini khusus untuk mereka yang menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Orang yang bertawaf di Baitullah sudah dikenal dengan istilah Ta'if (tawaf) yang merupakan ibadah khusus hanya dilakukan di Baitullah, karena sesungguhnya ibadah seperti itu tidak boleh dilakukan di tempat yang lain kecuali di Baitullah.

Al-qa-imina, yakni orang-orang yang salat.

Ar-rukka'is sujud, orang-orang yang rukuk dan bersujud.

Penyebutan tawaf diiringi dengan penyebutan salat, karena kedua jenis ibadah ini tidaklah disyariatkan kecuali khusus di Baitullah; ibadah tawaf dilakukan di sekelilingnya, dan salat dilakukan dengan menghadap kepadanya dalam kebanyakan keadaan. Terkecuali di kala salat dikerjakan dalam medan perang saat sulit untuk menghadap ke arah kiblat, juga dikecualikan dalam salat sunat di perjalanan (di atas kendaraan).

*******************

Firman Allah Swt.:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji. (Al-Hajj: 27)

Yaitu serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji ke Baitullah ini yang Kami perintahkan kamu untuk membangunnya.

Menurut suatu pendapat, Nabi Ibrahim berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah saya menyampaikan seruan itu kepada manusia, sedangkan suara saya tidak dapat mencapai mereka?" Allah Swt. berfirman, "Berserulah kamu, dan Akulah yang menyampaikannya." Maka Ibrahim berdiri di maqamnya.

Menurut pendapat lain di atas sebuah batu. Menurut pendapat yang lainnya di atas Bukit Safa.

Dan menurut pendapat yang lainnya lagi, bahwa Ibrahim menaiki bukit Abu Qubais, lalu berseru, "Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian telah membuat sebuah rumah (Baitullah), maka berhajilah (berziarahlah) kalian kepadanya."

Menurut suatu pendapat, setelah Ibrahim mengumandangkan seruan itu semua bukit dan gunung merendahkan dirinya, sehingga suaranya mencapai seluruh permukaan bumi, bayi-bayi yang masih berada di dalam rahim dan tulang sulbi dapat mendengar seruannya dan segala sesuatu yang mendengar suaranya menjawabnya, baik batu-batuan, pohon-pohonan, dan lain sebagainya. Didengar pula oleh semua orang yang telah dicatat oleh Allah bahwa dia akan mengerjakan haji, sampai hari kiamat. Jawaban mereka ialah "Labbaika Allahumma Labbaika (Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah. Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah).

Demikianlah garis besar dari apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, dan Sa'id ibnu Jubair serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.

Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim mengetengahkan riwayat ini dengan panjang lebar.

*******************

Firman Allah Swt.:

يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. (Al-Hajj: 27), hingga akhir ayat.

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalilnya untuk mengatakan bahwa ibadah haji dengan berjalan kaki bagi orang yang mampu melakukannya adalah lebih utama daripada berkendaraan, karena sebutan jalan kaki menempati rangking yang pertama dalam ayat ini. Hal ini menunjukkan perhatian Allah yang sangat besar kepada mereka, juga menunjukkan kekuatan tekad serta kerasnya kemauan mereka.

Waki' telah meriwayatkan dari Abul Umais, dari Abu Halhalah, dari Muhammad ibnu Ka'b, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Saya tidak melakukan sesuatu yang buruk, kecuali hanya ingin melakukan ibadah haji dengan jalan kaki, karena Allah Swt. telah berfirman: 'niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki' (Al-Hajj: 27)

Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh kebanyakan ulama yaitu melakukan ibadah haji dengan berkendaraan adalah lebih utama karena mengikut perbuatan Rasulullah Saw. Sesungguhnya beliau Saw. melakukan ibadah hajinya dengan berkendaraan, padahal kekuatan beliau Saw. sangat prima.

*******************

Firman Allah Swt.:

يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ

yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (Al-Hajj: 27)

Yang dimaksud dengan kata fajjin ialah jalan atau penjuru. Sama pengertiannya dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلا

dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas (Al-Anbiya: 31)

Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Amiq" artinya jauh, menurut Mujahid, Ata, As-Saddi, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Sauri serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Makna ayat ini sama dengan firman Allah Swt. dalam menceritakan perihal Nabi Ibrahim a.s. yang mengatakan dalam doanya:

فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ

maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. (Ibrahim: 37)

Maka tiada seorang pun yang memeluk agama Islam, melainkan hatinya rindu ingin melihat Ka'bah dan melakukan tawaf di sekelilingnya, kaum muslim dari segala penjuru dunia bertujuan untuk menziarahinya.


وَأَذِّن فِى ٱلنَّاسِ بِٱلْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًۭا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍۢ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍۢ 27

(27) Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,

(27) 

Firman Allah Swt.:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji. (Al-Hajj: 27)

Yaitu serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji ke Baitullah ini yang Kami perintahkan kamu untuk membangunnya.

Menurut suatu pendapat, Nabi Ibrahim berkata, "Wahai Tuhanku, bagaimanakah saya menyampaikan seruan itu kepada manusia, sedangkan suara saya tidak dapat mencapai mereka?" Allah Swt. berfirman, "Berserulah kamu, dan Akulah yang menyampaikannya." Maka Ibrahim berdiri di maqamnya.

Menurut pendapat lain di atas sebuah batu. Menurut pendapat yang lainnya di atas Bukit Safa.

Dan menurut pendapat yang lainnya lagi, bahwa Ibrahim menaiki bukit Abu Qubais, lalu berseru, "Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian telah membuat sebuah rumah (Baitullah), maka berhajilah (berziarahlah) kalian kepadanya."

Menurut suatu pendapat, setelah Ibrahim mengumandangkan seruan itu semua bukit dan gunung merendahkan dirinya, sehingga suaranya mencapai seluruh permukaan bumi, bayi-bayi yang masih berada di dalam rahim dan tulang sulbi dapat mendengar seruannya dan segala sesuatu yang mendengar suaranya menjawabnya, baik batu-batuan, pohon-pohonan, dan lain sebagainya. Didengar pula oleh semua orang yang telah dicatat oleh Allah bahwa dia akan mengerjakan haji, sampai hari kiamat. Jawaban mereka ialah "Labbaika Allahumma Labbaika (Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah. Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah).

Demikianlah garis besar dari apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, dan Sa'id ibnu Jubair serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.

Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim mengetengahkan riwayat ini dengan panjang lebar.

*******************

Firman Allah Swt.:

يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. (Al-Hajj: 27), hingga akhir ayat.

Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalilnya untuk mengatakan bahwa ibadah haji dengan berjalan kaki bagi orang yang mampu melakukannya adalah lebih utama daripada berkendaraan, karena sebutan jalan kaki menempati rangking yang pertama dalam ayat ini. Hal ini menunjukkan perhatian Allah yang sangat besar kepada mereka, juga menunjukkan kekuatan tekad serta kerasnya kemauan mereka.

Waki' telah meriwayatkan dari Abul Umais, dari Abu Halhalah, dari Muhammad ibnu Ka'b, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Saya tidak melakukan sesuatu yang buruk, kecuali hanya ingin melakukan ibadah haji dengan jalan kaki, karena Allah Swt. telah berfirman: 'niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki' (Al-Hajj: 27)

Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh kebanyakan ulama yaitu melakukan ibadah haji dengan berkendaraan adalah lebih utama karena mengikut perbuatan Rasulullah Saw. Sesungguhnya beliau Saw. melakukan ibadah hajinya dengan berkendaraan, padahal kekuatan beliau Saw. sangat prima.

*******************

Firman Allah Swt.:

يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ

yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (Al-Hajj: 27)

Yang dimaksud dengan kata fajjin ialah jalan atau penjuru. Sama pengertiannya dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلا

dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas (Al-Anbiya: 31)

Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Amiq" artinya jauh, menurut Mujahid, Ata, As-Saddi, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Sauri serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Makna ayat ini sama dengan firman Allah Swt. dalam menceritakan perihal Nabi Ibrahim a.s. yang mengatakan dalam doanya:

فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ

maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka. (Ibrahim: 37)

Maka tiada seorang pun yang memeluk agama Islam, melainkan hatinya rindu ingin melihat Ka'bah dan melakukan tawaf di sekelilingnya, kaum muslim dari segala penjuru dunia bertujuan untuk menziarahinya.


لِّيَشْهَدُوا۟ مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍۢ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ ۖ فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ 28

(28) supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.

(28) 

Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka. (Al-Hajj: 28) Yakni manfaat untuk dunia dan akhirat mereka.

Manfaat akhirat bagi mereka ialah mendapat rida dari Allah Swt. Sedangkan manfaat dunia ialah apa yang mereka peroleh dari hewan kurban dan perniagaan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa yang dimaksud dengan manfaat ialah manfaat dunia dan akhirat. Sama halnya dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)

Adapun firman Allah Swt.:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ [فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ] عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ

supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. (Al-Hajj: 28)

Syu'bah dan Hasyim telah meriwayatkan dari Abu Bisyr, dari Sa'id, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa hari-hari yang ditentukan ialah hari-hari belasan.

Imam Bukhari meriwayatkan hadis ini secara ta'liq hanya dengan ungkapan jazm dengan sanad yang sama.

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Mujahid, Qatadah, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Ibrahim An-Nakha'i yang hal ini dijadikan pegangan oleh mazhab Imam Syafii dan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَرْعَرَة، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سُلَيْمَانَ، عَنْ مُسْلِمٍ البَطِين، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا الْعَمَلُ فِي أَيْامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ" قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: "وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ، يَخْرُجُ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ".

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ur'urah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sulaiman, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: "Tiada suatu amal perbuatan di hari mana pun yang lebih utama daripada amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya, "Tidak pula berjihad di jalan Allah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak pula berjihad di jalan Allah, terkecuali seorang lelaki yang mengorbankan jiwa dan hartanya (di jalan Allah) dan yang pulang hanya namanya saja.”

Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib sahih. Dalam bab ini terdapat pula riwayat lain dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, Abdullah ibnu Amr, dan Jabir.

Saya telah meneliti jalur-jalur riwayat tersebut dan membahasnya secara khusus dalam satu juz (bendel), antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا عَفَّان، أَنْبَأَنَا أَبُو عَوَانة، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "ما مِنْ أَيْامٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبَّ إِلَيْهِ العملُ فِيهِنَّ، مِنْ هَذِهِ الْأَيْامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِمْ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ"

telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tiada suatu hari pun yang lebih besar di sisi Allah, dan yang lebih disukai untuk dilakukan amal di dalamnya selain hari-hari yang sepuluh ini. Maka perbanyaklah oleh kalian di hari-hari ini membaca tahlil, takbir, dan tahmid.

Imam Ahmad telah meriwayatkan pula melalui jalur lain, dari Mujahid dari Ibnu Umar dengan lafaz yang semisal.

Imam Bukhari mengatakan, bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar di hari-hari belasan (dari bulan Zul Hijjah) ini, maka keduanya bertakbir dan orang-orang yang ada di pasar ikut bertakbir bersama takbir keduanya.

Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui Jabir secara marfu' bahwa hari-hari belasan inilah yang disebutkan oleh Allah dalam sumpah-Nya melalui firman-Nya:

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar dan malam-malam yang sepuluh. (Al-Fajr: 1-2)

Sebagian ulama Salaf mengatakan, sesungguhnya hari-hari tersebut adalah hari-hari yang dimaksudkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ

dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam (lagi). (Al-A'raf: 142)

Di dalam kitab Sunan Imam Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan puasa di hari-hari sepuluh ini.

Hari-hari yang sepuluh ini mencakup hari Arafah yang telah ditetapkan di dalam kitab Sahih Muslim melalui Abu Qatadah, bahwa:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: "أَحْتَسِبْ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْآتِيَةَ"

Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai mengerjakan puasa di hari 'Arafah, maka beliau Saw. menjawab, "Saya menduga bahwa Allah akan menghapuskan dosa tahun yang silam dan tahun yang akan datang."

Sepuluh hari ini mencakup pula Hari Raya Kurban yang merupakan hari haji akbar. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan bahwa hari haji akbar itu adalah hari yang paling utama di sisi Allah.

Pada garis besarnya sepuluh hari ini dapat dikatakan hari-hari yang paling utama dalam satu tahunnya, sesuai dengan apa yang telah disebutkan di dalam hadis. Keutamaan sepuluh hari ini melebihi keutamaan sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan; karena dalam sepuluh hari Zul Hijjah ini disyariatkan di dalamnya hal-hal yang juga disyariatkan di dalam sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan, seperti salat, puasa, sedekah, dan lain-lainnya. Tetapi sepuluh hari Zul Hijjah ini mempunyai keistimewaan yang melebihinya, yaitu ibadah fardu haji dilakukan di dalamnya.

Menurut pendapat yang lain, sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan lebih utama, karena di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yang nilainya lebih utama daripada seribu bulan.

Ulama lainnya berpendapat pertengahan. Mereka mengatakan bahwa hari-hari belasan Zul Hujah lebih utama, sedangkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadan lebih utama. Dengan demikian, pendapat ini menggabungkan semua dalil yang ada mengenai keduanya.

Pendapat yang kedua tentang hari-hari yang ditentukan. Al-Hakam telah meriwayatkan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas, bahwa hari-hari yang ditentukan adalah Hari Raya Kurban dan tiga hari sesudahnya. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui Ibnu Umar dan Ibrahim An-Nakha'i. Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dalam suatu riwayat yang bersumber darinya.

Pendapat ketiga. Imam ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Madini, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ajian, telah menceritakan kepadaku Nafi', bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan, "Hari-hari yang ditentukan dan hari-hari yang berbilang, jumlah keseluruhannya ada empat hari, yaitu hari-hari yang ditentukan ialah Hari Raya Kurban dan dua hari sesudah­nya. Sedangkan hari-hari yang berbilang ialah tiga hari sesudah Hari Raya Kurban." Sanad riwayat ini berpredikat sahih bersumber darinya. As-Saddi mengatakan pendapat ini, dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Malik ibnu Anas.

Pendapat ini dan yang sebelumnya diperkuat oleh firman Allah Swt. yang mengatakan:

عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ

atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. (Al-Hajj: 28)

Yakni saat menyembelihnya disebutkan nama Allah.

Pendapat yang keempat mengatakan, sesungguhnya hari-hari sepuluh itu ialah hari Arafah. Hari Raya Kurban, dan sehari sesudahnya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah.

Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan ialah hari Arafah, Hari Raya Kurban, dan hari-hari Tasyriq.

*******************

Firman Allah Swt.:

عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ

atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. (Al-Hajj: 28)

Yakni unta, sapi, dan kambing. Seperti yang telah dijelaskan di dalam tafsir surat Al-An'am, melalui firman-Nya:

ثَمَانِيَةَ أَزْوَاجٍ

الْآيَةَ

(yaitu) delapan binatang yang berpasangan. (Al-An'am: 143), hingga akhir ayat.

Adapun firman Allah Swt.:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikan­lah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj: 28)

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa memakan hewan kurban hukumnya wajib. Akan tetapi, pendapat ini garib. Karena menurut kebanyakan ulama, perintah makan kurban ini termasuk ke dalam Bab "Rukhsah (Anjuran)." Seperti yang telah disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa Rasulullah Saw. setelah menyembelih unta kurbannya, beliau memerintahkan agar dari setiap unta yang disembelihnya diambil sepotong dagingnya, lalu beliau memasaknya dan memakannya serta meminum kuahnya.

Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah berkata kepadanya, "Aku suka makan daging hewan kurbanku." Alasannya ialah karena Allah Swt. telah berfirman: Maka makanlah sebagian darinya. (Al-Hajj: 28)

Ibnu Wahb mengatakan bahwa ia pernah menanyakan hal tersebut kepada Al-Lais, dan ternyata Al-Lais mengatakan hal yang sama dengan Malik.

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka makanlah sebagian darinya. (Al-Hajj: 28) Bahwa dahulu orang-orang musyrik tidak mau memakan sebagian dari hewan sembelihan mereka, kemudian hal tersebut diperbolehkan bagi kaum muslim. Karena itu barang siapa yang ingin memakannya, ia boleh memakannya; dan barang siapa yang tidak suka, boleh tidak memakannya. Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Mujahid dan Ata.

Hasyim telah meriwayatkan dari Husain, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka makanlah sebagian darinya. (Al-Hajj: 28) Bahwa ayat ini sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya:

وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا

dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. (Al-Maidah: 2)

Dan firman Allah Swt.:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ

Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi. (Al-Jumu'ah: 1)

Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya (yakni memakan daging hewan kurban itu boleh bagi orang yang mengorbankannya). Orang-orang yang berpendapat bahwa daging hewan kurban itu dibagi menjadi dua bagian —yang sebagian untuk si pemilik, sedangkan sebagian lainnya untuk disedekahkan—menguatkan pendapat ini dengan dalil firman Allah Swt.:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj: 28)

Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa daging kurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga untuk yang punya, sepertiga lainnya untuk ia hadiahkan, dan sepertiga yang terakhir untuk disedekahkan, karena berdasarkan firman Allah Swt. dalam ayat lainnya yang mengatakan:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (Al-Hajj: 36)

Keterangan mengenainya akan dibahas pada tempatnya, yaitu saat menafsirkan ayat ini.

*******************

Firman Allah Swt.:

الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj: 28)

Ikrimah mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang yang terdesak oleh kebutuhan dan tampak pada dirinya tanda sengsara; keadaannya miskin, tetapi tidak mau meminta-minta demi menjaga kehormatan dirinya.

Menurut Mujahid, ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta.

Sedangkan Qatadah berpendapat bahwa makna yang dimaksud ialah orang yang menderita penyakit menahun.

Dan Muqatil mengatakan, maknanya yaitu orang yang tuna netra.

*******************

Firman Allah Swt.:

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ

Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka. (Al-Hajj: 29)

Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah melepaskan ihram dengan bercukur, memakai pakaian biasa, memotong kuku, dan lain-lainnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ata dan Mujahid, dari Ibnu Abbas.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.

Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna fiman-Nya: Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka. (Al-Hajj: 29) Bahwa yang dimaksud dengan tafas ialah manasik-manasik haji.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ

dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (Al-Hajj: 29)

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hendaklah orang yang bersangkutan menyembelih kurban yang dinazarkannya.

Ibnu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (Al-Hajj: 29) Yakni nazar haji dan menyembelih kurban, serta segala sesuatu yang dinazarkan seseorang dalam ibadah hajinya.

Ibrahim ibnu Maisarah telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Yaitu menyembelih hewan-hewan kurban mereka.

Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Maksudnya, semua nazar dalam waktu tertentu.

Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Yakni ibadah haji mereka.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan sehubungan dengan firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Yakni nazar-nazar haji.

Semua orang yang telah memasuki haji diharuskan mengerjakan tawaf di Baitullah, sa'i di antara Safa dan Marwah, wuquf di Arafah dan Muzdalifah, dan melempar jumrah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan kepada mereka untuk mengerjakannya. Telah di­riwayatkan pula dari Imam Malik hal yang semisal dengan pendapat ini.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29)

Mujahid mengatakan, makna yang dimaksud ialah tawaf wajib di Hari Raya Kurban.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Abu Hamzah yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata kepadanya, "Apakah engkau pernah membaca surat Al-Hajj? Yang di dalamnya terdapat firman Allah Swt. yang mengatakan: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) "Maka sesungguhnya akhir dari manasik haji itu ialah tawaf di Baitullah Al-'Atiq."

Menurut saya, memang demikianlah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Karena sesungguhnya setelah beliau kembali ke Mina di Hari Raya Kurban, beliau mulai melempar jumrah. Beliau melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Kemudian menyembelih kurbannya dan mencukur rambutnya, setelah itu beliau berangkat dan melakukan tawaf ifadah di Baitullah.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Ibnu Abbas bahwa ia memerintahkan kepada orang-orang agar akhir dari ibadah haji mereka adalah di Baitullah, yaitu dengan melakukan tawaf ifadah di sekelilingnya. Hanya ia memberikan kemurahan (dispensasi) kepada wanita yang sedang berhaid.

Firman Allah Swt.:

بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29)

Di dalam makna ayat ini terkandung dalil bagi orang yang mengatakan bahwa melakukan tawaf diwajibkan di luar Hijir Isma'il. Karena Hijir Isma'il pada asalnya termasuk bagian dari Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Orang-orang Quraisy mengeluarkannya dari bangunan Ka'bah saat mereka merenovasi Ka'bah karena kekurangan biaya. Karena itulah maka Rasulullah Saw. dalam tawafnya selalu berada di luar Hijir Isma'il, dan beliau mengatakan bahwa Hijir Isma'il termasuk bagian dalam Ka'bah. Rasulullah Saw. tidak mengusap kedua rukun Syam Ka'bah karena keduanya masih belum sempurna tidak sesuai dengan bangunan Nabi Ibrahim yang terdahulu.

Karena itulah Ibnu Abu Hatim mengatakan dalam riwayatnya, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Al-Adani, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam ibnu Hajar, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) Maka Rasulullah Saw. tawaf di luar Hijir Isma'il.

Qatadah telah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) Bahwa Ka'bah disebutkan Al-'Atiq karena ia merupakan rumah yang pertama dibangun untuk tempat ibadah manusia di bumi ini.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.

Telah diriwayatkan dari Ikrimah ia pernah mengatakan bahwa sesungguhnya Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena diselamatkan dari tenggelam saat banjir besar di zaman Nabi Nuh.

Khasif mengatakan bahwa Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena belum pernah ada seorang pun yang bersikap sewenang-wenang terhadapnya dapat beroleh kemenangan.

Ibnu Abu Nujaih dan Lais telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ka'bah dimerdekakan oleh Allah dari semua orang yang sewenang-wenang (tirani), mereka sama sekali tidak dapat menguasainya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah.

Hammad ibnu Salamah telah meriwayatkan dari Humaid, dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari Mujahid, bahwa dinamakan Baitul 'Atiq karena tiada seorang pun yang berniat jahat terhadapnya melainkan pasti binasa.

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnuz Zubair yang mengatakan, "Sesungguhnya Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena Allah Swt. telah memerdekakannya dari semua orang yang bersikap tirani."

قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، أخبرني اللَّيْثُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَالِدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا سُمِّيَ الْبَيْتَ الْعَتِيقَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَظْهَرْ عَلَيْهِ جَبَّارٌ".

Imam Turmuzi mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, dari Abdur Rahman ibnu Khalid, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad ibnu Urwah, dari Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena belum pernah ada seorang tirani pun berkuasa terhadapnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Sahl Al-Muharibi, dari Abdullah ibnu Saleh dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya hadis ini sahih. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui jalur lain dari Az-Zuhri secara mursal.


ثُمَّ لْيَقْضُوا۟ تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا۟ نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا۟ بِٱلْبَيْتِ ٱلْعَتِيقِ 29

(29) Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).

(29) 

Firman Allah Swt.:

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ

Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka. (Al-Hajj: 29)

Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah melepaskan ihram dengan bercukur, memakai pakaian biasa, memotong kuku, dan lain-lainnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ata dan Mujahid, dari Ibnu Abbas.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi.

Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna fiman-Nya: Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka. (Al-Hajj: 29) Bahwa yang dimaksud dengan tafas ialah manasik-manasik haji.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ

dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (Al-Hajj: 29)

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hendaklah orang yang bersangkutan menyembelih kurban yang dinazarkannya.

Ibnu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (Al-Hajj: 29) Yakni nazar haji dan menyembelih kurban, serta segala sesuatu yang dinazarkan seseorang dalam ibadah hajinya.

Ibrahim ibnu Maisarah telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Yaitu menyembelih hewan-hewan kurban mereka.

Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Maksudnya, semua nazar dalam waktu tertentu.

Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Yakni ibadah haji mereka.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan sehubungan dengan firman-Nya: dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (Al-Hajj: 29) Yakni nazar-nazar haji.

Semua orang yang telah memasuki haji diharuskan mengerjakan tawaf di Baitullah, sa'i di antara Safa dan Marwah, wuquf di Arafah dan Muzdalifah, dan melempar jumrah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan kepada mereka untuk mengerjakannya. Telah di­riwayatkan pula dari Imam Malik hal yang semisal dengan pendapat ini.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29)

Mujahid mengatakan, makna yang dimaksud ialah tawaf wajib di Hari Raya Kurban.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Abu Hamzah yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata kepadanya, "Apakah engkau pernah membaca surat Al-Hajj? Yang di dalamnya terdapat firman Allah Swt. yang mengatakan: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) "Maka sesungguhnya akhir dari manasik haji itu ialah tawaf di Baitullah Al-'Atiq."

Menurut saya, memang demikianlah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Karena sesungguhnya setelah beliau kembali ke Mina di Hari Raya Kurban, beliau mulai melempar jumrah. Beliau melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil. Kemudian menyembelih kurbannya dan mencukur rambutnya, setelah itu beliau berangkat dan melakukan tawaf ifadah di Baitullah.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Ibnu Abbas bahwa ia memerintahkan kepada orang-orang agar akhir dari ibadah haji mereka adalah di Baitullah, yaitu dengan melakukan tawaf ifadah di sekelilingnya. Hanya ia memberikan kemurahan (dispensasi) kepada wanita yang sedang berhaid.

Firman Allah Swt.:

بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29)

Di dalam makna ayat ini terkandung dalil bagi orang yang mengatakan bahwa melakukan tawaf diwajibkan di luar Hijir Isma'il. Karena Hijir Isma'il pada asalnya termasuk bagian dari Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim. Orang-orang Quraisy mengeluarkannya dari bangunan Ka'bah saat mereka merenovasi Ka'bah karena kekurangan biaya. Karena itulah maka Rasulullah Saw. dalam tawafnya selalu berada di luar Hijir Isma'il, dan beliau mengatakan bahwa Hijir Isma'il termasuk bagian dalam Ka'bah. Rasulullah Saw. tidak mengusap kedua rukun Syam Ka'bah karena keduanya masih belum sempurna tidak sesuai dengan bangunan Nabi Ibrahim yang terdahulu.

Karena itulah Ibnu Abu Hatim mengatakan dalam riwayatnya, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar Al-Adani, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Hisyam ibnu Hajar, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tatkala ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) Maka Rasulullah Saw. tawaf di luar Hijir Isma'il.

Qatadah telah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (Al-Hajj: 29) Bahwa Ka'bah disebutkan Al-'Atiq karena ia merupakan rumah yang pertama dibangun untuk tempat ibadah manusia di bumi ini.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.

Telah diriwayatkan dari Ikrimah ia pernah mengatakan bahwa sesungguhnya Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena diselamatkan dari tenggelam saat banjir besar di zaman Nabi Nuh.

Khasif mengatakan bahwa Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena belum pernah ada seorang pun yang bersikap sewenang-wenang terhadapnya dapat beroleh kemenangan.

Ibnu Abu Nujaih dan Lais telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ka'bah dimerdekakan oleh Allah dari semua orang yang sewenang-wenang (tirani), mereka sama sekali tidak dapat menguasainya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah.

Hammad ibnu Salamah telah meriwayatkan dari Humaid, dari Al-Hasan ibnu Muslim, dari Mujahid, bahwa dinamakan Baitul 'Atiq karena tiada seorang pun yang berniat jahat terhadapnya melainkan pasti binasa.

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnuz Zubair yang mengatakan, "Sesungguhnya Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena Allah Swt. telah memerdekakannya dari semua orang yang bersikap tirani."

قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ وَغَيْرُ وَاحِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَالِحٍ، أخبرني اللَّيْثُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ خَالِدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا سُمِّيَ الْبَيْتَ الْعَتِيقَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَظْهَرْ عَلَيْهِ جَبَّارٌ".

Imam Turmuzi mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Al-Lais, dari Abdur Rahman ibnu Khalid, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad ibnu Urwah, dari Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Ka'bah dinamakan Baitul 'Atiq karena belum pernah ada seorang tirani pun berkuasa terhadapnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Sahl Al-Muharibi, dari Abdullah ibnu Saleh dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya hadis ini sahih. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui jalur lain dari Az-Zuhri secara mursal.


ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌۭ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ ۗ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ ٱلْأَنْعَٰمُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۖ فَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَٰنِ وَٱجْتَنِبُوا۟ قَوْلَ ٱلزُّورِ 30

(30) Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.

(30) 

Allah Swt. berfirman, "Itulah apa yang Kami perintahkan (kepada kamu sekalian) berupa amal-amal ketaatan dalam menunaikan manasik dan pahala yang berlimpah yang telah dijanjikan-Nya bagi para pelakunya."

وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ

Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. (Al-Hajj: 3)

Yakni barang siapa yang menjauhi perbuatan-perbuatan durhaka dan apa-apa yang diharamkan oleh Allah yang bila dilanggar pelakunya berarti melakukan suatu dosa besar.

فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. (Al-Hajj: 3)

Maka baginya kebaikan yang banyak dan pahala yang berlimpah berkat memelihara dirinya dari hal-hal tersebut. Sebagaimana mengerjakan amal ketaatan, pelakunya dapat pahala yang banyak dan balasan yang berlimpah; demikian pula halnya meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. (Al-Hajj: 3) Bahwa yang dimaksud dengan hurumat ini ialah hal-hal yang terhormat di sisi Allah (lain dengan pendapat di atas yang mengartikannya sebagai hal-hal yang diharamkan Allah, pent), yaitu kesucian tanah Mekah, ibadah haji, ibadah umrah, dan semua yang dilarang oleh Allah, berupa perbuatan-perbuatan maksiat (durhaka) terhadap-Nya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Zaid.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ

Dan telah dihalalkan bagi kalian semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepada kalian keharamannya. (Al-Hajj: 3)

Yakni Kami halalkan bagi kalian semua binatang ternak, dan Allah sekali-kali tidak pernah menyariatkan adanya bahirah, saibah, wasilah, dan ham.

Firman Allah Swt.:

إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ

kecuali yang diterangkan kepada kalian keharamannya. (Al-Hajj: 3)

misalnya haramnya bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang disembelih bukan karena Allah, hewan ternak yang mati tercekik, dan lain sebagainya yang diharamkan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, yang menurutnya bersumber dari Qatadah.

Firman Allah Swt.:

فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (Al-Hajj: 3)

Huruf min dalam ayat ini bermakna bayaniyah (keterangan) untuk menjelaskan jenis-jenisnya, yakni jauhilah hal yang najis itu, maksudnya berhala-berhala itu. Mempersekutukan Tuhan sering disebutkan berbarengan dengan perkataan dusta, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنزلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah, "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) kalian mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (Al-A'raf: 33)

Termasuk ke dalam pengertian perkataan dusta ialah kesaksian palsu. Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan melalui Abu Bakrah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"أَلَا أُنْبِئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ " قُلْنَا: بَلَى، يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ -وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ:-أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، أَلَا وَشَهَادَةُ الزُّورِ". فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا، حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سكت

"Ingatlah, maukah kalian aku beri tahukan tentang dosa yang paling besar?" Kami (para sahabat) menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua, " pada mulanya beliau bersandar, lalu duduk dan bersabda, "Ingatlah, dan perkataan dusta; ingatlah, dan kesaksian palsu!" Rasulullah Saw. terus mengulang-ulang kalimat terakhir ini, sehingga kami berkata (dalam diri kami) mudah-mudahan beliau segera diam.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيُّ، أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ بْنُ زِيَادٍ، عَنْ فَاتِكِ بْنِ فَضَالَةَ، عَنْ أَيْمَنَ بْنِ خُرَيْمٍ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيبًا فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ إِشْرَاكًا بِاللَّهِ" ثَلَاثًا، ثُمَّ قَرَأَ: فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Ziyad, dari Fatik ibnu Fudalah, dari Aiman ibnu Kharim yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berdiri melakukan khotbah. Beliau bersabda: Hai manusia, kesaksian palsu sebanding dengan memper­sekutukan Allah! Beliau mengucapkan sabdanya ini sebanyak tiga kali, kemudian membaca firman Allah Swt.: maka jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (Al-Hajj: 3)

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ahmad ibnu Mani', dari Marwan ibnu Mu'awiyah dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat garib. Sesungguhnya kami mengenalnya hanya melalui hadis Sufyan ibnu Ziyad, sedangkan dia masih diperselisihkan perihal.periwayatannya akan hadis ini. Kami pun tidak mengetahui bahwa Aiman ibnu Kharim pernah mendengar dari Nabi Saw.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا سفيان العُصْفُرِيّ، عن أبيه، عن حبيب ابن النُّعْمَانِ الْأَسَدِيِّ، عَنْ خُرَيْمِ بْنِ فَاتَكٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ: صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَامَ قَائِمًا فَقَالَ: "عَدَلَتْ شَهَادَةُ الزُّورِ الْإِشْرَاكَ بِاللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ"، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Sufyan Al-Usfuri, dari ayahnya, dari Habib ibnun Nu'man Al-Asadi, dari Kharim ibnu Fatik Al-Asadi yang menceritakan, bahwa Rasulullah Saw. melakukan salat Subuh. Setelah selesai dari salatnya itu beliau berdiri, lalu bersabda: Kesaksian palsu seimbang dengan perbuatan mempersekutukan Allah Swt. Kemudian beliau Saw. membaca firman-Nya: maka jauhilah oleh kalian berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. (Al-Hajj: 3-31)

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Asim ibnu Abun Nujud, dari Wa-il ibnu Rabi'ah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa kesaksian palsu seimbang dengan mempersekutukan Allah, kemudian Ibnu Mas'ud membaca ayat ini.

*******************

Firman Allah Swt.:

حُنَفَاءَ لِلَّهِ

dengan ikhlas kepada Allah. (Al-Hajj: 31) .

Yakni dengan mengikhlaskan niat dalam beragama karena Allah, menyimpang dari kebatilan menuju ke jalan yang hak. Karena itulah dalam firman Allah Swt. selanjutnya disebutkan:

غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ

tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. (Al-Hajj: 31)

Kemudian Allah Swt. membuatkan tamsil (perumpamaan) perihal orang musyrik dalam hal kesesatannya dan kebinasaannya dan kejauhannya dari jalan hidayah. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ

Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung. (Al-Hajj: 31)

Maksudnya, terjatuh dari ketinggian, lalu disambar oleh burung selagi masih di udara.

فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ

atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (Al-Hajj: 31)

Yaitu jauh lagi membinasakan setiap orang yang terjatuh padanya. Karena itu, telah disebutkan di dalam hadis Al-Barra yang menyebutkan bahwa sesungguhnya orang kafir itu apabila dimatikan oleh malaikat pencabut nyawa, mereka langsung membawa naik rohnya ke langit. Akan tetapi, semua pintu langit tidak dibukakan untuknya. Akhirnya rohnya dilemparkan dari langit (ke tempat yang jauh). Kemudian Al-Barra membaca ayat ini. Hadis ini telah disebutkan berikut semua teks dan jalur-jalur periwayatan­nya di dalam tafsir surat Ibrahim.

Allah Swt. telah membuat perumpamaan lainnya bagi orang-orang musyrik di dalam surat Al-An'am, yaitu melalui firman-Nya:

قُلْ أَنَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُنَا وَلا يَضُرُّنَا وَنُرَدُّ عَلَى أَعْقَابِنَا بَعْدَ إِذْ هَدَانَا اللَّهُ كَالَّذِي اسْتَهْوَتْهُ الشَّيَاطِينُ فِي الأرْضِ حَيْرَانَ لَهُ أَصْحَابٌ يَدْعُونَهُ إِلَى الْهُدَى ائْتِنَا قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى

Katakanlah, "Apakah kita akan menyeru selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudaratan kepada kita dan (apakah) kita akan dikembalikan ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh setan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan), 'Marilah ikuti kami, Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk' (Al-An'am: 71), hingga akhir ayat."