51 - الذاريات - Adh-Dhaariyat

Juz : 26

The Winnowing Winds
Meccan

وَٱلسَّمَآءِ ذَاتِ ٱلْحُبُكِ 7

(7) Demi langit yang mempunyai jalan-jalan,

(7) 


وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْحُبُكِ

Demi langit yang mempunyai jalan-jalan. (Adz-Dzariyat: 7)

Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah langit yang mempunyai keindahan, kemegahan, dan kerapian. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Abu Saleh, As-Saddi, Qatadah, Atiyyah Al-Aufi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya.

Ad-Dahhak dan Al-Minhal ibnu Amr serta selain keduanya mengatakan bahwa perihalnya sama dengan bergelombang atau beriaknya air, pasir, dan tanam-tanaman manakala diterpa oleh angin; maka sebagian darinya membentuk alur dengan sebagian yang lain alur demi alur, dan inilah yang dimaksud dengan al-hubuk.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّة، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمُ الْكَذَّابَ الْمُضِلَّ، وَإِنَّ رَأْسَهُ مِنْ وَرَائِهِ حُبُك حُبُك" يَعْنِي بِالْحُبُكِ: الْجُعُودَةَ

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari seorang lelaki sahabat Nabi Saw., dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya di belakang kalian akan ada seorang pendusta lagi penyesat, dan sesungguhnya (rambut) kepalanya dari belakang (kelihatan) berombak-ombak. Yakni keriting.

Abu Saleh mengatakan, artinya yang mempunyai ikatan yang erat. Dan menurut Khasif, zatul hubuk artinya yang mempunyai kerapian. Al-Hasan ibnu Abul Hasan Al-Basri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zatul hubuk adalah yang mempunyai ikatan dengan bintang-bintang.

Qatadah telah meriwayatkan dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ma'dan ibnu Abu Talhah, dari Amr Al-Bakkali, dari Abdullah ibnu Amr r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi langit yang mempunyai jalan-jalan. (Adz-Dzariyat: 7) Yakni langit yang ketujuh, seakan-akan —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— yang dimaksudkan adalah langit yang padanya terdapat bintang-bintang yang tetap (tidak bergerak), yang menurut kebanyakan ulama ahli falak berada di cakrawala yang kedelapan di atas cakrawala yang ketujuh; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Semua pendapat yang disebutkan di atas merujuk kepada satu hal, yaitu menggambarkan tentang keindahan dan kemegahannya, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. bahwa termasuk keindahan langit ialah ketinggiannya, pemandangannya yang transparan, kokoh bangunannya, luas cakrawalanya, lagi kelihatan cantik dalam kemegahannya dihiasi dengan bintang-bintang yang tetap dan yang beredar, serta dihiasi dengan matahari, rembulan, dan bintang-bintang yang bercahaya gemerlapan.

*******************



إِنَّكُمْ لَفِى قَوْلٍۢ مُّخْتَلِفٍۢ 8

(8) sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda pendapat,

(8) 

Firman Allah Swt.:

إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُخْتَلِفٍ

sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat. (Adz-Dzariyat: 8)

Yaitu sesungguhnya kalian hai orang-orang musyrik yang mendustakan rasul-rasul- benar-benar dalam keadaan berselisih, kacau, tidak rukun, dan tidak bersatu.

Menurut Qatadah, makna ayat ini ialah bahwa sesungguhnya kalian benar-benar berada dalam kekacauan pendapat antara membenarkan dan mendustakan Al-Qur'an.


يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ أُفِكَ 9

(9) dipalingkan daripadanya (Rasul dan Al-Quran) orang yang dipalingkan.

(9) 


يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ أُفِكَ

dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9)

Yakni sesungguhnya yang termakan hanyalah orang yang memang dirinya ditakdirkan sesat. Mengingat yang dikatakan adalah hal yang batil, dan yang termakan olehnya hanyalah orang yang memang ditakdirkan sesat lagi tidak punya pengertian. Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:

فَإِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ بِفَاتِنِينَ إِلا مَنْ هُوَ صَالِ الْجَحِيمِ

Maka sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu, sekali-kali tidak dapat menyesatkan (seseorang) terhadap Allah, kecuali orang-orang yang akan masuk neraka yang menyala-nyala. (Ash-Shaffat: 161-163)

Ibnu Abbas r.a. dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9) Yakni disesatkan darinya orang yang disesatkan.

Mujahid mengatakan: dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9) Yakni dijauhkan darinya orang yang dijauhkan.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dipalingkan dari Al-Qur'an orang yang mendustakannya.

*******************



قُتِلَ ٱلْخَرَّٰصُونَ 10

(10) Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta,

(10) 

Firman Allah Swt.:

قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ

Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta. (Al-Zariyat: 10)

Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kharras ialah orang yang pendusta. Ungkapan ini merupakan tamsil, sama dengan apa yang terdapat di dalam surat Abasa, yaitu:

قُتِلَ الإنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ

Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? ('Abasa: 17)

Al-kharrasun adalah orang-orang yang mengatakan bahwa kami tidak akan dibangkitkan, mereka tidak mempercayai adanya hari berbangkit.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta. (Adz-Dzariyat: 1) Artinya, terkutuklah orang-orang yang ragu-ragu.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Mu'az r.a. dalam khotbahnya, bahwa binasalah orang­-orang yang ragu-ragu.

Qatadah mengatakan bahwa kharrasun artinya orang-orang yang lalai dan berprasangka buruk.

*******************



ٱلَّذِينَ هُمْ فِى غَمْرَةٍۢ سَاهُونَ 11

(11) (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan yang lalai,

(11) 

Firman Allah Swt.:

الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ

(yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai. (Adz-Dzariyat: 11)

Ibnu Abbas r.a. dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang yang tenggelam dalam kekafiran, keraguan, kelalaian, dan kealpaannya.


يَسْـَٔلُونَ أَيَّانَ يَوْمُ ٱلدِّينِ 12

(12) mereka bertanya: "Bilakah hari pembalasan itu?"

(12) 

يَسْأَلُونَ أَيَّانَ يَوْمُ الدِّينِ

mereka bertanya, "Bilakah hari pembalasan itu?” (Adz-Dzariyat: 12)

Sesungguhnya mereka menanyakan hal ini hanyalah semata-mata karena ketidakpercayaan mereka dengan adanya hari pembalasan itu. Mereka mendustakannya, mengingkarinya, meragukannya, dan menganggapnya mustahil.



يَوْمَ هُمْ عَلَى ٱلنَّارِ يُفْتَنُونَ 13

(13) (Hari pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka.

(13) 

Firman Allah Swt.:

يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُونَ

(Hari pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Adz-Dzariyat: 13)

Ibnu Abbas, Mujahid, dan Al-Hasan serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna yuftanuna ialah mereka diazab, sebagaimana emas dibakar dalam api (kemasan).

Jamaah lainnya —seperti Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Zaid ibnu Aslam, dan Sufyan As-Sauri— mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mereka dibakar.


ذُوقُوا۟ فِتْنَتَكُمْ هَٰذَا ٱلَّذِى كُنتُم بِهِۦ تَسْتَعْجِلُونَ 14

(14) (Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. Inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan".

(14) 


ذُوقُوا فِتْنَتَكُمْ

(Dikatakan kepada mereka), "Rasakanlah azabmu itu. (Adz-Dzariyat: 14)

Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah rasakanlah siksaan yang membakar kalian ini. Sedangkan selain Mujahid mengatakan rasakanlah azab ini.

هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ

Inilah azab yang dahulu kamu minta supaya disegerakan. (Adz-Dzariyat: 14)

Dikatakan hal ini kepada mereka sebagai kecaman, cemoohan, dan penghinaan terhadap mereka. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.


إِنَّ ٱلْمُتَّقِينَ فِى جَنَّٰتٍۢ وَعُيُونٍ 15

(15) Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman (surga) dan mata air-mata air,

(15) 

Mengingat firman Allah Swt., "Akhizina" merupakan kata keterangan keadaan dari firman-Nya:

فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ

berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. (Adz-Dzariyat: 15)

Maka orang-orang yang bertakwa, di dalam surganya mereka menerima pemberian dari Tuhan mereka berupa kenikmatan dan kegembiraan serta kesenangan.


ءَاخِذِينَ مَآ ءَاتَىٰهُمْ رَبُّهُمْ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا۟ قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ 16

(16) sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

(16) 

Firman Allah Swt.:

آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ

sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. (Adz-Dzariyat: 16)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mereka mengamalkan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. atas diri mereka.

إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ

Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16)

Yakni sebelum diperintahkan untuk mengerjakan amal-amal fardu, mereka adalah orang-orang yang berbuat baik dalam amal perbuatannya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan, dari Abu Umar, dari Muslim Al-Batin, dari ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. (Adz-Dzariyat: 16) Yakni amal-amal fardu yang telah diwajibkan atas mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16) Maksudnya, sebelum ada amal-amal fardu itu mereka juga telah beramal baik. Tetapi sanad riwayat ini tidak sahih sampai kepada Ibnu Abbas.

Usman ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Abu Umar Al-Bazzar, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a., lalu disebutkan hal yang semisal.

Dan tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir masih perlu diteliti kembali, mengingat firman Allah Swt., "Akhizina" merupakan kata keterangan keadaan dari firman-Nya:

فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ

berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. (Adz-Dzariyat: 15)

Maka orang-orang yang bertakwa, di dalam surganya mereka menerima pemberian dari Tuhan mereka berupa kenikmatan dan kegembiraan serta kesenangan.

Dan firman Allah Swt.:

إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ

Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16)

Makna ayat ini senada dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الأيَّامِ الْخَالِيَةِ

(kepada mereka dikatakan), "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (Al-Haqqah: 24)


كَانُوا۟ قَلِيلًۭا مِّنَ ٱلَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ 17

(17) Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.

(17) 

Kemudian Allah Swt. menjelaskan kebaikan amal perbuatan mereka melalui firman-Nya:

كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17)

Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan i'rab kalimat ayat ini, ada dua pendapat di kalangan mereka mengenainya. Salah satunya menyebutkan bahwa huruf ma adalah nafiyah, artinya mereka sedikit menjalani malam harinya karena mereka tidak tidur.

Ibnu Abbas r.a. telah mengatakan, bahwa tiada suatu malam pun yang mereka lalui, melainkan mereka mengambil sebagian darinya, walaupun sedikit (untuk mengerjakan salat malam hari).

Qatadah telah meriwayatkan dari Mutarrif ibnu Abdullah, bahwa sedikit sekali malam hari yang mereka lalui, melainkan mereka mengerjakan salat padanya, adakalanya dari permulaannya atau dari tengahnya.

Mujahid mengatakan, sedikit sekali mereka tidur malam hari sampai subuh tanpa mereka jalani salat tahajud.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah. Anas ibnu Malik dan Abul Aliyyah mengatakan bahwa mereka selalu mengerjakan salat (sunat) antara magrib dan isya.

Abu Ja'far Al-Baqir mengatakan bahwa mereka tidak tidur sebelum mengerjakan salat 'atamah (isya).

Pendapat yang kedua menyebutkan bahwa ma adalah masdariyah, yang artinya mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Mereka jalani salat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka tidak tidur di malam hari kecuali hanya sedikit. Mereka mengerjakannya dengan penuh semangat hingga waktunya memanjang sampai waktu sahur, sehingga bacaan istigfar mereka dilakukan di waktu sahur.

Qatadah mengatakan bahwa Al-Ahnaf ibnu Qais telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Mereka tidak tidur kecuali sedikit. Kemudian Al-Ahnaf mengatakan bahwa dirinya bukan termasuk ahli ayat ini.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, Al-Ahnaf ibnu Qais pernah mengatakan bahwa ia membandingkan amalnya dengan amal penghuni surga, maka ia menjumpai suatu kaum yang berbeda jauh dengannya. Mereka adalah kaum yang amal perbuatan kami tidak dapat mencapai tingkatan amal mereka, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan aku (Al-Ahnaf) membandingkan amal perbuatanku dengan amal penghuni neraka, ternyata ia menjumpai mereka adalah kaum yang tiada kebaikan pada diri mereka; mereka adalah orang-orang yang mendustakan Kitabullah dan rasul-rasul Allah, serta mendustakan adanya hari berbangkit sesudah mati. Dan aku menjumpai orang yang terbaik di antara kami adalah kaum yang mencampur amal saleh dan amal yang buruk.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Tamim bertanya kepada Ubay r.a., "Hai Abu Usamah, ada suatu sifat yang tidak dijumpai di kalangan kami, Allah Swt. telah menyebutkan perihal suatu kaum melalui firman-Nya: 'Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam' (Adz-Dzariyat: 17). Dan kami, demi Allah, sedikit melakukan salat di malam hari." Maka Ubay r.a. menjawab, "Beruntunglah bagi orang yang tidur bila mengantuk dan bertakwa kepada Allah apabila terbangun."

Abdullah ibnu Salam r.a. mengatakan, "Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, maka orang-orang bersegera menemuinya, dan aku termasuk salah seorang yang datang menemuinya. Ketika aku melihat wajahnya, ternyata menurut keyakinanku beliau bukanlah seorang yang pendusta. Dan kalimat yang mula-mula kudengar darinya ialah:

"يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَأَفْشُوا السَّلَامَ، وصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ"

Hai manusia, berilah makan, hubungkanlah tali persaudaraan, sebarkanlah salam, dan salatlah di malam hari pada saat manusia lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan selamat'.”

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنِي حُيَيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُلى، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا، وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا". فَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ: لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ، وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا، وَالنَّاسُ نِيَامٌ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya di dalam surga terdapat gedung-gedung yang bagian luarnya dapat dilihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya dapat dilihat dari bagian luarnya. Abu Musa Al-Asy'ari r.a. bertanya, "Wahai Rasulullah, untuk siapakah gedung-gedung itu?" Rasulullah Saw. menjawab: Untuk orang yang lembut dalam tutur katanya, dan gemar memberi makan (fakir miskin), serta melakukan salat malam harinya karena Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya.

Ma'mar mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Bahwa menurut Az-Zuhri dan Al-Hasan, keduanya sering menyebutkan bahwa mereka banyak tidur di malam harinya tanpa mengerjakan salat (sunat malam hari).

Ibnu Abbas r.a. dan Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt.: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Yakni mereka tidak tidur.

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 16-17) Kemudian menganggap firman berikutnya sebagai kalimat baru: Di waktu sebagian malam mereka tidak tidur dan di waktu akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Adz-Dzariyat: 17-18)

Pendapat ini jauh dari kebenaran dan dianggap menyimpang.


وَبِٱلْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ 18

(18) Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.

(18) 

Firman Allah Swt.:

وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Adz-Dzariyat: 18)

Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna istigfar di sini adalah salat sunat. Ulama lainnya berpendapat bahwa mereka mendahulukan salat sunat di malam hari, sedangkan istigfarnya mereka akhirkan sampai waktu sahur. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan yang memohon ampun di waktu sahur. (Ali Imran: 17) Dan bilamana istigfar itu dilakukan dalam salat, maka lebih utama.

Di dalam kitab-kitab sahih disebutkan dari sejumlah sahabat dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda:

"إِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ كُلِّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَخِيرِ، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ تَائِبٍ فَأَتُوبَ عَلَيْهِ؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى سُؤْلَهُ؟ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ"

Sesungguhnya Allah Swt. turun di setiap malam ke langit yang paling dekat, hingga malam hari tersisa sepertiganya lagi, maka Allah Swt. berfirman, "Apakah ada orang yang bertobat, maka Aku akan menerima tobatnya; apakah ada orang yang memohon ampun, maka Aku memberi ampun kepadanya; dan apakah ada orang yang meminta, maka Aku akan memberinya apa yang dimintanya?" Hingga fajar terbit (yakni waktu subuh datang).

Banyak ulama tafsir yang mengatakan sehubungan dengan firman Allah Swt. yang menceritakan perkataan Nabi Ya'qub kepada anak-anaknya:

سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي

Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. (Yusuf: 98)

Bahwa Nabi Ya'qub mengakhirkan bacaan istigfarnya untuk mereka sampai waktu sahur.


وَفِىٓ أَمْوَٰلِهِمْ حَقٌّۭ لِّلسَّآئِلِ وَٱلْمَحْرُومِ 19

(19) Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

(19) 

Firman Allah Swt.:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)

Setelah Allah Swt. menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan salat malam hari, lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ

Dan pada harta mereka ada hak. (Adz-Dzariyat: 19)

Yaitu bagian yang telah mereka pisahkan, sengaja disiapkan untuk diberikan kepada orang yang meminta-minta dan yang tidak mendapat bagian. Adapun pengertian sa'il sudah jelas, yaitu orang yang mulai meminta-minta dan dia punya hak untuk meminta-minta, seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya yang menyebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا وَكِيع وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ يَعْلَى بْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهَا الْحُسَيْنِ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لِلسَّائِلِ حَقٌّ وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ".

telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak, sekalipun ia datang dengan berkendaraan di atas kuda.

Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Kemudian Abu Daud menyandarkannya melalui jalur lain, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. Telah diriwayatkan pula melalui hadis Al-Hurmas ibnu Ziad secara marfu' hal yang semisal.

Adapun pengertian orang yang mahrum, maka menurut Ibnu Abbas r.a. dan Mujahid, artinya orang yang beruntung karena tidak mempunyai jatah dari Baitul Mal, tidak mempunyai mata pencaharian, tidak pula mempunyai keahlian profesi yang dapat dijadikan tulang punggung kehidupannya.

Ummul Mu’minin Aisyah r.a. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Muharif (orang yang tidak mendapat bagian atau tidak beruntung) ialah orang yang sulit dalam mencari mata pencaharian. Ad-Dahhak mengatakan bahwa orang yang mahrum ialah orang yang tidak sekali-kali mempunyai harta melainkan habis saja, dan itu sudah menjadi takdir Allah baginya.

Abu Qilabah mengatakan bahwa pernah ada banjir melanda Yamamah yang merusak harta seseorang, maka seseorang dari kalangan sahabat mengatakan bahwa orang ini adalah orang yang mahrum.

Ibnu Abbas r.a. mengatakan pula —demikian juga Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Nafi' maula Ibnu Umar, dan Ata ibnu Abu Rabah— bahwa yang dimaksud dengan orang yang mahrum ialah orang yang tidak mendapat bagian (tidak beruntung).

Qatadah dan Az-Zuhri mengatakan bahwa orang mahrum adalah orang yang tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain.

Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَيْسَ الْمِسْكِينُ بالطوَّاف الَّذِي تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفطن لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ".

Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta ke sana dan kemari yang pergi setelah diberi sesuap dua suap makanan, atau sebiji dua biji buah kurma. Tetapi orang yang miskin (sesungguhnya) ialah orang yang tidak mendapatkan kecukupan bagi penghidupannya, dan tidak pula diketahui keadaannya hingga mudah diberi sedekah.

Hadis ini telah disandarkan oleh Syaikhain dalam kitab sahih masing-masing melalui jalur lain. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa orang yang miskin adalah orang yang datang, sedangkan ganimah telah habis dibagikan dan tiada yang tersisa lagi untuknya.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku sebagian teman-teman kami yang mengatakan bahwa kami pernah bersama Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz di tengah jalan ke Mekah, lalu datanglah seekor anjing, maka Umar r.a. memberikan kepadanya sepotong paha kambing yang ia comot dari kambing panggangnya, dan orang-orang yang bersamanya mengatakan bahwa sesungguhnya anjing itu mahrum.

Asy-Sya'bi mengatakan, "Aku benar-benar kepayahan dalam mencari makna yang dimaksud dari lafaz mahrum." Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa orang yang mahrum adalah orang yang tidak memiliki harta lagi karena sesuatu penyebab, semua hartanya telah lenyap. Baik hal itu karena dia tidak mampu mencari mata pencaharian atau karena hartanya telah ludes disebabkan musibah atau faktor lainnya.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, dari Al-Hasan ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah mengirimkan suatu pasukan, lalu mereka mendapat ganimah, maka datanglah kepada Nabi Saw. suatu kaum yang tidak menyaksikan pembagian ganimah itu. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)

Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini adalah Madaniyah, padahal kenyataannya tidaklah demikian: ia Makkiyyah yang juga mencakup peristiwa yang akan terjadi sesudahnya.


وَفِى ٱلْأَرْضِ ءَايَٰتٌۭ لِّلْمُوقِنِينَ 20

(20) Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.

(20) 

Firman Allah Swt.:

وَفِي الأرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Adz-Dzariyat: 20)

Yakni di bumi banyak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran penciptanya dan kekuasaan-Nya yang mengagumkan. Yaitu melalui apa yang telah disebar oleh-Nya di bumi ini berupa berbagai macam tetumbuhan dan hewan-hewan, serta bumi yang menghampar, gunung-gunung, hutan belukar, sungai-sungai, beraneka ragam warna kulit manusia dan bahasa mereka. Juga pembawaan yang telah diciptakan di dalam diri manusia berupa berbagai kehendak dan kekuatan, serta perbedaan yang ada pada mereka dalam hal akal, pemahaman, gerakan, kebahagiaan, dan kecelakaan. Pada susunan tubuh mereka banyak pula mengandung hikmah karena Allah telah meletakkan tiap-tiap anggota tubuh pada mereka di tempat-tempat yang tepat dan diperlukan. 


وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ 21

(21) dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

(21) 

Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:

وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ

dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Adz-Dzariyat: 21)

Qatadah mengatakan bahwa barang siapa yang memikirkan penciptaan dirinya, niscaya dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya dirinya dan sendi-sendi tulang-tulangnya diciptakan hanyalah untuk beribadah.


وَفِى ٱلسَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ 22

(22) Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.

(22) 

Kemudian disebutkan oleh firman-Nya:

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ

Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu. (Adz-Dzariyat: 22)

Yakni hujan.

وَمَا تُوعَدُونَ

dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (Adz-Dzariyat: 22)

Yaitu surga.

Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a. dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa Wasil Al-Ahdab membaca ayat berikut, yaitu firman Allah Swt.: Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (Adz-Dzariyat: 22) Lalu Wasil Al-Ahdab berkata, "Mengapa kalau rezekiku berada di langit, lalu aku mencarinya di bumi?" Maka ia memasuki sebuah tanah kosong dan tinggal padanya selama tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun. Dan pada hari yang ketiganya, tiba-tiba ia menjumpai sekeranjang buah kurma. Tersebutlah pula bahwa dia mempunyai seorang saudara laki-laki yang lebih baik niatnya daripada dia, lalu saudaranya itu ikut masuk bersamanya di tanah kosong itu, sehingga keranjang kurmanya ada dua. Demikianlah kehidupan keduanya terus-menerus hingga keduanya dipisahkan oleh kematian.


فَوَرَبِّ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ إِنَّهُۥ لَحَقٌّۭ مِّثْلَ مَآ أَنَّكُمْ تَنطِقُونَ 23

(23) Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.

(23) 

Firman Allah Swt.:

فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالأرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ

Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. (Adz-Dzariyat: 23)

Allah Swt. bersumpah dengan menyebut Zat-Nya sendiri Yang Maha Mulia, bahwa apa yang Dia janjikan kepada mereka menyangkut perkara hari kiamat, hari berbangkit, dan hari pembalasan pasti akan terjadi dan merupakan perkara yang hak yang tidak diragukan lagi. Karena itu, janganlah kalian ragu-ragu, sebagaimana kamu tidak ragu bahwa manusia itu dapat berbicara.

Tersebutlah bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal r.a. apabila berbicara mengenai sesuatu, ia mengatakan kepada lawan bicaranya bahwa sesungguhnya apa yang diceritakannya itu benar, sebagaimana kebenaran keberadaanmu di sini.

Musaddad telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa telah sampai kepadanya suatu berita yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"قَاتَلَ اللَّهُ أَقْوَامًا أَقْسَمَ لَهُمْ رَبُّهُمْ ثُمَّ لَمْ يُصَدِّقُوا".

Semoga Allah melaknat kaum-kaum yang Tuhan mereka bersumpah terhadap mereka, kemudian mereka masih juga tidak membenarkannya.

Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini dari Bandar, dari Ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan, lalu disebutkan hal yang semisal secara mursal (hanya sampai pada tabi'in, yaitu Al-Hasan sendiri).


هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ 24

(24) Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?

(24) 

Kisah ini telah disebutkan di dalam surat Hud dan juga surat Al-Hijr. Maka firman Allah Swt.:

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Adz-Dzariyat: 24)

Yakni tamu-tamu yang kedatangannya harus dihormati.


إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًۭا ۖ قَالَ سَلَٰمٌۭ قَوْمٌۭ مُّنكَرُونَ 25

(25) (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal".

(25) 

Imam Ahmad dan sejumlah ulama mengatakan bahwa wajib menjamu tamu. Sunnah pun menganjurkan hal yang sama, semakna dengan makna lahiriah ayat Firman Allah Swt.:

قَالُوا سَلامًا قَالَ سَلامٌ

lalu mereka mengucapkan, "Salaman." Ibrahim menjawab, "Saldmun.” (Adz-Dzariyat: 25)

Rafa' lebih kuat dan lebih kukuh daripada nasab, maka menjawab dengan memakai rafa' lebih utama daripada memulainya. Karena itulah maka disebutkan dalam firman-Nya:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). (An-Nisa: 86)

Ternyata Al-Khalil (Nabi Ibrahim) memilih yang terbaik.

Firman Allah Swt. menyitir kata-kata Nabi Ibrahim a.s.:

قَوْمٌ مُنْكَرُونَ

(kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. (Adz-Dzariyat: 25)

Demikian itu karena Malaikat Jibril, Malaikat Mikail, dan Malaikat Israfil datang menemui Nabi Ibrahim dalam rupa para pemuda yang tampan-tampan disertai dengan wibawa yang sangat kuat. Karena itulah maka Ibrahim berkata: (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. (Adz-Dzariyat: 25)


فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍۢ سَمِينٍۢ 26

(26) Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.

(26) 

Firman Allah Swt.:

فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ

Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya. (Adz-Dzariyat: 26)

Yakni surut mundur dengan diam-diam secara cepat.

فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ

kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar). (Adz-Dzariyat: 26)

Yaitu dari ternak pilihannya yang merupakan hartanya (di masa itu). Sedangkan di dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya dengan ungkapan berikut:

فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيذٍ

maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. (Hud: 69)

Yakni yang dibakar di atas bara api, alias sapi muda guling.


فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ 27

(27) Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda makan".

(27) 

فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ

lalu dihidangkannya kepada mereka. (Adz-Dzariyat: 27)

Maksudnya, disuguhkan kepada mereka untuk disantap.

قَالَ أَلا تَأْكُلُونَ

Ibrahim berkata.”Silakan kamu makan.” (Adz-Dzariyat: 27)

Ungkapan mempersilakan dan menawarkan dengan cara yang baik. Ayat ini mengandung etika menjamu tamu. Ibrahim menyuguhkan makanan tanpa sepengetahuan tamu-tamunya itu dengan cepat dan tidak menawarkannya lebih dahulu kepada mereka, misalnya, "Mau makan apa?" Melainkan Ibrahim a.s. datang dengan cepat dan tersembunyi menyuguhkan makanannya yang paling enak dari hartanya yang paling berharga, yaitu sapi muda yang gemuk empuk dagingnya dalam keadaan telah dipanggang, lalu Ibrahim tidak meletakkannya terlebih dahulu, lalu baru mengatakan, "Kemarilah menyantap suguhan ini," melainkan ia meletakkannya langsung ke hadapan tamu-tamunya, dan tidak memberatkan tamu-tamunya itu, melainkan mengatakan kepada mereka: Silakan kamu makan. (Adz-Dzariyat: 27) Yakni dengan ungkapan tawaran dan memohon dengan lemah lembut, semisal dengan perkataan orang-orang di masa kini, "Sudilah kiranya engkau berbuat baik dan bersedekah."


فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةًۭ ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَٰمٍ عَلِيمٍۢ 28

(28) (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu takut", dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).

(28) 

Firman Allah Swt.:

فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً

(Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. (Adz-Dzariyat: 28)

Karena hal tersebut tidak mungkin dengan adanya makanan yang terenak dan paling lezat, para tetamunya itu tidak mau menyantapnya, bahkan memegangnya pun tidak. Seperti kisah yang disebutkan dalam surat lain melalui firman Allah Swt.:

فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ

Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut terhadap mereka. Malaikat itu berkata, "Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Lut.” Dan istrinya berdiri (di balik tirai), lalu dia tersenyum. (Hud: 7-71)

Yaitu merasa gembira dengan akan dibinasakannya mereka (kaum Lut) karena mereka membangkang dan bersikap ingkar terhadap Allah Swt. Maka pada saat itu juga para malaikat tersebut menyampaikan berita gembira kepada istri Ibrahim akan kelahiran Ishaq dan di belakang Ishaq akan lahir Ya'qub (sebagai cucunya).

قَالَتْ يَا وَيْلَتَى أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَذَا بَعْلِي شَيْخًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Istrinya berkata, "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak, padahal aku adalah perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh.” Para malaikat itu berkata, "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah. (Hud: 72-73)

Karena itulah maka disebutkan dalam surat ini oleh firman-Nya:

وَبَشَّرُوهُ بِغُلامٍ عَلِيمٍ

dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq). (Adz-Dzariyat: 28)

Kabar gembira buat Ibrahim berarti sama juga kabar gembira bagi istrinya, karena anak tersebut adalah milik keduanya dan lahir akibat hubungan keduanya. Maka keduanya mendapat berita gembira ini.


فَأَقْبَلَتِ ٱمْرَأَتُهُۥ فِى صَرَّةٍۢ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌۭ 29

(29) Kemudian isterinya datang memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: "(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul".

(29) 

Firman Allah Swt.:

فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ

Kemudian istrinya datang memekik (tercengang). (Adz-Dzariyat: 29)

Yaitu memekik tercengang bercampur gembira.

Ibnu Abbas r.a.. Mujahid, Ikrimah, Abu Saleh, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Sauri, dan As-Saddi mengatakan bahwa pekikan tersebut adalah ucapannya: Sungguh mengherankan. (Hud: 72)

Firman Allah Swt.:

فَصَكَّتْ وَجْهَهَا

lalu menepuk mukanya sendiri. (Adz-Dzariyat: 29)

Yakni memukulkan telapak tangannya ke keningnya, menurut Mujahid dan Ibnu Sabit. Menurut Ibnu Abbas r.a., istri Ibrahim setelah mendengar berita gembira itu menamparkan tangannya ke mukanya karena merasa heran sebagaimana wanita merasa heran terhadap suatu peristiwa yang aneh.

وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ

seraya berkata, "(Aku adalah) seorang perempuan tua yang mandul.” (Adz-Dzariyat: 29)

Maksudnya, mana mungkin aku dapat melahirkan anak, sedangkan aku adalah seorang perempuan tua; terlebih lagi di waktu muda aku pun mandul, tidak punya anak?



قَالُوا۟ كَذَٰلِكِ قَالَ رَبُّكِ ۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْحَكِيمُ ٱلْعَلِيمُ 30

(30) Mereka berkata: "Demikianlah Tuhanmu memfirmankan" Sesungguhnya Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

(30) 

قَالُوا كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

Mereka berkata, "Demikianlah Tuhanmu menfirmankan.” Sesungguhnya Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui. (Adz-Dzariyat: 30)

Yakni Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat kemuliaan dari-Nya lagi Mahabijaksana dalam semua firman dan perbuatan-Nya.