4 - النساء - An-Nisaa

Juz : 4

The Women
Medinan

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَٰجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌۭ ۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌۭ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍۢ يُوصِينَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍۢ ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌۭ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌۭ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍۢ تُوصُونَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍۢ ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌۭ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمْرَأَةٌۭ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌۭ فَلِكُلِّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوٓا۟ أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِى ٱلثُّلُثِ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍۢ يُوصَىٰ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّۢ ۚ وَصِيَّةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌۭ 12

(12) Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

(12) 

Allah Swt. berfirman.”Bagi kalian, hai kaum Lelaki, separo harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka mati tanpa meninggalkan seorang anak pun. Jika mereka mempunyai seorang anak, maka bagi kalian hanyalah seperempat dari apa yang mereka tinggalkan setelah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar utangnya."

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan kepada ahli waris si mayat. Ketetapan ini telah disepakati oleh para ulama. Hukum cucu lelaki dari anak lelaki sama dengan hukum anak lelaki sendiri yang menurunkan mereka.

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

para istri memperoleh seperempti harta yang kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12), hingga akhir ayat.

Baik dalam seperempat atau seperdelapan seorang istri —dua orang istri, tiga orang istri, atau empat orang istri— mereka bersekutu dalam bagian tersebut.

Firman Allah Swt. :

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ

sesudah dipenuhi wasiat.

Tafsir firman ini telah dikemukakan di atas.

Firman Allah Swt.:

وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً

Jika seseorang diwaris secara kalalah. (An-Nisa: 12)

Al-kalalah berakar dari kata iklil, artinya kalungan yang diletakkan di atas kepala dan meliputi semua sisinya. Makna yang dimaksud ayat ini ialah sesorang yang mati, kemudian harta peninggalannya diwarisi oleh kaum kerabat dari sisi-sisinya, bukan dari pokok (orang tua), bukan pula dari cabang (anak keturunannya).

Asy-Sya'bi meriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, bahwa ia pernah ditanya mengenai kalalah, maka ia menjawab, "Aku akan rnenjawab masalah ini melalui rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawabanku ini benar. maka berasal dari Allah: dan jika keliru, berarti dariku dan dari setan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya bebas darinya. Al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai orang tua dan tidak mempunyai anak," (dengan kata lain, yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya). Manakala Umar pergi, ia berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar malu bila berbeda pendapat dengan Abu Bakar."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, dari Sufyan, dari Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar ibnu Abbas mengatakan, "Saya adalah orang yang paling akhir menemui sahabat Umar. Ku dengar di akhir usianya ia mengatakan, "Apakah yang pernah saya katakan, Apakah yang pernah saya katakan. Ibnu abbas menceritakan.”Al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua, (yang mewarisi hanyalah saudara-saudaranya saja)."

Hal yang sama dikatakan oleh Ali dan Ibnu Mas'ud dan menurut pendapat yang sahih diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja bersumber dari Ibnu Abbas serta Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Jabir ibnu Zaid, dan Al-Hakam. Hal yang sama dikatakan oleh ulama Madinah, Kufah dan Basrah.

Pendapat inilah yang dikatakan oleh tujuh ulama fiqih, empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, bahkan seluruhnya.

Telah diriwayatkan bukan hanya oleh seseorang tentang adanya ijma' (kesepakatan) di kalangan para ulama sehubungan dengan pendapat ini. Telah diriwayatkan sebuah hadis marfu' yang mengatakan hal yang sama. Abu Husain ibnul Labban mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ini. Yaitu bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Tetapi riwayat yang sahih yang bersumber dari Ibnu Abbas adalah riwayat yang pertama tadi. Barangkali si perawi masih belum memahami apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) (An-Nisa: 12)

Yang dimaksud dengan saudara dalam ayat ini ialah saudara seibu, seperti menurut qiraah sebagian ulama Salaf. antara lain ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas. Hal yang sama dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq menurut apa yang diriwayatkan oleh Qatadah darinya.

Firman Allah Swt.:

فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu

Saudara seibu berbeda dengan saudara seayah dalam hal mewarisi ditinjau dari berbagai segi seperti berikut:

Pertama, mereka dapat mewaris bersama adanya yang nurunkan mereka, yaitu ibu.

Kedua, jenis laki-laki dan jenis perempuan dari mereka sama bagian warisannya.

Ketiga, mereka tidak dapat mewaris kecuali jika mayat mereka diwaris secara kalalah. Oleh karena itu. mereka tidak dapat mewarisi bila ada ayah si mayat atau kakek si mayat, atau cucu laki-laki si mayat.

Keempat bagian mereka tidak lebih dari sepertiga sekalipun jumlah mereka yang terdiri atas laki-laki dan perempuan itu jumlahnya banyak.

Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa Khalifah Umar memutuskan bahwa warisan saudara yang seibu di antara sesama mereka bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan. Az-Zuhri mengatakan tidak sekali-kali Khalifah Umar memutuskan demikian. melainkan ia telah mengetahuinya dari Rasulullah Saw." Ayat berikut inilah yang dikatakan oleh Allah Swt. mengenai masalah tersebut, yaitu firman-Nya: Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (An-Nisa: 12)

Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah musytarakah (persekutuan mewarisi antara saudara seibu dan saudara seibu seayah). Masalah musytarakah ini terdiri atas suami, ibu atau nenek dan dua orang sudara seibu serta seorang atau lebih dari seorang dari saudara laki-laki seibu seayah.

Menurut pendapat jumhur ulama, suami mendapat setengah, ibu atau nenek mendapat seperenam, dan saudara seibu mendapat sepertiga; dan bersekutu dalam bagian ini saudara-saudara seibu seayah, mengingat adanya persekutuan di antara sesama mereka. yaitu persaudaraan seibu.

Masalah ini pernah terjadi di masa pemerintahan Amirul Muminin Umar ra. Karenanya ia memberi suami setengah, ibu seperenam, dan memberikan yang sepertiganya kepada anak-anak ibu (saudara-saudara seibu). Maka saudara-saudara (lelaki) yang seibu dan seayah dari si mayat berkata kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, seandainya ayah kami adalah keledai, bukankan kami berasal dari satu ibu juga?" Akhirnya Khalifah Umar mempersekutukan mereka dalam bagian sepertiga itu, antara saudara seibu dan saudara seibu seayah.

Persekutuan dalam sepertiga ini pernah pula dikatakan oleh Usman menurut riwayat yang sahih. Hal yang sama dikatakan menurut salah satu di antara kedua riwayat dari Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit serta Ibnu Abbas, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka.

Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, Masniq, Tawus, Muhammad ibnu Sirin, Ibrahim An-Nakha'i. Umar ibnu Abdul Aziz, As-Sauri, dan Syarik. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Imam Malik. Imam Syafii, dan Ishaq ibnu Rahawaih.

Disebutkan bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Talib pernah tidak mempersekutukan mereka (dalam perkara itu). bahkan dia menjadikan bagian yang sepertiga itu hanya untuk saudara-saudara seibu si mayat, sedangkan saudara-Saudara seibu dan seayah tidak mendapat apa-apa, karena mereka terdiri atas laki-laki (asyabah).

Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ubay ibnu Ka’b dan Abu Musa Al-Asy'ari, yang terkenal dari Ibnu Abbas. Pendapat inilah yang dijadikan pegangan oleh Asy-Sya’bi. Ibnu Abu Laila. Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibnul Hasan. Al-Hasan ibnu Ziyad. Zufar ibnul Huzail. Imam Ahmad. Yahya ibnu Aslam, Nuaim bin Hammad. Abu Saur. dan Daud Al-Zahiri.

*******************

Firman Allah Swt.:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ

sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kerugian kepada ahli waris).

Hendaknya wasiat yang dibuat oleh si mayat tidak merupakan mudarat kepada ahli waris, tidak aniaya, dan tidak menyimpang. Hal yang menyimpang ialah misalnya si mayat dengan wasiatnya itu mengakibatkan terhalangnya sebagian ahli waris dari bagiannya atau mengurangi bagiannya, atau memberinya lebih dari apa yang telah ditetapkan baginya oleh Allah Swt. Barang siapa yang berbuat demikian, berarti sama saja dengan orang yang menentang Allah dalam Hukum dan syariat-Nya.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ الدِّمَشْقِيُّ الْفَرَادِيسِيُّ، حَدَّثَنَا عُمَر بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنَ الْكَبَائِرِ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dan Dari Ibn Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw bersabda: Menimpakan mudarat (terhadap ahli waris) dalam wasiat termasuk dosa besar.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari jalur Umar bin Mughirah dia adalah Abu Hafs Basri.

Sehubungan dengan Abu Hafs ini, Ibnu Asakir mengatakan bahwa dia dikenal sebagai orang yang memberikan kecukupan kepada orang-orang miskin. Telah meriwayatkan darinya banyak orang dari kalangan para imam.

Abu Hatim Ar-Razi mengatakan dia adalah seorang syekh (guru).

Ali ibnul Madini mengatakan: Dia orang yang tidak dikenal. dan aku tidak mengenalnya.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa menurut pendapat yang sahih, hadis ini mauquf.

Karena itulah para Imam berselisih pendapat tentang iqrar (pengukuhan) buat ahli waris apakah hal ini dianggap tindakan yang benar ataukah tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Salah satunya mengatakan, tidak sah mengikrarkan bagian waris kepada ahli waris. Rasululah Saw. pernah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أعْطَى كُلَّ ذِي حَق حَقَّه، فَلَا وَصِيَّة لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orarg (ahli waris) hak yang diperoleh, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.

Pendapat ini merupakan mazhab Malik, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Abu Hanifah serta qaul qadim Imam Syafi’i, sedangkan dalam qaul jadid Imam Syafii mengatakan iqrar adalah sah (dibenarkan).

Pendapat yang mengatakan sah ini merupakan rnazhab Tawus, Ata, Al-Hasan, dan Umar ibnu Abdul Aziz; pendapat ini pulalah yang dipilih oleh Abu Abdullah Al-Bukhari di dalam kitab sahih-nya. dengan alasan bahwa Rafi' ibnu Khadij pernah berwasiat bahwa Al-Fazariah yang telah ditutup pintunya tidak boleh dibuka.

Ibnu Jarir mengatakan sebagian ulama mengatakan seseorang tidak boleh melakukan iqrar karena hal ini memberikan kesan buruk prasangka terhadap para ahli waris. Karena sesungguhnya Nabi Saw. pernah bersabda:

«إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ»

Hati-hatilah kalian terhadap prasangka karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.

Allah Swt. telah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)

Dalam ayat ini Allah tidak mengkhususkan kepada seorang ahli waris pun. juga tidak kepada yang lainnya.

Sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa manakala iqrar dinyatakan sah sesuai dengan duduk perkara yang sebenarnya, maka berlakulah perbedaan pendapat seperti yang disebut di atas. Tetapi manakala iqrar yang dimaksud adalah sebagai tipu muslihat dan sarana untuk menambahi bagian sebagian ahli waris atau mengurangi bagian sebagian dari mereka, maka hal ini haram hukumnya menurut kesepakatan ulama dan nas ayat yang mulia yang mengatakan:

غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisa: 12)


تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ 13

(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.

(13) 

Dengan kata lain, bagian-bagian dan ketentuan-ketenman yang telah dijadikan oleh Allah untuk para ahli waris sesuai dengan dekatnya hubungan nasab mereka dengan si mayat dan keperluan mereka kepadanya serta kesedihan mereka di saat ditinggalkan. semuanya itu merupakan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah maka janganlah kalian melanggar dan menyimpangkannya.

Allah berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (An-Nisa: 13)

Yakni dalam batasan-batasan tersebut, dan tidak menambahi atau mengurangi bagian sebagian ahli waris melalui cara tipu muslihat dan sarana penggelapan, melainkan membiarkan mereka menuruti hukum Allah, bagian, dan ketetapan yang telah ditentukan-Nya.

يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 

niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (An-Nisa: 13 )


وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدْخِلْهُ نَارًا خَٰلِدًۭا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَابٌۭ مُّهِينٌۭ 14

(14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.

(14) 

Dikatakan demikian karena hal tersebut berarti mengubah hukum yang telah ditentukan oleh Allah dan menentang Allah dalam hukum-Nya. Sikap seperti itu tiada lain hanyalah timbul dari orang yang merasa tidak puas dengan apa yang telah dibagikan dan ditetapkan Allah untuknya. Karena itu, Allah membalasnya dengan penghinaan dalam siksa yang sangat pedih lagi terus-menerus.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ شَهْر ابن حَوْشَب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَل بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سَبْعِينَ سَنةً، فَإِذَا أوْصَى حَافَ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ بَشَرِّ عَمَلِهِ، فيدخل النار؛ وإن الرجل ليعمل بعمل أهل الشَّرِّ سَبْعِينَ سَنَةً، فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ فَيُدْخُلُ الْجَنَّةَ". قَالَ: ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ إِلَى قَوْلِهِ: عَذَابٌ مُهِينٌ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausab. dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun, tetapi apabila ia berwasiat dan berlaku aniaya dalam wasiatnya, maka amal perbuatan terakhirnya ditetapkan amal perbuatan yang buruk, lalu ia masuk neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan perbuatan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ia berlaku adil dalam wasiatnya. maka amal perbualan terakhir-nya adalah amal kebaikan, lalu masuklah ia ke dalam surga. Kemudian sahabat Abu Hurairah mencatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian suka," yaitu firman-Nya: (Hukum-hukum tersebut ) adalah ketentuan dari Allah. (An-Nisa: 13) Sampai dengan firman-Nya: dan baginya siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 14)

Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab "Menimpakan Mudarat dalam Berwasiat", bagian dari kitab sunannya:

حَدَّثَنَا عَبْدَة بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا [نَصْرُ] بْنُ عَلِيٍّ الحُدَّاني، حَدَّثَنَا الْأَشْعَثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَابِرٍ الحُدَّاني، حَدَّثَنِي شَهْرُ بْنُ حَوشَب: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ: أَنَّ رسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّجُلَ لِيَعْمَلُ أَوِ الْمَرْأَةَ بِطَاعَةِ اللَّهِ سِتِّينَ سَنَةً، ثُمَّ يَحْضُرُهُمَا الْمَوْتُ فَيُضَاران فِي الْوَصِيَّةِ، فَتَجِبُ لَهُمَا النَّارُ" وَقَالَ: قَرَأَ عَلِيٌّ أَبُو هُرَيْرَةَ مِنْ هَاهُنَا: مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ حَتَّى بَلَغَ: [وَ] ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ .

telah menceritakan kepada kami Ubaidah ibnu Abdullah, telah menceritakan keruda kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnn Ali Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Al-Asy’as ibnu Abdullah ibnu Jabir Al-Haddani, telah menceritakan kepadaku Syahr ibnu Hausyab, bahwa sahabat Abu Hurairah pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah berabda: Sesungguhnya seorang lelaki atau seorang wanita benar-benar melakukan amal ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian keduanya menjelang kematiannya, lalu keduanya menimpakan mudarat (kepada ahli warisnya) dalam wasiatnya, maka pastilah keduanya masuk neraka. Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Abu Hurairah ra. membacakan firman-Nya kepadaku mulai dari firman-Nya: sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (An-Nisa: 12) sampai dengan firman-Nya: dan itulah kemenangan yang besar. (An-Nisa: 13)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Asy'as dengan lafaz yang lebih lengkap darinya. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Tetapi lafaz hadis Imam Ahmad jauh lebih lengkap dan lebih sempurna.