2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

وَإِذْ نَجَّيْنَٰكُم مِّنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوٓءَ ٱلْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَآءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَآءَكُمْ ۚ وَفِى ذَٰلِكُم بَلَآءٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌۭ 49

(49) Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.

(49) 

Allah Swt. berfirman, "Ingatlah, hai Bani Israil, akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, yaitu ketika Kami selamatkan kalian dari Fir'aun dan pengikut-pengikutnya yang telah menimpakan kepada kalian siksaan yang berat-berat." Maksudnya, Aku selamatkan kalian dari mereka, dan Aku luputkan kalian dari tangan kekuasaan mereka, karena kalian mengikut kepada Nabi Musa a.s. Fir'aun dan bala tentaranya di masa lalu mendatangkan dan menguasakan serta menimpakan kepada kalian siksaan yang paling buruk.

Pada mulanya Fir'aun bermimpi tentang hal yang sangat mengejutkan dirinya dan membuatnya ngeri. Dia melihat api keluar dari Baitul Muqaddas, lalu api tersebut memasuki semua rumah orang-orang Qibti (Egypt) di negeri Mesir, kecuali rumah-rumah kaum Bani Israil. Takbir mimpi tersebut menyatakan bahwa kelak kerajaan Fir'aun akan lenyap di tangan salah seorang lelaki dari kalangan Bani Israil. Setelah Fir'aun mendapat takbir tersebut, kemudian dilaporkan kepadanya bahwa orang-orang Bani Israil meramalkan akan munculnya seorang lelaki dari kalangan mereka yang kelak akan berkuasa di kalangan mereka dan mengangkat nasib mereka. Demikian yang disebutkan di dalam hadis Al-Fulun, seperti yang akan dijelaskan nanti pada tempatnya. yaitu dalam tafsir surat Thaha, insya Allah.

Maka pada saat itu juga Fir'aun yang terkutuk itu memerintahkan agar setiap bayi laki-laki yang baru lahir di kalangan Bani Israil harus dibunuh, dan membiarkan hidup bayi-bayi perempuan. Lalu dia memerintahkan pula agar kaum lelaki orang-orang Bani Israil ditugaskan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat lagi hina.

Di dalam ayat ini siksaan ditafsirkan (dijelaskan) dengan penyembelihan bayi-bayi lelaki mereka, sedangkan dalam surat Ibrahim memakai ungkapan alaf, yaitu dalam firman-Nya:

يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ ويُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ

Mereka menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih dan mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian serta membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian. (Ibrahim: 6)

Tafsir mengenai pengertian ini akan dijelaskan nanti dalam permulaan surat Al-Qashash, insya Allah.

Makna yasumunakum ialah menguasakan kepada kalian, yakni menimpakan kepada kalian. Demikian pendapat Abu Ubaidah, menurutnya sama dengan perkataan, "Samahu khittatu khasfin.'" Dikatakan demikian bila seseorang telah dikuasai oleh siksaan yang berat menimpa dirinya. Amr ibnu Kalsum, salah seorang penyair, mengatakan:

إِذَا مَا الْمُلْكُ سَامَ النَّاسَ خَسْفًا ... أَبَيْنَا أَنْ نُقِرَّ الْخَسْفَ فِينَا ...

Apabila raja menimpakan siksaan yang berat kepada orang-orang, maka kami memberonlak sebagai protes kami karena kami menolak siksaan menimpa diri kami.

Menurut pendapat lain, arti yasumunakum ialah terus-menerus menyiksa kalian; sama halnya dengan kata-kata saimatul ganam yang diambil dari makna terus-menerus menggembalakan ternak kambing. Demikian yang dinukil oleh Al-Qurtubi.

Sesungguhnya dalam ayat ini dikatakan: Mereka menyembelih anak kalian yang laki-laki dan membiarkan hidup anak kalian yang perempuan. (Al-Baqarah: 49) Tiada lain hal tersebut hanyalah sebagai tafsir dan penjelasan dari siksaan yang menimpa mereka, yang disebutkan pada kalimat sebelumnya, yaitu: mereka menimpakan kepada kalian siksaan yang seberat-beratnya. (Al-Baqarah: 49). Ayat-ayat tersebut merupakan tafsir atau penjelasan dari firman sebelumnya, yaitu: Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian. (Al-Baqarah: 47)

Adapun yang terdapat di dalam surat Ibrahim, yaitu ketika Allah Swt. berfirman:

وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ

Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. (Ibrahim: 5)

Yakni pertolongan-pertolongan dan nikmat-nikmat-Nya kepada mereka, maka sangat sesuailah bila dikatakan dalam firman selanjutnya: mereka menyiksa kalian dengan siksa yang pedih dan mereka menyembelih anak-anak laki-laki kalian seria membiarkan hidup anak-anak perempuan kalian. (Ibrahim: 6)

Dalam surat ini lafaz az-zabah (penyembelihan) di-'ataf-kan kepada lafaz yasumunakum untuk menunjukkan makna berbilangnya nikmat dan pertolongan Allah Swt. kepada kaum Bani Israil.

Fir'aun merupakan isim 'alam untuk nama julukan bagi seorang raja kafir dari bangsa Amaliq dan lain-lainnya (di negeri Mesir). Seperti halnya 'Kaisar', isim alam untuk julukan bagi setiap raja yang menguasai negeri Romawi dan Syam yang kafir; dan 'Kisra' julukan bagi Raja Persia, 'Tubba' julukan bagi raja negeri Yaman yang kafir, 'Najasyi' julukan bagi raja yang menguasai negeri Habsyah, dan 'Batalimus' nama julukan bagi Raja India.

Menurut suatu pendapat, nama Fir'aun yang hidup sezaman dengan Nabi Musa a.s. adalah Al-Walid ibnu Mus'ab ibnur Rayyan. Menurut pendapat lainnya bernama Mus'ab ibnur Rayyan, dia termasuk salah seorang keturunan dari Amliq ibnul Aud ibnu Iram ibnu Sam ibnu Nuh; sedangkan nama kunyah-nya ialah Abu Murrah. Ia berasal dari Persia, yaitu dari Istakhar. Apa pun asalnya dia, semoga laknat Allah atas dirinya.

************

Firman Allah Swt.:

وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ

Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 49)

Menurut Ibnu Jarir, makna ayat ialah bahwa apa yang telah Kami lakukan terhadap kalian, yakni Kami selamatkan kakek moyang kalian dari apa yang mengungkung diri mereka akibat siksaan Fir'aun dan bala tentaranya, hal tersebut merupakan cobaan besar bagi kalian dari Tuhan. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan nikmat yang besar bagi kalian.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Swt.: merupakan cobaan yang besar dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 49) Yang dimaksud dengan cobaan ialah nikmat.

Mujahid mengatakan bahwa firman Allah Swt., "Merupakan cobaan yang besar dari Tuhan kalian," artinya nikmat yang besar dari Tuhan kalian.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah, Abu Malik, dan As-Saddi serta lain-lainnya. Asal makna lafaz al-bala ialah cobaan, tetapi adakalanya cobaan itu ditujukan untuk kebaikan sama halnya dengan keburukan, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً

Dan Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). (Al-Anbiya: 25)

وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ

Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar mereka kembali (kepada kebenaran) (Al-A'raf: 168)

Ibnu Jarir mengatakan, makna cobaan untuk keburukan kebanyakan dipakai kata balautuhu, abluhu, bala-an; sedangkan untuk kebaikan dipakai kata ublihi, ibla-an, dan bala-an. Zuhair ibnu Abu Salma mengatakan dalam salah satu bait syairnya:

جَزَى اللَّهُ بِالْإِحْسَانِ مَا فَعَلا بكُم ... وَأَبْلَاهُمَا خَيْرَ البلاءِ الَّذِي يَبْلُو

Semoga Allah membalas dengan kebajikan atas apa yang telah dilakukan oleh keduanya terhadap kalian, dan semoga Allah mencoba keduanya dengan sebaik-baik cobaan yang diberikan-Nya.

Di dalam syair ini kedua sisi pengertian digabungkan menjadi satu, karena penyair bermaksud 'semoga Allah memberikan kenikmatan kepada keduanya dengan nikmat yang paling baik yang diberikan-Nya untuk menguji hamba-hamba-Nya'.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dari firman-Nya, "Pada yang demikian itu terdapat cobaan," merupakan isyarat yang ditujukan kepada siksaan yang pernah mereka alami di masa silam, yakni siksaan yang hina, seperti anak-anak lelaki mereka disembelih dan anak-anak perempuan mereka dibiarkan hidup. Al-Qurtubi mengatakan bahwa hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. Dikatakannya sesudah dia mengetengahkan pendapat pertama tadi, selanjutnya dia mengatakan bahwa menurut jumhur ulama isyarat ini ditujukan kepada penyembelihan dan yang semisal dengannya, sedangkan pengertian bala dalam ayat ini untuk keburukan, yang artinya ialah bahwa peristiwa penyembelihan anak-anak tersebut merupakan hal yang tidak disukai dan sebagai ujian.


وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ ٱلْبَحْرَ فَأَنجَيْنَٰكُمْ وَأَغْرَقْنَآ ءَالَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ 50

(50) Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.

(50) 

Makna ayat, yaitu: Sesudah Kami selamatkan kalian dari Fir'aun dan bala tentaranya, lalu kalian berangkat bersama Musa a.s., dan Fir'aun pun berangkat pula mengejar kalian, maka Kami belahkan laut buat kalian. Hal ini diberitakan oleh Allah Swt. secara rinci yang akan di-kemukakan pada tempatnya, dan yang paling panjang pembahasannya ialah dalam surat Asy-Syu'ara, insya Allah.

Fa anjainakum, yakni Kami selamatkan kalian dari mereka dan Kami halang-halangi antara kalian dan mereka; lalu Kami tenggelamkan mereka, sedangkan kalian sendiri menyaksikan hal tersebut, agar hati kalian lebih tenang dan lega serta lebih meyakinkan dalam menghina musuh kalian.

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq Al-Hamdani, dari Amr ibnu Maimun Al-Audi sehubungan dengan firman-Nya, "Dan (ingatlah) ketika Kami belah laut untuk kalian," sampai dengan firman-Nya, "sedangkan kalian menyaksikan." Bahwa tatkala Musa berangkat bersama kaum Bani Israil, beritanya terdengar oleh Fir'aun. Maka Fir'aun berkata, "Janganlah kalian mengejar mereka sebelum ayam berkokok (waktu pagi hari)." Akan tetapi, demi Allah, pada malam itu tiada seekor ayam jago pun yang berkokok hingga pagi hari. Lalu Fir'aun memerintahkan agar didatangkan ternak kambing, lalu kambing-kambing itu disembelih. Fir'aun berkata, "Aku tidak akan mengambil hatinya sebelum berkumpul di hadapanku enam ratus ribu orang Qibti." Ternyata sebelum dia mengambil hati kambing-kambing yang telah disembelih itu telah berkumpul di hadapannya enam ratus ribu orang Qibti.

Ketika Musa sampai di tepi laut, maka berkatalah kepadanya salah seorang dari sahabatnya yang dikenal dengan nama Yusya' ibnu Nun, "Manakah perintah Tuhanmu?" Musa berkata, "Di hadapanmu," seraya mengisyaratkan ke arah laut. Lalu Yusya' ibnu Nun memacu kudanya ke arah laut hingga sampai di tempat yang besar ombaknya, kemudian ombak menepikannya dan ia kembali (ke tepi), lalu bertanya lagi, "Manakah perintah Tuhanmu, hai Musa? Demi Allah, engkau tidaklah berdusta, tidak pula didustakan." Yusya' ibnu Nun melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Musa dan memerintahkan kepadanya agar memukul laut dengan tongkatnya. Musa a.s. memukulkan tongkatnya, ternyata laut terbelah, dan tersebutlah bahwa setiap belahan itu pemandangannya sama dengan bukit yang besar.

Kemudian Musa berjalan bersama orang-orang yang mengikutinya, lalu Fir'aun dan bala tentaranya mengejar mereka melalui jalan yang telah ditempuh mereka. Tetapi ketika Fir'aun dan semua bala tentaranya telah masuk ke laut, maka Allah menenggelamkan mereka dengan menangkupkan kembali laut atas diri mereka. Karena itu, disebutkan di dalam firman-Nya: Dan Kami tenggelamkan Fir'aun dan para pengikutnya, sedangkan kalian sendiri menyaksikan. (Al-Baqarah: 5)

Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang ulama Salaf, seperti yang akan dijelaskan nanti pada tempatnya.

Di dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa hari tersebut adalah hari yang jatuh dalam bulan Asyura. Sebagaimana Imam Ahmad meriwayatkan:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: "مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَ؟ ". قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ ، فَصَامَهُ مُوسَى، عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ". فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصَوْمِهِ.

telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abdullah ibnu Sa'id ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut: Rasulullah Saw. tiba di Madinah dan beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa pada had Asyura. Maka beliau bersabda, "Hari apakah sekarang yang kalian melakukan puasa padanya?" Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang baik, ini adalah hari ketika Allah Swt. menyelamatkan Bani Israil dan musuh mereka, maka Musa melakukan puasa padanya." Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Kemudian Rasulullah Saw. puasa dan memerintahkan (para sahabat) agar melakukan puasa di hari itu.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur periwayatan dari Ayub As-Sukhtiyani dengan lafaz yang semisal.

وَقَالَ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا سَلَّامٌ -يَعْنِي ابْنَ سُلَيْمٍ-عَنْ زَيْدٍ العَمِّيّ عَنْ يَزِيدَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " فَلَقَ اللَّهُ الْبَحْرَ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ "

Abu Ya’la Al-Mausuli meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Salam (yakni Ibnu Sulaim), dari Zaid Al-Ama, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Allah membelah laut bagi kaum Bani Israil pada hari Asyura.

Hadis ini daif ditinjau dari sanad ini, karena sesungguhnya Zaid Al-Ama orangnya berpredikat daif, sedangkan gurunya, yaitu Zaid Ar-Raqqasyi, lebih daif lagi darinya.


وَإِذْ وَٰعَدْنَا مُوسَىٰٓ أَرْبَعِينَ لَيْلَةًۭ ثُمَّ ٱتَّخَذْتُمُ ٱلْعِجْلَ مِنۢ بَعْدِهِۦ وَأَنتُمْ ظَٰلِمُونَ 51

(51) Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim.

(51) 

Allah Swt. berfirman, "Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, Kumaafkan kalian ketika kalian menyembah anak lembu setelah kepergian Musa untuk memenuhi janji Tuhannya setelah masa janji tersebut telah tiba, yaitu empat puluh malam." Hal ini disebutkan di dalam surat Al-A'raf melalui firman-Nya:

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waklu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)

Menurut suatu pendapat, tiga puluh malam itu adalah bulan Zul Qa'dah, sedangkan yang sepuluh malam tambahannya jatuh pada bulan Zul Hijjah. Hal ini terjadi setelah kaum Bani Israil selamat dari kejaran Fir'aun dan pasukannya, dapat menyeberangi laut dengan selamat.


ثُمَّ عَفَوْنَا عَنكُم مِّنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 52

(52) Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur.

(52) 

Allah Swt. berfirman, "Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, Kumaafkan kalian ketika kalian menyembah anak lembu setelah kepergian Musa untuk memenuhi janji Tuhannya setelah masa janji tersebut telah tiba, yaitu empat puluh malam." Hal ini disebutkan di dalam surat Al-A'raf melalui firman-Nya:

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waklu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). (Al-A'raf: 142)

Menurut suatu pendapat, tiga puluh malam itu adalah bulan Zul Qa'dah, sedangkan yang sepuluh malam tambahannya jatuh pada bulan Zul Hijjah. Hal ini terjadi setelah kaum Bani Israil selamat dari kejaran Fir'aun dan pasukannya, dapat menyeberangi laut dengan selamat.


وَإِذْ ءَاتَيْنَا مُوسَى ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ 53

(53) Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat petunjuk.

(53) 

Firman Allah, "Waiz ataina musal kitaba." Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah kitab Taurat.

Walfurqan, yakni keterangan dan penjelasan yang membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, dan dapat membedakan antara jalan hidayahnya dan kesesatan.

La'allakum tahtaduna, agar kalian mendapat petunjuk. Hal ini pun terjadi sesudah mereka diselamatkan dari laut, seperti yang ditunjukkan oleh konteks ayat dalam surat Al-A'raf tadi, juga karena firman-Nya:

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأولَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat agar mereka ingat. (Al-Qashash: 43)

Menurut suatu pendapat, huruf wawu yang ada pada lafaz walfurqan merupakan huruf zaidah (tambahan). Makna yang dimaksud ialah "Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) yang membedakan antara yang hak dan yang batil". Akan tetapi, pendapat ini garib. Menurut pendapat lainnya lagi, memang memakai huruf 'ataf, sekalipun makna keduanya sama; seperti juga yang terdapat pada perkataan seorang penyair:

وَقَدَّمَتِ الْأَدِيمَ لِرَاقِشِيهِ ... فَأَلْفَى قَوْلَهَا كَذِبًا وَمَيْنَا ...

Ia menyerahkan kulit itu kepada orang yang akan mengukirnya, maka ternyata si pengukir menjumpai perkataannya penuh dengan kedustaan dan bualan.

Penyair lainnya mengatakan:

أَلَا حَبَّذَا هِنْدٌ وَأَرْضٌ بِهَا هِنْدُ ... وَهِنْدٌ أَتَى مِنْ دُونِهَا النَّأْيُ وَالْبُعْدُ ...

Aduhai Hindun, seandainya di suatu daerah ada Hindun, dan Hindun yang pasti akan datang kepadanya orang yang jauh dan orang yang bertempat tinggal jauh darinya.

Al-kazibu dan al-mainu pengertiannya sama, yaitu dusta; begitu pula annayu dan al-bu'du menunjukkan makna yang sama, yaitu jauh. Salah seorang penyair bernama Antrah mengatakan:

حُيِّيتَ مِنْ طَلَلٍ تَقَادَمَ عَهْدُهُ ... أَقْوَى وَأَقْفَرَ بَعْدَ أُمِّ الْهَيْثَمِ ...

Aku teringat kepada suatu peninggalan yang telah lama, yang kini kelihatan kosong dan sepi sepeninggal Ummu Haisam.

Lafaz Iqfar di-ataf-kan kepada lafaz iqwa, sedangkan makna keduanya sama saja.


وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦ يَٰقَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلْعِجْلَ فَتُوبُوٓا۟ إِلَىٰ بَارِئِكُمْ فَٱقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌۭ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ 54

(54) Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang".

(54) 

Dalam ayat ini disebutkan sifat penerimaan tobat dari Allah Swt. atas kaum Bani Israil yang menyembah anak lembu.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sesembahan kalian)." (Al-Baqarah: 54) Musa a.s. mengatakan demikian untuk mengingatkan mereka kepada apa yang telah mereka lakukan, yaitu menyembah anak sapi seperti yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Kisah mereka dinyatakan dalam ayat lainnya, yaitu melalui firman-Nya:

وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا

Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata, "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami...." (Al-A'raf: 149) hingga akhir ayat. Yang demikian itulah yang dimaksud oleh Musa a.s. ketika ia mengatakan seperti apa yang disitir oleh firman-Nya: Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah menganiaya diri kalian sendiri karena kalian telah menjadikan anak lembu (sesembahan kalian). (Al-Baqarah: 54)

Abul Aliyah dan Sa'id ibnu Jubair serta Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan mengenai makna firman-Nya: Maka bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menjadikan kalian. (Al-Baqarah: 54) Yakni kepada Pencipta kalian.

Menurut kami, di dalam firman-Nya, "Ila bari-ikum" (kepada Tuhan yang menciptakan kalian) terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa dosa mereka teramat besar. Dengan kata lain, bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menciptakan kalian, karena kalian telah menyembah selain Dia bersama-Nya.

Imam Nasai, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Yazid ibnu Harun, dari Al-Asbag ibnu Zaid Al-Wariq, dari Al-Qasim ibnu Abu Ayyub, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan, "Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya tobat yang harus dilakukan oleh mereka ialah dengan cara hendaknya setiap orang dari mereka (yang menyembah anak lembu) membunuh orang yang dijumpainya tanpa memandang apakah dia orang tua atau anaknya. Dia harus membunuhnya dengan pedang tanpa mempedulikan siapa yang dibunuhnya di tempat tersebut. Maka Allah menerima tobat mereka yang menyembunyikan dosa-dosanya dari Musa dan Harun, tetapi kemudian ditampakkan oleh Allah Swt., lalu mereka mengakui dosa-dosanya dan mau melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Allah memberikan ampunan kepada si pembunuh dan si terbunuh."

Hadis ini merupakan sebagian dari hadis Al-Futun, yang akan dijelaskan nanti secara lengkap -—insya Allah— dalam tafsir surat Thaha.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Abdul Karim ibnul Haisam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, bahwa Abu Sa'id telah menceritakan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Musa a.s. berkata kepada kaumnya yang disitir oleh firman-Nya: Maka bertobatlah kalian kepada Tuhan yang menjadikan kalian, dan bunuhlah diri kalian. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54) Musa a.s. menyampaikan perintah Tuhannya kepada kaumnya, hendaknya mereka membunuh diri mereka sendiri. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Musa a.s. memanggil orang-orang yang menyembah anak lembu, lalu mereka duduk, sedangkan orang-orang yang tidak ikut menyembah anak lembu berdiri, kemudian mereka mengambil pisaunya masing-masing dan dipegang oleh tangan mereka. Setelah itu terjadilah cuaca yang gelap gulita, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lainnya. Ketika gelap lenyap dari mereka, ternyata orang-orang yang terbunuh berjumlah tujuh puluh ribu orang. Semua orang yang terbunuh dari kalangan mereka diterima tobatnya, dan semua orang yang masih hidup diterima pula tobatnya.

Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnu Abu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair dan Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan bunuhlah diri kalian sendiri. (Al-Baqarah: 54) Sebagian dari mereka bangkit melabrak sebagian yang lain dengan pisau, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain; seseorang tidak mempunyai belas kasihan terhadap kerabatnya, tidak pula terhadap orang lain. Hingga Musa a.s. mengisyaratkan dengan kain jubahnya, barulah mereka melemparkan semua senjata yang ada di tangannya; ternyata jumlah mereka yang terbunuh ada tujuh puluh ribu orang. Sesungguhnya Allah menurunkan wahyu kepada Musa, "Hentikanlah, sudah cukup bagimu!" Yang demikian itu terjadi di saat Musa a.s. mengisyaratkan dengan kain jubahnya (untuk menghentikan mereka).

Ali r.a. meriwayatkan hal yang semisal.

Qatadah mengatakan bahwa Musa a.s. memerintahkan kepada kaumnya untuk melakukan hal yang sangat berat, lalu mereka bangkit dan saling menyembelih dengan pisau-pisau yang tajam, sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain. Ketika pembalasan Allah telah cukup menimpa mereka, maka barulah pisau-pisau itu terjatuh dari tangan mereka dan berhentilah pembunuhan di kalangan mereka; lalu Allah menerima tobat orang-orang yang masih hidup dari kalangan mereka, dan yang terbunuh dianggap sebagai mati syahid.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka tertimpa kabut yang sangat gelap, lalu sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain; setelah itu lenyaplah cuaca gelap yang menyelimuti mereka, kemudian tobat mereka baru diterima.

As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: dan bunuhlah diri kalian sendiri. (Al-Baqarah: 54) Bahwa orang-orang yang menyembah anak lembu saling membunuh dengan orang-orang yang tidak menyembahnya, dan orang-orang yang gugur dari kedua belah pihak dianggap sebagai mati syahid. Ketika orang-orang yang terbunuh banyak sekali —hingga hampir semuanya binasa— saat itu jumlah mereka yang terbunuh ada tujuh puluh ribu orang. Kemudian Musa dan Harun berdoa kepada Allah, "Wahai Tuhan kami, Engkau telah membinasakan Bani Israil. Wahai Tuhan kami, sisakanlah, sisakanlah." Lalu Allah memerintahkan kepada mereka agar menjatuhkan senjatanya masing-masing dan menerima tobat mereka. Tersebutlah bahwa orang-orang yang gugur dari kedua belah pihak dianggap sebagai mati syahid, sedangkan orang-orang yang masih hidup diampuni dosa-dosanya. Yang demikian itu dinyatakan dalam firman-Nya: Maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54)

Az-Zuhri mengatakan, tatkala Bani Israil diperintahkan membunuh diri mereka sendiri, maka mereka berperang; dan Musa a.s. ada bersama mereka. Lalu pedang-pedang pun berlaga dan mereka saling menusuk dengan pisau belati, sedangkan Musa a.s. berdoa mengangkat kedua tangannya. Ketika sebagian dari mereka berhenti sejenak, maka mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, berdoalah kepada Allah untuk kami." Lalu mereka memegang kedua lengan Nabi Musa a.s. dan menopang kedua tangannya (agar terus berdoa). Keadaan mereka masih terus dalam keadaan berperang; ketika Allah menerima tobat mereka, maka barulah tangan mereka berhenti, tidak lagi saling membunuh di antara sesamanya, dan semua senjata mereka lemparkan. Sedangkan Musa a.s. dan kaum Bani Israil merasa sedih melihat mereka yang terbunuh dari kalangan mereka sendiri. Lalu Allah Swt. berfirman kepada Musa a.s., "Apakah yang membuatmu sedih? Orang yang terbunuh dari kalangan mereka, mereka hidup di sisi-Ku dengan diberi rezeki; dan orang-orang yang masih hidup, sesungguhnya Aku telah menerima tobatnya." Maka bergembiralah Nabi Musa a.s. dan kaum Bani Israil karena hal tersebut. Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang jayyid, dari Az-Zuhri.

Ibnu Ishaq mengatakan, "Ketika Musa kembali kepada kaumnya dan membakar anak lembu itu, lalu menaburkan debunya di laut, kemudian ia berangkat bersama sebagian kaum yang dipilihnya menuju kepada Rabbnya; lalu mereka disambar petir, kemudian dihidupkan kembali. Kemudian Musa a.s. meminta kepada Tuhannya tobat bagi kaum Bani Israil atas dosa mereka yang menyembah anak lembu. Maka Allah Swt. menolaknya kecuali jika mereka membunuh diri mereka sendiri."

Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, "Telah sampai kepadaku suatu kisah yang menyatakan bahwa kaum Bani Israil berkata kepada Musa, 'Kami akan teguh kepada perintah Allah.' Lalu Musa memerintahkan kepada orang yang tidak ikut menyembah anak lembu untuk membunuh orang yang menyembahnya. Kemudian mereka yang menyembah anak lembu duduk di suatu tanah lapang, lalu kaum yang tidak menyembah anak lembu menghunus pedangnya masing-masing dan membunuh mereka yang menyembahnya. Maka kaum wanita dan anak-anak berdatangan kepadanya, menangis seraya meminta maaf buat mereka. Lalu Allah menerima tobat dan maaf mereka; maka Allah memerintahkan kepada Musa agar mereka menjatuhkan pedangnya masing-masing (menghentikan pembunuhan)."

Abdur Rahman ibnu Zaid Ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika Musa kembali kepada kaumnya, di antara kaumnya terdapat tujuh puluh orang kaum laki-laki yang memisahkan diri mereka bersama Harun tidak ikut menyembah anak lembu. Maka Musa berkata kepada mereka, "Berangkatlah kalian ke tempat yang telah dijanjikan oleh Tuhan kalian!" Mereka menjawab, "Hai Musa, tiada jalan untuk bertobat." Musa menjawab, "Tidak." Bunuhlah diri kalian, hal itu adalah lebih baik bagi kalian pada sisi Tuhan yang menjadikan kalian; maka Allah akan menerima tobat kalian. (Al-Baqarah: 54) Lalu mereka menghunus pedang, pisau belati, kapak, dan senjata lainnya. Kemudian Allah mengirimkan kabut kepada mereka, lalu mereka mencari-cari dengan tangannya masing-masing dan sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain. Saat itu seseorang menjumpai orang tua dan saudaranya, lalu ia membunuhnya tanpa ia ketahui. Di dalam kegelapan itu mereka saling menyerukan, "Semoga Allah mengasihani hamba yang bersikap sabar terhadap dirinya hingga memperoleh rida Allah." Orang-orang yang gugur dalam peristiwa itu adalah orang-orang yang mati syahid, sedangkan orang-orang yang masih hidup diterima tobatnya. Kemudian Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam membacakan firman-Nya: Maka Allah akan menerima tobat kalian. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 54)


وَإِذْ قُلْتُمْ يَٰمُوسَىٰ لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى ٱللَّهَ جَهْرَةًۭ فَأَخَذَتْكُمُ ٱلصَّٰعِقَةُ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ 55

(55) Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya".

(55) 

Allah Swt. berfirman, "Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian, yaitu Aku hidupkan kembali kalian sesudah kalian mati tertimpa halilintar, ketika kalian meminta sebelumnya agar dapat melihat-Ku secara terang-terangan, padahal hal tersebut tidak akan mampu kalian lakukan dan tidak pula bagi orang-orang seperti kalian." Demikian menurut tafsir yang dikatakan oleh Ibnu Juraij.

Ibnu Abbas r.a. mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, makna jahratan ialah terang-terangan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman, dari Abbad ibnu Ishaq, dari Abul Huwairis, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami dapat melihat Allah dengan terang" (Al-Baqarah: 55). Yang dimaksud dengan lafaz jahrah ialah terang-terangan. Dengan kata lain, kami baru mau beriman kepadamu bila kami dapat melihat Allah dengan terang.

Qatadah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Hatta narallaha jahratan." Yang dimaksud dengan jahratan ialah 'iyanan (terang-terangan tanpa aling-aling).

Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas. Mereka yang mengatakan demikian berjumlah tujuh puluh orang, yaitu mereka yang dipilih oleh Nabi Musa a.s.; lalu mereka berangkat bersama Nabi Musa. Ar-Rabi' ibnu Anas melanjutkan kisahnya, bahwa mereka hanya mendengar kalam saja, lalu mereka berkata: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah: 55) Kemudian mereka mendengar suara pekikan yang dahsyat, akhirnya mereka mati semua.

Marwan ibnul Hakam, ketika sedang berkhotbah di atas mimbar Mekah, antara lain mengatakan bahwa makna as-sa'iqah ialah suara pekikan yang dahsyat dari langit.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: karena itu kalian disambar halilintar. (Al-Baqarah: 55) Menurutnya, yang dimaksud dengan as-sa'iqah ialah api (yang turun dari langit).

Urwah ibnu Ruwayyim mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sedangkan kalian menyaksikannya. (Al-Baqarah: 55) Sebagian dari mereka disambar halilintar, sedangkan sebagian yang lainnya melihat peristiwa tersebut. Kemudian mereka yang tersambar halilintar itu dihidupkan kembali, lalu sebagian yang lainnya tersambar halilintar.

As-Saddi mengatakan bahwa firman-Nya, "Karena itu, kalian disambar halilintar" (Al-Baqarah: 55), lalu mereka mati. Maka berdirilah Nabi Musa seraya menangis dan berdoa kepada Allah serta mengatakan, "Wahai Tuhanku, apakah yang akan kukatakan kepada Bani Israil jika aku kembali menemui mereka, sedangkan Engkau telah binasakan orang-orang terpilih dari mereka." Musa berkata pula yang disitir oleh firman-Nya:

لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا

Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? (Al-A'raf: 155)


ثُمَّ بَعَثْنَٰكُم مِّنۢ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 56

(56) Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.

(56) 

Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Musa a.s. yang isinya mengatakan bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu termasuk orang-orang yang menyembah anak lembu. Setelah itu Allah menghidupkan mereka; mereka bangkit dan hidup seorang demi seorang, sedangkan sebagian dari mereka melihat sebagian yang lain dalam keadaan dihidupkan. Yang demikian itu adalah makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Sesudah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 56)

Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa kematian mereka itu merupakan hukuman bagi mereka, kemudian mereka dihidupkan kembali sesudah mati untuk menunaikan ajal (sisa umur)nya.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah.

Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq yang mengatakan bahwa tatkala Musa kembali kepada kaumnya dan ia melihat apa yang mereka kerjakan, yaitu menyembah anak lembu, dan ia mengatakan apa yang telah dikatakannya kepada saudaranya (Harun), juga kepada Samiri, lalu ia membakar patung anak lembu itu dan menaburkan abunya ke laut, kemudian ia memilih tujuh puluh orang lelaki yang terbaik dari kalangan kaumnya. Ia berkata kepada mereka, "Berangkatlah kalian ke tempat yang telah dijanjikan oleh Allah, bertobatlah kalian kepada Allah atas apa yang telah kalian perbuat, dan mohonlah tobat kepada-Nya atas orang-orang yang kalian tinggalkan di belakang kalian dari kalangan kaum kalian. Berpuasalah kalian, bersucilah, dan bersihkanlah pakaian kalian."

Kemudian Musa a.s. berangkat membawa mereka menuju Bukit Tursina pada waktu yang telah dijanjikan oleh Allah kepadanya. Musa tidak pernah datang kepada-Nya kecuali dengan seizin dan restu dari-Nya.

Menurut riwayat yang sampai kepadaku, ketujuh puluh orang itu di saat mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Musa dan mereka berangkat untuk menjumpai Allah, mereka berkata kepada Musa, "Hai Musa, mohonkanlah bagi kami kepada Tuhanmu agar kami di-perkenankan dapat mendengar kalam Tuhan kami." Musa menjawab "Baiklah."

Ketika Musa mendekati bukit tersebut, maka datanglah awan yang menaunginya hingga menutupi seluruh bukit, lalu Musa mendekat dan masuk ke dalam awan tersebut, setelah itu ia berkata kepada kaumnya, "Mendekatlah kalian." Musa a.s. apabila diajak bicara oleh Allah, maka memancarlah dari keningnya nur yang cemerlang, tiada seorang pun dari Bani Adam yang mampu memandangnya; maka Allah membuat hijab (penutup) bagi nur tersebut. Lalu kaum pun mendekat. Ketika mereka masuk ke dalam awan tersebut, mereka menyungkur sujud dan mereka mendengar suara Allah yang sedang berbicara kepada Musa a.s. memerintah dan melarangnya dengan ucapan, "Lakukanlah," atau "Janganlah kamu lakukan."

Ketika Allah Swt. selesai berbicara kepada Musa, tersingkaplah awan tersebut, dan Musa menghadap ke arah mereka; ternyata mereka berkata kepada Musa a.s., seperti yang disitir oleh firman-Nya: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah: 55) Maka mereka tertimpa oleh gempa dahsyat —yaitusa'iqah— hingga mereka mati semuanya. Lalu Musa a.s. bangkit meminta tolong kepada Tuhannya dan berdoa, memohon kepadanya seraya berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ [وَإِيَّايَ]

Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. (Al-A'raf: 155)

Mereka benar-benar tidak mengerti, apakah Engkau membinasakan orang-orang yang berada di belakangku dari kalangan Bani Israil karena perbuatan orang-orang yang bodoh dari kalangan kami? Dengan kata lain, sesungguhnya hal ini merupakan kebinasaan bagi mereka. Aku memilih tujuh puluh orang terbaik dari kalangan mereka agar aku kembali nanti bersama mereka, sedangkan sekarang tiada seorang pun dari mereka yang tersisa. Apakah yang menjadi bukti bagiku buat mereka agar mereka mau percaya kepadaku dan beriman kepadaku sesudah peristiwa ini? Sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau.

Musa a.s. terus-menerus memohon kepada Tuhannya dan memina hingga Allah mengembalikan roh mereka kepada mereka, lalu Musa a.s. memohon kepada Allah ampunan dan tobat bagi Bani Israil yang telah menyembah anak sapi. Maka Allah berfirman, "Tidak, kecuali jika mereka membunuh diri mereka sendiri." Demikianlah menurut konteks (lafaz) yang diketengahkan oleh Muhammad ibnu Ishaq.

Ismail ibnu Abdur Rahman As-Saddi Al-Kabir mengatakan, "Setelah kaum Bani Israil tobat dari menyembah anak lembu dan Allah menerima tobat mereka dengan cara sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka, lalu Allah memerintahkan kepada Musa agar datang membawa semua orang dari kalangan Bani Israil untuk memohon maaf kepada Allah atas penyembahan mereka terhadap anak lembu. Musa a.s. mengadakan suatu perjanjian dengan mereka, lalu memilih tujuh puluh orang dari kalangan mereka, yaitu orang-orang yang ditunjuknya secara tertentu. Kemudian ia berangkat bersama mereka untuk meminta maaf kepada Allah. Hingga akhir hadis."

Konteks hadis ini memberikan pengertian bahwa khitab yang terdapat di dalam firman berikut ditujukan kepada Bani Israil, yaitu: Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman sebelum kami melihat Allah dengan terang." (Al-Baqarah: 55)

Makna yang dimaksud ialah, mereka yang tujuh puluh orang tersebut yaitu yang dipilih oleh Musa a.s. dari kalangan mereka. Kebanyakan ulama tafsir tidak meriwayatkan kisah ini selain dari Ismail ibnu Abdur Rahman sendiri.

Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya menilai garib kisah yang menceritakan perihal ketujuh puluh orang tersebut, yaitu setelah mereka dihidupkan kembali oleh Allah, mereka berkata, "Hai Musa, sesungguhnya kamu tidak sekali-kali meminta sesuatu kepada Allah melain-kan Dia memberimu, maka doakanlah semoga Allah menjadikan kami sebagai nabi-nabi-Nya." Kemudian Musa a.s. berdoa memohon hal itu kepada Allah, dan Allah memperkenankan doanya.

Riwayat ini sangat garib, mengingat di masa Nabi Musa tidak ada nabi lain kecuali Harun, kemudian Yusya' ibnu Nun. Kaum ahli kitab keliru pula dalam dakwaan mereka yang mengatakan bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu telah melihat Allah Swt dengan terang-terangan. Karena sesungguhnya Musa yang diajak bicara oleh Allah Swt sendiri pernah meminta hal tersebut, tetapi ditolak, mana mungkin hai tersebut diperkenankan bagi mereka.

Pendapat kedua mengenai makna ayat ini disebutkan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dalam tafsir ayat ini, bahwa tatkala Musa kembali dari sisi Tuhannya kepada kaumnya dengan membawa lauh-lauh yang padanya termaktub kitab Taurat, maka ia menjumpai mereka sedang menyembah anak lembu. Maka ia memerintahkan kepada mereka agar membunuh diri mereka sendiri dan mereka melakukannya, lalu Allah menerima tobat mereka. Musa berkata kepada mereka, "Sesungguhnya lembaran-lembaran ini berisikan Kitabullah, di dalamnya terkandung urusan kalian yang diperintahkan oleh Allah dan larangan-Nya yang harus kalian jauhi." Mereka bertanya, "Siapakah yang mau percaya kepada omonganmu itu? Tidak, demi Allah, kecuali jika kami dapat melihat Allah dengan terang hingga Allah sendirilah yang menyerahkannya kepada kami, lalu Dia berfirman, 'Inilah Kitab-Ku, maka ambillah oleh kalian!' Maka mengapa Allah tidak mau berbicara kepada kami sebagaimana Dia berbicara kepadamu, hai Musa?" Abdur Rahman ibnu Zaid membacakan firman-Nya: Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. (Al-Baqarah: 55) dan melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Allah murka, lalu terjadilah halilintar sesudah tobat mereka, kemudian mereka disambar oleh halilintar itu hingga semuanya mati. Setelah itu Allah menghidupkan mereka kembali. Abdur Rahman Ibnu Zaid membacakan firman-Nya: Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 56) Musa a.s. berkata kepada mereka, "Ambillah Kitabullah ini!" Mereka menjawab, "Tidak." Musa a.s. berkata, "Apakah yang telah menimpa kalian?" Mereka menjawab, "Kami mengalami mati, kemudian kami dihidupkan kembali." Musa a.s. berkata, "Terimalah Kitabullah ini." Mereka menjawab, "Tidak." Maka Allah mengirimkan malaikat, lalu malaikat mencabut bukit dan mengangkatnya di atas mereka. Konteks riwayat ini menunjukkan bahwa mereka dikenakan taklif (paksaan) untuk mengamalkan kitab itu sesudah mereka dihidupkan kembali.

Al-Mawardi meriwayatkan dua pendapat sehubungan dengan masalah ini: Pertama, taklif (paksaan) tersebut tidak ada, mengingat mereka telah menyaksikan perkara tersebut secara terang-terangan, sehingga terpaksa mereka mempercayainya. Kedua, mereka dikenakan taklif agar tiada seorang pun yang berakal melainkan terkena taklif. Al-Qurtubi mengatakan bahwa pendapat yang kedua inilah yang benar, karena kesaksian mereka terhadap perkara-perkara yang menakjubkan bukan berarti menggugurkan taklif dari pundak mereka, mengingat kaum Bani Israil memang telah menyaksikan banyak perkara besar yang bertentangan dengan hukum alam. Akan tetapi, sekalipun demikian mereka tetap dikenakan taklif dalam hal tersebut.


وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ ٱلْغَمَامَ وَأَنزَلْنَا عَلَيْكُمُ ٱلْمَنَّ وَٱلسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِن كَانُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ 57

(57) Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

(57) 

Setelah Allah Swt. menyebutkan perihal murka yang Dia hapuskan terhadap mereka, maka Allah kembali mengingatkan mereka akan limpahan nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh-Nya kepada mereka. Untuk itu Allah berfirman:

وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ

Dan Kami naungi kalian dengan awan. (Al-Baqarah: 57)

Al-gamam adalah bentuk jamak dari gamamah; dinamakan demikian karena gamamah menutupi langit, artinya awan putih. Mereka dinaungi oleh awan agar terhindar dari sengatan panas matahari padang pasir yang sangat terik itu. Imam Nasai dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam hadis Al-Futun, bahwa mereka dinaungi oleh awan ketika berada di padang pasir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abul Mijlaz, Ad-Dahhak, dan As-Saddi hal yang semisal dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas.

Al-Hasan dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Wazallalna 'alaikumul gamama," bahwa hal ini terjadi di padang pasir; mereka dinaungi oleh awan tersebut hingga terhindar dari teriknya matahari. Ibnu Jarir dan lain-lainnya mengatakan bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih baik daripada awan biasa.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syiblun, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya ini, bahwa yang dimaksud dengan awan di sini bukanlah awan yang Allah datangkan dengannya kelak di hari kiamat, melainkan awan yang khusus hanya bagi mereka. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna ibnu Ibrahim, dari Abu Huzaifah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Sauri dan lain-lainnya, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.

Seakan-akan dimaksudkan —hanya Allah yang mengetahui— bahwa awan tersebut bukanlah seperti awan yang ada pada kita, melainkan jauh lebih indah dan lebih semerbak serta lebih baik pemandangannya.

Sunaid di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan Kami naungi kalian dengan awan. (Al-Baqarah: 57) Bahwa awan tersebut lebih sejuk dan lebih semerbak baunya daripada awan biasa. Awan inilah yang Allah datang dengan memakainya, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ

Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 21)

Awan inilah yang para malaikat datang dengan membawanya dalam Perang Badar. Ibnu Abbas mengatakan, awan tersebutlah yang menaungi mereka (Bani Israil) ketika di padang pasir.

******************

Firman Allah Swt.:

وَأَنزلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ

dan Kami turunkan kepada kalian manna. (Al-Baqarah: 57)

Keterangan para ahli tafsir berbeda-beda sehubungan dengan hakikat dari manna ini. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa manna turun pada mereka di pohon-pohon, lalu mereka menaikinya dan memakannya dengan sepuas-puasnya.

Mujahid mengatakan bahwa manna adalah getah. Ikrimah mengatakan bahwa manna ialah sesuatu makanan yang diturunkan oleh Allah kepada mereka seperti hujan gerimis.

As-Saddi mengatakan bahwa mereka berkata, "Hai Musa, bagaimanakah kami dapat hidup di sini tanpa ada makanan?" Maka Allah menurunkan manna kepada mereka. Manna itu turun, lalu terjatuh pada pohon zanjabil (jahe).

Qatadah mengatakan bahwa manna turun di tempat mereka berada seperti turunnya salju, bentuknya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis daripada madu; manna turun kepada mereka mulai dari terbitnya fajar hingga matahari terbit. Seseorang dari mereka mengambil sekadar apa yang cukup bagi keperluannya di hari itu. Apabila ia mengambil lebih dari itu, maka manna menjadi busuk dan tidak tersisa. Akan tetapi, bila hari yang keenam tiba —yakni hari Jum’at— maka seseorang mengambil kebutuhannya dari manna untuk hari itu dan hari besoknya, mengingat hari besoknya adalah hari Sabtu. Karena hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang bekerja pada hari itu untuk penghidupannya, hal ini semua terjadi di daratan.

Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa manna adalah minuman yang diturunkan kepada mereka (kaum Bani Israil), rupanya seperti madu; mereka mencampurnya dengan air, lalu meminumnya.

Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai manna. Ia menjawab bahwa manna adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti dedak.

Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadanya Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Jabir, dari Amir (yaitu Asy-Sya'bi) yang mengatakan bahwa madu kalian ini merupakan sepertujuh puluh dari manna. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa manna adalah madu.

Telah disebutkan di dalam syair Umayyah ibnu Abu Silt seperti berikut

فَرَأَى اللَّهُ أَنَّهُمْ بِمَضِيعٍ ... لَا بِذِي مَزْرَعٍ وَلَا مَثْمُورَا ...

فَسَنَاهَا عَلَيْهِمُ غَادِيَاتٍ ... وَتَرَى مُزْنَهُمْ خَلَايَا وَخُورَا ...

عَسَلًا نَاطِفًا وَمَاءً فُرَاتًا ... وحليبا ذا بهجة مرمورا

Allah melihat bahwa mereka berada di tempat yang tandus, tiada tanaman dan tiada buah-buahan. Maka Dia menyirami mereka dengan hujan, dan mereka melihat hujan yang menimpa mereka berupa tetesan madu dan air yang jernih serta air susu yang murni lagi cemerlang.

An-natif artinya cairan, sedangkan al-halibul mazmur artinya susu yang murni lagi jernih. Tujuan utama dari semuanya dapat disimpulkan bahwa ungkapan para ahli tafsir mengenai hakikat manna berdekatan dan tidak terlalu jauh. Di antara mereka ada yang menafsirkannya sebagai minuman. Akan tetapi, kenyataannya hanya Allah yang mengetahui; dapat disimpulkan bahwa manna adalah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada mereka, baik berupa makanan atau minuman atau lainnya, yang dihasilkan tanpa susah payah.

Manna yang dikenal ialah 'jika dimakan dengan sendirinya, maka merupakan makanan dan manisan; jika dicampur dengan air, maka merupakan minuman yang enak; jika dicampur dengan lainnya merupakan jenis yang lain'. Akan tetapi, hal ini semata bukanlah makna yang dimaksud oleh ayat. Sebagai dalilnya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.

قَوْلُ الْبُخَارِيِّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ عبد الملك، عن عمر بْنِ حُرَيْثٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".

Imam Bukhari telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdul Malik ibnu Umair ibnu Hurayyis, dari Sa'id ibnu Zaid r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Jamur kam’ah berasal dari manna: airnya mengandung obat penawar bagi mata.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abdul Malik (yaitu Ibnu Umair) dengan lafaz yang sama. Jama'ah mengetengahkan hadis ini di dalam kitabnya masing-masing —kecuali Abu Daud— melalui berbagai jalur dari Abdul Malik alias Ibnu Umair dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Al-Hakam, dari Al-Hasan Al-'Urni dari Amr ibnu Hurayyis dengan lafaz yang sama.

قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ أَبِي السَّفَرِ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلان، قَالَا حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَفِيهَا شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ، وَالْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"

Imam Turmuzi meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah ibnu Abus Safar dan Mahmud ibnu Gailan; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amri, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ajwah (buah kurma masak) berasal dari surga, di dalamnya terkandung obat penyembuh dari keracunan; dan jamur kam’ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata.

Hadis ini hanya diketengahkan oleh Imam Turmuzi, kemudian dia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Kami tidak mengetahuinya melainkan melalui hadis Muhammad ibnu Muhammad ibnu Amr; jika tidak demikian, berarti dari hadis Sa'id ibnu Amr dari Muhammad ibnu Amr. Di dalam bab ini diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Zaid dan Abu Sa'id serta Jabir, menurut Imam Turmuzi.

Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan pula di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Abu Hurairah. Untuk itu dia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ أَحْمَدَ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَسْلَمُ بْنُ سَهْلٍ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan ibnu Ahmad Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Aslam ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Talhah ibnu Abdur Rahman, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jamur kam’ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi penyakit mata.

Hadis ini berpredikat garib bila ditinjau dari sanad ini, dan Talhah ibnu Abdur Rahman ini adalah As-Sulami Al-Wasiti, dijuluki dengan sebutan Abu Muhammad. Menurut pendapat lain, dia adalah Abu Sulaiman Al-Muaddib; dan Al-Hafiz Abu Ahmad ibnu Abdi mengatakan sesuatu tentang dirinya. Dia meriwayatkan dari Qatadah banyak riwayat yang tidak dapat diikuti (dipakai).

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: الْكَمْأَةُ جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abu Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa para sahabat Nabi Saw. mengatakan, "Kam’ah merupakan akar yang ada di dalam tanah." Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna, airnya mengandung obat penyembuh bagi (penyakit) mata. Dan ajwah berasal dari surga, ia mengandung obat penawar untuk racun.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Muhammad ibnu Basysyar dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Gundar, dari Syu'bah ibnu Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Basysyar, dari Abdul A’la, dari Khalid Al-Hazza, dari Syahr ibnu Hausyab, tetapi hanya kisah mengenai kam’ah saja.

Imam Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan pula melalui hadis Muhammad ibnu Basysyar, dari Abu Abdus Samad ibnu Abdul Aziz ibnu Abdus Samad, dari Matar Al-Waraq, dari Syahr kisah mengenai ajwah yang ada pada Imam Nasai, dan kisah mengenai keduanya (kam’ah dan ajwah) pada Ibnu Majah.

Jalur periwayatan ini munqati (terputus) antara Syahr ibnu Hausyab dan Abu Hurairah, karena sesungguhnya Syahr ibnu Hausyab belum pernah mendengar riwayat hadis dari Abu Hurairah.

Sebagai buktinya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam Bab "Walimah", di dalam kitab Sunannya:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ الدِّرْهَمِيِّ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْم، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ يَذْكُرُونَ الْكَمْأَةَ، وَبَعْضُهُمْ يَقُولُ جُدَرِيُّ الْأَرْضِ، فَقَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"

dari Ali ibnul Husain Ad-Dirhami, dari Abdul A’la, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar (menemui mereka) yang saat itu mereka sedang membicarakan tentang kam’ah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa kam’ah adalah akar yang ada di dalam tanah. Maka Nabi Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna yang airnya mengandung obat bagi (penyakit) mata.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ، عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ وَالْعَجْوَةُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهِيَ شِفَاءٌ مِنَ السُّمِّ"

telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Jabir ibnu Abdullah dan Abu Sa'id Al-Khudri; keduanya mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, ia mengandung obat untuk keracunan.

Imam Nasai mengatakan pula di dalam Bab "Walimah",

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ جَعْفَرِ بْنِ إِيَاسٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَجَابِرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Sa'id dan Jabir, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya merupakan obat penawar bagi (penyakit) mata.

Kemudian hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A'masy, dari Abu Bisyr, dari Syahr, dari Jabir dan Abu Sa'id dengan lafaz yang sama.

Keduanya —yakni Ibnu Majah dan Imam Nasai— meriwayatkannya pula; Imam Nasai meriwayatkannya dari hadis Jarir, sedangkan Ibnu Majah dari hadis Sa'id ibnu Salamah, keduanya dari Al-A'masy, dari Ja'far ibnu Iyas, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id, menurut riwayat Nasai. Sedangkan hadis Jabir menyebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

"الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"

Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penyembuh bagi mata.

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Ahmad ibnu Usman, dari Abbas Ad-Dauri, dari Lahiq ibnu Sawab, dari Ammar ibnu Raziq, dari Al-A'masy; seperti halnya ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih juga berkata:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الدُّورِيُّ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي يَدِهِ كَمَآتٌ، فَقَالَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ".

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abbas Ad-Dauri. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnur Rabi', telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar menjumpai kami, sedangkan di tangan beliau tergenggam kam’ah, lalu beliau bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat penawar bagi mata.

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Nasai, dari Amr ibnu Mansur, dari Al-Hasan ibnur Rabi' dengan lafaz yang sama. Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dari Abdullah Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu Salam, dari Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama. Demikian pula Imam Nasai, ia telah meriwayatkan dari Ahmad ibnu Usman ibnu Hakim, dari Ubaidillah ibnu Musa.

Telah diriwayatkan melalui hadis Anas ibnu Malik r.a. seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Murdawaih.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا حَمْدُونُ بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا حَوْثَرَةُ بْنُ أَشْرَسَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ الْحَبْحَابِ عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَدَارَؤُوا فِي الشَّجَرَةِ الَّتِي اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَحْسَبُهُ الْكَمْأَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ، وَالْعَجْوَةُ من الجنة، وفيها شفاء من السم"

Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hamdun ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Juwairah ibnu Asyras, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Syu'aib ibnul Habhab, dari Anas, bahwa para sahabat Rasulullah Saw. bersegera melihat suatu pohon yang dicabut dari tanah karena pohon itu sudah tidak tegak lagi, maka sebagian dari mereka mengatakan, "Kami kira kam’ah." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung kesembuhan bagi (penyakit) mata. Dan 'ajwah berasal dari surga, di dalamnya terkandung kesembuhan dari keracunan.

Pokok hadis ini terpelihara melalui riwayat Hammad ibnu Salamah. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan melalui jalurnya sesuatu dari hadis ini.

Diriwayatkan dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ibnu Abbas hal yang sama seperti apa yang diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam Bab "Walimah"-nya:

عَنْ أَبِي بَكْرٍ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيِّ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْنٍ الخَرّاز، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ الْحَدَّادِ، عَنْ عَبْدِ الْجَلِيلِ بْنِ عَطِيَّةَ، عَنْ شَهْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "الْكَمْأَةُ مِنَ الْمَنِّ، وَمَاؤُهَا شِفَاءٌ لِلْعَيْنِ"

dari Abu Bakar Ahmad ibnu Ali ibnu Sa'id, dari Abdullah ibnu Aun Al-Kharraz, dari Abu Ubaidah Al-Haddad, dari Abdul Jalil ibnu Atiyyah, dari Abdullah ibnu Abbas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Kam’ah berasal dari manna, dan airnya mengandung obat bagi mata.

Seperti yang Anda ketahui sendiri, hal yang diperselisihkan adalah terletak pada Syahr ibnu Hausyab.

Menurut kami, Syahr ibnu Hausyab menghafal dan meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur yang semuanya telah disebutkan di atas, dan memang dia mendengarnya dari sebagian sahabat, sedangkan sebagian yang lain diterimanya dari orang lain. Semua sanad yang disandarkan kepadanya berpredikat jayyid, dan dia tidak bermaksud dusta dalam hal ini. Pokok hadis terpelihara dari Rasulullah Saw., seperti yang disebutkan di atas melalui riwayat Sa'id ibnu Zaid r.a.

Mengenai salwa, disebutkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa salwa adalah sejenis burung yang mirip dengan burung samani yang biasa mereka makan.

As-Saddi mengatakan dalam kisahnya yang ia ketengahkan dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a.; juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw., bahwa salwa adalah burung yang mirip dengan burung samani.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad ibnu Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Qurrah ibnu Khalid, dari Jahdam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa salwa adalah burung samani.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Ikrimah, dan Ar-Rabbi' ibnu Anas.

Diriwayatkan dari Ikrimah, salwa adalah sejenis burung seperti burung yang kelak ada di surga, bentuknya lebih besar daripada burung pipit atau sama dengannya.

Qatadah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung yang berbulu merah yang datang digiring oleh angin selatan. Seorang lelaki dari kalangan mereka menyembelih sebagian darinya dalam kadar yang cukup untuk keperluan hari itu; dan apabila ia melampaui batas dalam pengambilannya, maka daging burung itu membusuk dan tak tersisa. Tetapi jika ia berada di hari yang keenam (yakni hari Jumat), maka ia mengambil bagian untuk keperluan hari itu dan hari esoknya, yakni hari keenam dan hari ketujuhnya. Karena hari yang ketujuh atau hari Sabtu merupakan hari libur mereka, tiada seorang pun yang bekerja di hari itu dan tiada seorang pun yang mencari sesuatu padanya.

Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa salwa adalah burung yang gemuk seperti burung merpati, burung-burung tersebut datang kepada mereka dengan berbondong-bondong dari Sabtu ke Sabtu yang lainnya, kemudian mereka mengambil sebagian darinya.

Di dalam riwayat yang lain dari Wahb disebutkan bahwa kaum Bani Israil meminta kepada Musa a.s. agar diberi daging, lalu Allah berfirman, "Aku benar-benar akan memberi mereka makan berupa daging yang paling sedikit didapat di muka bumi." Kemudian Allah mengirimkan angin kepada mereka, lalu berjatuhanlah salwa di ternpat tinggal mereka; salwa tersebut adalah samani yang berbondong-bondong terbang setinggi tombak. Mereka menyimpan daging burung samani itu untuk keesokan harinya, tetapi daging itu membusuk dan roti pun menjadi basi.

As-Saddi mengatakan bahwa tatkala Bani Israil memasuki padang Sahara, mereka berkata kepada Musa a.s., "Bagaimana kami dapat tahan di tempat seperti ini? Di manakah makanannya?" Maka Allah menurunkan manna kepada mereka. Manna turun kepada mereka berjatuhan di atas pohon jahe. Sedangkan salwa adalah sejenis burung yang bentuknya mirip dengan burung samani, tetapi lebih besar sedikit.

Seseorang dari mereka bila menangkap burung salwa itu terlebih dahulu mereka melihatnya. Jika burung yang ditangkapnya itu gemuk, maka mereka menyembelihnya; tetapi jika kurus, mereka melepa-kannya; jika telah gemuk, maka burung itu baru ditangkap. Mereka berkata (kepada Musa a.s.), "Ini makanannya, manakah minuman-nya?" Maka Allah memerintahkan kepada Musa a.s. untuk memukulkan tongkatnya pada sebuah batu besar. Setelah batu itu dipukul dengan tongkatnya, memancarlah dua belas mata air yang mengalir, hingga tiap-tiap puak dari Bani Israil mempunyai mata airnya sendiri-sendiri. Mereka berkata lagi, "Ini minuman, maka manakah naungannya?" Mereka dinaungi oleh awan, dan mereka berkata lagi, "Ini naungan, manakah pakaiannya?" Tersebutlah bahwa pakaian mereka tahan lama dan tidak robek-robek. Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan Kami naungi kalian dengan awan dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa. (Al-Baqarah: 57)

وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ

Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kalian berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Al-Baqarah: 6)

Telah diriwayatkan dari Wahb ibnu Munabbih dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam hal yang semisal dengan apa yang telah diriwayatkan oleh As-Saddi.

Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang menceritakan, "Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan bahwa Allah menciptakan bagi mereka di padang pasir pakaian yang anti robek dan anti kotor."

Ibnu Juraij mengatakan, "Seorang lelaki (dari kalangan mereka) apabila mengambil manna dan salwa dalam jumlah lebih dari keperluan seharinya, maka manna dan salwa itu membusuk. Hanya saja pada hari Jumat mereka mengambil makanan dalam jumlah lebih karena untuk hari Sabtunya, dan pada pagi hari Sabtu makanan tersebut tidak rusak."

Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa salwa adalah sejenis burung, menurut kesepakatan ulama Mufassirin. Kelirulah Al-Huzali yang mengatakan dalam bait syairnya bahwa salwa itu adalah madu. Hal ini terbukti melalui perkataannya dalam salah satu bait syairnya, yaitu:

وَقَاسَمَهَا بِاللَّهِ جَهْدًا لَأَنْتُمُ ... أَلَذُّ مِنَ السَّلْوَى إِذَا مَا أَشُورُهَا ...

Dan dia bersumpah secara sungguh-sungguh dengan menyebut asma Allah, bahwa kalian benar-benar lebih lezat daripada salwa (madu) apabila dipetik dari sarangnya.

Al-Huzali menduga bahwa salwa itu adalah madu.

Al-Qurtubi mengatakan, pengakuan yang mendakwakan adanya kesepakatan (bahwa salwa adalah sejenis burung) tidak sah, karena Muwarrij —seorang ulama bahasa dan tafsir— mengatakan bahwa salwa adalah madu. Kemudian ia mengemukakan dalilnya dengan berpegang kepada perkataan Al-Huzali tadi. Ia menjelaskan, memang demikianlah sebutannya di dalam dialek Kinanah, mengingat madu merupakan minuman yang lezat; termasuk ke dalam pengertian ini ialah 'ainun silwan (mata air yang menyegarkan).

Al-Jauhari mengatakan bahwa salwa adalah madu. Ia mengatakan demikian berdalilkan ucapan Al-Huzali tadi. Sulwanah artinya kharzah (sebuah wadah). Mereka mengatakan, apabila dituangkan air hujan, lalu diminum oleh seseorang yang sedang dimabuk asmara, maka ia akan lupa kepada segala-galanya. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:

شَرِبْتُ عَلَى سُلْوَانَةٍ مَاءَ مُزْنَةٍ ... فَلَا وَجَدِيدِ الْعَيْشِ يَا مَيُّ مَا أَسْلُو ...

Aku telah meminum air hujan dari wadah sulwanah, demi kehidupan yang baru, hai Mai, aku tidak dapat berlupa diri.

Nama air yang diminum dengan memakai wadah tersebut adalah sul-wan. Sebagian orang mengatakan bahwa sulwan merupakan obat penawar yang dapat menyembuhkan karena lupa kepada kesedihan. Para tabib menamakannya dengan sebutan mufarrij.

Mereka mengatakan bahwa salwa adalah bentuk jamak, bentuk tunggalnya pun sama; sama halnya dengan samani yang bentuk tunggal dan jamaknya sama. Tetapi dapat pula dikatakan salwa adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya adalah waili.

Imam Khalil mengatakan bahwa salwa bentuk tunggalnya adalah silwatun, lalu Imam Khalil mengetengahkan sebuah syair:

وَإِنِّي لَتَعْرُونِي لِذِكْرَاكِ هِزَّةٌ ... كَمَا انْتَفَضَ السَّلْوَاةُ مِنْ بلل القطر ...

Sesungguhnya aku benar-benar tergetar bila mengingatmu, seperti seekor burung salwa yang mengibaskan air hujan dari tubuhnya.

Imam Kisai mengatakan bahwa salwa adalah bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah salawa. Semua pendapat di atas telah dinukil oleh Al-Qurtubi.

**********

Firman Allah Swt.:

كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 57)

Perintah dalam ayat ini mengandung makna ibahah (boleh), pengarahan, dan sebagai anugerah.

Sedangkan mengenai firman-Nya:

وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Al-Baqarah: 57)

Makna yang dimaksud dengan ayat sebelumnya yaitu 'Kami perintahkan mereka untuk memakan rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka, dan hendaklah mereka beribadah (kepada-Nya)', seperti pengertian yang terdapat pada ayat lainnya, yaitu firman-Nya:

كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ

Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Saba': 15)

Akan tetapi, mereka (Bani Israil) menentang dan kafir, sehingga jadilah mereka orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, padahal mereka telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri semua tanda kebesaran Allah yang jelas, mukjizat-mukjizat yang pasti, dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam.

Dari keterangan ini tampak jelas keutamaan para sahabat Nabi Muhammad Saw. yang berada di atas semua sahabat nabi-nabi lainnya dalam hal kesabaran, keteguhan, dan ketegaran mereka yang tidak pernah surut. Padahal mereka selalu bersamanya dalam semua perjalanan dan peperangan, antara lain ialah dalam Perang Tabuk yang situasinya sangat panas dan melelahkan. Sekalipun demikian, mereka tidak pernah meminta kepada Nabi Saw. mengadakan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam dan hal-hal yang aneh, padahal hal tersebut amatlah mudah bagi Nabi Saw. Hanya ketika rasa lapar sangat melemahkan tubuh mereka, mereka meminta kepada Nabi Saw. agar makanan yang mereka bawa diperbanyak. Untuk itu mereka mengumpulkan semua makanan yang ada pada mereka, lalu terkumpullah makanan yang jumlah keseluruhannya sama dengan tinggi seekor kambing yang sedang duduk istirahat. Kemudian Nabi Saw. berdoa agar makanan tersebut diberkahi, ternyata akhirnya mereka dapat memenuhi semua wadah makanan yang mereka bawa.

Demikian pula ketika mereka memerlukan air, Nabi memohon kepada Allah Swt., lalu datanglah awan yang langsung menghujani mereka. Akhirnya mereka minum dan memberi minum ternak mereka hingga dapat memenuhi wadah air minum yang mereka bawa. Kemudian mereka melihat keadaan hujan tersebut, ternyata hujan tidak melampaui batas pasukan kaum muslim bermarkas.

Hal ini jelas lebih utama dan lebih sempurna, yang menunjukkan keikhlasan mereka dalam mengikuti Nabi Saw., padahal Allah berkuasa untuk memenuhi apa yang diminta oleh Rasulullah Saw. buat pasukan kaum muslim yang mengikutinya saat itu.