4 - النساء - An-Nisaa

Juz : 4

The Women
Medinan

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍۢ وَٰحِدَةٍۢ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًۭا كَثِيرًۭا وَنِسَآءًۭ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًۭا 1

(1) Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

(1) 

Allah Swt. berfirman memerintahkan kepada makhluk-Nya agar bertakwa kepada-Nya, yaitu menyembah kepada-Nya semata dan tidak membuat sekutu bagi-Nya. Juga mengingatkan mereka akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari seorang diri berkat kekuasaan-Nya orang tersebut adalah Adam a.s.

وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا

dan darinya Allah menciptakan istrinya. (An-Nisa: 1)

Siti Hawa a.s. diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam a.s. ketika Adam a.s. sedang tidur. Saat Adam terbangun, ia merasa kaget setelah melihatnya, lalu ia langsung jatuh cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa jatuh cinta kepada Adam a.s.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abu Hilal. dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Wanita diciptakan dari laki-laki, maka keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita kalian."

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

«إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ»

Sesungguhnya wanita itu dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka jika kamu bertindak untuk meluruskannya. niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً

dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan. (An-Nisa: 1)

Allah mengembangbiakkan banyak laki-laki dan perempuan dari Adam dan Hawa, lalu menyebarkan mereka ke seluruh dunia dengan berbagai macam jenis, sifat, warna kulit, dan bahasa mereka. Kemudian sesudah itu hanya kepada-Nya mereka kembali dan dihimpunkan.

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. (An-Nisa: 1)

Maksudnya, bertakwalah kalian kepada Allah dengan taat kepada-Nya.

Ibrahim, Mujahid, dan Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, (An-Nisa: 1) Yakni seperti dikatakan, "Aku meminta kepadamu dengan nama Allah dan hubungan silaturahmi."

Menurut Ad-Dahhak, makna ayat adalah 'bertakwalah kalian kepada Allah yang kalian telah berjanji dan berikrar dengan menyebut nama-Nya'. Bertakwalah kalian kepada Allah dalam silaturahmi. Dengan kata lain, janganlah kalian memutuskannya. melainkan hubungkanlah dan berbaktilah untuknya. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid. Al-Hasan. Ad-Dahhak. Ar-Rabi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Salah seorang ulama membaca al-arhama menjadi al-arhami. yakni dengan bacaan jar karena di-'ataf-kan kepada damir yang ada pada bihi. Dengan kata lain, kalian saling meminta satu sama lain dengan menyebut nama Allah dan hubungan silaturahmi. Demikianlah menurut yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian. (An-Nisa: 1)

Dia mengawasi semua keadaan dan semua perbuatan kalian. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَاللَّهُ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Mujadilah: 6)

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

«اعْبُدِ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَإِنَّهُ يَرَاكَ»

Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya; jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.

Hal ini merupakan petunjuk dan sekaligus sebagai peringatan, bahwa diri kita selalu berada di dalam pengawasan Allah Swt.

Allah Swt. telah menyebutkan bahwa asal mula makhluk itu dari seorang ayah dan seorang ibu. Makna yang dimaksud ialah agar sebagian dari mereka saling mengasihi dengan sebagian yang lain, dan menganjurkan kepada mereka agar menyantuni orang-orang yang lemah dari mereka.

Di dalam hadis sahih Muslim disebutkan melalui hadis Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ عَلَيْهِ أُولَئِكَ النَّفَرُ مِنْ مُضَر -وَهُمْ مُجْتابو النِّمار -أَيْ مِنْ عُريِّهم وفَقْرهم -قَامَ فَخَطَب النَّاسَ بَعْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ فَقَالَ فِي خُطْبَتِهِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى خَتَمَ الْآيَةَ وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ [وَاتَّقُوا اللَّهَ] [الْحَشْرِ:18] ثُمَّ حَضَّهم عَلَى الصَّدَقَةِ فَقَالَ: "تَصَدَّقَ رجُلٌ مِنْ دِينَاره، مِنْ دِرْهَمِه، مِنْ صَاعِ بُرِّه، صَاعِ تَمْره ... " وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ.

bahwa ketika Rasulullah Saw. kedatangan sejumlah orang dari kalangan Mudar —mereka adalah orang-orang yang mendatangkan buah-buahan, yakni dari pohon-pohon milik mereka— maka Nabi Saw. berkhotbah kepada orang-orang sesudah salat Lohor. Dalam khotbahnya beliau Saw. membacakan firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri. (An-Nisa: 1), hingga akhir ayat. Kemudian membacakan pula firman-Nya: Hai orang-orang yang berimah, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. (Al-Hasyr: 18) Kemudian Nabi Saw. menganjurkan mereka untuk bersedekah. Untuk itu beliau bersabda: Seorang lelaki bersedekah dari uang dinarnya, dari uang dirhamnya, dari sa' jewawutnya. dari sa' kurmanya, hingga akhir hadis.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ahlus sunan dari Ibnu Mas'ud dalam khotbah hajinya. yang di dalamnya disebut pula bahwa setelah itu Ibnu Mas'ud membacakan tiga buah ayat Salah satunya adalah firman-Nya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian. (An-Nisa: 1), hingga akhir ayat.


وَءَاتُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰٓ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا۟ ٱلْخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَهُمْ إِلَىٰٓ أَمْوَٰلِكُمْ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبًۭا كَبِيرًۭا 2

(2) Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.

(2) 

Allah Swt. memerintahkan agar menyerahkan harta benda anak-anak yatim apabila mereka telah mencapai usia balig yang sempurna dan dewasa. Allah melarang memakan harta anak yatim serta menggabungkannya dengan harta yang lainnya. Karena itulah Allah Swt. ber-firman:

وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ

jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk. (An-Nisa: 2)

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Abu Saleh, "Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum datang kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu."

Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang lain." Yakni janganlah kalian menukarkan harta kalian yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang haram bagi kalian.

Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri mengatakan, "Janganlah kamu memberi kambing yang kurus dan mengambil kambing yang gemuk".

Ibrahim An-Nakha'i dan Ad-Dahhak mengatakan, "Janganlah kamu memberi yang palsu dan mengambil yang baik."

As-Saddi mengatakan, "Seseorang di antara mereka mengambil kambing yang gemuk dari ternak kambing milik anak yatim, lalu menggantikannya dengan kambing yang kurus, kemudian kamu katakan, 'Kambing dengan kambing. Janganlah kamu mengambil dirham yang baik, lalu menggantikannya dengan dirham yang palsu, kemudian kamu katakan, 'Dirham ditukar dengan dirham lagi'."

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ

dan jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian (An-Nisa: 2)

Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, dan Sufyan Ibnu Husain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah kalian mencampuradukkan harta kalian dengan harta anak-anak yatim, lalu kalian memakannya secara bersamaan (yakni tidak dipisahkan)'

Firman Allah Swt.:

إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

Sesungguhnya perbuatan tersebut adalah dosa yang besar. (An-Nisa: 2)

Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan huban ialah dosa, yakni dosa yang besar.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai firman-Nya: dosa yang besar. (An-Nisa: 2) Yang dimaksud dengan huban kabiran ialah dosa besar.

Akan tetapi di dalam sanad hadis ini terdapat Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan dia orangnya daif.

Telah diriwayatkan hal yang sama dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, dan Abu Sinan yang isinya semisal dengan perkataan Ibnu Abbas.

Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan:

"اغْفِرْ لَنَا حُوبَنَا وَخَطَايَانَا"

Ampunilah bagi kami atas dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Wasil maula Abu Uyaynah, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Ayyub menceraikan istrinya. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:

"يَا أَبَا أَيُّوبَ، إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ أَيُّوبَ كَانَ حُوبًا"

Hai Abu Ayyub, sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub adalah dosa!

Menurut Ibnu Sirin. yang dimaksud dengan al-hub ialah dosa.

Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa telah menceritakan kepada kami Haudah ibnu Khalifah, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Anas, bahwa Abu Ayyub bermaksud hendak menceraikan Ummu Ayyub (istrinya). Maka ia meminta izin kepada Nabi Saw., tetapi Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub benar-benar dosa.

Maka Abu Ayyub tidak jadi menceraikannya dan tetap memegangnya (sebagai istrinya).

Ibnu Murdawaih dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis Ali ibnu Asim, dari Humaid At-Tawil yang mendengar dari sahabat Anas ibnu Malik pula bahwa Abu Talhah bermaksud menceraikan Ummu Sulaim (yakni istrinya). Maka Nabi Saw. bersabda:

"إِنَّ طَلَاقَ أُمِّ سُلَيْمٍ لَحُوبٌ"

Sesungguhnya menceraikan Ummu Sulaim benar-benar dosa.

Maka Abu Talhah mengurungkan niatnya.

Makna ayat: yaitu sesungguhnya bilamana kalian makan harta kalian yang dicampur dengan harta mereka (anak-anak yatim). hal itu adalah dosa yang besar dan merupakan kesalahan yang parah; maka jauhilah perbuatan tersebut.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua. (An-Nisa: 3)

Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak memberikan kepadanya mahar misil-nya, hendaklah ia beralih mengawini wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan kepadanya.

Imam Bukhari mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah. dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil. (An-Nisa: 3)

Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya). (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (yakni tidak sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan maskawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya. Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.

*******************

Firman Allah Swt.:

مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ

dua, tiga, empat. (An-Nisa: 3)

Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

جاعِلِ الْمَلائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ

Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk meng-rus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. (Fathir: 1)

Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap. tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.

Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.

Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang." Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah Saw. dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih.

Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri. Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi Saw. sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَعمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. قَالَ ابْنُ جَعْفَرٍ فِي حَدِيثِهِ: أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ أَبِيهِ: أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمة الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشَرَةُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ طَلَّقَ نِسَاءَهُ، وَقَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ بَنِيهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي لَأَظُنُّ الشَّيْطَانَ فِيمَا يَسْتَرِقُ مِنَ السَّمْعِ سَمِعَ بِمَوْتِكَ فَقَذَفَهُ فِي نَفْسِكَ وَلَعَلَّكَ لَا تَمْكُثُ إِلَّا قَلِيلًا. وَايْمُ اللَّهِ لتراجعنَّ نِسَاءَكَ وَلَتَرْجِعَنَّ فِي مَالِكَ أَوْ لأورثُهن مِنْكَ، وَلَآمُرَنَّ بِقَبْرِكَ فَيُرْجَمُ، كَمَا رُجِمَ قبرُ أَبِي رِغَال

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri. Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja. Ketika pemerintahan Khalifah Umar. Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu. atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan As-Sauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lainnya dari kalangan para huffazul hadis, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal sampai pada sabda Nabi Saw.: Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!

Sedangkan lafaz lainnya mengenai kisah Umar r.a. termasuk asar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari terhadap hadis ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi darinya.

Dalam riwayatnya itu Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadis yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadis berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadis.

Imam Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadis Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisis Imam Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan.

Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Zar'ah, hal ini lebih sahih.

Imam Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadis ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid.

Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadis ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Saw. ... hingga akhir hadis.

Imam Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan(dianalisiskan) oleh Imam Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang siqah dengan syarat Syaikhain.

Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri. Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi Saw. menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya.

Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar. dan dia orangnya siqah Ibnu Mu'in menilainya siqah pula.

Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.

Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadis Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadis Gailan ibnu Salamah ini.

Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari enipat orang istri. niscaya Rasulullah Saw. memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi Saw. memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.

رَوَى أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِمَا مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيضة بْنِ الشَّمَرْدَل -وَعِنْدَ ابْنِ مَاجَهْ: بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، وَحَكَى أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: الشَّمَرْذَلِ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ -عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ. وَعِنْدَ أَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةِ: الْحَارِثِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثماني نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا".

Hadis lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal. Imam Abu Daud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Daud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!"

Sanad hadits ini jayyid; perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat pada hadis yang dimaksud.

Hadis lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa:

أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ أَبِي الزِّناد يَقُولُ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ سُهَيل بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَوْفِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الدِّيْلِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخْتَرْ أَرْبَعًا أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ، وَفَارِقِ الْأُخْرَى"، فَعَمَدت إِلَى أَقْدَمِهِنَّ صُحْبَةً عَجُوزٍ عَاقِرٍ مَعِي مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، فَطَلَّقْتُهَا .

telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya. Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."

Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadis Gailan tadi. menurut apa yang dikatakan oleh Imam Baihaqi.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 3)

Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An-nisa 129)

Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim.

Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat aniaya berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:

بِمِيزَانِ قسطٍ لَا يَخيس شُعَيْرَةً ... لَهُ شَاهِدٌ مِنْ نَفْسِهِ غَيْرُ عَائِلِ

Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak aniaya.

Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدويه، وَأَبُو حَاتِمِ ابْنِ حِبَّان فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ دُحَيْم، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا قال: "لا تجوروا".

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat aniaya!"

Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis ini keliru. Yang benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi Saw

Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak berat sebelah."

Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.

Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.

Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi Saw. menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan."

Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."

Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)

Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْأَحْمَسِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عُمَيْرٍ الْخَثْعَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ الطَّائِفِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلَمَاني قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عَلَيْهِ أهْلوهُم"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Membacakan firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."

قَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ حَجَّاج بْنِ أرْطاة، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلمَاني عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَنْكِحُوا الْأَيَامَى" ثَلَاثًا، فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عليه أهلوهم".

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah kepada kami. Beliau Saw. bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."

Ibnus Salman orangnya daif. kemudian dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُوا۟ 3

(3) Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

(3) 

Firman Allah Swt.:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua. (An-Nisa: 3)

Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak memberikan kepadanya mahar misil-nya, hendaklah ia beralih mengawini wanita yang lain, karena sesungguhnya wanita yang lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan kepadanya.

Imam Bukhari mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah. dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil. (An-Nisa: 3)

Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya). (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Hai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (yakni tidak sepantasnya). Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan maskawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya. Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: sedangkan kalian ingin mengawini mereka. (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Demikian itu karena ketidaksukaan mereka bila anak-anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.

*******************

Firman Allah Swt.:

مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ

dua, tiga, empat. (An-Nisa: 3)

Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

جاعِلِ الْمَلائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنى وَثُلاثَ وَرُباعَ

Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk meng-rus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. (Fathir: 1)

Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap. tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.

Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.

Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah Saw. yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah Saw. tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang." Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah Saw. dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih.

Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam Bukhari; sesungguhnya Imam Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri. Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi Saw. sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadis-hadis yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا مَعمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ. قَالَ ابْنُ جَعْفَرٍ فِي حَدِيثِهِ: أَنْبَأَنَا ابْنُ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ أَبِيهِ: أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمة الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَتَحْتَهُ عَشَرَةُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. فَلَمَّا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ طَلَّقَ نِسَاءَهُ، وَقَسَّمَ مَالَهُ بَيْنَ بَنِيهِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ فَقَالَ: إِنِّي لَأَظُنُّ الشَّيْطَانَ فِيمَا يَسْتَرِقُ مِنَ السَّمْعِ سَمِعَ بِمَوْتِكَ فَقَذَفَهُ فِي نَفْسِكَ وَلَعَلَّكَ لَا تَمْكُثُ إِلَّا قَلِيلًا. وَايْمُ اللَّهِ لتراجعنَّ نِسَاءَكَ وَلَتَرْجِعَنَّ فِي مَالِكَ أَوْ لأورثُهن مِنْكَ، وَلَآمُرَنَّ بِقَبْرِكَ فَيُرْجَمُ، كَمَا رُجِمَ قبرُ أَبِي رِغَال

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri. Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam hadisnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja. Ketika pemerintahan Khalifah Umar. Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu. atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan As-Sauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lainnya dari kalangan para huffazul hadis, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal sampai pada sabda Nabi Saw.: Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!

Sedangkan lafaz lainnya mengenai kisah Umar r.a. termasuk asar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Bukhari terhadap hadis ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi darinya.

Dalam riwayatnya itu Imam Turmuzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Bukhari mengatakan bahwa hadis ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadis yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadis berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadis.

Imam Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadis Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisis Imam Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan.

Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Zar'ah, hal ini lebih sahih.

Imam Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadis ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid.

Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadis ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah Saw. ... hingga akhir hadis.

Imam Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan(dianalisiskan) oleh Imam Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang siqah dengan syarat Syaikhain.

Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri. Imam Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafiz, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi Saw. menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya.

Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar. dan dia orangnya siqah Ibnu Mu'in menilainya siqah pula.

Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.

Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadis Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadis Gailan ibnu Salamah ini.

Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari enipat orang istri. niscaya Rasulullah Saw. memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi Saw. memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.

رَوَى أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ فِي سُنَنِهِمَا مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ حُمَيضة بْنِ الشَّمَرْدَل -وَعِنْدَ ابْنِ مَاجَهْ: بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ، وَحَكَى أَبُو دَاوُدَ أَنَّ مِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: الشَّمَرْذَلِ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ -عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ. وَعِنْدَ أَبِي دَاوُدَ فِي رِوَايَةِ: الْحَارِثِ بْنِ قَيْسِ بْنِ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيِّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثماني نِسْوَةٍ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا".

Hadis lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal. Imam Abu Daud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Daud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!"

Sanad hadits ini jayyid; perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat pada hadis yang dimaksud.

Hadis lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa:

أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ أَبِي الزِّناد يَقُولُ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ سُهَيل بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَوْفِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ نَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الدِّيْلِيِّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي خَمْسُ نِسْوَةٍ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اخْتَرْ أَرْبَعًا أَيَّتَهُنَّ شِئْتَ، وَفَارِقِ الْأُخْرَى"، فَعَمَدت إِلَى أَقْدَمِهِنَّ صُحْبَةً عَجُوزٍ عَاقِرٍ مَعِي مُنْذُ سِتِّينَ سَنَةً، فَطَلَّقْتُهَا .

telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya. Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."

Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadis Gailan tadi. menurut apa yang dikatakan oleh Imam Baihaqi.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 3)

Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّساءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian (An-nisa 129)

Pendapat yang sahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim.

Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat aniaya berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya Abu Talib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal:

بِمِيزَانِ قسطٍ لَا يَخيس شُعَيْرَةً ... لَهُ شَاهِدٌ مِنْ نَفْسِهِ غَيْرُ عَائِلِ

Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak aniaya.

Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

وَقَدْ رَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدويه، وَأَبُو حَاتِمِ ابْنِ حِبَّان فِي صَحِيحِهِ، مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ دُحَيْم، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا قال: "لا تجوروا".

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat aniaya!"

Ibnu Abu Hatim mengatakan.”Menurut ayahku hadis ini keliru. Yang benar hadis ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi Saw

Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah. Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurasani. Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan.”Tidak berat sebelah."

Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Talib, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Talib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.


وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۭ ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍۢ مِّنْهُ نَفْسًۭا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًۭٔا مَّرِيٓـًۭٔا 4

(4) Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

(4) 

Firman Allah Swt.:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.

Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.

Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi Saw. menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan."

Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."

Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)

Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْأَحْمَسِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عُمَيْرٍ الْخَثْعَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ الطَّائِفِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلَمَاني قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عَلَيْهِ أهْلوهُم"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khas’ami. dari Abdul Malik ibnu Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Membacakan firman-Nya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."

قَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ حَجَّاج بْنِ أرْطاة، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ البَيْلمَاني عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "أَنْكِحُوا الْأَيَامَى" ثَلَاثًا، فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ؟ قَالَ: "مَا تَرَاضَى عليه أهلوهم".

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkhotbah kepada kami. Beliau Saw. bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."

Ibnus Salman orangnya daif. kemudian dalam sanad hadis ini terdapat inqita'.


وَلَا تُؤْتُوا۟ ٱلسُّفَهَآءَ أَمْوَٰلَكُمُ ٱلَّتِى جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمْ قِيَٰمًۭا وَٱرْزُقُوهُمْ فِيهَا وَٱكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا 5

(5) Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

(5) 

Allah Swt. melarang memperkenankan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya melakukan tasarruf (penggunaan) harta benda yang dijadikan oleh Allah untuk dikuasakan kepada para wali mereka.

Yakni para wali merekalah yang menjamin kehidupan mereka dari hasil pengelolaan hartanya, baik melalui dagang ataupun cara lainnya.

Berangkat dari pengertian ini disimpulkan bahwa orang-orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya). Mereka yang di-hijir ini ada beberapa macam: adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda, sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mu'amalah).

Adakalanya hijir disebabkan karena penyakit gila. Adakalanya karena buruk da!am ber-tasarruf mengingat akalnya kurang sempurna atau agamama kurang. Adakalanya karena pailit, yang dimaksud dengan pailit ialah bila utang seorang lelaki menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat untuk menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim agar meng-hijir-nya, maka ia terkena hijir (tidak boleh men-tasarruf-kan hartanya dan hartanya dibeslah).

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian. (An-Nisa: 5) Menurut Ibnu Abbas, mereka adalah anak-anakmu dan wanita-wanita(mu).

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Mas'ud, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, bahwa mereka adalah wanita-wanita dan anak-anak kecil.

Menurut Sa'id ibnu Jubair, mereka adalah anak-anak yatim.

Mujahid dan Ikrimah serta Qatadah mengatakan bahwa mereka adalah wanita.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمّار، حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَائِكَةِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ يَزِيدَ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَإِنَّ النِّسَاءَ السُّفَهاء إِلَّا الَّتِي أَطَاعَتْ قَيِّمَها".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abul Atikah, dari Ali ibnu Yazid. dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita itu kurang sempurna akalnya kecuali wanita yang taat kepada qayyim (wali)nya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih secara panjang lebar.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, disebutkan dari Muslim ibnu Ibrahim bahwa telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraih, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian. (An-Nisa: 5) Bahwa mereka adalah para pelayan, dan mereka adalah setan-setan manusia.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا

Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Janganlah kamu berniat terhadap hartamu dan apa yang diberikan oleh Allah kepadamu sebagai penghidupanmu, lalu kamu berikan hal itu kepada istrimu atau anak perempuanmu, lalu kamu hanya menunggu dari pemberian apa yang ada di tangan mereka. Tetapi peganglah hartamu dan berbuat kemaslahatanlah dengannya (yakni kembangkanlah). Jadilah dirimu sebagai orang yang memberi mereka nafkah, yaitu sandang pangan dan biaya mereka."

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Abu Burdah. dari Abu Musa yang mengatakan, "Ada tiga macam orang yang berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak memperkenankan bagi mereka. yaitu: Seorang lelaki yang mempunyai istri yang berakhlak buruk. lalu ia tidak menceraikannya; seorang lelaki yang memberikan harta (orang yang ada dalam kekuasaan)nya kepada orang yang kurang sempurna akalnya (yang ada dalam pemeliharaannya), sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kalian' (An-Nisa: 5). Dan seorang lelaki yang mempunyai utang kepada lelaki lain sedangkan si pemiutang tidak mempunyai saksi terhadapnya

Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An-Nisa: 5) Yakni dalam rangka berbuat bajik dan bersilaturahmi.

Ayat yang mulia ini mengandung makna berbuat baik kepada istri (keluarga) dan orang-orang yang berada dalam pemeliharaannya, yaitu berbuat baik secara nyata dengan memberi nafkah berupa sandang pangan disertai dengan kata-kata yang baik dan akhlak yang mulia.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى

Dan ujilah anak yatim itu. (An-Nisa: 6)

Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Saddi. dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya).

حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ

sampai mereka cukup umur untuk kawin. (An-Nisa: 6)

Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig.

Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia balig pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi dalam tidurnya melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal bakal terjadinya anak.

Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan dari Ali yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:

«لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ»

Tidak ada yatim sesudah balig dan tidak ada puasa siang sampai malam hari.

Di dalam hadis yang lain dari Siti Aisyah dan sahabat lainnya dari Nabi Saw. disebutkan:

«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ»

Qalam diangkat dari tiga macam orang, yaitu dari anak kecil hingga usia balig atau genap berusia lima belas tahun, dari orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai sadar.

Mereka mengambil kesimpulan akan hal tersebut dari hadis yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan:

عُرِضْت عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يوم أحد وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشَرَةَ، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الخَنْدَق وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشَرَةَ فَأَجَازَنِي، فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ -لَمَّا بَلَغَهُ هَذَا الْحَدِيثُ -إِنَّ هَذَا الْفَرْقَ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ

Diriku ditampilkan kepada Nabi Saw. dalam Perang Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka beliau tidak membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya dalam Perang Khandaq. Sedangkan saat itu berusia lima belas tahun maka aku diperbolehkan ikut perang. Umar ibnu Abdul Aziz —ketika sampai kepadanya hadis ini— mengatakan bahwa sesungguhnya hadis inilah yang membedakan antara anak kecil dan orang yang sudah dewasa.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini merupakan alamat balig atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya. Menurut pendapat yang ketiga, dalam hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim dengan anak-anak kafir zimmi. Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak menunjukkan usia balig, mengingat adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain halnya pada anak-anak kafir zimmi maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan pertanda usia balig bagi mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka dibebankan kepadanya membayar jizyah, untuk itulah mereka tidak mau mengobatinya.

Menurut pendapat yang sahih, tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia balig, mengingat hal ini merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya dalam hal tersebut, dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan.

Kemudian sunnah menunjukkan ke arah itu melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah Al-Qurazi yang menceritakan:

عُرضنا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظة فَكَانَ مَنْ أنْبَتَ قُتل، وَمَنْ لَمْ يُنْبت خَلّي سَبِيلَهُ، فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِت، فَخَلَّى سَبِيلِي.

Mereka (orang-orang Bani Quraizah) ditampilkan di hadapan Nabi Saw. seusai Perang Quraizah. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikenai hukuman mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya dibebaskan. Maka aku (Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan."

Ahlu sunan mengetengahkan hadis yang semisal, yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan Arba'ah). Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

Sesungguhnya keputusan tersebut tetap berlaku; sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan keputusan hukumnya di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum mati orang-orang (dari kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan anak-anak mereka.

Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. dari Ismail ibnu Umayyah ibnu Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja menuduh berzina -seorang wanita muda dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata "Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak dikenakan terhadap dirinya.

Abu Ubaid mengatakan. ibtaharaha artinya menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar ialah bila seseorang mengatakan.”Aku telah mengerjainya," padahal ia dusta dalam pengakuannya itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar. Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait syairnya:

قَبِيحٌ بِمِثْلِي نَعْتُ الفَتَاةِ ... إِمَّا ابْتِهَارًا وَإِمَّا ابتيارا

Amatlah buruk bagi orang semisalku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, bait dengan tuduhan dusta ataupun tuduhan yang sebenarnya.

*******************

Firman Allah:

فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (An-Nisa: 6)

Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang dimaksud rusydan ialah kelayakan dalam agamanya dan dapat memelihara hartanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan bukan hanya seorang dari kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber dari mereka.

Ulama fiqih mengatakan hal yang sama yaitu: Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan menggunakan harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan walinya diserahkan kepadanya.

*******************

Firman Allah Swt.

وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا

Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. (An-Nisa: 6)

Allah Swt. melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak.

Yang dimaksud dengan istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu dewasa.

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ

Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6)

Yang dimaksud dengan falyasta'fif ialah memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit pun.

Asy-Sya’bi mengatakan bahwa harta anak yatim baginya (orang yang mampu) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram dimakan).

وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ

Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut (An-Nisa: 6)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim.

Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami ali ibnu Mishar, dari Hisyam. dari ayahnya. dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu. Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ishaq Ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafaz yang sama.

Ulama fiqih mengatakan, wali yang miskin diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif. yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya.

Ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya, apakah ia diharuskan mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya.

Pendapat pertama, mengatakan "'tidak" karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan lagi dia dalam keadaan miskin. Pendapat inilah yang sahih di kalangan murid-murid Imam Syafii, karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian harta anak yatim tanpa menggantinya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta, sedangkan aku mempunyai anak yatim."' Maka Rasulullah Saw. bersabda:

«كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَذِّرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ مَالَا وَمِنْ غَيْرِ أَنْ تَقِيَ مَالَكَ- أَوْ قَالَ- تَفْدِيَ مَالَكَ بِمَالِهِ»

Makanlah dari sebagian harta anak yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak menghimpunkannya sebagai harta(mu). Dan juga tanpa mengekang hartamu —atau— tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.

Kata ‘atau' merupakan ragu dari pihak Husain.

Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri tidak berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?" Rasulullah Saw. menjawab:

«بِالْمَعْرُوفِ غَيْرَ مُسْرِفٍ»

Makanlah dengan cara yang makruf tanpa berlebih-lebihan!

Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim.

Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Ya'la ibnu Mahdi, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu Dinar, dari Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi Saw. menjawab:

«مَا كُنْتَ ضَارِبًا مِنْهُ وَلَدَكَ غَيْرَ وَاقٍ مَالَكَ بِمَالِهِ وَلَا مُتَأَثِّلٍ مِنْهُ مَالًا»

Sejumlah apa yang biasa kamu ambil dari anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa menghimpunkan dari hartanya sebagai harta(mu).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada Ibnu Abbas lalu orang Badui itu berkata.”sesungguhnya di dalam pemeliharaanku terdapat banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai ternak unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada orang-orang miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air susunya?" Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak untanya yang hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air minumnya. Menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan terhadap anaknya. dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air susunya".'

Imam Malik meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafaz yang sama.

Pendapat inilah —yakni tidak wajib mengganti— yang dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri.

Pendapat yang kedua, mengatakan "wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya.

Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku mampu, maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan apabila aku dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya."

Jalur lain diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Bana yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata kepadanya: Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian darinya; dan jika aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku dalam keadaan mampu, maka aku menahan diri (tidak menggunakannya).

Sanad asar ini sahih. Imam Baihaqi meriwayatkan hal yang semisal dari sahabat ibnu Abbas.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah dengan utang.

Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Saddi hal yang semisal.

Telah diriwayatkan melalui jalur As-Saddi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas, hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari.

Imam Baihaqi mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah hendaknya orang yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim dalam batasan cukup untuk makan dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak yatim lagi.

Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Hakim.

Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan terpaksa. sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan sebagian darinya, maka ia harus menggantinya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi’ ibnu Abu Na'im Al-Qari' yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan Rabi'ah tentang makna firman Allah Swt. yang mengatakan: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan dengan anak yatim, yakni: Jika si wali adalah orang yang miskin, maka anak yatim itu diberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi wali terhadap harta anak yatim barang sedikit pun.

Akan tetapi, pendapat tersebut menyimpang dari konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para pemelihara itu menahan dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya. dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Bagi para wali yang miskin. diperbolehkan memakan harta anak yatimnya dengan cara yang baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya. yaitu firman-Nya:

وَلا تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ

Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa. (Al-An'am: 152 dan Al-Isra’: 34)

Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang bermanfaat terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan sebagian darinya menurut cara yang patut.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka. (An-Nisa: 6)

Sesudah mereka mencapai usia balig dan dewasa, menurut pendapat kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta, maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di tangan kalian. Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka:

فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ

maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. (An-Nisa: 6)

Hal ini merupakan perintah dari Allah Swt.. ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi sebagian dari mereka adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya. Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (An-Nisa: 6)

Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَن على اثنين، ولا تَلِيَنَّ مال يتيم"

Hai Abu Zar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai bagimu sebagaimana aku menyukai buat diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim.


وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًۭا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَآ إِسْرَافًۭا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا۟ ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّۭا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًۭا فَلْيَأْكُلْ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ فَأَشْهِدُوا۟ عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًۭا 6

(6) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

(6) 

Firman Allah Swt.:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى

Dan ujilah anak yatim itu. (An-Nisa: 6)

Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, As-Saddi. dan Muqatil mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perintah untuk melakukan ujian terhadap anak-anak yatim (oleh para walinya).

حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ

sampai mereka cukup umur untuk kawin. (An-Nisa: 6)

Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini ialah mencapai usia balig.

Jumhur ulama mengatakan bahwa alamat usia balig pada anak remaja adakalanya dengan mengeluarkan air mani, yaitu dia bermimpi dalam tidurnya melihat sesuatu atau mengalami sesuatu yang membuatnya mengeluarkan air mani. Air mani ialah air yang memancar yang merupakan cikal bakal terjadinya anak.

Di dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan dari Ali yang mengatakan bahwa ia selalu ingat akan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:

«لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ وَلَا صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ»

Tidak ada yatim sesudah balig dan tidak ada puasa siang sampai malam hari.

Di dalam hadis yang lain dari Siti Aisyah dan sahabat lainnya dari Nabi Saw. disebutkan:

«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ، عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيقَ»

Qalam diangkat dari tiga macam orang, yaitu dari anak kecil hingga usia balig atau genap berusia lima belas tahun, dari orang yang tidur sampai terbangun, dan dari orang gila sampai sadar.

Mereka mengambil kesimpulan akan hal tersebut dari hadis yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan:

عُرِضْت عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يوم أحد وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشَرَةَ، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعُرِضْتُ عَلَيْهِ يَوْمَ الخَنْدَق وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشَرَةَ فَأَجَازَنِي، فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ -لَمَّا بَلَغَهُ هَذَا الْحَدِيثُ -إِنَّ هَذَا الْفَرْقَ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ

Diriku ditampilkan kepada Nabi Saw. dalam Perang Uhud, sedangkan saat itu usiaku baru empat belas tahun; maka beliau tidak membolehkan diriku (ikut perang). Dan diriku ditampilkan kepadanya dalam Perang Khandaq. Sedangkan saat itu berusia lima belas tahun maka aku diperbolehkan ikut perang. Umar ibnu Abdul Aziz —ketika sampai kepadanya hadis ini— mengatakan bahwa sesungguhnya hadis inilah yang membedakan antara anak kecil dan orang yang sudah dewasa.

Para ulama berbeda pendapat mengenai tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan, apakah hal ini merupakan alamat balig atau tidak? Ada tiga pendapat mengenainya. Menurut pendapat yang ketiga, dalam hal ini dibedakan antara anak-anak kaum muslim dengan anak-anak kafir zimmi. Pada anak-anak kaum muslim hal tersebut tidak menunjukkan usia balig, mengingat adanya kemungkinan faktor pengobatan. Lain halnya pada anak-anak kafir zimmi maka tumbuhnya rambut keras pada kemaluan merupakan pertanda usia balig bagi mereka; karena barang siapa yang telah tumbuh rambut kemaluannya, maka dibebankan kepadanya membayar jizyah, untuk itulah mereka tidak mau mengobatinya.

Menurut pendapat yang sahih, tumbuhnya rambut yang keras di sekitar kemaluan merupakan pertanda usia balig, mengingat hal ini merupakan sesuatu yang alami; semua orang tidak ada bedanya dalam hal tersebut, dan mengenai faktor pengobatan jauh dari kemungkinan.

Kemudian sunnah menunjukkan ke arah itu melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Atiyyah Al-Qurazi yang menceritakan:

عُرضنا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظة فَكَانَ مَنْ أنْبَتَ قُتل، وَمَنْ لَمْ يُنْبت خَلّي سَبِيلَهُ، فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِت، فَخَلَّى سَبِيلِي.

Mereka (orang-orang Bani Quraizah) ditampilkan di hadapan Nabi Saw. seusai Perang Quraizah. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada seseorang untuk memeriksa siapa di antara mereka yang telah tumbuh rambut kemaluannya. Maka orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya dikenai hukuman mati, dan orang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya dibebaskan. Maka aku (Atiyyah Al-Qurazi) termasuk salah seorang yang masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya aku dibebaskan."

Ahlu sunan mengetengahkan hadis yang semisal, yakni ahlus sunan yang empat orang (yang dikenai dengan sebutan Arba'ah). Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

Sesungguhnya keputusan tersebut tetap berlaku; sebagai buktinya ialah di saat Sa'd ibnu Mu'az menjatuhkan keputusan hukumnya di antara mereka (para tawanan), ia memutuskan menghukum mati orang-orang (dari kalangan musuh) yang ikut berperang dan menahan anak-anak mereka.

Abu Ubaid di dalam kitab Al-Garib mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. dari Ismail ibnu Umayyah ibnu Yahya ibnu Hibban dari Umar, bahwa pernah ada seorang anak remaja menuduh berzina -seorang wanita muda dalam syairnya. Maka Khalifah Umar berkata "Periksalah dirinya." Ternyata diketahui bahwa anak tersebut masih belum tumbuh rambut kemaluannya. Akhirnya hukuman had (menuduh berzina) tidak dikenakan terhadap dirinya.

Abu Ubaid mengatakan. ibtaharaha artinya menuduh (si wanita) berbuat zina; al-ibtihar ialah bila seseorang mengatakan.”Aku telah mengerjainya," padahal ia dusta dalam pengakuannya itu. Jika pengakuan tersebut benar, maka istilahnya disebut ibtiyar. Seperti pengertian yang ada dalam perkataan Al-Kumait melalui salah satu bait syairnya:

قَبِيحٌ بِمِثْلِي نَعْتُ الفَتَاةِ ... إِمَّا ابْتِهَارًا وَإِمَّا ابتيارا

Amatlah buruk bagi orang semisalku bila menuduh seorang wanita berbuat zina, bait dengan tuduhan dusta ataupun tuduhan yang sebenarnya.

*******************

Firman Allah:

فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurut pendapat kalian mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (An-Nisa: 6)

Sa'id ibnu Jubair mengatakan yang dimaksud rusydan ialah kelayakan dalam agamanya dan dapat memelihara hartanya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan bukan hanya seorang dari kalangan para Imam berdasarkan riwayat yang bersumber dari mereka.

Ulama fiqih mengatakan hal yang sama yaitu: Apabila seorang anak yatim telah mencapai usia yang membuat dirinya berlaku layak dalam agama dan hartanya, maka ia dibebaskan dari hijr (larangan menggunakan harta bendanya). Untuk itu, maka semua harta yang berada di tangan walinya diserahkan kepadanya.

*******************

Firman Allah Swt.

وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا

Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. (An-Nisa: 6)

Allah Swt. melarang memakan harta anak yatim tanpa adanya keperluan yang mendesak.

Yang dimaksud dengan istilah israfan wa bidaran ialah tergesa-gesa membelanjakannya sebelum anak-anak yatim itu dewasa.

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ

Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6)

Yang dimaksud dengan falyasta'fif ialah memelihara diri dari harta anak yatim dan janganlah memakannya barang sedikit pun.

Asy-Sya’bi mengatakan bahwa harta anak yatim baginya (orang yang mampu) sama halnya dengan bangkai dan darah (yakni haram dimakan).

وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ

Dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut (An-Nisa: 6)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan harta anak yatim.

Telah menceritakan kepada kami Al-Asyaj serta Harun ibnu Ishaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim yang memeliharanya dan berbuat kemaslahatan untuknya, bilamana keperluan mendesak memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id Al-Asbahani. telah menceritakan kepada kami ali ibnu Mishar, dari Hisyam. dari ayahnya. dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan wali anak yatim, yaitu firman-Nya: Barang siapa (di antara para pemelihara itu) mampu. Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim); dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang patut ialah sesuai dengan jerih payahnya terhadap anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ishaq Ibnu Abdullah ibnu Numair, dari Hisyam dengan lafaz yang sama.

Ulama fiqih mengatakan, wali yang miskin diperbolehkan memakan sebagian dari harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya dalam jumlah yang paling minim di antara kedua alternatif. yaitu upah misil-nya (standarnya) atau menurut keperluannya.

Ulama fiqih berselisih pendapat mengenai masalah bila wali anak yatim menjadi orang kaya setelah miskinnya, apakah ia diharuskan mengembalikan harta anak yatim yang telah dimakannya, atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya.

Pendapat pertama, mengatakan "'tidak" karena ia hanya memakan sekadar imbalan jerih payahnya dan lagi dia dalam keadaan miskin. Pendapat inilah yang sahih di kalangan murid-murid Imam Syafii, karena makna ayat jelas membolehkan memakan sebagian harta anak yatim tanpa menggantinya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Husain, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, "Aku tidak berharta, sedangkan aku mempunyai anak yatim."' Maka Rasulullah Saw. bersabda:

«كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَذِّرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ مَالَا وَمِنْ غَيْرِ أَنْ تَقِيَ مَالَكَ- أَوْ قَالَ- تَفْدِيَ مَالَكَ بِمَالِهِ»

Makanlah dari sebagian harta anak yatimmu dengan tidak berlebih-lebihan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak menghimpunkannya sebagai harta(mu). Dan juga tanpa mengekang hartamu —atau— tanpa mengganti hartanya dengan hartamu.

Kata ‘atau' merupakan ragu dari pihak Husain.

Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Mukattab, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang telah menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak yatim yang mempunyai harta, sedangkan aku sendiri tidak berharta, bolehkah aku ikut makan dari sebagian hartanya?" Rasulullah Saw. menjawab:

«بِالْمَعْرُوفِ غَيْرَ مُسْرِفٍ»

Makanlah dengan cara yang makruf tanpa berlebih-lebihan!

Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim.

Ibnu Hibban meriwayatkan di dalam kitab sahihnya dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya melalui hadis Ya'la ibnu Mahdi, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Abu Amir Al-Khazzaz, dari Amr ibnu Dinar, dari Jabir, bahwa ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah yang boleh aku ambil dari anak yatimku?" Nabi Saw. menjawab:

«مَا كُنْتَ ضَارِبًا مِنْهُ وَلَدَكَ غَيْرَ وَاقٍ مَالَكَ بِمَالِهِ وَلَا مُتَأَثِّلٍ مِنْهُ مَالًا»

Sejumlah apa yang biasa kamu ambil dari anakmu, tanpa mengekang hartamu terhadap hartanya dan tanpa menghimpunkan dari hartanya sebagai harta(mu).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Yahya. telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa ada seorang Badui datang kepada Ibnu Abbas lalu orang Badui itu berkata.”sesungguhnya di dalam pemeliharaanku terdapat banyak anak yatim, dan mereka mempunyai ternak unta; aku pun mempunyai ternak unta pula, tetapi aku berikan sebagian dari ternak untaku kepada orang-orang miskin. Maka sebatas apakah yang dihalalkan bagiku terhadap air susunya?" Ibnu Abbas menjawab, "Jika engkau bekerja mencari ternak untanya yang hilang, mengobati yang sakit, menggiringnya ke tempat air minumnya. Menggembalakannya maka minumlah (air susunya) tanpa membahayakan terhadap anaknya. dan tidak ada larangan bagimu dalam memerah air susunya".'

Imam Malik meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muwatha dari Yahya ibnu Sa'id dengan lafaz yang sama.

Pendapat inilah —yakni tidak wajib mengganti— yang dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Atiyyah Al-Aufi, dan Al-Hasan Al-Basri.

Pendapat yang kedua, mengatakan "wajib mengganti" karena harta anak yatim adalah harta yang ada dalam larangan; kecuali bila diperlukan, maka baru diperbolehkan, tetapi diharuskan menggantinya. Perihalnya sama dengan makan harta orang lain bagi orang yang dalam keadaan terpaksa di saat ia memerlukannya.

Ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Mudarrib yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata, "Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku mampu, maka aku menahan diri: dan jika aku perlu, maka aku berutang; dan apabila aku dalam keadaan mudah, maka aku melunasinya."

Jalur lain diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Al-Bana yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata kepadanya: Sesungguhnya aku menempatkan diriku terhadap harta Allah ini dalam kedudukan sebagai wali anak yatim. Jika aku memerlukannya, maka aku mengambil sebagian darinya; dan jika aku dalam keadaan mudah, maka aku kembalikan; dan jika aku dalam keadaan mampu, maka aku menahan diri (tidak menggunakannya).

Sanad asar ini sahih. Imam Baihaqi meriwayatkan hal yang semisal dari sahabat ibnu Abbas.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Yang dimaksud dengan cara yang makruf ialah dengan utang.

Imam Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah, Abul Aliyah, Abu Wail, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya, Mujahid, Ad-Dahak, dan As-Saddi hal yang semisal.

Telah diriwayatkan melalui jalur As-Saddi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa-6) Menurut Ibnu Abbas, hendaknya orang yang bersangkutan memakan dengan memakai tiga buah jari.

Imam Baihaqi mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Makna yang dimaksud ialah hendaknya orang yang bersangkutan hanya makan sebagian dari harta anak yatim dalam batasan cukup untuk makan dirinya hingga ia tidak memerlukan harta anak yatim lagi.

Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid dan Maimun ibnu Mihran dalam salah satu riwayatnya, serta Imam Hakim.

Amir Asy-Sya'bi mengatakan bahwa seseorang tidak boleh memakan harta anak yatim kecuali bila ia dalam keadaan terpaksa. sebagaimana seseorang terpaksa memakan bangkai. Jika ia memakan sebagian darinya, maka ia harus menggantinya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Nafi’ ibnu Abu Na'im Al-Qari' yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dan Rabi'ah tentang makna firman Allah Swt. yang mengatakan: dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) hingga akhir ayat. Hal tersebut berkenaan dengan anak yatim, yakni: Jika si wali adalah orang yang miskin, maka anak yatim itu diberi nafkah sesuai dengan kemiskinannya, dan tidak ada hak bagi wali terhadap harta anak yatim barang sedikit pun.

Akan tetapi, pendapat tersebut menyimpang dari konteks ayat, mengingat dalam firman-Nya disebutkan: Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). (An-Nisa: 6) Yakni hendaklah para pemelihara itu menahan dirinya. jangan memakan harta anak yatimnya. dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. (An-Nisa: 6) Bagi para wali yang miskin. diperbolehkan memakan harta anak yatimnya dengan cara yang baik. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lainnya. yaitu firman-Nya:

وَلا تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ

Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa. (Al-An'am: 152 dan Al-Isra’: 34)

Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan maksud untuk berbuat yang bermanfaat terhadapnya; jika kalian memerlukannya, kalian boleh memakan sebagian darinya menurut cara yang patut.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka. (An-Nisa: 6)

Sesudah mereka mencapai usia balig dan dewasa, menurut pendapat kalian mereka telah cerdas dan pandai memelihara harta, maka saat itulah kalian harus menyerahkan kepada mereka harta mereka yang ada di tangan kalian. Apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka:

فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ

maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. (An-Nisa: 6)

Hal ini merupakan perintah dari Allah Swt.. ditujukan kepada para wali anak-anak yatim. Perintah ini menyatakan bahwa hendaknya mereka mengadakan saksi-saksi sehubungan dengan anak-anak yatim mereka, bila anak-anak yatim mereka telah mencapai usia dewasa dan harta mereka diserahkan kepadanya. Dimaksudkan agar tidak terjadi sebagian dari mereka adanya pengingkaran dan bantahan terhadap apa yang telah diserahterimakannya. Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (An-Nisa: 6)

Yakni cukuplah Allah sebagai Penghitung, Saksi, dan Pengawas terhadap para wali sehubungan penilaian mereka terhadap anak yatimnya dan di saat mereka menyerahkan harta kepada anak-anak yatim. Dengan kata lain, apakah harta itu dalam keadaan lengkap lagi utuh, ataukah kurang perhitungannya serta perkaranya dipalsukan, semuanya Allah mengetahui dan mengawasi akan hal tersebut. Karena itulah maka disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَن على اثنين، ولا تَلِيَنَّ مال يتيم"

Hai Abu Zar, sesungguhnya aku melihatmu orang yang lemah, den sesungguhnya aku menyukai bagimu sebagaimana aku menyukai buat diriku sendiri. Jangan sekali-kali kamu memerintah atas dua orang, dan jangan sekali-kali kamu menjadi wali harta anak yatim.