36 - يس - Yaseen
Yaseen
Meccan
وَمَآ أَنزَلْنَا عَلَىٰ قَوْمِهِۦ مِنۢ بَعْدِهِۦ مِن جُندٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا كُنَّا مُنزِلِينَ 28
(28) Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.
(28)
Firman Allah Swt.:
وَمَا أَنزلْنَا عَلَى قَوْمِهِ مِنْ بَعْدِهِ مِنْ جُنْدٍ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنزلِينَ
Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. (Yasin: 28)
Allah Swt. menceritakan bahwa Dia membalas perbuatan kaum laki-laki itu —sesudah ia dibunuh mereka— karena murka kepada mereka, sebab mereka telah mendustakan rasul-rasul-Nya dan membunuh kekasih-Nya. Lalu Allah Swt. menyebutkan bahwa Dia tidak menurunkan pasukan malaikat apa pun untuk membinasakan mereka, Dia tidak memerlukannya untuk membinasakan mereka, bahkan untuk menanganinya amatlah mudah bagi-Nya.
Ibnu Mas'ud r.a. -menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari sebagian teman-temannya- telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. (Yasin: 28) Artinya Kami tidak perlu menurunkan balatentara untuk membinasakan mereka karena untuk membinasakan mereka itu teramat mudah bagi Kami. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka dengan serta merta mereka semuanya mati. (Yasin: 29) Ibnu Mas'ud mengatakan, bahwa maka Allah Swt. membinasakan rajanya dan membinasakan penduduk Intakiyah. Mereka dimusnahkan dan muka bumi tanpa ada seorang pun yang selamat.
Menurut pendapat lain, sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan tidak layak Kami menurunkannya. (Yasin: 28) Yakni tidak sekali-kali Kami menurunkan para malaikat bila Kami hendak membinasakan mereka, melainkan Kami hanya menimpakan atas mereka suatu azab yang membinasakan mereka.
Menurut pendapat yang lainnya lagi sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit. (Yasin: 28) Yaitu risalah lain kepada mereka, menurut Mujahid dan Qatadah.
Qatadah mengatakan bahwa demi Allah, Allah tidak menegur kaumnya sesudah mereka membunuhnya, Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka dengan serta merta mereka semuanya mati. (Yasin: 29)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang paling sahih adalah pendapat yang pertama, karena risalah (perutusan) tidak dinamakan jundun (pasukan)!
Ulama tafsir mengatakan bahwa Allah Swt. mengirimkan Malaikat Jibril a.s. kepada mereka. Jibril memegang kedua sisi pintu gerbang negeri mereka, kemudian ia melakukan suatu teriakan yang mengguntur terhadap mereka. Maka dengan serta merta mereka semuanya mati, tanpa ada seorang pun yang selamat saat itu juga tanpa meregang nyawa lagi.
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan dari kebanyakan ulama Salaf bahwa negeri tersebut adalah Intakiyah, dan ketiga orang itu adalah orang-orang yang diutus oleh Al-Masih Isa ibnu Maryam a.s., seperti yang telah dinaskan oleh Qatadah dan lain-lainnya. Tetapi pendapat Qatadah ini tidak ada seorang pun dari kalangan ulama tafsir yang mutaakhkhirin mengemukakannya selain Qatadah sendiri. Mengenai keabsahannya masih diragukan ditinjau dari berbagai alasan berikut:
Pertama, pengertian lahiriah kisah menunjukkan bahwa mereka bertiga adalah utusan-utusan Allah Swt., bukan utusan Al-Masih a.s. Seperti yang dimengerti dari firman-Nya:
إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ إِلَى أَنْ قَالُوا: رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ * وَمَا عَلَيْنَا إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.” (Yasin: 14) sampai dengan firman-Nya: Mereka berkata, "Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (Yasin: 16-17)
Sekiranya mereka termasuk kaum Hawari (penolong Isa a.s.), tentulah mereka mengatakan kalimat yang sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa mereka adalah utusan Isa a.s.; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Kemudian seandainya mereka adalah utusan dari Al-Masih a.s., niscaya kaum negeri itu tidak mengatakan kepada mereka: Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami. (Yasin: 15)
Kedua, bahwa penduduk Intakiyah telah beriman kepada utusan Al-Masih yang dikirimnya kepada mereka, dan mereka adalah penduduk suatu negeri yang pertama beriman kepada Al-Masih; karena itulah maka Intakiyah merupakan salah satu dari keempat kota yang di dalamnya terdapat para patrik. Yaitu kota Al-Quds yang merupakan negeri Al-Masih sendiri; kota Intakiyah, karena ia merupakan suatu kota yang pertama penduduknya beriman kepada Al-Masih seluruhnya. Kemudian kota Iskandaria, karena ia merupakan suatu kota yang para penduduknya mencetuskan suatu gagasan untuk mengangkat patrik, matarun, uskup, pendeta, rahib, dan syamamis. Yang terakhir adalah kota Roma yang merupakan ibu kota kerajaan Konstantinopel yang rajanya selalu menolong dan membantu agama Al-Masih. Setelah dia membangun kota Konstantinopel, maka ia memindahkan kepatrikan dari Roma ke Konstantinopel. Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh ahli sejarah yang bukan hanya seorang, seperti Sa'id ibnu Butriq dan lain lainnya dari kalangan Ahli Kitab maupun dari kalangan kaum muslim. Apabila telah terbukti bahwa Intakiyah adalah kota yang mula-mula seluruh penduduknya beriman, berarti kota yang dibinasakan oleh Allah karena penduduknya mendustakan rasul-rasul-Nya dengan satu teriakan hanya Allah-lah Yang Mengetahuinya.
Ketiga, bahwa kisah penduduk Intakiyah dengan kaum Hawari (penolong Isa Al-Masih) terjadi sesudah kitab Taurat diturunkan. Abu Sa'id Al-Khudri r.a. dan ulama Salaf lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa sesudah Allah menurunkan Kitab Taurat, maka Dia tidak lagi membinasakan suatu umat pun sampai tertumpas semuanya dengan azab yang Dia timpakan kepada mereka, melainkan Dia memerintahkan kepada orang-orang yang beriman sesudah itu untuk memerangi kaum musyrik. Mereka mengatakan hal ini dalam kaitan tafsiran mereka terhadap firman-Nya:
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأولَى
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi terdahulu. (Al-Qassas: 43)
Berdasarkan keterangan di atas dapat ditentukan bahwa kota yang disebutkan di dalam surat Yasin bukanlah kota Intakiyah, melainkan kota lain, sebagaimana yang telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Atau nama kota tersebut memang Intakiyah, tetapi bukan kota Intakiyah yang terkenal itu, melainkan kota lainnya. Karena sesungguhnya kota Intakiyah yang terkenal itu belum pernah ada yang mengetahui bahwa ia pernah dibinasakan, baik di masa agama Nasrani maupun di masa sebelumnya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani yaitu:
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتري، حدثنا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا حُسَين الْأَشْقَرُ، حَدَّثَنَا ابْنِ عُيَيْنة، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "السُّبَّق ثَلَاثَةٌ: فَالسَّابِقُ إِلَى مُوسَى يُوشَعُ بْنُ نُونٍ، وَالسَّابِقُ إِلَى عِيسَى صَاحِبُ يس، وَالسَّابِقُ إِلَى مُحَمَّدٍ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ"،
Telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Abus Sirri Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Asyqar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a.. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang yang paling terdahulu itu ada tiga orang, orang yang paling terdahulu (beriman) kepada Musa a.s. adalah Yusya ibnu Nun, dan orang yang paling terdahulu kepada Isa a.s adalah lelaki yang disebutkan dalam surat Yasin dan orang yang paling dahulu kepada Muhammad Saw. adalah Ali ibnu Abu Talib r.a.
Maka sesungguhnya hadis ini munkar kecuali melalui jalur Husain Al-Asyqar, sedangkan dia adala seorang syi'ah yang tak terpakai hadisnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui tentang kebenaran.
إِن كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةًۭ وَٰحِدَةًۭ فَإِذَا هُمْ خَٰمِدُونَ 29
(29) Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati.
(29)
إِنْ كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ
Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka dengan serta merta mereka semuanya mati. (Yasin: 29)
Ibnu Mas'ud mengatakan, bahwa maka Allah Swt. membinasakan rajanya dan membinasakan penduduk Intakiyah. Mereka dimusnahkan dan muka bumi tanpa ada seorang pun yang selamat.
Menurut pendapat lain, sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan tidak layak Kami menurunkannya. (Yasin: 28)
Yakni tidak sekali-kali Kami menurunkan para malaikat bila Kami hendak membinasakan mereka, melainkan Kami hanya menimpakan atas mereka suatu azab yang membinasakan mereka.
Menurut pendapat yang lainnya lagi sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukan pun dari langit. (Yasin: 28) Yaitu risalah lain kepada mereka, menurut Mujahid dan Qatadah.
Qatadah mengatakan bahwa demi Allah, Allah tidak menegur kaumnya sesudah mereka membunuhnya, Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka dengan serta merta mereka semuanya mati. (Yasin: 29)
Ibnu Jarir mengatakan bahwa yang paling sahih adalah pendapat yang pertama, karena risalah (perutusan) tidak dinamakan jundun (pasukan)!
Ulama tafsir mengatakan bahwa Allah Swt. mengirimkan Malaikat Jibril a.s. kepada mereka. Jibril memegang kedua sisi pintu gerbang negeri mereka, kemudian ia melakukan suatu teriakan yang mengguntur terhadap mereka. Maka dengan serta merta mereka semuanya mati, tanpa ada seorang pun yang selamat saat itu juga tanpa meregang nyawa lagi.
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan dari kebanyakan ulama Salaf bahwa negeri tersebut adalah Intakiyah, dan ketiga orang itu adalah orang-orang yang diutus oleh Al-Masih Isa ibnu Maryam a.s., seperti yang telah dinaskan oleh Qatadah dan lain-lainnya. Tetapi pendapat Qatadah ini tidak ada seorang pun dari kalangan ulama tafsir yang mutaakhkhirin mengemukakannya selain Qatadah sendiri. Mengenai keabsahannya masih diragukan ditinjau dari berbagai alasan berikut:
Pertama, pengertian lahiriah kisah menunjukkan bahwa mereka bertiga adalah utusan-utusan Allah Swt., bukan utusan Al-Masih a.s. Seperti yang dimengerti dari firman-Nya:
إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ إِلَى أَنْ قَالُوا: رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ * وَمَا عَلَيْنَا إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ
(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata, "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu.” (Yasin: 14) sampai dengan firman-Nya: Mereka berkata, "Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (Yasin: 16-17)
Sekiranya mereka termasuk kaum Hawari (penolong Isa a.s.), tentulah mereka mengatakan kalimat yang sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa mereka adalah utusan Isa a.s.; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Kemudian seandainya mereka adalah utusan dari Al-Masih a.s., niscaya kaum negeri itu tidak mengatakan kepada mereka: Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami. (Yasin: 15)
Kedua, bahwa penduduk Intakiyah telah beriman kepada utusan Al-Masih yang dikirimnya kepada mereka, dan mereka adalah penduduk suatu negeri yang pertama beriman kepada Al-Masih; karena itulah maka Intakiyah merupakan salah satu dari keempat kota yang di dalamnya terdapat para patrik. Yaitu kota Al-Quds yang merupakan negeri Al-Masih sendiri; kota Intakiyah, karena ia merupakan suatu kota yang pertama penduduknya beriman kepada Al-Masih seluruhnya. Kemudian kota Iskandaria, karena ia merupakan suatu kota yang para penduduknya mencetuskan suatu gagasan untuk mengangkat patrik, matarun, uskup, pendeta, rahib, dan syamamis. Yang terakhir adalah kota Roma yang merupakan ibu kota kerajaan Konstantinopel yang rajanya selalu menolong dan membantu agama Al-Masih. Setelah dia membangun kota Konstantinopel, maka ia memindahkan kepatrikan dari Roma ke Konstantinopel. Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh ahli sejarah yang bukan hanya seorang, seperti Sa'id ibnu Butriq dan lain lainnya dari kalangan Ahli Kitab maupun dari kalangan kaum muslim. Apabila telah terbukti bahwa Intakiyah adalah kota yang mula-mula seluruh penduduknya beriman, berarti kota yang dibinasakan oleh Allah karena penduduknya mendustakan rasul-rasul-Nya dengan satu teriakan hanya Allah-lah Yang Mengetahuinya.
Ketiga, bahwa kisah penduduk Intakiyah dengan kaum Hawari (penolong Isa Al-Masih) terjadi sesudah kitab Taurat diturunkan. Abu Sa'id Al-Khudri r.a. dan ulama Salaf lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa sesudah Allah menurunkan Kitab Taurat, maka Dia tidak lagi membinasakan suatu umat pun sampai tertumpas semuanya dengan azab yang Dia timpakan kepada mereka, melainkan Dia memerintahkan kepada orang-orang yang beriman sesudah itu untuk memerangi kaum musyrik. Mereka mengatakan hal ini dalam kaitan tafsiran mereka terhadap firman-Nya:
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الأولَى
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi terdahulu. (Al-Qassas: 43)
Berdasarkan keterangan di atas dapat ditentukan bahwa kota yang disebutkan di dalam surat Yasin bukanlah kota Intakiyah, melainkan kota lain, sebagaimana yang telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Atau nama kota tersebut memang Intakiyah, tetapi bukan kota Intakiyah yang terkenal itu, melainkan kota lainnya. Karena sesungguhnya kota Intakiyah yang terkenal itu belum pernah ada yang mengetahui bahwa ia pernah dibinasakan, baik di masa agama Nasrani maupun di masa sebelumnya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani yaitu:
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتري، حدثنا الْحُسَيْنُ بْنُ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا حُسَين الْأَشْقَرُ، حَدَّثَنَا ابْنِ عُيَيْنة، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "السُّبَّق ثَلَاثَةٌ: فَالسَّابِقُ إِلَى مُوسَى يُوشَعُ بْنُ نُونٍ، وَالسَّابِقُ إِلَى عِيسَى صَاحِبُ يس، وَالسَّابِقُ إِلَى مُحَمَّدٍ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ"،
Telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Abus Sirri Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Husain Al-Asyqar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a.. dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Orang yang paling terdahulu itu ada tiga orang, orang yang paling terdahulu (beriman) kepada Musa a.s. adalah Yusya ibnu Nun, dan orang yang paling terdahulu kepada Isa a.s adalah lelaki yang disebutkan dalam surat Yasin dan orang yang paling dahulu kepada Muhammad Saw. adalah Ali ibnu Abu Talib r.a.
Maka sesungguhnya hadis ini munkar kecuali melalui jalur Husain Al-Asyqar, sedangkan dia adala seorang syi'ah yang tak terpakai hadisnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui tentang kebenaran.
يَٰحَسْرَةً عَلَى ٱلْعِبَادِ ۚ مَا يَأْتِيهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا كَانُوا۟ بِهِۦ يَسْتَهْزِءُونَ 30
(30) Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.
(30)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
يَا حَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِ
Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu (Yasin:30)
Maksudnya, alangkah celakanya hamba-hamba itu.
Sedangkan menurut Qatadah, makna firman-Nya: Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu (Yasin:30)
Yakni alangkah kecewanya hamba-hamba itu atas diri mereka sendiri karena menyia-nyiakan perintah Allah dan melalaikan kewajiban mereka kepada Allah.
Menurut suatu qiraat disebutkan
يَا حَسْرَةَ الْعِبَادِ عَلَى أَنْفُسِهَا
, yang artinya 'alangkah besarnya kekecewaan dan penyesalan mereka kelak di hari kiamat bila mereka menyaksikan azab Allah Swt karena mereka telah mendustakan rasul-rasul Allah dan menentang perintah Allah saat mereka hidup di dunia'. Ungkapan ini ditujukan kepada mereka yang mendustakan hal tersebut.
مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Tiada datang seorang Rasul pun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. (Yasin:30)
Yaitu mendustakannya, memperolok-olokkannya, dan mengingkari kebenaran yang disampaikan olehnya. Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya:
أَلَمْ يَرَوْا۟ كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُم مِّنَ ٱلْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ 31
(31) Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka.
(31)
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwa orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka. (Yasin:31)
Yakni apakah mereka tidak mengambil pelajaran dari orang-orang yang sebelum mereka yang mendustakan para rasul. Allah telah membinasakan mereka, dan tiadalah mereka dikembalikan lagi ke dunia ini, dan perkaranya tidaklah seperti apa yang diduga oleh kebanyakan dari orang-orang bodoh dan orang-orang durhaka mereka yang telah mengatakan seperti apa yang disitir oleh firman-Nya:
إِنْ هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا
kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup. (Al-Mu-minun:37)
Mereka adalah orang-orang yang mempercayai adanya reinkarnasi suatu sekte dari aliran Dahriyyah. Mereka berkeyakinan, karena kebodohan mereka, bahwa mereka akan dikembalikan lagi ke dunia seperti masa mereka hidup. Maka Allah menyanggah keyakinan mereka yang batil itu melalui firman-Nya:
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ
Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwa orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka. (Yasin:31)
وَإِن كُلٌّۭ لَّمَّا جَمِيعٌۭ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ 32
(32) Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami.
(32)
Adapun firman Allah Swt.:
وَإِنْ كُلٌّ لَمَّا جَمِيعٌ لَدَيْنَا مُحْضَرُونَ
Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. (Yasin:32)
Yakni sesungguhnya semua umat yang terdahulu dan yang akan datang, kelak akan dihimpunkan untuk menjalani perhitungan amal perbuatan di hari kiamat di hadapan Allah Swt. Maka Dia akan membalas masing-masing dari mereka sesuai dengan amal perbuatannya, yakni semua amal baik dan amal buruknya. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَإِنَّ كُلا لَمَّا لَيُوَفِّيَنَّهُمْ رَبُّكَ أَعْمَالَهُمْ
Dan sesungguhnya kepada masing-masing (mereka yang berselisih itu) pasti Tuhanmu akan menyempurnakan dengan cukup (balasan) pekerjaan mereka. (Hud:111)
Ulama ahli qiraat berselisih pendapat sehubungan dengan bacaan ayat ini, di antara mereka ada yang membacanya dengan bacaan takhfif pada lafaz lamma sehingga menjadi lama. Atas dasar qiraat ini, berarti huruf in menunjukkan makna itbat. Di antara mereka ada pula yang men-tasydid-kan lamma serta menjadikan in sebagai huruf nafi. sedangkan huruf lamma bermakna illa, artinya 'dan tidaklah masing-masing dari mereka melainkan dikumpulkan kepada Kami'. Akan tetapi, makna kedua qiraat ini sama tidak ada bedanya.
وَءَايَةٌۭ لَّهُمُ ٱلْأَرْضُ ٱلْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَٰهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّۭا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ 33
(33) Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.
(33)
Firman Allah Swt.:
وَآيَةٌ لَهُمُ
Dan suatu tanda bagi mereka. (Yasin: 33)
Yang menunjukkan adanya Pencipta dan kekuasaan-Nya yang sempurna, serta kemampuan-Nya yang dapat menghidupkan yang telah mati.
الأرْضُ الْمَيْتَةُ
adalah bumi yang mati. (Yasin: 33)
Yakni pada asal mulanya tandus, tidak ada suatu tumbuh-tumbuhan pun padanya. Apabila Allah Swt. menurunkan hujan padanya, maka menjadi suburlah ia dan menumbuhkan beraneka ragam tumbuh-tumbuhan yang subur. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ
Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. (Yasin: 33)
Artinya, Kami menjadikannya sebagai penyebab rezeki bagi mereka dan bagi ternak mereka.
وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّٰتٍۢ مِّن نَّخِيلٍۢ وَأَعْنَٰبٍۢ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ ٱلْعُيُونِ 34
(34) Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,
(34)
وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ
Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air. (Yasin: 34)
Yakni Kami jadikan padanya sungai-sungai yang mengalir ke tempat-tempat yang memerlukannya agar mereka dapat bercocok tanam dan memetik hasilnya.
Setelah menyebutkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya melalui tanam-tanaman yang ditumbuhkan-Nya bagi mereka, lalu Allah menyebutkan berbagai macam buah-buahan yang beraneka ragam, dan dalam firman selanjutnya disebutkan:
لِيَأْكُلُوا۟ مِن ثَمَرِهِۦ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ ۖ أَفَلَا يَشْكُرُونَ 35
(35) supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
(35)
وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ
dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. (Yasin: 35)
Yakni kesemuanya itu ada tiada lain hanyalah berkat rahmat Allah Swt. kepada mereka, bukan karena usaha dan jerih payah mereka, bukan pula karena kemampuan dan kekuatan mereka. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas r.a. dan Qatadah.
Firman Allah Swt.:
أَفَلا يَشْكُرُونَ
Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (Yasin: 35)
Maksudnya, mengapa mereka tidak mensyukuri apa yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada mereka berupa berbagai macam nikmat yang tak terhitung itu. Ibnu Jarir memilih —bahkan menetapkan— dan tiada yang meriwayatkan pendapat berikut selain dia kecuali hanya sebagai kemungkinan, bahwa huruf "مَا" yang terdapat di dalam firman-Nya:
وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ
dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. (Yasin: 35)
Bermakna "الَّذِي", yang artinya ialah agar mereka dapat makan dan buahnya yang diusahakan oleh tangan mereka, yakni dan apa yang mereka tanam dan mereka semaikan. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa memang demikianlah menurut qiraat sahabat Ibnu Mas ud r.a.
لِيَأْكُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ أَفَلا يَشْكُرُونَ
supaya mereka dapat makan dari buahnya yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (Yasin; 35)
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْأَزْوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ 36
(36) Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.
(36)
Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya:
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الأزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الأرْضُ
Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi. (Yasin: 36)
Yakni berupa berbagai macam tanaman dan pohon-pohonan yang berbuah.
وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ
dan dari diri mereka sendiri. (Yasin: 36)
Maka Dia menjadikan mereka ada yang jenis pria dan ada yang jenis wanita.
وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yasin: 36)
Yaitu dari berbagai macam makhluk yang beraneka ragam yang tidak mereka ketahui. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Az-Zariyat: 49)
وَءَايَةٌۭ لَّهُمُ ٱلَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ ٱلنَّهَارَ فَإِذَا هُم مُّظْلِمُونَ 37
(37) Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.
(37)
Allah Swt. berfirman bahwa di antara tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan-Nya yang besar ialah malam dan siang hari yang diciptakan-Nya; malam hari dengan kegelapannya, dan siang hari dengan terangnya. Dia menjadikan keduanya silih berganti; bila yang satu datang maka yang lainnya pergi, demikian pula sebaliknya. Seperti yang disebutkan dalam ayat lainnya:
يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا
Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Al-A'raf: 54)
Karena itulah disebutkan dalam surat ini oleh firman-Nya:
وَآيَةٌ لَهُمُ اللَّيْلُ نَسْلَخُ مِنْهُ النَّهَارَ
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tinggalkan siang dari malam itu. (Yasin: 37)
Yakni Kami sudahi siang dengan malam hari, maka siang hari pergi dan datanglah malam hari. Untuk itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan:
فَإِذَا هُمْ مُظْلِمُونَ
maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. (Yasin: 37)
Sebagaimana yang disebutkan di dalam suatu hadis yang mengatakan:
"إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ"
Apabila malam hari tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini, dan mentari terbenam, maka waktu berbuka bagi orang yang berpuasa telah tiba.
Demikianlah makna lahiriah ayat, tetapi Qatadah menduga bahwa ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ
Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. (Al-Hajj: 61)
Ibnu Jarir menilai bahwa pendapat Qatadah ini lemah dalam kasus ayat ini. Lalu Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna ilaj itu ialah mengambil dari salah satunya, lalu diberikan kepada yang lainnya, sedangkan pengertian ini bukanlah makna yang dimaksud dalam ayat ini. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini benar.
وَٱلشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّۢ لَّهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ ٱلْعَزِيزِ ٱلْعَلِيمِ 38
(38) dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
(38)
Firman Allah Swt.:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Yasin: 38)
Sehubungan dengan makna kalimat 'limustaqarril laha', ada dua pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa makna yang dimaksud mustaqarril laha ialah tempat menetapnya matahari, yaitu di bawah 'Arasy yang letaknya berhadapan dengan letak bumi bila dilihat dari arah 'Arasy. Dengan kata lain, di mana pun matahari berada, ia tetap berada di bawah 'Arasy; demikian pula semua makhluk lainnya, mengingat 'Arasy merupakan atap bagi kesemuanya. Bentuk 'Arasy itu bukan bulat, tidak seperti yang disangka oleh para ahli ilmu ukur dan bentuk. Sesungguhnya ia berbentuk seperti kubah yang mempunyai tiang-tiang, dipikul oleh para malaikat; letak 'Arasy berada di atas semesta alam, yakni berada di atas semua manusia. Matahari itu apabila berada di tengah kubah falak di waktu lohor, maka saat itulah mentari berada paling dekat dengan 'Arasy. Dan apabila berputar di garis edarnya hingga letaknya berlawanan dengan kedudukan tersebut, yaitu bila berada di tengah malam, maka mentari berada di tempat yang paling jauh dengan 'Arasy. Pada saat itulah mentari bersujud dan meminta izin untuk terbit lagi, sebagaimana yang disebutkan di dalam banyak hadis.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْم، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ [التَّيْمِيِّ] ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَتَدْرِي أَيْنَ تغربُ الشَّمْسُ؟ " قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Zar r.a. yang mengatakan bahwa ketika ia sedang bersama Nabi Saw. di dalam masjid bertepatan dengan waktu tenggelamnya mentari, maka Nabi Saw. bertanya, "Hai Abu Zar, tahukah kamu ke manakah mentari itu terbenam?" Abu Zar menjawab.”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya mentari itu pergi hingga sujud di bawah 'Arasy. Yang demikian itu dijelaskan oleh firman-Nya, "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ الحُميديّ، حَدَّثَنَا وَكِيع عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: سَأَلَتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِهِ: وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ، قَالَ: "مُسْتَقَرُّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ".
Telah menceritakan pula kepada kami Abdullah ibnuz Zubair Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dan Abu Zar r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna firman-Nya: dan matahari berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38) Maka beliau bersabda: Tempat menetapnya matahari itu di bawah 'Arasy.
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan dalam bab ini. Ia pun telah mengetengahkannya di berbagai tempat yang lain. Hadis ini diriwayatkan oleh Jamaah lainnya kecuali Ibnu Majah melalui berbagai jalur dan Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ حِينَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَالَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ، أَتَدْرِي أَيْنَ تَذْهَبُ الشَّمْسُ؟ " قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّهَا تذهب حتى تسجد بين يدي رَبِّهَا عَزَّ وَجَلَّ، فَتَسْتَأْذِنُ فِي الرُّجُوعِ فَيُؤْذَنُ لَهَا، وَكَأَنَّهَا قَدْ قِيلَ لَهَا: ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ. فَتَرْجِعُ إِلَى مَطْلَعِهَا، وَذَلِكَ مُسْتَقَرُّهَا، ثُمَّ قَرَأَ: وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, dari Al-A'masy, dari Ibrahim At-Taimi dan ayahnya, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa ketika ia sedang bersama Rasulullah Saw. di dalam masjid saat mentari sedang tenggelam, maka beliau Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, tahukah kamu ke manakah mentari ini pergi?" Abu Zar menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya mentari itu pergi hingga bersujud di hadapan Tuhannya, lalu meminta izin untuk kembali, maka diberikan izin baginya-dan seakan-akan pasti akan dikatakan kepadanya Kembalilah kamu dari arah kamu datang'- lalu ia kembali ke tempat terbitnya, di tempat ia bersujud itulah tempat tinggalnya. Kemudian Rasulullah Saw. membaca firman-Nya: dan matahari berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38) (Yakni menuju tempat menetapnya, pent, sesuai dengan makna hadis)
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي ذَرٍّ حِينَ غَرَبَتِ الشَّمْسُ: "أَتَدْرِي أَيْنَ هَذَا؟ " قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَسْتَأْذِنُ فَيُؤْذِنُ لَهَا، وَيُوشِكُ أَنْ تَسْجُدَ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا، وَتَسْتَأْذِنُ فَلَا يُؤْذَنُ لَهَا، وَيُقَالُ لَهَا: ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ. فَتَطْلُعُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Sufyan As-Sauri mengatakan bahwa ia telah meriwayatkan dari Al Amasy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Zar ra yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya di saat mentari sedang terbenam, "Hai Abu Zar, tahukah kamu ke manakah mentari ini pergi ? abu Dzar menjawab “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Rasulullah bersabda : Sesungguhnya mentari itu pergi hingga sujud di bawah 'Arasy lalu meminta izin dan diberikan izin baginya (untuk terbit lagi), dan sudah dekat waktunya mentari bersujud (untuk meminta izin), lalu tidak diterima; dan mentari minta izin lagi, tetapi tetap tidak diterima. Lalu dikatakan kepadanya, "Kembalilah kamu dari tempat tenggelammu.” Maka mentari terbit dari tempat tenggelamnya. Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya, "Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abu Ishaq, dari Wahb ibnu Jabir, dari Abdullah ibnu Amr r.a. yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan matahari berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38) Bahwa sesungguhnya matahari itu terbit, lalu dikembalikan (menjadi terbit kembali setelah tenggelam) oleh dosa-dosa anak Adam; hingga apabila terbenam, maka ia berserah diri, bersujud, dan memohon izin kepada Tuhannya untuk terbit lagi. Dan akan tiba masanya di suatu hari ia tenggelam, lalu berserah diri, bersujud dan meminta izin, tetapi tidak diizinkan baginya untuk terbit. Lalu mentari berkata, "Sesungguhnya perjalanan itu jauh; dan jika aku tidak diberi izin, pasti aku tidak mampu menempuhnya." Lalu ia ditahan selama masa yang dikehendaki oleh Allah untuk menahannya, kemudian dikatakan kepadanya, "Kembalilah kamu ke tempat kamu tenggelam."
Ibnu Amr r.a. mengatakan bahwa sejak hari itu hingga hari kiamat tidak bermanfaat lagi bagi seseorang imannya bila ia tidak beriman sebelumnya, atau dalam masa imannya dia belum pernah mengusahakan suatu kebaikan pun.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan mustaqarril laha ialah titik akhir perjalanannya, puncak perjalanannya yang paling tinggi di langit, yaitu di musim panas; kemudian jarak perjalanannya yang paling bawah, yaitu di musim dingin.
Pendapat yang kedua, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mustaqarril laha ialah batas terakhir perjalanannya, yaitu pada hari kiamat nanti perjalanannya terhenti dan diam tidak bergerak lagi, serta di gulung (dipadamkan), maka alam semesta ini telah mencapai usianya yang paling maksimal. Berdasarkan pengertian ini, berarti yang dimaksud dengan mustaqar ialah berkaitan dengan zaman dan waktu, bukan dengan tempat seperti yang ada pada pendapat pertama.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, Limustaqarril laha," artinya sampai batas waktunya yang telah ditentukan baginya dan tidak dapat dilampauinya.
Menurut pendapat lain. makna yang dimaksud ialah mentari itu terus-menerus berpindah-pindah di tempat terbitnya dalam musim panas sampai batas waktu yang tidak lebih dari panjangnya musim panas, kemudian berpindah-pindah pula di tempat terbitnya dalam musim dingin selama masa musim dingin tidak lebih darinya. Pendapat ini diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr r.a.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas membaca firman berikut, yaitu: dan matahari berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38) Yakni tidak pernah menetap dan tidak pernah diam. bahkan ia selalu berjalan siang dan malam tanpa henti dan tanpa istirahat. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya). (Ibrahim: 33) Yakni tiada henti-hentinya terus bergerak sampai hari kiamat nanti.
ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ
Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa. (Yasin: 38)
Yaitu Tuhan Yang tidak dapat ditentang dan tidak dapat dicegah.
الْعَلِيم
lagi Maha Mengetahui. (Yasin: 38)
yakni Maha Mengetahui semua gerakan dan semua yang diam. Dia telah menetapkan ukuran bagi hal tersebut dan membatasinya dengan waktu sesuai dengan apa yang telah digariskanNya, tidak ada penyimpangan, tidak ada pula benturan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
فَالِقُ الإصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am: 96)
Hal yang sama disebutkan pula dalam akhir ayat 12 surat Fussilat, yaitu:
ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Fussilat: 12)
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَٱلْقَمَرَ قَدَّرْنَٰهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَٱلْعُرْجُونِ ٱلْقَدِيمِ 39
(39) Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.
(39)
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah. (Yasin: 39)
Yakni Kami menjadikannya beredar pada garis edar yang lain, yang melaluinya dapat diketahui berlalunya bulan-bulan, sebagaimana melalui matahari dapat diketahui berlalunya malam dan siang hari. Seperti apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
الْآيَةَDialah Yang Menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (Yunus: 5), hingga akhir ayat.
Dan firman Allah Swt.:
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلا
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Al-Isra: 12)
Maka Allah menjadikan matahari mempunyai sinar yang khusus baginya dan bulan mempunyai cahaya yang khusus baginya, dan Dia membedakan perjalanan antara matahari dan bulan. Matahari terbit setiap hari dan tenggelam di penghujung harinya dengan cahaya yang sama. Akan tetapi, tempat terbit dan tempat tenggelamnya berpindah-pindah dalam musim panas dan musim dinginnya; yang seiring dengan perbedaan musim tersebut, maka siang hari lebih panjang daripada malam hari dalam musim panas, kemudian dalam musim dingin malam lebih panjang ketimbang siang hari. Dan Allah menjadikan kemunculan matahari di siang hari, maka matahari adalah bintang siang hari.
Adapun bulan, Allah telah menetapkan baginya manzilah-manzilah bagi perjalanannya. Pada permulaan bulan ia muncul dalam bentuk yang kecil lagi cahayanya redup, kemudian cahayanya makin bertambah pada malam yang kedua, dan manzilahnya pun makin tinggi. Setiap kali manzilahnya bertambah tinggi, maka cahayanya pun bertambah terang, sekalipun pada kenyataannya cahaya yang dipancarkannya itu merupakan pantulan dari sinar matahari. Hingga pada akhirnya cahayanya menjadi sempurna di malam yang keempat belas. Sesudah itu ia mulai berkurang hingga akhir bulan dan bentuknya seperti tandan yang tua.
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa 'urjunil qadim adalah asal mula ketandan kurma.
Mujahid mengatakan, 'urjunil qadim ialah ketandan yang telah kering.
Ibnu Abbas r.a. bermaksud bahwa yang dikatakan dengan 'urjunil qadim ialah asal mula ketandan buah kurma apabila terbuka dan kering serta melengkung bentuknya. .
Hal yang sama dikatakan oleh selain keduanya.
Setelah itu Allah Swt. kembali menampakkannya di permulaan bulan lainnya. Orang-orang Arab menamakan setiap tiga malam dari satu bulan dengan nama yang tersendiri sesuai dengan keadaan bulan. Mereka menamakan ketiga malam pertama dengan istilah gurar, sedangkan ketiga malam berikutnya dinamakan nufal, dan tiga malam berikutnya dinamakan tusa', karena malam yang terakhirnya jatuh pada malam kesembilan yang kemudian disusul oleh malam yang kesepuluh sesudahnya, yang dalam peristilahan mereka dinamakan 'usyar (sampai malam ketiga belas). Setelah itu dinamakan malam bid, karena di malam-malam tersebut cahaya rembulan tampak sempurna dan mencapai puncaknya. Lalu berikutnya dinamakan dura’ bentuk jamak dari dar’a, dikatakan demikian karena malam pertamanya gelap disebabkan keterlambatan munculnya rembulan. Oleh karena itulah maka kambing yang bulunya hitam di kepalanya dinamakan dar’a. Kemudian tiga malam berikutnya dinamakan zulam, lalu berikutnya lagi dinamakan hanadis, selanjutnya da'da, dan yang terakhir dinamakan mahaq karena lenyapnya bulan di penghujung bulan dan mulai memasuki permulaan bulan berikutnya. Abu Ubaidah r.a. mengingkari adanya tusa' dan 'usyar, demikianlah menurut apa yang tertulis di dalam kitab Garibul Musannaf.
لَا ٱلشَّمْسُ يَنۢبَغِى لَهَآ أَن تُدْرِكَ ٱلْقَمَرَ وَلَا ٱلَّيْلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِ ۚ وَكُلٌّۭ فِى فَلَكٍۢ يَسْبَحُونَ 40
(40) Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
(40)
Firman Allah Swt.:
لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan. (Yasin: 40)
Mujahid mengatakan bahwa matahari dan bulan masing-masing mempunyai batasan tersendiri yang tidak dapat dilampaui oleh yang lainnya, tidak dapat pula dikurangi oleh yang lainnya. Apabila masa kemunculan yang satu tiba, maka yang lainnya pergi; begitu pula sebaliknya bilamana yang lainnya datang, maka yang satunya pergi.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan (Yasin: 4) Bahwa hal tersebut terjadi di malam munculnya bulan sabit.
Ibnu Abu Hatim dalam bab ini telah meriwayatkan dari Abdullah ibnul Mubarak yang mengatakan bahwa sesungguhnya angin itu mempunyai sayap, dan sesungguhnya bulan itu beristirahat di tempat yang ditutupi oleh air.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Saleh, bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya yang ini tidak dapat menyusul cahaya yang itu, demikian pula sebaliknya.
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan. (Yasin: 4) Maksudnya, matahari dan bulan mempunyai kekuasaan tersendiri. Karena itu, tidak pantas bagi matahari terbit di malam hari.
Firman Allah Swt.:
وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ
dan malam pun tidak dapat mendahului siang. (Yasin: 40)
Yakni tidaklah pantas bila malam hari, lalu berikutnya malam hari lagi, sebelum adanya siang hari di antara keduanya; kekuasaan matahari di siang hari, dan kekuasaan bulan di malam hari. Ad-Dahhak mengatakan bahwa malam hari tidak akan pergi dari arah ini sebelum siang hari datang dari arah itu seraya berisyarat menunjuk ke arah timur.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan malam pun tidak dapat mendahului siang. (Yasin: 4) Keduanya saling mengejar yang lainnya dengan waktu yang cepat dan salah satunya muncul dengan kepergian yang lainnya.
Maka yang dimaksud ialah bahwa tidak ada tenggang waktu antara malam dan siang hari, bahkan masing-masing dari keduanya datang menyusul kepergian yang lainnya tanpa tenggang waktu, karena keduanya telah diperintahkan untuk terus-menerus saling silih berganti dengan cepat.
Firman Allah Swt.:
وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 40)
Yakni malam, siang, mentari, dan bulan, semuanya beredar di. cakrawala langit, menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan Ata Al-Khurrasani.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa tempat peredarannya ialah di antara langit dan bumi; demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, tetapi riwayat ini garib sekali, bahkan munkar.
Ibnu Abbas r.a. dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf mengatakan dalam cakrawala seperti berputarnya alat penenun.
Mujahid mengatakan, yang dimaksud dengan falak ialah perumpamaannya seperti pengengkol alat penggilingan atau seperti pengengkol alat tenun. Alat tenun tidak dapat berputar, melainkan dengan berputarnya alat tersebut. Begitu pula sebaliknya, bila alat tenun berputar, maka ia pun akan ikut berputar.