4 - النساء - An-Nisaa

Juz : 4

The Women
Medinan

وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ ۚ فَمَا ٱسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةًۭ ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًۭا 24

(24) dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

(24) 

Firman Allah Swt.:

وَالْمُحْصَناتُ مِنَ النِّساءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ

dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)

Diharamkan atas kalian mengawini wanita yang telah terpelihara kehormatannya, yakni telah bersuami. Kecuali budak-budak yang kalian miliki melalui tawanan perang, dihalalkan bagi kalian menggauli mereka bila terlebih dahulu kalian meng-istibra' -kan (membersihkan rahim) mereka terlebih dahulu, karena sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan hal tersebut.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan As-Sauri, dari Usman Al-Batti, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan, "Kami pernah memperoleh tawanan perang dari tawanan Perang Autas, sedangkan mereka (wanita-wanita hasil tawanan) mempunyai suami. Maka kami tidak suka menggauli mereka karena mereka punya suami. Lalu kami bertanya kepada Nabi Saw., dan turunlah firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24). Maka kami menghalalkan farji mereka."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Turmuzi, dari Ahmad ibnu Mani', dari Hasyim. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dan Syu'bah ibnul Hajjaj, ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Usman Al-Batti.

Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Asy'as ibnu Siwar, dari Usman Al-Batti. Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Syu'bah, dari Qatadah. Usman Al-Batti dan Qatadah menerima hadis ini dari Abul Khalil Saleh ibnu Abu Maryam, dari Abu Sa'id Al-Khudri.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Sa'id Al-Khudri dengan lafaz yang sama.

Diriwayatkan melalui jalur lain dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah Al-Hasyimi, dari Abu Sa'id Al-Khudri. Untuk itu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Sa'id, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari Abu Alqamah, dari Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. memperoleh tawanan wanita dalam Perang Autas, sedangkan tawanan-tawanan wanita itu mempunyai suami yang musyrik. Tersebutlah bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. ada yang enggan dan merasa berdosa bila menggauli mereka. Maka turunlah ayat berikut sehubungan dengan peristiwa itu, yaitu firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah. Imam Muslim dan Syu'bah menambahkan bahwa Imam Turmuzi meriwayatkannya dari hadis Hammam ibnu Yahya. Ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Qatadah berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.”Aku merasa yakin tidak ada seorang pun yang menyebutkan Abu Alqamah dalam sanad hadis ini kecuali apa yang diutarakan oleh Hammam dari Qatadah," demikianlah menurut Imam Turmuzi. Ternyata hal ini diikuti oleh Sa'id dan Syu'bah.

Imam Tabrani meriwayatkan melalui hadis Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tawanan Perang Khaibar, lalu Tabrani menuturkan kisah seperti yang diutarakan oleh Abu Sa'id.

Segolongan ulama Salaf berpendapat, menjual budak wanita merupakan talak baginya dari suaminya, karena berdasarkan keumuman makna ayat ini.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa ia pernah ditanya tentang masalah budak perempuan yang dijual, sedangkan budak perempuan itu mempunyai suami. Maka Ibrahim mengatakan, "Dahulu Abdullah pernah mengatakan bahwa menjualnya berarti sama saja dengan menceraikannya dari suaminya. Lalu Abdullah membacakan firman-Nya: 'dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki ' (An-Nisa: 24)."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Mansur dan Mugirah dan Al-A'masy dari Ibrahim, dari ibnu Mas'ud yang telah mengatakan "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya." Asar ini munqati'.

Sufyan As-Sauri meriwayatkannya dari Khulaid, dari Abu Qilabah, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa budak perempuan apabila dijual dalam keadaan telah bersuami, maka tuan yang membelinya adalah orang yang lebih berhak terhadap farjinya.

Sa'id meriwayatkannya dari Qatadah yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b, Jabir ibnu Abdullah, dan Ibnu Abbas mengatakan, "Menjual budak perempuan (yang telah bersuami) sama dengan menceraikannya."

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Khulaid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa perceraian budak perempuan ada enam (lima) perkara, yaitu: Menjualnya berarti menceraikannya, memerdekakannya berarti menceraikannya, menghibahkannya berarti menceraikannya, meng-istibra'-kannya berarti menceraikannya, dan diceraikan oleh suaminya berarti menceraikannya.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnul Musayyab sehubungan dengan firman -Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) Bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita-wanita yang mempunyai suami, Allah mengharamkan mengawini mereka; kecuali budak-budak yang dimiliki olehmu, maka menjualnya berarti sama dengan menceraikannya. Ma'mar mengatakan bahwa Al-Hasan telah mengatakan hal yang semisal.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 24)

Apabila budak wanita mempunyai suami. lalu dijual, maka menjualnya sama dengan menceraikannya dari suaminya.

Auf telah meriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa menjual budak perempuan sama dengan menceraikannya dari suaminya, dan menjual budak laki-laki sama dengan menceraikannya dari istrinya.

Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh ulama Salaf. Tetapi berbeda dengan mereka apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, baik yang terdahulu maupun yang kemudian; mereka berpendapat bahwa menjual budak perempuan bukan berarti menceraikannya dari suaminya. Dikatakan demikian karena pihak pembeli merupakan pengganti dari pihak penjual. Sedangkan pihak penjual sejak semula telah dikecualikan dari pemilikannya manfaat ini, lalu ia menjual si budak yang memegang manfaat ini.

Mereka yang mengatakan demikian berpegang kepada hadis Barirah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan kitab lainnya. Disebutkan bahwa Siti Aisyah Ummul Mukminin membeli Barirah, lalu memerdekakannya, sedangkan nikah Barirah dengan suaminya —Mugis— tetap utuh, tidak fasakh, melainkan Rasulullah Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap. Ternyata Barirah memilih fasakh. Kisah mengenai Barirah ini cukup terkenal.

Disimpulkan dari hadis di atas, seandainya menjual budak perempuan adalah menceraikannya dari suaminya, seperti yang dikatakan mereka, niscaya Nabi Saw. tidak menyuruhnya memilih. Karena ternyata Nabi Saw. menyuruhnya memilih antara fasakh dan tetap, hal ini berarti menunjukkan bahwa nikahnya tetap utuh. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat tersebut khusus bagi wanita-wanita yang dihasilkan dari tawanan perang saja.

Barangkali dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud dari firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) Yakni wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya diharamkan bagi kalian sebelum kalian memiliki pegangannya melalui nikah, saksi-saksi, mahar, dan wali; seorang, dua orang, tiga orang, atau empat orang. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abul Aliyah, Tawus, dan selain keduanya.

Umar dan Ubaid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita-wanita yang bersuami. (An-Nisa: 24) selain dari empat orang istri, haram bagi kalian (kawin lagi), kecuali budak-budak wanita yang kalian miliki (pergundikan, pent.).

*******************

Firman Allah Swt.:

كِتابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

sebagai ketetapan (dari) Allah buat kalian. (An-Nisa: 24)

Pengharaman ini adalah hukum Allah yang ditetapkan-Nya atas kalian. Yang dimaksud ialah empat istri. Maka berpeganglah kalian kepada ketetapan-Nya dan janganlah kalian menyimpang dari hukum-hukum-Nya, tetapilah syariat dan hukum-Nya.

Ubaidah, Ata, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman -Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24) Yakni empat orang istri.

Ibrahim mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: sebagai ketetapan Allah atas kalian. (An-Nisa: 24) Yaitu hal-hal yang diharamkan atas kalian.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَراءَ ذلِكُمْ

Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian. (An-Nisa: 24)

Selain dari wanita-wanita mahram yang telah disebutkan, semuanya halal kalian kawini. Demikianlah menurut Ata dan lain-lainnya.

Ubaidah dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian. (An-Nisa: 24) Selain dari empat orang istri. Akan tetapi, pendapat ini jauh dari kebenaran. Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh Ata tadi.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian. (An-Nisa: 24) Yaitu budak-budak wanita yang kalian miliki.

Ayat ini merupakan dalil yang dijadikan hujah bagi orang yang mengatakan halal menghimpun dua wanita bersaudara dalam nikah. Juga oleh pendapat orang yang mengatakan bahwa masalah tersebut dihalalkan oleh satu ayat dan diharamkan oleh ayat yang lain.

*******************

Firman Allah Swt.:

أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسافِحِينَ

(yaitu) mencari istri-istri dengan harta kalian untuk kalian kawini, bukan untuk berzina. (An-Nisa: 24)

Kalian boleh mencari istri sebanyak empat orang dengan harta kalian, atau budak-budak wanita sebanyak yang kamu sukai melalui jalan yang diakui oleh syariat. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: untuk kalian kawini, bukan untuk berzina. (An-Nisa: 24)

*******************

Firman Allah Swt

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

Maka istri-istri yang telah kalian gauli di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. (An-Nisa: 24)

Sebagaimana kalian telah memperoleh kesenangan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai imbalan hal tersebut. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضى بَعْضُكُمْ إِلى بَعْضٍ

Bagaimana kalian mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain. (An-Nisa: 21)

Sama dengan makna firman-Nya:

وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)

Seperti firman Allah Swt.:

وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229)

Keumuman makna ayat ini dijadikan dalil yang membolehkan nikah mut'ah, dan tidak diragukan lagi nikah mut'ah memang disyariatkan pada masa permulaan Islam, kemudian sesudah itu dimansukh.

Imam Syafii dan segolongan ulama mengatakan bahwa pada permulaannya nikah mut'ah diperbolehkan, kemudian dimansukh, lalu diperbolehkan lagi dan akhirnya dimansukh lagi; pe-nasikh-an terhadapnya terjadi dua kali. Sedangkan ulama lainnya berpendapat lebih banyak dari dua kali. Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan sekali, kemudian dimansukh dan tidak diperbolehkan lagi sesudahnya.

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan sejumlah sahabat suatu pendapat yang mengatakan boleh bila dalam keadaan darurat. Pendapat ini merupakan riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas, Ubay ibnu Ka'b, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Saddi membaca ayat ini dengan memakai tafsirnya seperti berikut:

"فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى فَآتَوْهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً"

Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka —sampai dengan batas waktu tertentu— berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah nikah mut'ah.

Akan tetapi, jumhur ulama berpendapat tidak demikian. Hal yang menjadi pegangan dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain dari Amirul Mu’minun Ali ibnu Abu Talib yang mengatakan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ، وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ يَوْمَ خَيْبَرَ

Rasulullah Saw. melarang nikah mut'ah dan (memakan) daging keledai kampung pada hari Perang Khaibar.

Hadis ini mempunyai banyak lafaz dan ungkapan, yang semuanya itu merupakan bagian dari kitabul ahkam (kitab-kitab yang membahas masalah hukum).

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Ar-Rabi' ibnu Sabrah ibnu Ma'bad Al-Juhani, dari ayahnya, bahwa ia pernah berperang bersama-sama Rasulullah Saw. pada hari penaklukan atas kota Mekah. Maka beliau Saw. bersabda:

"يَأَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرم ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيلَهُ، وَلَا تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا"

Hai manusia sekalian, sesungguhnya aku dahulu pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mut'ah terhadap wanita. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut sekarang sampai hari kiamat. Karena itu, barang siapa yang padanya terdapat sesuatu dari nikah mut'ah ini, hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada mereka barang sedikit pun.

Juga di dalam riwayat lain bagi Imam Muslim dalam kisah haji wada', hadis ini diungkapkan dengan berbagai lafaz, yang pembahasannya berada di dalam kitab-kitab fiqih.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ

dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. (An-Nisa: 24)

Orang yang menginterpretasikan ayat ini bermakna nikah mut'ah sampai batas waktu yang ditentukan mengatakan, "Tidak ada dosa bagi kalian apabila waktunya telah habis untuk saling merelakan (bernegosiasi) untuk penambahan masa nikah mut'ah dan penambahan imbalannya."

As-Saddi mengatakan, "Jika pihak lelaki menghendaki, boleh merelakan pihak wanita sesudah mahar yang pertama, yakni upah yang telah diberikannya kepada pihak wanita sebagai imbalan menikmati tubuhnya sebelum masa berlaku nikah mut'ah yang disepakati kedua belah pihak habis. Untuk itu pihak laki-laki berkata kepada pihak perempuan, 'Aku akan nikah mut'ah lagi denganmu dengan imbalan sekian dan sekian.' Jika upah bertambah sebelum pihak wanita membersihkan rahimnya pada hari habisnya masa mut'ah di antara keduanya, maka hal inilah yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'dan tiada mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan faridah itu'' (An-Nisa: 24)."

As-Saddi mengatakan, "Apabila masa mut'ah habis, maka tiada jalan bagi pihak laki-laki terhadap pihak wanita, dan pihak wanita bebas dari pihak laki-laki. Sesudah itu pihak wanita harus membersihkan rahimnya, dan tidak ada saling mewarisi lagi di antara keduanya. Untuk itu satu pihak tidak dapat mewarisi pihak lainnya. Hubungan keduanya telah terputus."

Orang yang berpendapat seperti ini pada pendapat yang pertama tadi menjadikan ayat ini semakna dengan firman-Nya:

وَآتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنَّ نِحْلَةً

Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa: 4)

Dengan kata lain, apabila engkau telah menentukan sejumlah mas kawin kepada pihak wanita, lalu pihak wanita merelakan sebagian darinya untuk pihak laki-laki atau keseluruhannya, maka tidak ada dosa bagi kamu dan bagi pihak wanita dalam hal tersebut.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Miftamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Al-Hadrami menduga bahwa banyak kaum lelaki yang telah menentukan mahar, kemudian barangkali seseorang dari mereka ada yang mengalami kesulitan. Maka Allah Swt. berfirman, "Tidak mengapa bagi kamu, hai manusia, terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar. Yakni jika pihak wanita merelakan kepadamu sebagian dari maharnya, maka hal itu diperbolehkan bagimu." Pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu Jarir.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. (An-Nisa: 24) Yang dimaksud dengan saling merelakan ialah bila pihak lelaki memberikan mahar secara sempurna kepada pihak wanita, kemudian pihak lelaki menyuruh pihak wanita menentukan pilihan, antara tetap menjadi istri atau berpisah (cerai).

*******************

Firman Allah Swt:

إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيماً حَكِيماً

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 24)

Sangatlah sesuai penyebutan kedua sifat Allah ini sesudah Dia mensyaratkan hal-hal yang diharamkan.


وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۚ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَٰنِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّنۢ بَعْضٍۢ ۚ فَٱنكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ مُحْصَنَٰتٍ غَيْرَ مُسَٰفِحَٰتٍۢ وَلَا مُتَّخِذَٰتِ أَخْدَانٍۢ ۚ فَإِذَآ أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَٰحِشَةٍۢ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى ٱلْمُحْصَنَٰتِ مِنَ ٱلْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِىَ ٱلْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا۟ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 25

(25) Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(25) 

Allah Swt. berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا

Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya. (An-Nisa: 25)

Yakni tidak mempunyai kemampuan dan kemudahan.

أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَناتِ الْمُؤْمِناتِ

untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)

Yaitu wanita yang merdeka, terpelihara kehormatannya lagi mukminah.

Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdul Jabbar telah menceritakan kepadaku dari Rabi'ah sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25) Menurut Rabi'ah, yang dimaksud dengan tulan ialah kesukaan, yakni ia boleh menikahi budak perempuan, jika memang dia suka kepadanya.

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, kemudian ia mengomentari pendapat ini dengan komentar yang buruk, bahkan menyanggahnya.

فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ مِنْ فَتَياتِكُمُ الْمُؤْمِناتِ

maka ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)

Dengan kata lain, kawinilah olehmu budak-budak wanita yang beriman yang dimiliki oleh orang-orang mukmin, mengingat firman Allah menyebutkan: dari budak-budak wanita kalian yang beriman. (An-Nisa: 25)

Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, hendaklah dia mengawini budak-budak perempuan kaum mukmin. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Muqatil ibnu Hayyan.

Kemudian disebutkan jumlah mu'taridah (kalimat sisipan) melalui firman-Nya:

وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ

Allah mengetahui keimanan kalian; sebagian kalian adalah dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 25)

Dia mengetahui semua hakikat segala perkara dan rahasia-rahasianya, dan sesungguhnya bagi kalian, hai manusia, hanyalah yang lahiriah saja dari perkara-perkara tersebut.

Selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:

فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ

karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuannya. (An-Nisa: 25)

Hal ini menunjukkan bahwa tuan yang memiliki budak adalah sebagai walinya; seorang budak perempuan tidak boleh nikah kecuali dengan seizin tuannya. Demikianlah pula halnya si tuan merupakan wali dari budak lelakinya; seorang budak lelaki tidak diperkenankan kawin tanpa seizin tuannya. Seperti disebutkan di dalam sebuah hadis yang mengatakan:

"أَيُّمَا عَبْدٍ تَزَوّج بِغَيْرِ إِذَنْ مَوَاليه فَهُوَ عَاهِر"

siapa pun budaknya kawin tanpa seizin tuan-tuannya, maka dia adalah seorang pezina.

Apabila tuan seorang budak perempuan adalah seorang wanita, maka si budak perempuan dikawinkan oleh orang yang mengawinkan tuannya dengan seizin si tuan, berdasarkan kepada sebuah hadis yang mengatakan:

«لَا تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا، فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تُزَوِّجُ نَفْسَهَا»

Wanita tidak boleh mengawinkan wanita lainnya, dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya perempuan pezina adalah wanita yang mengawinkan dirinya sendiri.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

dan berilah mas kawinnya menurut yang patut. (An-Nisa: 25)

Artinya, bayarkanlah oleh kalian mas kawin mereka dengan cara yang makruf, dengan kerelaan hati kalian; dan janganlah kalian mengurangi mas kawinnya karena meremehkan mereka karena mereka adalah budak-budak perempuan yang dimiliki.

*******************

Firman Allah Swt.:

مُحْصَناتٍ

yang memelihara kehormatannya. (An-Nisa: 25)

Yaitu menjaga dirinya dari perbuatan zina dan tidak pernah melakukannya. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya:

غَيْرَ مُسافِحاتٍ

bukan pezina. (An-Nisa: 25)

Yang dimaksud dengan musafihat ialah wanita-wanita tuna susila yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat keji terhadap dirinya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا مُتَّخِذاتِ أَخْدانٍ

dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25)

Menurut Ibnu Abbas, makna musafihat ialah wanita tuna susila yang terang-terangan, yakni mereka yang tidak pernah menolak lelaki yang hendak berbuat mesum terhadap dirinya.

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25) Yakni laki-laki piaraan.

Hal yang sama dikatakan menurut riwayat Abu Hurairah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Ad-Dahhak, Ata Al-Khurrasani, Yahya ibnu Abu Kasir, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi; mereka semuanya mengatakan, yang dimaksud adalah laki-laki piaraan.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan muttakhizati akhdan ialah wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai temannya.

Ad-Dahhak pernah pula mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25) Yaitu wanita yang mempunyai laki-laki yang ia setujui (yakni kumpul kebo). Allah Swt. melarang hal tersebut, yakni mengawini wanita seperti itu selagi si wanita masih tetap dalam keadaan demikian.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِذا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَناتِ مِنَ الْعَذابِ

dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25)

Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan bacaan ahsanna; sebagian dari mereka membacanya uhsinna dalam bentuk mabni majhul, dan sebagian yang lain membacanya ahsanna sebagai fi'il yang lazim.

Kemudian disimpulkan bahwa makna kedua qiraah tersebut sama saja, tetapi mereka berbeda pendapat sehubungan dengan makna; pendapat mereka terangkum ke dalam dua pendapat, yaitu:

Pertama, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah Islam. Hal tersebut diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, Anas, Al-Aswad ibnu Yazid, Zurr ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan As-Saddi.

Az-Zuhri meriwayatkan pendapat yang sama dari Umar ibnul Khattab, predikatnya munqati'.

Pendapat inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii dalam riwayat Ar-Rabi'. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami mengatakan pendapat ini semata-mata berlandaskan kepada sunnah dan ijma' kebanyakan ahlul 'ilmi."

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sehubungan dengan masalah ini sebuah hadis marfu'. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain ibnul Junaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari ayahnya, dari Abu Hamzah, dari Jabir, dari seorang lelaki, dari Abu Abdur Rahman, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. sehubungan dengan firman-Nya: dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin. (An-Nisa: 25) pernah bersabda menafsirkannya:

«إِحْصَانُهَا إِسْلَامُهَا وَعَفَافُهَا»

Ihsan seorang wanita ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa Ali mengatakan, "Deralah mereka (budak-budak wanita yang berzina)." Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hadis ini munkar.

Menurut kami, dalam sanad hadis ini terkandung kelemahan, di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya; hadis seperti ini tidak layak dijadikan sebagai hujah (pegangan).

Al-Qasim dan Salim mengatakan, yang dimaksud dengan ihsan ialah bila ia masuk Islam dan memelihara kehormatannya.

Kedua, menurut pendapat lain makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah kawin.

Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan lain-lainnya.

Pendapat ini dinukil oleh Abu Ali At-Tabari di dalam kitabnya yang berjudul Al-Idah, dari Imam Syafii, menurut apa yang diriwayatkan oleh Abul Hakam ibnu Abdul Hakam dari Imam Syafii.

Lais ibnu Abu Sulaim meriwayatkan dari Mujahid, bahwa ihsan seorang budak wanita ialah bila dikawini oleh lelaki merdeka; dan sebaliknya ihsan seorang budak laki-laki ialah bila dikawini oleh wanita merdeka. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Asy-Sya'bi dan An-Nakha'i.

Menurut pendapat lain, makna kedua bacaan tersebut berbeda. Orang yang membaca uhsinna, makna yang dimaksud ialah kawin. Dan orang yang membaca ahsanna, makna yang dimaksud ialah Islam. Pendapat kedua ini dipilih dan didukung oleh Abu Ja'far ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.

Pendapat yang kuat —hanya Allah yang mengetahui— bahwa makna yang dimaksud dengan ihsan dalam ayat ini ialah nikah, karena konteks ayat menunjukkan kepada pengertian tersebut, mengingat Allah Swt. telah berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمْ

Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kalian miliki. (An-Nisa: 25)

Konteks ayat ini menunjukkan pembicaraan tentang wanita-wanita yang beriman. Dengan demikian, makna ihsan dalam ayat ini hanya menunjukkan pengertian kawin, seperti tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan lain-Lainnya.

Pada garis besarnya masing-masing dari kedua pendapat di atas masih mengandung kemusykilan (kesulitan) menurut pendapat jumhur ulama. Dikatakan demikian karena mereka mengatakan bahwa sesungguhnya budak wanita itu apabila berbuat zina dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali, baik ia muslimah ataupun kafirah, dan baik sudah kawin ataupun masih gadis. Padahal pengertian ayat menunjukkan bahwa tiada hukuman had kecuali terhadap wanita yang sudah kawin berbuat zina, sedangkan dia bukan budak.

Analisis mereka sehubungan dengan masalah ini (budak wanita yang berbuat zina) berbeda-beda, seperti penjelasan berikut:

Pertama, menurut jumhur ulama tidak diragukan lagi bahwa makna yang tersirat lebih diprioritaskan daripada makna yang tidak tersirat.

Banyak hadis yang mengandung makna umum menunjukkan ditegakkannya hukuman had terhadap budak wanita yang berzina. Karena itu, pengertian ini lebih kami prioritaskan ketimbang makna yang tidak tersirat.

Antara lain ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui Ali r.a., bahwa ia pernah berkhotbah, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak perempuan kalian, baik yang telah menikah ataupun yang belum menikah. Karena sesungguhnya pernah budak perempuan milik Rasulullah Saw. melakukan perbuatan zina, maka beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk menderanya. Ternyata budak perempuan tersebut masih baru dalam keadaan nifas, maka aku merasa khawatir bila menderanya, nanti dia akan mati. Ketika aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw., maka Nabi Saw. bersabda:

«أَحْسَنْتَ اتْرُكْهَا حَتَّى تَمَاثَلَ»

Tindakanmu baik, biarkanlah dia dahulu hingga keadaannya membaik''."

Menurut riwayat Abdullah ibnu Ahmad, dari selain ayahnya, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:

«فَإِذَا تَعَالَتْ مِنْ نَفْسِهَا حَدَّهَا خَمْسِينَ»

Apabila dia telah bebas dari nifasnya, maka deralah dia sebanyak lima puluh kali.

Dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

«إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّانِيَةَ، فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَبِعْهَا ولو بِحَبْلٍ مَنْ شَعْرٍ»

Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina, dan perbuatannya itu terbukti, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak perempuannya berbuat zina lagi untuk kedua kalinya, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, tetapi tidak boleh dimaki-maki. Kemudian jika si budak berbuat zina lagi untuk ketiga kalinya dan perbuatan zinanya terbukti, hendaklah ia menjualnya, sekalipun dengan harga (yang senilai dengan) seutas tali bulu.

Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:

إِذَا زَنتْ ثَلَاثًا فَلْيَبِعْهَا فِي الرَّابِعَةِ

Apabila si budak berbuat zina sebanyak tiga kali, hendaklah ia menjualnya bila melakukan untuk keempat kalinya.

Malik telah meriwayatkan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Abdullah ibnu Iyasy ibnu Abu Rabi'ah Al-Makhzumi yang menceritakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab pernah memerintahkan kepadanya untuk menjatuhkan hukuman terhadap para pemuda Quraisy. Maka kami menjatuhkan hukuman dera terhadap budak-budak wanitanya sebanyak lima puluh kali dera terhadap lima puluh orang, karena berbuat zina.

Kedua, menurut analisis orang yang berpendapat bahwa seorang budak wanita bila berbuat zina, sedangkan dia belum kawin, maka tidak ada hukuman had atas dirinya, melainkan hanya hukuman pukulan sebagai hukuman ta'zir.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Pendapat inilah yang dipegang oleh Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri menurut suatu riwayat darinya.

Pegangan mereka adalah makna yang tersirat dari ayat ini, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan persyaratan. Hal inilah yang dijadikan hujah di kalangan kebanyakan dari mereka, dan lebih diprioritaskan oleh mereka daripada keumuman makna ayat. Juga Hadis Abu Hurairah serta Zaid ibnu Khalid yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai masalah seorang budak wanita yang berbuat zina, sedangkan ia masih belum kawin. Maka beliau Saw. menjawab:

«إِنْ زَنَتْ فَحِدُّوهَا، ثُمَّ إِنَّ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ بِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»

Jika ia berbuat zina, maka had-lah dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah dia; kemudian juallah dia, sekalipun hanya dengan seharga seutas tali.

Ibnu Syihab mengatakan, "Aku tidak mengetahui ada yang ketiga atau yang keempat kalinya." Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Sahihain.

Menurut riwayat Imam Muslim, Ibnu Syihab mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dafirin ialah seutas tali.

Mereka mengatakan bahwa di dalam hadis ini tidak disebutkan batasan hukuman had, tidak seperti hukuman terhadap wanita yang telah kawin. Tidak seperti apa yang dikatakan di dalam Al-Qur'an yang padanya disebutkan batasan hukumannya, yaitu separo dari hukuman wanita yang merdeka. Karena itu, sudah merupakan suatu keharusan menggabungkan pengertian ayat dengan hadis ini.

Dalil lain yang lebih jelas daripada hadis di atas ialah apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Mansur dari Sufyan, dari Mis'ar, dari Arm ibnu Murrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«لَيْسَ عَلَى أَمَةٍ حَدٌّ حَتَّى تُحْصَنَ- أَوْ حَتَّى تُزَوَّجَ- فَإِذَا أُحْصِنَتْ بِزَوْجٍ فَعَلَيْهَا نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ»

Tiada hukuman terhadap budak wanita sebelum kawinnya, apabila ia telah kawin, dikenakan atasnya separo hukuman dari wanita yang merdeka (yakni apabila si budak berbuat zina).

Ibnu Khuzaimah meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Imran Al-Abidi dari Sufyan dengan lafaz yang sama secara marfu'. Ibnu Khuzaimah mengatakan, "Predikat marfu' untuk hadis ini keliru, sebenarnya itu adalah perkataan Ibnu Abbas."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Baihaqi melalui hadis Abdullah ibnu Imran, kemudian Imam Baihaqi mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khuzaimah (yakni bukan marfu').

Mereka mengatakan bahwa hadis Ali dan Umar membahas masalah a'yan, sedangkan terhadap hadis Abu Hurairah dapat dijawab dengan jawaban seperti berikut:

Pertama, bahwa hal tersebut dapat diinterpretasikan terhadap budak wanita yang telah kawin, karena berdasarkan pemahaman gabungan antara hadisnya dengan hadis ini.

Kedua, ungkapan had yang disebutkan di dalam sabdanya: Maka hendaklah ia menegakkan hukuman had terhadapnya. merupakan kata sisipan dari salah seorang perawi, sebagai buktinya ialah ada pada jawaban yang ketiga. Yaitu bahwa hadis ini bersumber dari dua orang sahabat, sedangkan hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah sendiri. Hadis yang berasal dari dua orang itu jelas lebih diutamakan daripada hadis yang hanya berasal dari satu orang saja.

Selain itu Imam Nasai meriwayatkannya berikut sanadnya dengan syarat Imam Muslim melalui hadis Abbad ibnu Tamim, dari pamannya. Pamannya adalah salah seorang yang ikut dalam Perang Badar. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا، ثُمَّ إِذَا زَنَتْ فَبِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ»

Apabila budak wanita berbuat zina, maka deralah dia oleh kalian; kemudian jika ia berzina lagi, maka deralah pula dia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi, maka deralah pula ia oleh kalian; kemudian jika ia berbuat zina lagi. maka juallah dia, sekalipun dengan harga seutas tali.

Ketiga, tidaklah mustahil bila salah seorang perawi mengucapkan lafaz had dalam hadis ini dengan maksud hukuman dera; karena ketika yang disebutkan adalah hukuman dera, maka ia memahaminya sebagai hukuman had, atau dia sengaja mengucapkan lafaz had dengan maksud hukuman ta'zir.

Perihalnya sama dengan sebutan had terhadap pukulan yang ditimpakan terhadap orang-orang sakit yang berbuat zina, yaitu dengan sapu lidi pelepah kurma yang di dalamnya terdapat seratus lidi. Juga terhadap hukuman dera yang ditimpakan terhadap seorang lelaki yang berbuat zina dengan budak perempuan istrinya, jika si istri mengizinkannya untuk berbuat zina terhadap budak perempuannya, si suami dikenakan seratus kali dera. Sesungguhnya hukuman tersebut hanyalah sebagai hukuman ta'zir yang bersifat edukatif menurut pandangan orang yang berpendapat demikian, seperti Imam Ahmad dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf.

Sesungguhnya hukuman had yang hakiki ialah seratus kali dera bagi orang yang belum pernah kawin, dan hukuman rajam bagi orang yang telah kawin atau orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Lut.

Ibnu Majah meriwayatkan —juga lbnu Jarir— di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Budak wanita tidak boleh dipukul, bila ia berbuat zina selagi ia belum kawin." Sanad asar ini sahih, bersumber dari Sa'id ibnu Jubair.

Merupakan pendapat yang aneh jika Sa'id ibnu Jubair bermaksud bahwa si budak perempuan pada asalnya tidak dikenai hukuman pukulan melainkan hukuman had, seakan-akan ia mengambil dari mafhum ayat ini dan belum sampai kepadanya hadis mengenai hal tersebut. Jika dia bermaksud bahwa si budak perempuan tidak dikenai hukuman had pukulan, maka hal ini bukan berarti dia bebas dari hukuman pukulan sebagai ta'zir. Jika demikian, berarti sama dengan pendapat ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya dalam masalah ini.

Ayat ini (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa budak perempuan yang telah kawin bila berbuat zina dikenai hukuman had separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka. Jika ia berbuat zina sebelum ihsan, maka pengertiannya tercakup ke dalam keumuman makna Al-Qur'an dan sunnah yang menyatakan dikenai hukuman dera sebanyak seratus kali. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ واحِدٍ مِنْهُما مِائَةَ جَلْدَةٍ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)

Hadis Ubadah ibnus Samit mengatakan:

«خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَرَجْمُهَا بِالْحِجَارَةِ»

Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar bagi mereka; orang yang belum kawin dengan orang yang belum kawin dikenai seratus kali dera dan dibuang satu tahun, dan orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin dikenai seratus kali dera dan dirajam dengan batu.

Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Imam Muslim, dan hadis-hadis lainnya. Pendapat ini dikenal bersumber dari Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Tetapi pendapat ini sangat lemah, karena bilamana Allah Swt. telah memerintahkan mendera budak wanita yang telah kawin dengan hukuman dera separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka, yaitu lima puluh kali dera. Maka bagaimana hukumannya bila ia melakukan zina sebelum kawin, mengapa dikatakannya jauh lebih berat daripada setelah kawin? Padahal kaidah hukum syariat menyatakan kebalikan dari pendapatnya.

Nabi Saw. sendiri ketika ditanya oleh sahabat-sahabatnya tentang hukum budak wanita yang berbuat zina, sedangkan budak tersebut belum kawin, maka beliau bersabda, "Deralah ia," tetapi beliau tidak menyebutkan sebanyak seratus kali. Seandainya hukum budak wanita itu seperti yang diduga oleh Daud Az-Zahiri, niscaya Nabi Saw. menjelaskan hukuman tersebut kepada sahabat-sahabatnya. Mengingat mereka sengaja bertanya kepada Nabi Saw. karena tidak ada penjelasan hukum seratus kali dera terhadap budak-budak wanita yang telah kawin berbuat zina. Jika tidak demikian pengertiannya, apakah faedah ungkapan mereka dalam pertanyaannya yang menyebutkan, "Sedangkan dia belum kawin," mengingat tidak ada perbedaan di antara keduanya (yang sudah kawin dan yang belum kawin), sekiranya ayat ini belum diturunkan.

Tetapi mengingat mereka mengetahui hukum salah satunya, maka mereka sengaja menanyakan hukum yang lainnya, lalu Nabi Saw. menjelaskan hal tersebut kepada mereka. Perihalnya sama dengan pengertian sebuah hadis yang terdapat di dalam kitab Sahihain, yaitu bahwa mereka (para sahabat) pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang melakukan salawat buat Nabi Saw. Lalu Nabi Saw. menerangkannya kepada mereka, kemudian beliau bersabda kepada mereka:

«وَالسَّلَامُ مَا قَدْ عَلِمْتُمْ»

Dan mengenai salam adalah seperti apa yang telah kalian ketahui.

Menurut lafaz yang lain, ketika Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Al-Ahzab: 56)

Para sahabat bertanya, "Salam penghormatan kepadamu telah kami ketahui, tetapi bagaimanakah bersalawat untukmu?" Hingga akhir hadis. Demikian pula maksud pertanyaan yang terkandung pada hadis di atas.

Mengenai mafhum ayat, dikemukakan oleh Abu Saur. Pendapat ini lebih aneh daripada pendapat yang dikemukakan oleh Daud ditinjau dari berbagai seginya. Dikatakan demikian karena ia mengatakan, "Apabila budak-budak wanita tersebut telah kawin (lalu berbuat zina), maka dikenakan atasnya hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita merdeka yang telah kawin, yaitu hukuman rajam; padahal hukuman rajam itu tidak dapat dibagi dua. Maka budak perempuan yang berbuat zina tetap harus dikenai hukuman rajam. Sebelum ihsan (kawin), maka wajib dikenai hukuman dera sebanyak lima puluh kali."

Ternyata Abu Saur keliru dalam memahami ayat, dan pendapatnya bertentangan dengan pendapat jumhur ulama dalam hukum masalah ini. Bahkan Abu Abdullah Asy-Syafii pernah mengatakan bahwa kaum muslim tidak ada yang memperselisihkan bahwa tidak ada hukuman rajam terhadap budak dalam masalah zina.

Demikian itu karena ayat ini menunjukkan bahwa dikenakan atas mereka hukuman separo yang dikenakan terhadap wanita-wanita merdeka. Huruf alif dan lam pada lafaz al-muhsanat menunjukkan makna 'ahd (telah dimaklumi), mereka adalah wanita-wanita yang telah kawin yang disebutkan di permulaan ayat, melalui firman-Nya: Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman. (An-Nisa: 25)

Yang dimaksud adalah wanita-wanita saja, yakni janganlah ia mencoba kawin dengan wanita yang merdeka. Firman Allah Swt. yang mengatakan ‘separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa: 25) menunjukkan bahwa makna yang dimaksud dari hukuman tersebut ialah hukuman yang dapat diparo (dibagi), yaitu hukuman dera, bukan hukuman rajam.

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis untuk menjawab pendapat Abu Saur melalui riwayat Al-Hasan ibnu Sa'id, dari ayahnya, bahwa Safiyyah pernah berbuat zina dengan seorang lelaki dari Al-Hims. dan dari perbuatan zinanya itu lahirlah seorang bayi, lalu si bayi diakui oleh lelaki tersebut. Keduanya bersengketa di hadapan Khalifah Usman, dan Khalifah Usman mengajukan perkara ini kepada Ali ibnu Abu Talib. Maka Ali ibnu Abu Talib mengatakan, "Aku akan memutuskan terhadap keduanya dengan keputusan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., yaitu anak bagi firasy, sedangkan bagi pezina adalah batu." Lalu Ali mendera mereka masing-masing sebanyak lima puluh kali deraan.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dari mafhum (makna yang tidak tersirat) ayat ini ialah menjatuhkan hukuman yang ringan dengan mengingatkan hukuman yang paling berat. Dengan kata lain, hukuman yang diterima oleh budak wanita yang berbuat zina ialah separo hukuman yang diterima oleh wanita merdeka, sekalipun budak yang bersangkutan telah kawin. Pada asalnya tidak ada hukuman had dengan rajam atasnya, baik sebelum ataupun sesudah nikah; dan sesungguhnya hukuman had yang mereka terima (budak-budak uanita yang berzina) hanyalah hukuman dera dalam dua keadaan berdasarkan sunnah.

Pendapat ini dikatakan oleh penulis kitab Al-Ifsah. Dia menuturkan pendapat ini dari Imam Syafii melalui riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abdul Hakam. Imam Baihaqi meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah dan asarnya dari Imam Syafii. Tetapi pendapat ini sangat jauh dari pengertian lafaz ayat, karena sesungguhnya kami mengambil kesimpulan hukuman setengah wanita merdeka ini hanya dari ayat, bukan dari dalil lainnya. Bagaimana mungkin dapat disimpulkan setengah hukuman bila bukan dari ayat"'

Imam Baihaqi mengatakan, bahkan makna yang dimaksud ialah bila si budak dalam keadaan telah kawin, tiada seorang pun yang berhak menegakkan hukuman had terhadap dirinya selain Imam. Dalam keadaan seperti ini tuan si budak tidak boleh menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Pendapat ini merupakan salah satu pendapat di kalangan mazhab Imam Ahmad. Sebelum kawin si tuan boleh menegakkan hukuman had terhadapnya. Hukuman had dalam dua keadaan tersebut (belum kawin dan sudah kawin) adalah separo hukuman had orang merdeka.

Pendapat ini pun jauh dari kebenaran, karena di dalam ayat ini tidak terkandung pengertian yang menunjukkan ke arah itu. Seandainya tidak ada ayat, niscaya kita tidak akan mengetahui bagaimanakah hukuman tansif terhadap budak-budak belian yang berbuat zina. Jika tidak ada ayat ini, sudah dipastikan hukuman mereka dimasukkan ke dalam keumuman makna ayat yang menyatakan hukuman had secara sempurna, yaitu seratus kali dera atau dirajam, seperti yang tampak jelas pada makna lahiriahnya.

Dalam pembahasan di atas disebutkan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Hai manusia sekalian, tegakkanlah hukuman had atas budak-budak kalian, baik yang telah kawin maupun yang belum kawin." Sedangkan hadis-hadis yang disebutkan di atas tidak mengandung rincian antara budak yang telah kawin dan lainnya, seperti hadis Abu Hurairah yang dijadikan hujah oleh jumhur ulama, yaitu:

"إِذَا زَنَتْ أمةُ أحدِكم فَتَبَيَّنَ زِناهَا فَليجْلِدها الحدَّ وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْها"

Apabila budak perempuan seseorang di antara kalian berbuat zina dan perbuatan zinanya itu terbuktikan, hendaklah ia menderanya sebagai hukuman had, dan tidak boleh dimaki-maki.

Kesimpulan makna ayat menyatakan bahwa apabila seorang budak berbuat zina, maka ada beberapa pendapat, seperti penjelasan berikut:

Pertama, dikenai hukuman had lima puluh kali dera, baik telah kawin ataupun belum. Akan tetapi, apakah dibuang; ada tiga pendapat mengenainya. Pendapat pertama mengatakan dibuang, pendapat kedua mengatakan tidak dibuang sama sekali, dan pendapat yang ketiga mengatakan dibuang selama setengah tahun, yaitu separo hukuman orang merdeka. Perbedaan pendapat ini terjadi di kalangan mazhab Imam Syafii.

Menurut Imam Abu Hanifah, pembuangan merupakan hukuman ta'zir dan bukan termasuk bagian dari hukuman had. Sebenarnya hukum pembuangan ini semata-mata pendapat Imam belaka; jika ia melihat perlu dijatuhkan, maka ia melaksanakannya; dan jika ia melihat tidak perlu, maka ia boleh meniadakannya, baik terhadap pihak laki-laki ataupun pihak wanita yang bersangkutan.

Menurut Imam Malik, sesungguhnya hukuman pembuangan ini hanya diberlakukan terhadap pihak laki-laki (yang berzina), tidak untuk pihak wanita, karena pembuangan bertentangan dengan citra memelihara kehormatannya; dan tidak ada suatu dalil pun yang menyatakan hukuman pembuangan terhadap pihak laki-laki, tidak pula terhadap pihak wanita.

Memang sehubungan dengan masalah ini ada hadis Ubadah dan Abu Hurairah menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan terhadap seorang yang berbuat zina hukuman pembuangan selama satu tahun dan menjatuhkan hukuman had terhadapnya. Demikianlah menurut riwayat Imam Bukhari. Tetapi hal ini hanya khusus diberlakukan terhadap orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, tujuan utama dari hukuman pembuangan ialah adanya jaminan terpelihara, sedangkan faktor ini tidak dapat terpenuhi jika si terpidananya adalah wanita.

Kedua, seorang budak wanita bila melakukan zina didera lima puluh kali bila telah kawin, dan hanya dikenai hukuman pukulan sepantasnya sebagai hukuman ta'zir bila ia belum kawin.

Dalam pembahasan di atas disebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa budak wanita yang belum kawin (bila berbuat zina) tidak dikenai hukuman pukulan. Jika yang dimaksudkan ialah meniadakan hukuman tersebut, berarti bertentangan dengan takwil. Jika tidak demikian pengertiannya, berarti sama dengan pendapat yang kedua.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa budak wanita bila berbuat zina sebelum kawin dikenai hukuman dera seratus kali, dan bila sudah kawin hanya dikenai lima puluh kali dera, seperti pendapat yang terkenal dari Daud. Pendapat ini sangat lemah.

Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa ia dikenai hukuman dera sebelum kawin, yaitu sebanyak lima puluh kali dera. Jika ia telah kawin dikenai hukuman rajam. Pendapat ini dikatakan oleh Abu Saur, dan pendapat ini dinilai lemah pula; hanya Allah yang mengetahui pendapat yang benar.

*******************

Firman Allah Swt.:

ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ

Yang demikian itu adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kalian. (An-Nisa: 25)

Sesungguhnya diperbolehkan mengawini budak-budak wanita dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas, hanyalah bagi orang yang merasa khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan zina, dan dirinya tidak sabar menahan keinginan penyaluran biologisnya. Bila keinginan ini ditahannya, maka akan menyebabkan dirinya kepayahan. Dalam keadaan seperti ini ia diperbolehkan mengawini budak perempuan. Tetapi jika ia tidak mengawininya dan berjihad melawan hawa nafsunya agar jangan berzina, hal ini lebih baik baginya. Dikatakan demikian karena bila ia terpaksa mengawini budak wanita, kelak anak-anaknya yang akan lahir menjadi budak-budak bagi tuannya. Kecuali jika suaminya adalah seorang laki-laki asing, maka anak-anak yang akan lahir darinya bukan menjadi budak lagi, menurut qaul qadim Imam Syafii.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 25)

Dari ayat ini jumhur ulama menyimpulkan dalil yang memperbolehkan mengawini budak-budak perempuan, dengan syarat bila lelaki yang bersangkutan tidak mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita yang merdeka, karena takut akan terjerumus ke dalam perbuatan zina. Dikatakan demikian karena menikahi budak perempuan akan menimbulkan mafsadat bagi anak-anaknya kelak karena mereka akan menjadi budak seperti ibunya. Juga karena perbuatan beralih menikahi budak wanita dengan meninggalkan wanita merdeka merupakan perbuatan yang rendah.

Imam Abu Hanifah dan semua muridnya berpendapat berbeda dengan jumhur ulama sehubungan dengan kedua syarat ini. Untuk itu mereka mengatakan, manakala lelaki yang bersangkutan belum pernah kawin dengan wanita merdeka, diperbolehkan baginya mengawini budak perempuan yang mukminah dan yang Ahli Kitab, baik ia mempunyai perbelanjaan yang cukup untuk mengawini wanita merdeka atau tidak, dan baik ia takut terjerumus ke dalam perbuatan zina atau tidak; semuanya sama saja, tidak ada pengaruhnya.

Dalil yang menjadi pegangan mereka (jumhur ulama) ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:

وَالْمُحْصَناتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)

Yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang memelihara kehormatannya, pengertiannya umum mencakup wanita merdeka dan budak. Ayat ini mengandung makna yang umum dan surat An-Nisa ayat 25 jelas maknanya, menurut pendapat jumhur ulama.


يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌۭ 26

(26) Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

(26) 

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia akan menjelaskan kepada kalian, hai orang-orang mukmin, hal-hal yang dihalalkan bagi kalian dan hal-hal yang diharamkan bagi kalian melalui hal-hal yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya dan yang lainnya.

وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

dan memberi kalian petunjuk kepada jalan-jalan orang yang sebelum kalian. (An-Nisa: 26)

Yaitu jalan-jalan mereka yang terpuji agar kalian mengikuti syariat-syariat-Nya yang disukai dan diridai-Nya.

وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ

Dan Allah hendak menerima tobat kalian. (An-Nisa: 26)

dari semua dosa dan semua perbuatan haram.

وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nisa: 26)

Yakni dalam syariat-Nya, dalam takdir-Nya, dalam semua perbuatan dan ucapan-Nya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيماً

sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (An-Nisa: 27)

Para pengikut setan dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta para tuna susila bertujuan menyimpangkan kalian dari kebenaran menuju kepada kebatilan dengan penyimpangan yang sejauh-jauhnya.

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ

Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian. (An-Nisa: 28)

Yaitu dalam syariat-syariat-Nya, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, serta semua yang ditakdirkan-Nya bagi kalian. Karena itu, Dia memperbolehkan kalian mengawini budak-budak perempuan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28)

Maka adanya keringanan ini sangatlah sesuai, mengingat kondisi manusia itu lemah, begitu pula tekad dan kemauannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28) Yakni terhadap perkara wanita. Menurut Waki', akal lelaki lemah bila menghadapi wanita.

Musa a.s. kalimullah a.s. berkata kepada Nabi kita Muhammad Saw. ketika beliau menjalani isra dan bersua dengannya di saat baru kembali dari Sidratul Muntaha, "Apakah yang telah difardukan atas kalian?" Nabi Saw. menjawab, "Allah memerintahkan kepadaku mengerjakan salat lima puluh kali setiap sehari semalam." Nabi Musa a.s. berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya, karena sesungguhnya umatmu pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah menguji manusia dengan tugas yang lebih ringan dari itu, tetapi ternyata mereka tidak mampu; dan sesungguhnya umatmu memiliki pendengaran, penglihatan, dan kalbu yang lebih lemah (daripada umatku)."

Maka Nabi Saw. kembali, dan diringankan sebanyak sepuluh kali, lalu Nabi Saw. kembali lagi kepada Musa. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya tinggal salat lima waktu.