4 - النساء - An-Nisaa

Juz : 4

The Women
Medinan

وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلشَّهَوَٰتِ أَن تَمِيلُوا۟ مَيْلًا عَظِيمًۭا 27

(27) Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).

(27) 

Firman Allah Swt.:

وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيماً

sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). (An-Nisa: 27)

Para pengikut setan dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta para tuna susila bertujuan menyimpangkan kalian dari kebenaran menuju kepada kebatilan dengan penyimpangan yang sejauh-jauhnya.

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ


يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًۭا 28

(28) Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.

(28) 

Allah hendak memberikan keringanan kepada kalian. (An-Nisa: 28)

Yaitu dalam syariat-syariat-Nya, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, serta semua yang ditakdirkan-Nya bagi kalian. Karena itu, Dia memperbolehkan kalian mengawini budak-budak perempuan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28)

Maka adanya keringanan ini sangatlah sesuai, mengingat kondisi manusia itu lemah, begitu pula tekad dan kemauannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya sehubungan dengan firman-Nya: dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa: 28) Yakni terhadap perkara wanita. Menurut Waki', akal lelaki lemah bila menghadapi wanita.

Musa a.s. kalimullah a.s. berkata kepada Nabi kita Muhammad Saw. ketika beliau menjalani isra dan bersua dengannya di saat baru kembali dari Sidratul Muntaha, "Apakah yang telah difardukan atas kalian?" Nabi Saw. menjawab, "Allah memerintahkan kepadaku mengerjakan salat lima puluh kali setiap sehari semalam." Nabi Musa a.s. berkata, "Kembalilah kepada Tuhanmu, dan mintalah keringanan kepada-Nya, karena sesungguhnya umatmu pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah menguji manusia dengan tugas yang lebih ringan dari itu, tetapi ternyata mereka tidak mampu; dan sesungguhnya umatmu memiliki pendengaran, penglihatan, dan kalbu yang lebih lemah (daripada umatku)."

Maka Nabi Saw. kembali, dan diringankan sebanyak sepuluh kali, lalu Nabi Saw. kembali lagi kepada Musa. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya tinggal salat lima waktu.


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا 29

(29) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

(29) 

Allah Swt. melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta cara-cara lainnya yang termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai cara yang diakui oleh hukum syara', tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). Demikianlah yang terjadi pada kebanyakannya.

Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul MuSanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian. Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)

Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli, telah menceritakan kepada kami lbnul Futlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh dan tidak akan dimansukh sampai hari kiamat.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29) Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita makan pada orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tiada dosa atas orang-orang tuna netra. (Al-Fath: 17), hingga akhir ayat.

Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Qatadah.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُمْ

terkecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (An-Nisa: 29)

Lafaz tijaratan dapat pula dibaca tijaratun. ungkapan ini merupakan bentuk istisna munqati'. Seakan-akan dikatakan, "Janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan, tetapi berniagalah menurut peraturan yang diakui oleh syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka di antara pihak pembeli dan pihak penjual; dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat." Perihalnya sama dengan istisna yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. (Al-An'am: 151)

Juga seperti yang ada di dalam firman-Nya:

لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلَّا الْمَوْتَةَ الْأُولى

mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. (Ad-Dukhan: 56)

Berangkat dari pengertian ayat ini, Imam Syafii menyimpulkan dalil yang mengatakan tidak sah jual beli itu kecuali dengan serah terima secara lafzi (qabul), karena hal ini merupakan bukti yang menunjukkan adanya suka sama suka sesuai dengan makna nas ayat. Lain halnya dengan jual beli secara mu'atah, hal ini tidak menunjukkan adanya saling suka sama suka, adanya sigat ijab qabul itu merupakan suatu keharusan dalam jual beli.

Tetapi jumhur ulama. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad berpendapat berbeda. Mereka mengatakan, sebagaimana ucapan itu menunjukkan adanya suka sama suka. begitu pula perbuatan, ia dapat menunjukkan kepastian adanya suka sama suka dalam kondisi tertentu. Karena itu, mereka membenarkan keabsahan jual beli secara mu'atah (secara mutlak).

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jual beli mu'atah hanya sah dilakukan terhadap hal-hal yang kecil dan terhadap hal-hal yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai jual beli. Tetapi pendapat ini adalah pandangan hati-hati dari sebagian ulama ahli tahqiq dari kalangan mazhab Syafii.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (An-Nisa: 29) Baik berupa jual beli atau ata yang diberikan dari seseorang kepada orang lain. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Al-Qasim, dari Sulaiman Al-Ju'fi, dari ayahnya, dari Maimun ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ وَالْخِيَارُ بَعْدَ الصَّفْقَةِ، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَغُشَّ مُسْلِمًا»

Jual beli harus dengan suka sama suka, dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya.

Hadis ini berpredikat mursal.

Faktor yang menunjukkan adanya suka sama suka secara sempurna terbukti melalui adanya khiyar majelis. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا»

Penjual dan pembeli masih dalam keadaan khiyar selagi keduanya belum berpisah.

Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari disebutkan seperti berikut:

«إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا»

Apabila dua orang lelaki melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar selagi keduanya belum berpisah.

Orang yang berpendapat sesuai dengan makna hadis ini ialah Imam Ahmad dan Imam Syafii serta murid-murid keduanya, juga kebanyakan ulama Salaf dan ulama Khalaf.

Termasuk ke dalam pengertian hadis ini adanya khiyar syarat sesudah transaksi sampai tiga hari berikutnya disesuaikan menurut apa yang dijelaskan di dalam transaksi mengenai subyek barangnya, sekalipun sampai satu tahun, selagi masih dalam satu kampung dan tempat lainnya yang semisal. Demikianlah menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik.

Mereka menilai sah jual beli mu'atah secara mutlak. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Syafii. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa jual beli secara mu'atah itu sah hanya pada barang-barang yang kecil yang menurut tradisi orang-orang dinilai sebagai jual beli. Pendapat ini merupakan hasil penyaringan yang dilakukan oleh segolongan ulama dari kalangan murid-murid Imam Syafii dan telah disepakati di kalangan mereka.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ

Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. (An-Nisa: 29)

Yakni dengan mengerjakan hal-hal yang diharamkan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat terhadap-Nya serta memakan harta orang lain secara batil.

إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُمْ رَحِيماً

sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (An-Nisa: 29)

Yaitu dalam semua perintah-Nya kepada kalian dan dalam semua larangannya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عمْران بْنِ أَبِي أَنَسٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَير، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ لَمَّا بَعَثَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ ذَاتِ السَّلَاسِلِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ، فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِي صَلَاةَ الصُّبْحِ، قَالَ: فَلَمَّا قدمتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: "يَا عَمْرُو صَلَّيت بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ! " قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي احْتَلَمْتُ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيدَةِ الْبَرْدِ، فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أهلكَ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ اللَّهِ [عز وَجَلَّ] وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ. فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa ketika Nabi Saw. mengutusnya dalam Perang Zatus Salasil, di suatu malam yang sangat dingin ia bermimpi mengeluarkan air mani. Ia merasa khawatir bila mandi jinabah, nanti akan binasa. Akhirnya ia terpaksa bertayamum, lalu salat Subuh bersama teman-temannya. Amr ibnul As melanjutkan kisahnya, "Ketika kami kembali kepada Rasulullah Saw., maka aku ceritakan hal tersebut kepadanya. Beliau bersabda, 'Hai Amr, apakah kamu salat dengan teman-temanmu, sedangkan kamu mempunyai jinabah?'. Aku (Amr) menjawab, 'Wahai Rasulullah Saw., sesungguhnya aku bermimpi mengeluarkan air mani di suatu malam yang sangat dingin, hingga aku merasa khawatir bila mandi akan binasa, kemudian aku teringat kepada firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (An-Nisa: 29) Karena itu, lalu aku bertayamum dan salat.' Maka Rasulullah Saw tertawa dan tidak mengatakan sepatah kata pun."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud melalui hadis Yahya ibnu Ayyub, dari Yazid ibnu Abu Habib.

Ia meriwayatkan pula dari Muhammad ibnu Abu Salamah, dari Ibnu Wahb, dari Ibnu Luhai'ah, dan Umar ibnul Haris; keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Imran ibnu Abu Anas, dari Abdur Rahman ibnu Jubair Al-Masri, dari Abu Qais maula Amr ibnul As, dari Amr ibnul As. Lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Pendapat ini —Allah lebih mengetahui— lebih dekat kepada kebenaran.

قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ مَرْدُوَيه: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَامِدٍ البَلْخِي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ صَالِحِ بْنِ سَهْلٍ الْبَلْخِيُّ، حدثنا عُبَيد عبد اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ، حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ صَلَّى بِالنَّاسِ وَهُوَ جُنُب، فَلَمَّا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَدَعَاهُ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، خفْتُ أَنْ يَقْتُلَنِي الْبَرْدُ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ [إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا] قَالَ: فَسَكَتَ عَنْهُ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Abu Bakar ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad ibnu Hamid Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh ibnu Sahl Al-Balkhi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa'd, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Amr ibnul As pernah salat menjadi imam orang-orang banyak dalam keadaan mempunyai jinabah. Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw., lalu mereka menceritakan kepadanya hal tersebut. Rasulullah Saw. memanggil Amr dan menanyakan hal itu kepadanya. Maka Amr ibnul As menjawab, "Wahai Rasulullah, aku merasa khawatir cuaca yang sangat dingin akan membunuhku (bila aku mandi jinabah), sedangkan Allah Swt. telah berfirman: 'Dan janganlah kalian membunuh diri kalian' (An-Nisa: 29), hingga akhir ayat." Maka Rasulullah Saw. diam, membiarkan Amr ibnul As.

Kemudian sehubungan dengan ayat ini Ibnu Murdawaih mengetengahkan sebuah hadis melalui Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«من قتل نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ، فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ، يَجَأُ بِهَا بَطْنَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِسُمٍّ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ، يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَهُوَ مُتَرَدٍّ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا»

Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sebuah besi, maka besi itu akan berada di tangannya yang dipakainya untuk menusuki perutnya kelak di hari kiamat di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Dan barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan racun, maka racun itu berada di tangannya untuk ia teguki di dalam neraka Jahannam dalam keadaan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

Hadis ini ditetapkan di dalam kitab Sahihain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abuz Zanad dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.

Dari Abu Qilabah, dari Sabit ibnu Dahhak r.a. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, maka kelak pada hari kiamat dia akan diazab dengan sesuatu itu.

Al- Jama'ah telah mengetengahkan hadis tersebut dalam kitabnya dari jalur Abu Qilabah.

Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Al-Hasan dari Jundub ibnu Abdullah Al-Bajli dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«كَانَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ بِهِ جُرْحٌ فَأَخَذَ سِكِّينًا نَحَرَ بها يده، فما رقأ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ «عَبْدِي بَادَرَنِي بِنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan umat sebelum kalian yang terluka, lalu ia mengambil sebuah pisau dan memotong urat nadi tangannya, lalu darah terus mengalir hingga ia mati. Allah Swt. berfirman, "Hamba-Ku mendahului Izin)-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga atas dirinya."

*******************

Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ عُدْواناً وَظُلْماً

Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya. (An-Nisa: 3)

Maksudnya, barang siapa yang melakukan hal-hal yang diharamkan Allah terhadap dirinya dengan melanggar kebenaran dan aniaya dalam melakukannya. Yakni dia mengetahui keharaman perbuatannya dan berani melanggarnya:

فَسَوْفَ نُصْلِيهِ ناراً

maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. (An-Nisa: 3)

Ayat ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang dikukuhkan. Karena itu, semua orang yang berakal dari kalangan orang-orang yang mempunyai pendengaran dan menyaksikan hendaklah bersikap hati-hati dan waspada.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئاتِكُمْ

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31)

Apabila kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kalian mengerjakannya. maka Kami akan menghapus dosa-dosa kecil kalian, dan Kami masukkan kalian ke dalam surga. Oleh karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيماً

dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga). (An-Nisa: 31)

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Ayyub, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah. dari Anas yang mengatakan, "Kami belum pernah melihat hal yang semisal dengan apa yang disampaikan kepada kami dari Tuhan kami, kemudian kami rela keluar meninggalkan semua keluarga dan harta benda, yaitu diberikan pengampunan bagi kami atas semua dosa selain dosa-dosa besar." Allah Swt. telah berfirman: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.

Banyak hadis yang berkaitan dengan makna ayat ini. Berikut ini akan kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم عَنْ مُغِيرة، عَنْ أَبِي مَعْشَر، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ قَرْثَع الضَّبِّي، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَدْرِي مَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ؟ " قُلْتُ: هُوَ الْيَوْمَ الَّذِي جَمَعَ اللَّهُ فِيهِ أَبَاكُمْ. قَالَ: "لَكِنْ أدْرِي مَا يَوْمُ الجُمُعَةِ، لَا يَتَطَهَّرُ الرَّجُلُ فيُحسِنُ طُهُوره، ثُمَّ يَأْتِي الجُمُعة فيُنصِت حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ صَلَاتَهُ، إِلَّا كَانَ كَفَّارَةً لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ، مَا اجْتُنبت الْمَقْتَلَةُ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hassyim, dari Mugirah, dari Abu Ma'syar, dari Ibrahim, dari Marba' Ad-Dabbi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepadanya, "Tahukah kamu, apakah hari Jumat itu?" Salman Al-Farisi menjawab, "Hari Jumat adalah hari Allah menghimpun kakek moyangmu (yakni hari kiamat terjadi pada hari Jumat)." Nabi Saw. bersabda: Tetapi aku mengetahui apakah hari Jumat itu. Tidak sekali-kali seorang lelaki bersuci dan ia melakukannya dengan baik, lalu ia mendatangi salat Jumat dan diam mendengarkan khotbah hingga imam menyelesaikan salatnya, melainkan hari Jumat itu merupakan penghapus bagi dosa-dosa (kecil)nya antara Jumat itu sampai Jumat berikutnya selagi dosa-dosa yang membinasakan (dosa besar) dijauhi (nya).

Imam Bukhari meriwayatkan hal yang semisal dari jalur yang lain, melalui Salman.

قَالَ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى [بْنُ إِبْرَاهِيمَ] حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، حَدَّثَنِي خَالِدٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ المُجْمر، أَخْبَرَنِي صُهَيْبٌ مَوْلَى العُتْوارِي، أَنَّهُ سَمِعَ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ يَقُولَانِ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ: "وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ" -ثَلَاثَ مَرَّاتٍ-ثُمَّ أكَبَّ، فَأَكَبَّ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَبْكِي، لَا نَدْرِي عَلَى مَاذَا حَلَفَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَفِي وَجْهِهِ الْبِشْرُ فَكَانَ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ حُمْر النَّعَم، فَقَالَ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي الصَّلَواتِ الخمسَ، ويَصُومُ رمضانَ، ويُخرِج الزَّكَاةَ، ويَجْتنبُ الْكَبَائِرَ السَّبعَ، إِلَّا فُتِحتْ لَهُ أبوابُ الجَنَّةِ، ثُمَّ قِيلَ لَهُ: ادْخُل بسَلامٍ".

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Khalid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Na'im Al-Mujammar, telah menceritakan kepadaku Suhaib maula As-sawari; ia pernah mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa'id menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. di suatu hari berkhotbah kepada para sahabat. Beliau Saw. bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya." Kalimat ini diucapkannya tiga kali, lalu beliau menundukkan kepalanya. Maka masing-masing dari kami menundukkan kepala pula seraya menangis; kami tidak mengetahui apa yang dialami oleh beliau. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya, sedangkan pada roman wajahnya tampak tanda kegembiraan; maka hal tersebut lebih kami sukai ketimbang mendapatkan ternak unta yang unggul. Lalu Nabi Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang hamba salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan menjauhi tujuh dosa besar, melainkan dibukakan baginya semua pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya, "Masuklah dengan selamat."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Al-Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkan pula —juga Ibnu Hibban— di dalam kitab sahihnya melalui hadis Abdullah ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris', dari Sa'id ibnu Abu Hilal dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.


وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا 30

(30) Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

(30) 

Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ عُدْواناً وَظُلْماً

Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya. (An-Nisa: 30)

Maksudnya, barang siapa yang melakukan hal-hal yang diharamkan Allah terhadap dirinya dengan melanggar kebenaran dan aniaya dalam melakukannya. Yakni dia mengetahui keharaman perbuatannya dan berani melanggarnya:

فَسَوْفَ نُصْلِيهِ ناراً

maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. (An-Nisa: 30)

Ayat ini mengandung ancaman keras dan peringatan yang dikukuhkan. Karena itu, semua orang yang berakal dari kalangan orang-orang yang mempunyai pendengaran dan menyaksikan hendaklah bersikap hati-hati dan waspada.


إِن تَجْتَنِبُوا۟ كَبَآئِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًۭا كَرِيمًۭا 31

(31) Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).

(31) 

Firman Allah Swt.:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئاتِكُمْ

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31)

Apabila kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kalian mengerjakannya. maka Kami akan menghapus dosa-dosa kecil kalian, dan Kami masukkan kalian ke dalam surga. Oleh karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيماً

dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga). (An-Nisa: 31)

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Hisyam, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Ayyub, dari Mu'awiyah ibnu Qurrah. dari Anas yang mengatakan, "Kami belum pernah melihat hal yang semisal dengan apa yang disampaikan kepada kami dari Tuhan kami, kemudian kami rela keluar meninggalkan semua keluarga dan harta benda, yaitu diberikan pengampunan bagi kami atas semua dosa selain dosa-dosa besar." Allah Swt. telah berfirman: Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil). (An-Nisa: 31), hingga akhir ayat.

Banyak hadis yang berkaitan dengan makna ayat ini. Berikut ini akan kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم عَنْ مُغِيرة، عَنْ أَبِي مَعْشَر، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ قَرْثَع الضَّبِّي، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ: قَالَ لِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَدْرِي مَا يَوْمُ الْجُمُعَةِ؟ " قُلْتُ: هُوَ الْيَوْمَ الَّذِي جَمَعَ اللَّهُ فِيهِ أَبَاكُمْ. قَالَ: "لَكِنْ أدْرِي مَا يَوْمُ الجُمُعَةِ، لَا يَتَطَهَّرُ الرَّجُلُ فيُحسِنُ طُهُوره، ثُمَّ يَأْتِي الجُمُعة فيُنصِت حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ صَلَاتَهُ، إِلَّا كَانَ كَفَّارَةً لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ، مَا اجْتُنبت الْمَقْتَلَةُ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hassyim, dari Mugirah, dari Abu Ma'syar, dari Ibrahim, dari Marba' Ad-Dabbi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda kepadanya, "Tahukah kamu, apakah hari Jumat itu?" Salman Al-Farisi menjawab, "Hari Jumat adalah hari Allah menghimpun kakek moyangmu (yakni hari kiamat terjadi pada hari Jumat)." Nabi Saw. bersabda: Tetapi aku mengetahui apakah hari Jumat itu. Tidak sekali-kali seorang lelaki bersuci dan ia melakukannya dengan baik, lalu ia mendatangi salat Jumat dan diam mendengarkan khotbah hingga imam menyelesaikan salatnya, melainkan hari Jumat itu merupakan penghapus bagi dosa-dosa (kecil)nya antara Jumat itu sampai Jumat berikutnya selagi dosa-dosa yang membinasakan (dosa besar) dijauhi (nya).

Imam Bukhari meriwayatkan hal yang semisal dari jalur yang lain, melalui Salman.

قَالَ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى [بْنُ إِبْرَاهِيمَ] حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، حَدَّثَنِي خَالِدٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ نُعَيْمٍ المُجْمر، أَخْبَرَنِي صُهَيْبٌ مَوْلَى العُتْوارِي، أَنَّهُ سَمِعَ مِنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ يَقُولَانِ: خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ: "وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ" -ثَلَاثَ مَرَّاتٍ-ثُمَّ أكَبَّ، فَأَكَبَّ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَبْكِي، لَا نَدْرِي عَلَى مَاذَا حَلَفَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَفِي وَجْهِهِ الْبِشْرُ فَكَانَ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ حُمْر النَّعَم، فَقَالَ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي الصَّلَواتِ الخمسَ، ويَصُومُ رمضانَ، ويُخرِج الزَّكَاةَ، ويَجْتنبُ الْكَبَائِرَ السَّبعَ، إِلَّا فُتِحتْ لَهُ أبوابُ الجَنَّةِ، ثُمَّ قِيلَ لَهُ: ادْخُل بسَلامٍ".

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, telah menceritakan kepadaku Khalid, dari Sa'id ibnu Abu Hilal, dari Na'im Al-Mujammar, telah menceritakan kepadaku Suhaib maula As-sawari; ia pernah mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa'id menceritakan hadis berikut, bahwa Rasulullah Saw. di suatu hari berkhotbah kepada para sahabat. Beliau Saw. bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya." Kalimat ini diucapkannya tiga kali, lalu beliau menundukkan kepalanya. Maka masing-masing dari kami menundukkan kepala pula seraya menangis; kami tidak mengetahui apa yang dialami oleh beliau. Setelah itu beliau mengangkat kepalanya, sedangkan pada roman wajahnya tampak tanda kegembiraan; maka hal tersebut lebih kami sukai ketimbang mendapatkan ternak unta yang unggul. Lalu Nabi Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang hamba salat lima waktu, puasa Ramadan, menunaikan zakat, dan menjauhi tujuh dosa besar, melainkan dibukakan baginya semua pintu surga, kemudian dikatakan kepadanya, "Masuklah dengan selamat."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Nasai dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Al-Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Hakim meriwayatkan pula —juga Ibnu Hibban— di dalam kitab sahihnya melalui hadis Abdullah ibnu Wahb, dari Amr ibnul Haris', dari Sa'id ibnu Abu Hilal dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.


وَلَا تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًۭا 32

(32) Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(32) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ibnu Abu Nujaih dan dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah r.a. pernah berkata, "Wahai Rasulullah, kaum pria dapat ikut berperang, sedangkan kami (kaum wanita) tidak dapat ikut berperang, dan bagi kami hanya separo warisan (yang diterima lelaki)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)

Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ibnu Abu Umar, dari Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah, bahwa ia pernah menceritakan hadis berikut. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis. Imam Turmuzi mengatakan hadis ini garib.

Salah seorang dari mereka (perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, bahwa Ummu Salamah r.a. pernah bertanya, "Wahai Rasulullah," hingga akhir hadis.

Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadis As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang menceritakan bahwa Ummu Salamah pernah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa kami tidak dapat berperang dan tidak dapat mati syahid, dan mengapa kami tidak dapat mewaris (sepenuhnya)?" Maka turunlah ayat ini, dan Allah menurunkan pula firman-Nya:

أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى

Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan. (Ali Imran: 195)

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ibnu Abu Nujaih dengan lafaz yang sama.

Yahya Al-Qattan dan Waki' ibnul Jarrah meriwayatkan dari As-Sauri, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ummu Salamah yang telah menceritakan, "Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah,' hingga akhir hadis."

Diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan serta Khasif hal yang semisal.

Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Ibnu Juraij, dari Ikrimah dan Mujahid; keduanya pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ummu Salamah.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang syekh dari kalangan ulama Mekah yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan kaum wanita yang mengatakan, "Aduhai, seandainya kita menjadi kaum pria, niscaya kami akan berjihad sebagaimana mereka berjihad dan kami dapat ikut berperang di jalan Allah Swt."

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Qasim ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan keadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Ishaq, dari Ja'far (yakni Ibnu Abul Mugirah), dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, seorang lelaki mendapat warisan dua kali lipat seorang wanita, dan kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang lelaki, padahal kami dalam beramal sama saja. Tetapi jika seorang wanita melakukan suatu kebaikan, maka yang dicatatkan baginya adalah separo pahala kebaikan (yang dilakukan oleh seorang lelaki)." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian iri hati. (An-Nisa: 32), hingga akhir ayat.

Dengan kata lain, sesungguhnya hal tersebut merupakan tindakan yang adil dari-Ku. Akulah yang membuatnya.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa kaum laki-laki mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami beroleh pahala dua kali lipat pahala kaum wanita, seperti halnya kami memperoleh dua bagian dalam harta warisan." Kaum wanita mengatakan, "Sesungguhnya kami menghendaki agar kami memperoleh pahala yang sama dengan para syuhada, karena kami tidak mampu berperang. Seandainya diwajibkan atas kami berperang, niscaya kami akan berperang pula." Allah menolak hal tersebut dan berfirman kepada mereka, "Mintalah oleh kalian kepada-Ku sebagian dari kemurahan-Ku." Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa yang dimaksud ialah bukan yang berkaitan dengan harta duniawi."

Diriwayatkan hal yang sama dari Qatadah.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, janganlah seorang lelaki berharap melalui ucapannya, "Aduhai, sekiranya aku mempunyai harta dan istri seperti yang dimiliki oleh si Fulan." Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, tetapi hendaklah dia memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.

Al-Hasan, Muhammad ibnu Sirin, Ata, dan Ad-Dahhak mengatakan hal yang semisal. Pengertian ini merupakan makna lahiriah dari ayat. Akan tetapi, tidak termasuk ke dalam pengertian ini hal berikut yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, yaitu:

"لَا حَسَد إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فسَلَّطَه عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، فَيَقُولُ رَجُلٌ: لَوْ أَنَّ لِي مِثْلَ مَا لِفُلَانٍ لعَمِلْتُ مِثْلَهُ. فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ"

Tidak boleh dengki kecuali dalam dua hal, yaitu (terhadap) seorang lelaki yang dianugerahi oleh Allah harta yang banyak, lalu ia menginfakkan (membelanjakan)nya di jalan yang hak, dan ada lelaki lain mengatakan, "Seandainya aku mempunyai apa yang semisal dengan yang dipunyai oleh si Fulan, niscaya aku akan mengamalkan hal yang sama," kedua-duanya beroleh pahala yang sama.

Maka sesungguhnya iri hati yang disebutkan di dalam hadis ini bukan termasuk hal yang dilarang oleh ayat ini. Demikian itu karena hadis menganjurkan berharap untuk memperoleh nikmat yang semisal dengan apa yang diperoleh si Fulan. Sedangkan makna ayat dilarang berharap mempunyai kebendaan yang semisal dengan apa yang dimiliki oleh si Fulan tersebut.

*******************

Allah Swt. berfirman:

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ

Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (An-Nisa: 32)

Yakni yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi; demikian pula dengan masalah-masalah agama, karena berdasarkan kepada hadis Ummu Salamah dan Ibnu Abbas.

Hal yang sama dikatakan oleh Ata ibnu Abu Rabah, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan larangan mengharapkan dapat memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain, berkenaan dengan harapan kaum wanita yang menginginkan agar mereka seperti laki-laki sehingga mereka dapat berperang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Kemudian Allah Swt. berfirman:

لِلرِّجالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّساءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ

(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (An-Nisa: 32)

Dengan kata lain, setiap imbalan disesuaikan dengan amal perbuatannya. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya pun baik; jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya pun buruk pula. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dengan hal tersebut berkaitan dengan masalah miras (warisan). Dengan kata lain, setiap ahli waris mendapat bagian sesuai dengan kedudukannya dengan si mayat. Demikianlah menurut Al-Wabili dari Ibnu Abbas.

Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka untuk melakukan hal yang bermaslahat buat diri mereka.

Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَسْئَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ

dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. (An-Nisa: 32)

Dengan kata lain, janganlah kalian iri terhadap apa yang telah Kami lebihkan buat sebagian dari kalian atas sebagian yang lain, karena sesungguhnya hal ini merupakan takdir. Dengan kata lain, berharap untuk memperolehnya merupakan hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Tetapi mintalah kalian sebagian dari kemurahan-Ku, niscaya Aku akan memberi kalian, karena sesungguhnya Aku Maha Mulia lagi Pemberi.

Imam Turmuzi dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Hammad ibnu Waqid, bahwa ia pernah mendengar Israil menceritakan hadis berikut dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"سلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِه؛ فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُسْأَلَ وَإِنَّ أَفْضَلَ الْعِبَادَةِ انْتِظَارُ الْفَرَجِ".

Mohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta. Dan sesungguhnya ibadah yang paling afdal (utama) ialah menunggu jalan keluar.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Waqid, tetapi Hammad ibnu Waqid bukan orang yang hafiz.

Abu Na'im meriwayatkannya dari Israil dari Hakim ibnu Jubair, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Na'im lebih dekat kepada predikat kesahihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Waki', dari Israil.

Kemudian Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Qais ibnur Rabi', dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yarig mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"سَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِه، فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يُسأل، وَإِنَّ أحبَّ عِبَادِهِ إِلَيْهِ الَّذِي يُحب الْفَرَجَ"

Memohonlah kalian kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka bila diminta, dan sesungguhnya hamba Allah yang paling disukai oleh-Nya ialah orang yang suka (menunggu) jalan keluar.

*******************

Kemudian Allah Swt. berfirman:

إِنَّ اللَّهَ كانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32)

Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh duniawi, lalu Dia memberinya sebagian dari duniawi; juga terhadap orang yang berhak mendapat kemiskinan, lalu Dia membuatnya miskin. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak mendapat pahala ukhrawi, lalu Dia memberinya taufik untuk mengamalkannya. Dia Maha Mengetahui terhadap orang yang berhak memperoleh kehinaan, lalu Dia membuatnya hina hingga tidak dapat melakukan kebaikan dan penyebab-penyebabnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa: 32).


وَلِكُلٍّۢ جَعَلْنَا مَوَٰلِىَ مِمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ ۚ وَٱلَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَٰنُكُمْ فَـَٔاتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ شَهِيدًا 33

(33) Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

(33) 

Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Saleh, Qatadah, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah warasah (para ahli waris).

Menurut riwayat lain yang dari Ibnu Abbas, mawali artinya para 'asabah (ahli waris laki-laki).

Ibnu Jarir mengatakan, orang-orang Arab menamakan anak paman (saudara sepupu) dengan sebutan maula. Seperti yang dikatakan oleh Al-Fadl ibnu Abbas dalam salah satu bait syairnya, yaitu:

مَهْلا بَنِي عَمّنا مَهْلا مَوالينا ... لَا تُظْهِرَن لَنَا ما كَانَ مدفُونا

Tunggulah, hai anak-anak paman kami, mawali kami, jangan sekali-kali tampak di antara kita hal-hal yang sejak lalu terpendam!

Ibnu Jarir mengatakan, yang dimaksud oleh firman-Nya: dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat. (An-Nisa: 33) Yakni berupa harta peninggalan kedua orang tua dan kaum kerabat.

Takwil ayat: Bagi masing-masing dari kalian, hai manusia, telah kami jadikan para 'asabah yang akan mewarisinya, yaitu dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua dan kaum kerabatnya sebagai warisannya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ

Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)

Yaitu terhadap orang-orang yang kalian telah bersumpah setia atas nama iman yang dikukuhkan antara kalian dan mereka, berikanlah kepada mereka bagiannya dari harta warisan itu, seperti halnya terhadap hal-hal yang telah kalian janjikan dalam sumpah-sumpah yang berat. Sesungguhnya Allah menyaksikan perjanjian dan transaksi yang terjadi di antara kalian.

Ketentuan hukum ini berlaku di masa permulaan Islam, kemudian hukum ini dimansukh sesudahnya. Tetapi mereka tetap diperintahkan agar memenuhi janji terhadap orang-orang yang mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mereka tidak boleh melupakan keberadaan transaksi yang telah mereka lakukan setelah ayat ini diturunkan.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Umamah, dari Idris, dari Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan Kami jadikan pewaris-pewaris. (An-Nisa: 33) Yang dimaksud dengan mawali dalam ayat ini ialah pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33) Dahulu ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah; seorang Muhajir mewarisi harta seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena persaudaraan yang telah digalakkan oleh Nabi Saw. di antara mereka. Tetapi ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah Swt.: Bagi tiap-tiap harta peninggalan, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33) Maka hukum tersebut dimansukh. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, sedangkan hak waris sudah ditiadakan dan yang ada baginya adalah bagian dari wasiat.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa Abu Usamah mendengar dari Idris, dan Idris mendengar dari Talhah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33), hingga akhir ayat. Dahulu kaum Muhajirin ketika tiba di Madinah; seorang Muhajir dapat mewaris seorang Ansar, bukan kaum kerabat orang Ansar itu sendiri, karena berkat persaudaraan yang dicanangkan oleh Rasulullah Saw. di antara mereka. Ketika diturunkan firman-Nya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabatnya, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33) maka ketentuan tersebut dimansukh, kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا حَجّاج، عَنِ ابْنِ جُرَيْج -وَعُثْمَانُ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ فَكَانَ الرَّجُلُ قَبْلَ الْإِسْلَامِ يُعَاقِدُ الرَّجُلَ، يَقُولُ: تَرِثُنِي وَأَرِثُكَ وَكَانَ الْأَحْيَاءُ يَتَحَالَفُونَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كُلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَوْ عَقْد أدْرَكَه الإسلامُ، فَلَا يَزِيدُه الإسلامُ إِلَّا شدَّةً، وَلَا عَقْد وَلَا حِلْفٌ فِي الإسلامِ". فَنَسَخَتْهَا هَذِهِ الْآيَةُ: وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabbah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Dahulu sebelum Islam, seorang lelaki mengadakan transaksi perjanjian dengan lelaki lain, lalu ia mengatakan kepadanya, "Engkau dapat mewarisiku dan aku dapat mewarisimu." Hal seperti ini telah membudaya di kalangan banyak kabilah, yakni saling bersumpah setia. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Setiap sumpah setia atau transaksi perjanjian di masa Jahiliah, kemudian dijumpai oleh masa Islam, maka Islam tidak menambahkan kepadanya melainkan hanya memperkuatnya; tetapi tidak ada transaksi dan tidak ada sumpah setia lagi di masa Islam. Kemudian ketentuan tersebut dimansukh oleh ayat ini, yaitu firman-Nya: Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitabullah. (Al-Anfal: 75)

Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Ibnul Musayyab, Abu Saleh, Sulaiman ibnu Yasar, Asy-Sya'bi, Ikrimah, As-Saddi, Ad-Dahhak, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka (yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka) adalah hulafa (saudara sepakta).

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'id ibnu Ibrahim yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada sumpah pakta dalam Islam. Tetapi sumpah pakta apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya memperkuatnya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Said ibnu Ibrahim, dari Nafi', dari Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شَرِيكٌ، عَنْ سِمَاك، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا مُصْعَبُ بْنُ الْمِقْدَامِ، عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ يُونُسَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ، وكلُّ حِلْف كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّة، وَمَا يَسُرُّني أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَم وَإِنِّي نَقَضْتُ الحِلْفَ الَّذِي كَانَ فِي دَارِ النَّدْوة"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Syarik, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Telah menceritakan pula kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnul Miqdam, dari Israil, dari Yunus, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman maula keluarga Talhah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf (sumpah pakta) dalam Islam; dan setiap hilf yang terjadi di masa Jahiliah, maka Islam tidak menambahkan kepadanya, melainkan hanya mengukuhkannya. Dan tidak menggembirakan diriku bila aku mempunyai ternak unta, sedangkan aku berbuat melanggar hilf yang pernah dilakukan di Darun Nudwah.

Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "شهِدتُ حِلْف المُطيَّبين، وَأَنَا غُلامٌ مَعَ عُمُومتي، فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَم وَأَنَا أنكثُهُ". قَالَ الزُّهْرِيُّ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَمْ يُصب الإسلامُ حِلْفا إِلَّا زَادَهُ شِدَّةً". قَالَ: "وَلَا حِلْف فِي الْإِسْلَامِ". وَقَدْ أَلَّفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya, dari Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Aku menyaksikan hilf Tayyibin ketika aku masih berusia remaja bersama paman-pamanku, dan aku tidak suka bila aku mempunyai ternak unta yang unggul, tetapi harus dengan melanggar hilf tersebut. Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali Islam memperoleh hilf melainkan menambahkan kepadanya kekukuhan. Nabi Saw. telah bersabda pula: Tidak ada hilf dalam Islam. Sesungguhnya Nabi Saw. pernah menyatukan antara orang-orang Quraisy dan orang-orang Ansar.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Bisyr ibnul Mufaddal, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri dengan selengkapnya.

وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، أَخْبَرَنِي مُغِيرَةُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ: أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحِلْفِ، قَالَ: فَقَالَ: "مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا حِلْفٍ فِي الْإِسْلَامِ".

Telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepadaku Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang hilf, maka Nabi Saw. bersabda: Hilf yang dilakukan di masa Jahiliah pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf lagi di dalam Islam.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ahmad, dari Hasyim.

وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا وَكِيع، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ جُدْعان، عَنْ جَدَّتِهِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا حِلْف فِي الْإِسْلَامِ، وَمَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً"

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Daud ibnu Abu Abdullah, dari ibnu Jad'an, dari neneknya dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf dalam Islam; dan hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.

وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: لَمَّا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ قَامَ خَطِيبًا فِي النَّاسِ فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، لَمْ يَزِدْه الإسْلامُ إِلَّا شِدَّةً، وَلَا حِلْفَ فِي الإسلامِ".

Telah menceritakan kepada kami Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Saw. memasuki Mekah pada hari kemenangan atas kota Mekah, maka beliau berdiri seraya berkhotbah kepada orang-orang banyak. Beliau bersabda: Hai manusia sekalian, hilf yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan, tetapi tidak ada hilf dalam Islam.

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya melalui hadis Husain Al-Mu'allim dan Abdur Rahman ibnul Haris dari Amr ibnu Syu'aib dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو أُسَامَةَ، عَنْ زَكَرِيَّا، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لَا حِلْفَ فِي الإسْلامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْه الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jubair ibnu Mut'im yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah ibnu Muhammad (yaitu Abu Bakar ibnu Abu Syaibah) dengan sanadnya dan dengan lafaz yang semisal.

Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Usman, dari Muhammad ibnu Abu Syaibah, dari Muhammad ibnu Bisyr dan Ibnu Numair serta Abu Usamah, ketiga-tiganya dari Zakaria (yaitu Ibnu Abu Zaidah) dengan sanadnya dan dengan lafaz yang semisal.

Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Muhammad ibnu Bisyr dengan lafaz yang sama.

Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui hadis Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq, dari Zakaria, dari Sa'd ibnu Ibrahim, dari Nafi' ibnu Jubair ibnu Mut'im, dari ayahnya dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: مُغِيرَةُ أَخْبَرَنِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ شُعْبَةَ بْنِ التَّوْأَمِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ: أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحِلْفِ، فَقَالَ: "مَا كَانَ مِنْ حِلْفٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَمَسَّكُوا بِهِ، وَلَا حِلْفَ فِي الإسْلامِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari ayahnya, dari Syu'bah ibnut Tauam, dari Qais ibnu Asim, bahwa ia pernah berta-nya kepada Nabi Saw. tentang hilf. Maka beliau Saw. bersabda: Terhadap hilf yang telah terjadi di masa Jahiliah, pegang teguhlah oleh kalian, tetapi tidak ada hilf dalam Islam.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Syu'bah, dari Mugirah, (yaitu Ibnu Miqsam), dari ayahnya dengan lafaz yang sama.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain yang menceritakan bahwa ia pernah belajar kepada Ummu Sa'd bintir Rabi' bersama anak laki-laki Ummu Sa'd (Musa ibnu Sa'd); saat itu ia sebagai seorang anak yatim yang berada di dalam pemeliharaan Abu Bakar. Lalu ia membaca firman-Nya kepada Ummu Sa'd dengan qiraah (bacaan) berikut:

والذين عاقدت أَيْمَانُكُمْ

Dan (jika ada) orang-orang yang bersumpah setia kepada kalian. (An-Nisa: 33) Maka Ummu Sa'd menjawab, "Tidak begitu, tetapi seperti ini," yaitu:

وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ

Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33)

Ummu Sa'd berkata, "Sesungguhnya ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa Abu Bakar dan anaknya (yakni Abdur Rahman), yaitu ketika Abdur Rahman menolak masuk Islam. Maka Abu Bakar bersumpah bahwa ia tidak akan memberinya warisan. Tetapi setelah Abdur Rahman masuk Islam —saat Islam mulai melakukan peperangan—, maka Allah memerintahkan agar Abu Bakar memberikan bagian warisan kepada Abdur Rahman.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula.

Akan tetapi, pendapat ini garib. Pendapat yang sahih adalah yang pertama tadi, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut terjadi pada permulaan Islam, mereka saling mewaris melalui hilf (sumpah setia), kemudian ketentuan ini dimansukh (dihapuskan).

Tetapi bekas pengaruh dari tradisi hilf masih membekas, sekalipun mereka diperintahkan agar menunaikan janji-janji dan semua transaksi serta hilf yang pernah mereka lakukan sebelum itu.

Dalam hadis Jubair ibnu Mut'im yang disebutkan di atas, juga sahabat lainnya menyebutkan:

لَا حِلْفَ فِي الْإِسْلَامِ، وَأَيُّمَا حِلْفٍ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَزِدْهُ الْإِسْلَامُ إِلَّا شِدَّةً.

Tidak ada hilf dalam Islam, dan hilf apa pun yang terjadi di masa Jahiliah, Islam tidak menambahkan kepadanya kecuali kekukuhan.

Hadis ini merupakan nas yang membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa di masa sekarang ada saling mewaris karena hilf, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal.

Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh jumhur ulama, Imam Malik, dan Imam Syafii serta Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya. Mengingat firman Allah Swt. menyebutkan:

وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ

Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. (An-Nisa: 33)

Yaitu para pewaris dari kalangan kaum kerabatnya yang dari seibu sebapak, juga kaum kerabat lainnya; merekalah yang akan mewarisi hartanya, bukan orang lain.

Seperti yang ditetapkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ»

Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada pemiliknya masing-masing; dan apa yang masih tersisa, maka berikanlah kepada kerabat lelaki yang paling dekat.

Dengan kata lain, bagikanlah harta warisan kepada ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam dua ayat faraid; dan sisa yang masih ada sesudah pembagian tersebut, berikanlah kepada asabah.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمانُكُمْ

Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33)

Yakni sebelum turunnya ayat ini.

فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ

maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33)

Yaitu dari harta warisan yang ada. Maka hilf apa pun yang dilakukan sesudah itu, hilf tidak berarti lagi. Menurut suatu pendapat, sesungguhnya ayat ini memansukh hilf di masa mendatang, juga hukum hilf di masa yang lalu; maka tidak ada saling mewaris lagi di antara orang-orang yang terlibat di dalam hilf (sumpah setia).

Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepada kami Idris Al-Audi, telah menceritakan kepadaku Talhah ibnu Musarrif, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Yaitu berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat; diberikan wasiat kepadanya, tetapi tidak ada hak waris lagi baginya.

Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Abu Usamah. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid serta Abu Malik dengan lafaz yang semisal.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka. (An-Nisa: 33) Di masa lalu seorang lelaki mengadakan transaksi dengan lelaki lain yang isinya menyatakan bahwa siapa saja di antara keduanya meninggal dunia, maka ia dapat mewarisinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

وَأُولُوا الْأَرْحامِ بَعْضُهُمْ أَوْلى بِبَعْضٍ فِي كِتابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلى أَوْلِيائِكُمْ مَعْرُوفاً

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)

Allah Swt. bermaksud kecuali jika kalian menetapkan suatu wasiat buat mereka, maka hal tersebut diperbolehkan diambil dari sepertiga harta peninggalan. Hal inilah yang kita maklumi. Hal yang sama di-naskan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf, bahwa hukum ini dimansukh oleh firman-Nya: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kalian mau berbuat baik kepada saudara-saudara (seagama) kalian. (Al-Ahzab: 6)

Menurut Sa'id ibnu Jubair, makna yang dimaksud ialah berikanlah kepada mereka bagian warisannya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa sahabat Abu bakar mengadakan transaksi dengan seorang maula (bekas budaknya), maka Abu Bakar dapat mewarisinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Az-Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyab, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang mengadopsi anak angkat, lalu anak-anak angkat mereka mewarisi hartanya. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya sehubungan dengan mereka, maka Dia menjadikan bagi mereka bagian dari wasiat, sedangkan warisan diberikan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mayat dari kalangan kaum kerabatnya dan para asabah-nya. Allah menolak adanya hak waris bagi anak angkat, dan hanya memberikan bagian bagi mereka melalui wasiat si mayat. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.

Ibnu Jarir mengatakan makna yang dimaksud oleh firman-Nya: maka berilah kepada mereka bagiannya. (An-Nisa: 33) Berupa pertolongan, bantuan, dan nasihat, bukan memberi mereka bagian warisan dari harta si mayat, tanpa mengatakan bahwa ayat ini dimansukh. Hal tersebut bukan pula merupakan suatu hukum di masa lalu yang kemudian dimansukh, melainkan ayat ini hanya menunjukkan kepada pengertian wajib menunaikan hilf yang telah disepakati, yaitu saling membantu dan saling menolong (bukan saling mewaris). Kesimpulan ayat ini bersifat muhkam dan tidak dimansukh. Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya di antara hilf itu ada yang isinya hanya menyatakan kesetiaan untuk saling membantu dan saling menolong, tetapi ada pula yang isinya menyatakan saling mewarisi, seperti yang diriwayatkan oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, bahwa dahulu seorang Muhajir dapat mewarisi seorang Ansar, bukan kaum kerabat atau famili si orang Ansar, lalu hukum ini dimansukh. Mana mungkin dikatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak dimansukh?