1 - الفاتحة - Al-Faatiha

Juz : 1

The Opening
Meccan

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ 1

(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

(1) 

Para sahabat memulai bacaan Kitabullah dengan basmalah, dan para ulama sepakat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari surat An-Naml. Kemudian mereka berselisih pendapat apakah basmalah merupakan ayat tersendiri pada permulaan tiap-tiap surat, ataukah hanya ditulis pada tiap-tiap permulaan surat saja. Atau apakah basmalah merupakan sebagian dari satu ayat pada tiap-tiap surat, atau memang demikian dalam surat Al-Fatihah, tidak pada yang lainnya; ataukah basmalah sengaja ditulis untuk memisahkan antara satu surat dengan yang lainnya, sedangkan ia sendiri bukan merupakan suatu ayat. Mengenai masalah ini banyak pendapat yang dikatakan oleh ulama, baik Salaf maupun Khalaf. Pembahasannya secara panjang lebar bukan diterangkan dalam kitab ini.

Di dalam kitab Sunan Abu Daud dengan sanad yang sahih:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

dari Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dahulu belum mengetahui pemisah di antara surat-surat sebelum diturunkan kepadanya: Bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim, yaitu Abu Abdullah An-Naisaburi, di dalam kitab Mustadrak-nya. Dia meriwayatkannya secara mursal dari Sa'id ibnu Jubair.

Di dalam kitab Sahih Ibnu Khuzaimah disebutkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah Saw. membaca basmalah pada permulaan surat Al-Fatihah dalam salatnya, dan beliau menganggapnya sebagai salah satu ayatnya.

Tetapi hadis yang melalui riwayat Umar ibnu Harun Balkhi, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah ini di dalam sanadnya terkandung kelemahan.

Imam Daruqutni ikut meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ . Hal semisal diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas serta selain keduanya

Di antara orang-orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari tiap surat kecuali surat Bara’ah (surat At-Taubah) adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, dan Abu Hurairah sedangkan dari kalangan tabi'in ialah Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair. dan Makhul Az-Zuhri. Pendapat inilah yang dipegang oleh Abdullah ibnu Mubarak, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya mengatakan bahwa basmalah bukan merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, bukan pula bagian dari surat-surat lainnya.

Imam Syafii dalam salah satu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian jalur mazhabnya menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari Al-Fatihah, tetapi bukan merupakan bagian dari surat lainnya. Diriwayatkan pula dari Imam Syafii bahwa basmalah adalah bagian dari satu ayat yang ada dalam permulaan tiap surat. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut garib (aneh).

Daud mengatakan bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri dalam permulaan tiap surat, dan bukan merupakan bagian darinya. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal. diriwayatkan pula oleh Abu Bakar Ar-Razi, dari Abul Hasan Al-Karkhi, yang keduanya merupakan pentolan murid-murid Imam Abu Hanifah.

Demikianlah pendapat-pendapat yang berkaitan dengan kedudukan basmalah sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah atau tidaknya.

Masalah pengerasan bacaan basmalah sesungguhnya merupakan cabang dari masalah di atas. Dengan kata lain, barang siapa berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan suatu ayat dari Al-Fatihah, dia tidak mengeraskan bacaannya. Demikian pula halnya bagi orang yang sejak awalnya berpendapat bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri.

Orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan suatu ayat dari permulaan setiap surat, berselisih pendapat mengenai pengerasan bacaannya. Mazhab Syafii mengatakan bahwa bacaan basmalah dikeraskan bersama surat Al-Fatihah, dan dikeraskan pula bersama surat lainnya. Pendapat ini bersumber dari berbagai kalangan ulama dari kalangan para sahabat para tabi'in. dan para imam kaum muslim. baik yang Salaf maupun Khalaf.

Dari kalangan sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Mu'awiyah. Bacaan keras basmalah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bar dan Imam Baihaqi. dari Umar dan Ali. Apa yang dinukil oleh Al-Khatib dari empat orang khalifah —yaitu Abu Bakar. Umar, Usman. dan Ali— merupakan pendapat yang garib.

Dari kalangan tabi'in yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Abu Qilabah, Az-Zuhri, Ali ibnul Husain dan anaknya (yaitu Muhammad serta Sa'id ibnul Musayyab), Ata, Tawus, Mujahid, Salim, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Ubaid dan Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, Abu Wail dan Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Munkadir, Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas dan anaknya (Muhammad), Nafi' maula Ibnu Umar, Zaid ibnu Aslam, Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Azraq ibnu Qais. Habib ibnu Abu Sabit. Abusy Syasa, Makhul, dan Abdullah ibnu Ma'qal ibnu Muqarrin. Sedangkan Imam Baihaqi menambahkan Abdullah ibnu Safwan, dan Muhammad ibnul Hanafiyyah menambahkan Ibnu Abdul Bar dan Amr ibni Dinar.

Hujah yang mereka pegang dalam mengeraskan bacaan basmalah adalah "Karena basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, maka bacaan basmalah dikeraskan pula sebagaimana ayat-ayat surat Al-Fatihah lainnya".

Telah diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya oleh Ibnu Khuzaimah serta Ibnu Hibban dalam kitab Sahih-nya masing-masing, juga oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Hurairah: bahwa ia melakukan salat dan mengeraskan bacaan basmalahnya; setelah selesai dari salatnya itu Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya aku adalah orang yang salatnya paling mirip dengan salat Rasulullah Saw. di antara kalian."

Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Daruqutni, Imam Khatib, Imam Baihaqi, dan lain-lainnya.

Abu Daud dan Turmuzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah membuka salatnya dengan bacaan bismilahir rahmanir rahim. Kemudian Turmuzi mengatakan bahwa sanadnya tidak mengandung kelemahan.

Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengeraskan bacaan bismillahir rahmanir rahim. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis tersebut sahih.

Di dalam Sahih Bukhari disebutkan melalui Anas ibnu Malik bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw., maka ia menjawab bahwa bacaan Nabi Saw. panjang, beliau membaca bismillahir rahmanir rahim dengan bacaan panjang pada bismillah dan Ar-Rahman serta Ar-Rahim. (Dengan kata lain, beliau Saw. mengeraskan bacaan basmalahnya).

Di dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Daud, Sahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Imam Hakim, disebutkan melalui Ummu Salamah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membacanya dengan cara berhati-hati pada setiap ayat, yaitu:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ. الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan ....

Ad-Daruqutni mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.

Imam Abu Abdullah Asy-Syafii meriwayatkan, begitu pula Imam Hakim dalam kitab Mustadrak-nya melalui Anas, bahwa Mu'awiyah pernah salat di Madinah; ia meninggalkan bacaan basmalah, maka orang-orang yang hadir (bermakmum kepadanya) dari kalangan Muhajirin memprotesnya. Ketika ia melakukan salat untuk yang kedua kalinya. barulah ia membaca basmalah.

Semua hadis dan asar yang kami ketengahkan di atas sudah cukup. dijadikan sebagai dalil yang dapat diterima guna menguatkan pendapat ini tanpa lainnya. Bantahan dan riwayat yang garib serta penelusuran jalur, ulasan, kelemahan-kelemahan serta penilaiannya akan dibahas pada bagian lain.

Segolongan ulama lainnya mengatakan bahwa bacaan basmalah dalam salat tidak boleh dikeraskan. Hal inilah yang terbukti dilakukan oleh empat orang khalifah, Abdullah ibnu Mugaffal. dan beberapa golongan dari ulama Salaf kalangan tabi'in dan ulama Khalaf, kemudian dipegang oleh mazhab Abu Hanifah, Imam Sauri, dan Ahmad ibnu Hambal.

Menurut Imam Malik, basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dengan suara keras ataupun perlahan. Mereka mengatakan demikian berdasarkan sebuah hadis di dalam Sahih Muslim melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ، والقراءة بالحمد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Rasulullah Saw. membuka salatnya dengan takbiratul ihram dan membuka bacaannya dengan al-hamdu lillahi rabbil 'alamina (yakni tanpa basmalah).

Di dalam kitab Sahihain yang menjadi dalil mereka disebutkan melalui Anas ibnu Malik yang mengatakan:

صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وعثمان فكانوا يفتتحون بالحمد لله رب العالمين.

Aku salat di belakang Nabi Saw., Abu Bakar, Umar, dan Us'man. Mereka membuka (bacaannya) dengan alhamdu lillahi rabbil 'alamina.

Menurut riwayat Imam Muslim, mereka tidak mengucapkan bismil-lahir rahmanir rahim, baik pada permulaan ataupun pada akhir bacaannya. Hal yang sama disebutkan pula dalam kitab-kitab Sunan melalui Abdullah ibnu Mugaffal r.a. Demikianlah dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh para imam dalam masalah ini, semuanya berdekatan, karena pada kesimpulannya mereka sangat sepakat bahwa salat orang yang mengeraskan bacaan basmalah dan yang memelankannya adalah sah.

Imam Abu Muhammad Abdur Rahman ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab Tafsirnya:

حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصَّنْعَانِيُّ، حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ وَهْبٍ الجَنَديّ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. فَقَالَ: "هُوَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ، وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اسْمِ اللَّهِ الْأَكْبَرِ، إِلَّا كَمَا بَيْنَ سَوَادِ الْعَيْنَيْنِ وَبَيَاضِهِمَا مِنَ الْقُرْبِ"

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah rnenceritakan kepada kami Ja'far ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Mubarak As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Wahb Al-Jundi. telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Usman bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang basmalah. Beliau menjawab: Basmalah merupakan salah satu dari nama-nama Allah; antara dia dan asma Allahu Akbar jaraknya tiada lain hanyalah seperti antara bagian hitam dari bola mata dan bagian putihnya karena saking dekatnya.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih, dari Sulaiman ibnu Ahmad, dari Ali ibnul Mubarak, dari Zaid ibnul Mubarak.

وَقَدْ رَوَى الْحَافِظُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقَيْنِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى، عَنْ مِسْعَر، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَسْلَمَتْهُ أُمُّهُ إِلَى الكتَّاب لِيُعَلِّمَهُ، فَقَالَ الْمُعَلِّمُ: اكتب، قال ما أكتب؟ قال: بسم اللَّهِ، قَالَ لَهُ عِيسَى: وَمَا بِاسْمِ اللَّهِ؟ قَالَ الْمُعَلِّمُ: مَا أَدْرِي. قَالَ لَهُ عِيسَى: الْبَاءُ بَهاءُ اللَّهِ، وَالسِّينُ سَنَاؤُهُ، وَالْمِيمُ مَمْلَكَتُهُ، وَاللَّهُ إِلَهُ الْآلِهَةِ، وَالرَّحْمَنُ رَحْمَنُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالرَّحِيمُ رَحِيمُ الْآخِرَةِ".

Al-Hafiz ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui dua jalur. dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam a.s. diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis. Kemudian si guru berkata kepadanya, Tulislah.' Isa a.s. bertanya, 'Apa yang harus aku tulis?' Si guru menjawab, 'Bismillah." Isa bertanya kepadanya, 'Apakah arti bismillah itu?' Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.' Isa menjawab, 'Huruf ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat'."

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Ibrahim ibnul Ala yang dijuluki dengan sebutan Ibnu Zabriq, dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari seseorang yang menceritakannya, dari Ibnu Mas'ud dan Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Kemudian ia menuturkan hadis ini, tetapi predikatnya garib (aneh) sekali. Barangkali berpredikat sahih sampai kepada orang selain Rasulullah Saw., dan barangkali hadis ini termasuk salah satu dari hadis israiliyat, bukan dari hadis yang marfu’. Juwaibir meriwayatkannya pula sebelum dia, dari Dahhak.

وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه، مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ لَمْ تَنْزِلْ عَلَى نَبِيٍّ غَيْرِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ وَغَيْرِي، وَهِيَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"

Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Yazid ibnu Khalid, dari Sulaiman ibnu Buraidah; sedangkan menurut riwayat lain dari Abdul Karim Abu Umayyah, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Telah diturunkan kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada seorang nabipun selain Sulaiman ibnu Daud dan aku sendiri, yaitu bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula berikut sanadnya melalui Abdul Karim Al-Kabir ibnul Mu'afa ibnu Imran, dari ayahnya, dari Umar ibnu Zar, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kalimat berikut: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang. Maka seluruh awan lari ke arah timur, angin hening tak bertiup, sedangkan lautan menggelora, semua binatang mendengar melalui telinga mereka, dan semua setan dirajam dari langit. Pada saat itu Allah Swt. bersumpah dengan menyebut keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak sekali-kali asma-Nya (yang ada dalam basmalah) diucapkan terhadap sesuatu melainkan Dia pasti memberkatinya.

Waki' mengatakan dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa barang siapa yang ingin diselamatkan oleh Allah dari Malaikat Zabaniyah yang jumlahnya sembilan belas (Zabaniyah adalah juru penyiksa neraka), hendaklah ia membaca: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Allah akan menjadikan sebuah surga baginya pada setiap huruf dari basmalah untuk menggantikan setiap Malaikat Zabaniah. Hal ini diketengahkan oleh Ibnu Atiyyah dan Al-Qurtubi, diperkuat dan didukung oleh Ibnu Atiyyah dengan sebuah hadis yang mengatakan,

"فَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا" لِقَوْلِ الرَّجُلِ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

"Sesungguhnya aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan (mencatat) perkataan seorang lelaki yang mengucapkan, 'rabbana walakal hamdu hamdan ka'siran tayyiban mubarakan fihi' (Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji dengan pujian yang sebanyak-banyaknya, baik lagi diberkati),

mengingat jumlah semua hurufnya ada sembilan belas." Dan dalil-dalil lainnya.

Imam Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا تَمِيمَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ رَدِيفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَثَرَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَعِس الشَّيْطَانُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ. فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ، وَقَالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ، وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ، تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيرَ مِثْلَ الذُّبَابِ".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abu Tamim yang menceritakan hadis dari orang yang pernah membonceng Nabi Saw. Si pembonceng menceritakan: Unta kendaraan Nabi Saw. terperosok, maka aku mengatakan, "Celakalah setan." Maka Nabi Saw. bersabda, "Janganlah kamu katakan, 'Celakalah setan,' karena sesungguhnya jika kamu katakan demikian, maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,' niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."

Demikian menurut riwayat Imam Ahmad.

Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya. telah meriwayatkan melalui hadis Khalid Al-Hazza, dari Abu Tamimah (yaitu Al-Hujaimi), dari Abul Malih ibnu Usamah ibnu Umair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah membonceng Nabi Saw. Selanjutnya dia menuturkan hadis hingga sampai pada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

لَا تَقُلْ هَكَذَا فَإِنَّهُ يَتَعَاظَمُ حَتَّى يَكُونَ كَالْبَيْتِ، وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَصْغُرُ حَتَّى يَكُونَ كَالذُّبَابَةِ

Jangan kamu katakan demikian, karena sesungguhnya setan nanti akan makin membesar hingga bentuknya seperti rumah. Tetapi katakanlah.”Bismillah" (dengan nama Allah), karena sesungguh-nya dia akan mengecil hingga bentuknya seperti lalat.

Demikian itu terjadi berkat kalimah bismillah. Karena itu, pada permulaan setiap perbuatan dan ucapan disunatkan terlebih dahulu membaca basmalah.

Membaca basmalah disunatkan pada permulaan khotbah, berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:

كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَجْذَمُ

Setiap perkara yang tidak dimulai dengan bacaan bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka perkara itu kurang sempurna.

Disunatkan membaca basmalah di saat hendak memasuki kamar kecil, berdasarkan sebuah hadis yang menganjurkannya.

Disunatkan pula membaca basmalah pada permulaan wudu, berdasarkan sebuah hadis yang disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan. melalui riwayat Abu Hurairah dan Sa'id ibnu Zaid serta Abu Sa'id secara. marfu’. yaitu:

لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut asma Allah (bismillah) dalam wudunya.

Hadis ini berpredikat hasan.

Di antara ulama ada yang mewajibkannya di saat hendak melakukan zikir, dan di antara mereka ada pula yang mewajibkannya secara mutlak. Membaca basmalah disunatkan pula di saat hendak melakukan penyembelihan, menurut mazhab Imam Syafii dan segolongan ulama. Ulama lain mengatakan wajib di kala hendak melakukan zikir, juga wajib secara mutlak menurut pendapat sebagian dari mereka, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain.

Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan hadis mengenai keutamaan basmalah, antara lain dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"إِذَا أَتَيْتَ أَهْلَكَ فَسَمِّ اللَّهَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ وُلِدَ لَكَ وَلَدٌ كُتِبَ لَكَ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ وَأَنْفَاسِ ذُرِّيَّتِهِ حَسَنَاتٌ"

Apabila kamu mendatangi istrimu, maka sebutlah asma Allah, karena sesungguhnya apabila ditakdirkan bagimu punya anak, niscaya akan dicatatkan bagimu kebaikan-kebaikan menurut bilangan helaan napasnya dan napas-napas keturunannya.

Akan tetapi, hadis ini tidak ada asalnya, dan aku (penulis: yakni Ibnu Katsir) belum pernah melihatnya dalam suatu kitab pun di antara kitab-kitab yang dapat dipegang, tidak pula pada yang lainnya.

Disunatkan membaca basmalah di saat hendak makan, seperti apa yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah:

"قُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"

Ucapkanlah bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.

Sebagian ulama mewajibkan membaca basmalah dalam keadaan seperti itu.

Disunatkan pula membaca basmalah di saat hendak melakukan senggama, seperti yang disebutkan dalam hadis Sahihain melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

«لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقَتْنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا» .

Seandainya seseorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan, "Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anugerahkan) kepada kami, "karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap anak itu untuk selama-lamanya.

Berawal dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam kalimat Bismillah. apakah berupa fi’l atau isim, keduanya sama-sama mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam Al-Qur'an.

Pendapat yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim. hingga bentuk lengkapnya menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai", contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:

وَقالَ ارْكَبُوا فِيها بِسْمِ اللَّهِ مَجْراها وَمُرْساها إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Hud: 41)

Orang yang memperkirakannya dalam bentuk fi’l, baik fi’l amar ataupun khabar (kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Al-'Alaq: 1)

Kedua pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat. Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala hendak melakukan semua hal yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah Swt.

Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. ialah: "Hai Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril berkata, "Katakanlah bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."

Jibril berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sebutlah asma Allah, bacalah dengan menyebut asma Allah —Tuhanmu— dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.

Apakah lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma (yang diberi nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:

Pertama, isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak; dikatakan pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.

Kedua, menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya.

Ketiga, menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan namanya.

Menurut pendapat yang terpilih di kalangan kami, isim bukan menunjukkan yang diberi nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma, sekalipun menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama). Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas Berarti Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang waktu yang tidak ada guna.

Kemudian dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma. Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tidak ada, seperti lafaz ma'dum (yang tidak ada). Adakalanya sesuatu itu mempunyai banyak isim (nama), seperti lafaz mutaradif (sinonim). Adakalanya isim-nya satu. sedangkan mu-samma-nya berbilang, seperti lafaz yang musytarak (satu lafaz yang mempunyai dua makna yang bertentangan). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma, dan isim merupakan lafaz, sedangkan musamma adalah penampilannya; musamma itu adakalanya merupakan zat yang mungkin atau wajib keberadaan zatnya. Lafaz an-nar (api) dan as-salj (es) seandainya merupakan musamma, niscaya orang yang menyebutnya akan merasakan panasnya api dan dinginnya es. Akan tetapi. tentu saja hal seperti ini tidak akan dikemukakan oleh orang yang berakal waras. Juga karena Allah Swt. telah berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها

Allah mempunyai asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu. (Al-A'raf: 18)

Nabi Saw. telah bersabda:

«إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا»

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan isim (nama).

Shahih: Bukhari 7392 dan Muslim 2677

Ini adalah nama yang banyak, tetapi musamma-nya adalah esa, yaitu Allah Swt. Allah pun telah berfirman: Allah mempunyai nama-nama. (Al-A'raf: 18) Allah telah meng-idafah-km nama-nama itu kepada dirinya, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar. (Al-Waqi'ah: 74)

Demikian pula yang lain-lainnya yang semisal; kesimpulannya menyatakan bahwa idafah memberikan pengertian mugayarah (perbedaan antara isim dan musamma). Allah Swt. telah berfirman: maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu. (Al-A'raf: 18)

Hal ini menunjukkan bahwa isim bukanlah zat Allah.

Sedangkan orang yang berpendapat bahwa isim adalah musamma, beralasan dengan firman-Nya:

تَبارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالْإِكْرامِ

Mahaagung nama Tuhanmu Yang mempunyai Kebesaran dan Karunia. (Ar-Rahman: 78)

Yang Mahaagung adalah Allah Swt, sebagai jawabannya ialah bahwa isim yang diagungkan untuk mengagungkan Zat Yang Mahasuci; demikian pula jika seorang lelaki mengatakan Zainab —yakni istrinya— tertalak, maka Zainab menjadi terceraikan. Seandainya isim bukanlah musamma, niscaya talak tidak akan jatuh kepadanya, dan tentu saja sebagai jawabannya dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah diri yang diberi nama Zainab terkena talak.

Ar-Razi mengatakan bahwa tasmiyah artinya "menjadikan isim ditentukan untuk diri orang yang bersangkutan", maka diri orang tersebut bukanlah isim-nya.

Allah adalah 'alam (nama) yang ditujukan kepada Tuhan Yang Mahaagung lagi Maha Tinggi. Menurut suatu pendapat, Allah adalah Ismul A'zam karena Dia memiliki semua sifat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ عالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهادَةِ هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ. هُوَ اللَّهُ الْخالِقُ الْبارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang menciptakan, Yang Mengadakan, Yang membentuk Rupa, Yang mempunyai nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Hasyr: 22-24)

Semua asma lainnya dianggap sebagai sifat-Nya, seperti yang dise-butkan di dalam firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها

Allah mempunyai asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu. (Al-A'raf: 18)

Allah Swt. berfirman:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى

Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai asma-ul husna (Al-Isra: 11)

Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ»

Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu; barang siapa menghitungnya (menghafalnya), niscaya masuk surga.

Hal seperti itu disebutkan pula di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Ibnu Majah, hanya di antara kedua riwayat terdapat perbedaan mengenai tambahan dan pengurangan lafaz.

Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan dari sebagian mereka bahwa Allah mempunyai lima ribu isim (nama); seribu nama terdapat di dalam Al-Qur'an dan sunnah yang sahih, seribu terdapat di dalam kitab Taurat, seribu di dalam kitab Injil, seribu di dalam kitab Zabur. dan yang seribu lagi di dalam Lauh Mahfuz.

Allah adalah isim yang tidak dimiliki oleh selain Allah sendiri Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena itu, maka dalam bahasa Arab tidak terdapat isytiqaq (bentuk asal) dari fi'il-nya. Segolongan kalangan ahli nahwu ada yang berpendapat bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tidak mempunyai isytiqaq. Pendapat ini dinukil oleh Al-Qurtubi dari sejumlah ulama, antara lain Imam Syafii, Al-Khattabi, Imamul Haramain, Imam Gazali, dan lain-lainnya.

Diriwayatkan dari Imam Khalil dan Imam Sibawaih bahwa huruf alif dan lam yang ada padanya merupakan lazimah. Imam Khattabi mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa kamu katakan, 'Ya Allah', tetapi kamu tidak dapat mengatakan, 'Ya Ar-Rahman.' Seandainya huruf alif dan lam ini bukan berasal dari lafaz itu sendiri, niscaya tidak boleh memasukkan huruf nida pada alif dan lam." Menurut pendapat yang lain, lafaz "Allah" mempunyai akar kata sendiri, dan mereka berpendapat demikian berpegang kepada ucapan seorang penyair, Ru'bah ibnul Ajjaj, yaitu:

لِلَّهِ دَرُّ الْغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ ... سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي

Hanya milik Allah-lah semua kebaikan yang dilahirkan oleh budak-budak perempuan penyanyi yang bersuara merdu itu, mereka bertasbih dan ber-istirja' karena menganggapkn sebagai dewa (penolong).

Penyair menjelaskan bentuk masdar-nya yaitu ta'alluh

(التَّأَلُّهُ)

, berasal dari fi’l aliha ya-lahu ilahah dan ta-alluhan

(أَلِهَ يَأْلَهُ إِلَاهَةً وَتَأَلُّهًا)

. Sebagaimana pula yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca firman-Nya dalam surat Al-A'raf ayat 127 dengan bacaan seperti berikut: Wayazaraka wailahataka

(ويذرك وآلهتك)

yang artinya menurut dia ialah "Dan meninggalkanmu serta tidak menganggapmu sebagai tuhan lagi". Dikatakan demikian karena Fir'aun disembah, sedangkan dia sendiri tidak menyembah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan yang lainnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz "Allah" mempunyai isytiqaq, berdalilkan firman-Nya:

وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّماواتِ وَفِي الْأَرْضِ

Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi. (Al-An'am: 3)

Sebagaimana pula yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:

وَهُوَ الَّذِي فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ

Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi. (Az-Zukhruf: 84)

Imam Sibawaih menukil dari Imam Khalil bahwa asal lafaz "Allah" adalah illahun

(إِلَاهٌ)

berwazan fi'alun

(فِعَالٍ)

, kemudian dimasukkan alif dan lam sebagai ganti hamzah hingga jadilah Allah. Imam Sibawaih mengatakan, perihalnya semisal dengan lafaz nasun

(النَّاسِ)

, bentuk asalnya adalah unasun

(أناس)

.

Menurut pendapat yang lain, asal lafaz "Allah" ialah lahun

(لَاهَ)

. kemudian masuklah alif dan lam untuk mengagungkan, hingga jadilah "Allah"; pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Sibawaih.

Seorang penyair mengatakan:

لَاهِ ابْنِ عَمِّكَ لَا أَفْضَلْتَ فِي حَسَبٍ ... عَنِّي وَلَا أَنْتَ دَيَّانِي فَتَخْزُونِي

Anak pamanmu merasa tinggi diri, padahal kamu tidak mempunyai keutamaan melebihiku dalam hal kehinaan, dan tidak pula kamu berhak mengadakan pembalasan kepadaku hingga kamu dapat menghinaku dengan seenaknya.

Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan seenaknya".

Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya, "lakinna huwallahu rabbi," bentuk asalnya ialah lakin ana, yakni "tetapi Aku".

Al-Qurtubi mengatakan. selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya "bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah Swt. membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana dikatakan oleh mereka wisyahun menjadi isyahun, dan wisadah menjadi isadah.

Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah alihtu ilafidan yang artinya "aku tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang lain-Nya, Allah Swt. telah berfirman;

أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman .... (Ar-Ra'd: 28)

Ar-Razi mengatakan. menurut pendapat yang lain berasal dari laha yaiuhu yang artinya "bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya"". Makna yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-N'ya dengan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" berasal dari alihar rajula ya-lahu; dikatakan demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi. Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجارُ عَلَيْهِ

sedang Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya. (Al-Mu’minun: 88)

Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya). (An-Nahl: 53),

Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَهُوَ يُطْعِمُ وَلا يُطْعَمُ

Dia memberi makan dan tidak diberi makan. (Al-An'am: 14),

Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ

Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah." (An-Nisa: 78)

Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan, antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:

الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ اللَّهِ

Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah. (Ibrahim: 1-2)

Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah Swt.:

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا

Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? (Maryam: 65)

Akan tetapi, berpegang kepada dalil tersebut untuk menunjukkan bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tak ber-musytaq, masih perlu dipertimbangkan.

Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa nama Allah Swt. berasal dari bahasa Ibrani, bukan bahasa Arab. Kemudian Ar-Razi menilai pendapat ini lemah, dan memang menurutnya pantas dinilai lemah. Ar-Razi pada mulanya meriwayatkan pendapat ini, kemudian ia mengatakan perlu diketahui bahwa semua makhluk itu terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang sampai ke tepi pantai lautan makrifat serta orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan kebingungan dan sahara kebodohan, seakan-akan mereka dalam keadaan hilang akal dan rohnya. Orang-orang yang sampai kepada makrifat berarti telah sampai ke haribaan cahaya Allah dan kemahaluasan sifat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. akhirnya mereka tenggelam ke dalam sifat As-shamad lebur ke dalam sifat Fard (esa). Maka terbuktilah bahwa setiap makhluk kebingungan untuk sampai kepada tingkat makrifat kepada-Nya.

Diriwayatkan dari Khalil ibnu Ahmad, dinamakan "Allah" karena semua makhluk mempertuhankan-Nya.

Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" musytaq dari makna irtifa' (tinggi) orang-orang Arab mengatakan lahat terhadap sesuatu yang tinggi. Mereka mengatakan lahat —yakni telah meninggi— bila matahari terbit.

Menurut pendapat lainnya lagi, lafaz "Allah" berasal dari kata alihar rajulu. yakni "bila lelaki tersebut beribadah"; dikatakan ta-al-laha bila dia melakukan ibadah. Ibnu Abbas membacakan firman-Nya, "wayazaraka wailahatuka", dengan kata lain bentuk asalnya adalah ilahun, kemudian hamzah-nya dibuang yang merupakan fa kalimah; setelah dimasuki alif lam, maka bertemulah dua huruf lam, yaitu 'ain fi’l dan lam zaidah. Selanjutnya lam pertama di-Idgam-kan kepada lam kedua, hingga keduanya secara lafzi menjadi satu lam yang di-tasydid-kan, kemudian di-tafkhim-kan karena tujuan mengagungkan, hingga jadilah Allah.

Keduanya merupakan isim yang berakar dari bentuk masdar Ar-Rahman dengan maksud mubalagah; lafaz Ar-Rahman lebih balig (kuat) daripada lafaz Ar-Rahim. Di dalam ungkapan Ibnu Jarir terkandung pengertian yang menunjukkan adanya riwayat yang menyatakan kesepakatan ulama atas hal ini. Di dalam kitab tafsir sebagian ulama Salaf terdapat keterangan yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, seperti yang telah disebutkan di dalam asar mengenai kisah Nabi Isa a.s. Disebutkan bahwa dia pernah mengatakan, "Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat."

Sebagian di antara mereka (ulama) ada yang menduga bahwa lafaz ini tidak ber-musytaq; karena seandainya ber-musytaq, niscaya tidak dihubungkan dengan sebutan subyek yang dibelaskasihani, dan Allah telah berfirman:

وَكانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً

Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)

Ibnul Anbari di dalam kitab Az-Zahir meriwayatkan dari Al-Mubarrad, bahwa ar-rahman adalah nama ibrani, bukan nama Arab. Dan Abu Ishaq Az-Zujaji di dalam kitab Ma'ani Al-Qur'an. bahwa Ahmad bin Yahya mengatakan, Ar-Rahim adalah nama Arab, dan Ar-Rahman nama Ibrani. Karena itu, di antara keduanya digabungkan. Abu Ishaq mengatakan, pendapat ini tidak disukai.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa lafaz ar-rahman mempunyai asal kata yaitu sebuah hadis yang diketengahkan oleh Imam Turmuzi dan dinilai sahih olehnya melalui Abdur Rahman ibnu Auf r.a. yang menceritakan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

«قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْتُهُ»

Allah Swt. berfirman, "Akulah Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah), Aku telah menciptakan rahim dan Aku belahkan salah satu nama-Ku buatnya. Maka barang siapa yang menghubungkannya, niscaya Aku berhubungan (dekat) dengannya; dan barang siapa yang memutuskannya, niscaya Aku putus (jauh) darinya.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa nas hadis ini mengandung isytiqaq (pengasalan kata), maka tidak ada maknanya untuk diperselisihkan dan dipertentangkan. Adapun orang-orang Arab ingkar terhadap nama Ar-Rahman karena kebodohan mereka terhadap Allah dan apa-apa yang diwajibkannya.

Selanjutnya Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut pendapat lain lafaz ar-rahman dan ar-rahim mempunyai makna yang sama; perihalnya sama dengan lafaz nadmana dan nadim, menurut Abu Ubaid. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sebuah isim yang ber-wazan fa'lana tidak sama dengan yang ber-wazan fa'ilun, karena wazan fa'-lana hanya dilakukan untuk tujuan mubalagah fi'il, yang dimaksud misalnya seperti ucapanmu rajulun gadbanu ditujukan kepada seorang lelaki yang pemarah. Sedangkan wazan fa'ilun adakalanya menunjukkan makna fa'il dan adakalanya menunjukkan makna maful.

Abu Ali Al-Farisi mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang mengandung makna umum dipakai untuk semua jenis rahmat yang khusus dimiliki oleh Allah Swt., sedangkan ar-rahim hanya di-khususkan buat orang-orang mukmin saju, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa keduanya merupakan isim yang menunjukkan makna lemah lembut, sedangkan salah satu di antaranya lebih lembut daripada yang lainnya, yakni lebih kuat makna rahmat-nya daripada yang lain.

Kemudian diriwayatkan dari Al-Khattabi dan lain-lainnya bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengartikan sifat ini, dan mereka mengatakan barangkali makna yang dimaksud ialah lembut, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam sebuah hadis, yaitu:

«إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ ويعطي عَلَى الرِّفْقِ مَا لَا يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ»

Sesungguhnya Allah Mahalembut, Dia mencintai sikap lembut dalam semua perkara, dan Dia memberi kepada sikap yang lembut pahala yang tidak pernah Dia berikan kepada sikap yang kasar.

Ibnul Mubarak mengatakan makna ar-rahman ialah "bila diminta memberi", sedangkan makna ar-rahim ialah "bila tidak diminta marah", sebagaimana pengertian dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Abu Saleh Al-Farisi Al-Khauzi, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عليه»

Barang siapa yang tidak pernah meminta kepada Allah, niscaya Allah murka terhadapnya.

Salah seorang penyair mengatakan:

اللَّهُ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ ... وَبُنَيُّ آدَمَ حين يسأل يغضب

Allah murka bila kamu tidak meminta kepada-Nya, sedangkan Bani Adam bila diminta pasti marah.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Zufar yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Azrami berkata sehubungan dengan makna ar-rahmanir rahim, "Ar-Rahman artinya Maha Pemurah kepada semua makhluk (baik yang kafir ataupun yang mukmin), sedangkan Ar-Rahim Maha Penyayang kepada kaum mukmin."

Mereka (para ulama ahli tafsir) mengatakan, mengingat hal tersebut dinyatakan di dalam firman-Nya:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

kemudian Dia ber-istiwa di atas Arasy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah. (Al-Furqan: 59)

Di dalam firman lainnya disebutkan pula:

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى

Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arasy. (Thaha: 5)

Allah menyebut nama Ar-Rahman untuk diri-Nya dalam peristiwa ini agar semua makhluk memperoleh kemurahan rahmat-Nya. Dalam ayat lain Allah Swt. telah berfirman:

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (Al-Ahzab: 43)

Maka Dia mengkhususkan nama Ar-Rahim untuk mereka. Mereka mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa lafaz ar-rahman mempunyai pengertian mubalagah dalam kasih sayang, mengingat kasih sayang bersifat umum —baik di dunia maupun di akhirat— bagi semua makhluk-Nya. Sedangkan lafaz ar-rahim dikhususkan bagi hamba-Nya yang beriman. Akan tetapi, memang di dalam sebuah doa yang ma'sur disebut "Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, Yang Maha Penyayang di dunia dan di akhirat".

Nama Ar-Rahman hanya khusus bagi Allah Swt. semata, tiada selain-Nya yang berhak menyandang nama ini, sebagaimana dinyata-kan di dalam firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى

Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan narna yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 11)

Dalam ayat lainnya lagi Allah Swt. telah berfirman:

وَسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنا أَجَعَلْنا مِنْ دُونِ الرَّحْمنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah!" (Az-Zukhruf: 45)

Ketika Musailamah Al-Kazzab (si pendusta) melancarkan provokasi-nya, dia menamakan dirinya dengan julukan "Rahmanul Yamamah". Maka Allah mendustakannya dan membuatnya terkenal dengan julukan Al-Kazzab (si pendusta); tidak sekali-kali ia disebut melainkan dengan panggilan Musailamah Al-Kazzab, sehingga dia dijadikan sebagai peribahasa dalam hal kedustaan di kalangan penduduk perkotaan dan penduduk perkampungan serta kalangan orang-orang Badui yang bertempat tinggal di Padang Sahara.

Sebagian ulama menduga bahwa lafaz ar-rahim lebih balig dari-pada lafaz ar-rahman, karena lafaz ar-rahim dipakai sebagai kata penguat sifat, sedangkan suatu lafaz yang berfungsi sebagai taukid (penguat) tiada lain kecuali lafaz yang bermakna lebih kuat daripada lafaz yang dikukuhkan. Sebagai bantahannya dapat dikatakan bahw dalam masalah ini subyeknya bukan termasuk ke dalam Bab "Taukid", melainkan Bab "Na'at" (Sifat); dan apa yang mereka sebutkan tentangnya idak wajib diakui. Berdasarkan ketentuan ini, maka lafaz ar-rahman tidak layak disandang selain Allah Swt. Karena Dialah yang pertama kali menamakan diri-Nya Ar-Rahman hingga selain-Nya tidak boleh menyandang sifat ini. sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam firman-Nya: Katakanlah,

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى

"Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 11)

Sesungguhnya Musailamah Al-Kazzab dari Yamamah secara kurang ajar berani menamakan dirinya dengan sebutan "Ar-Rahman" hanya karena dia sesat, dan tiada yang mau mengikutinya kecuali hanya orang-orang sesat seperti dia.

Adapun lafaz ar-rahim, maka Allah Swt. menyifati selain diri-Nya dengan sebutan ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

لَقَدْ جاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُفٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari 'kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (At-Taubah: 128)

Sebagaimana Dia pun menyifatkan selain-Nya dengan sebagian dari asma-asma-Nya. seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْناهُ سَمِيعاً بَصِيراً

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (Al-Insan: 2)

Dapat disimpulkan bahwa sebagian dari asma-asma Allah ada yang dapat disandang oleh selain-Nya dan ada yang tidak boleh dijadikan nama selain-Nya, seperti lafaz Allah, Ar-Rahman, Ar-Raziq, dan Al-Khaliq serta lain-lainnya yang sejenis. Karena itulah dimulai dengan sebutan nama Allah, kemudian disifati dengan ar-rahman karena lafaz ini lebih khusus dan lebih makrifat daripada lafaz ar-rahim. Karena penyebutan nama pertama harus dilakukan dengan nama paling mulia, maka dalam urutannya diprioritaskan yang lebih khusus.

Jika ditanyakan, "Bila lafaz ar-rahman lebih kuat mubalagah-nya, mengapa lafaz ar-rahim juga disebut, padahal sudah cukup dengan menyebut ar-rahman saja?" Telah diriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani yang maknanya sebagai berikut: Mengingat ada yang menamakan dirinya dengan sebutan ar-rahman selain Dia, maka didatangkanlah lafaz ar-rahim untuk membantah dugaan yang tidak benar itu, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang berhak disifati dengan julukan ar-rahmanir rahim kecuali hanya Allah semata. Demikian yang diriwayatkan oleh lbnu Jarir, dari Ata, selanjutnya Ibnu Jarirlah yang mengulasnya.

Tetapi sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga bahwa orang-orang Arab pada mulanya tidak mengenal kata ar-rahman sebelum Allah memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan itu melalui firman-Nya:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى

Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asma-ul husna (nama-nama yang terbaik)." (Al-Isra: 11)

Karena itulah orang-orang kafir Quraisy di saat Perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan —yaitu ketika Rasulullah Saw. bersabda, "Bolehkah aku menulis (pada permulaan perjanjian) kata bismillahir rahmanir rahim (dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)?"— mereka mengatakan, "Kami tidak mengenal ar-rahman, tidak pula ar-rahim." Demikian menurut riwayat Imam Bukhari. Sedangkan menurut riwayat lain, jawaban mereka adalah, "Kami tidak mengenal ar-rahman kecuali Rahman dari Yamamah" (maksudnya Musailamah Al-Kazzab).

Allah Swt. telah berfirman:

وَإِذا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمنِ قالُوا وَمَا الرَّحْمنُ أَنَسْجُدُ لِما تَأْمُرُنا وَزادَهُمْ نُفُوراً

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kalian kepada Yang Maha Rahman (Pemurah)," mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang ihi? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?", dan (perintah sujud iru) menambah mereka jauh (dari iman). (Al-Furqan: 6)

Menurut pengertian lahiriahnya ingkar yang mereka lakukan itu hanya merupakan sikap membangkang, ingkar, dan kekerasan hati mereka dalam kekufuran. Karena sesungguhnya telah ditemukan pada syair-syair Jahiliah mereka penyebutan Allah dengan istilah Ar-Rahman. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada seseorang Jahiliah yang bodoh mengatakan syair berikut:

أَلَا ضَرَبَتْ تِلْكَ الْفَتَاةُ هَجِينَهَا ... أَلَا قَضَبَ الرَّحْمَنُ رَبِّي يَمِينَهَا

Mengapa gadis itu tidak memukul (menghardik) untanya, bukankah tongkat rahman Rabbku berada di tangan kanannya?

Salamah ibnu Jundub At-Tahawi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:

عجلتم علينا إذ عجلنا عَلَيْكُمُ ... وَمَا يَشَأِ الرَّحْمَنُ يَعْقِدُ وَيُطْلِقِ

Kalian terlalu tergesa-gesa terhadap kami di saat kami tergesa-gesa terhadap kalian, padahal Tuhan Yang Maha Pemurah tidak menghendaki adanya akad. lalu talak (putus hubungan).

Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah wazan fa'lana dari lafaz ar-rahmah, dan ia termasuk kata-kata Arab.

Ibnu Jarir mengatakan, ar-rahmanir rahim artinya "Yang Maha Lemah Lembut lagi Maha Penyayang kepada orang yang Dia suka merahmatinya, dan jauh lagi keras terhadap orang yang Dia suka berlaku keras terhadapnya". Demikian pula semua asma-Nya, yakni mempunyai makna yang sama.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas'adah, dari Auf, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang dilarang bagi selain Dia menyandangnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepadaku Abul Asyhab, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa ar-rahman adalah isim yang tiada seorang manusia pun mampu menyandangnya; Allah menamakan diri-Nya dengan isim ini.

Di dalam hadis Ummu Salamah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. memutus-mutuskan bacaannya dari suatu kalimat ke kalimat lain seperti berikut:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Maka sebagian dari kalangan ulama ada yang membacanya seperti bacaan di atas; mereka terdiri atas sejumlah ulama. Di antara mereka ada yang. meneruskan bacaan basmalah dengan firman-Nya:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Menurut jumhur ulama, huruf mim dibaca kasrah hingga menjadi ar-rahimil hamdu, karena ada dua huruf sukun bertemu.

Akan tetapi, Imam Kisai' meriwayatkan dari ulama Kufah dari sebagian orang-orang Arab, bahwa huruf mim dibaca fathah karena disambungkan dengan hamzah alhamdu. Mereka mengucapkannya ar-rahimal hamdu lillahi, memindahkan harakat fathah hamzah al-hamdu kepada huruf mim ar-rahim setelah disukunkan, sebagaimana dibaca demikian firman Allah Swt.

الم اللَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ

Alif lam mim. Allah, tiada Tuhan selain Dia.

Ibnu Atiyyah mengatakan bahwa sepengetahuannya qiraah ini belum pernah ia dengar dari seorang pun.


ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ 2

(2) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

(2) 

Menurut Qira’ah Sab'ah, huruf dal dalam firman-Nya, "alhamdu lillahi," dibaca dammah, terdiri atas mubtada dan khabar.

Diriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah dan Rubah ibnul Ajjaj, keduanya membacanya menjadi alhamda lillahi

(الْحَمْدَ لِلَّهِ)

dengan huruf dal yang di-fathah-kan karena menyimpan fi’l.

Ibnu Abu Ablah membacanya alhamdulillah dengan huruf dal dan lam yang di-dammah-kan kedua-duanya karena yang kedua diikutkan kepada huruf pertama dalam harakat. Ia mempunyai syawahid (bukti-bukti) yang menguatkan pendapatnya ini, tetapi dinilai syaz (menyendiri).

Diriwayatkan dari Al-Hasan dan Zaid ibnu Ali bahwa keduanya membacanya alhamdi lillahi dengan membaca kasrah huruf dal karena diseragamkan dengan harakat huruf sesudahnya.

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa makna alhamdulillah ialah "segala syukur hanyalah dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada apa yang disembah selain-Nya dan bukan kepada semua apa yang diciptakan-Nya, sebagai imbalan dari apa yang telah Dia limpahkan kepada hamba-hamba-Nya berupa segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya". Tiada seorang pun yang dapat menghitung semua bilangannya selain Dia semata. Nikmat itu antara lain adalah tersedianya semua sarana untuk taat kepada-Nya, kemampuan semua anggota tubuh yang ditugaskan untuk mengerjakan hal-hal yang difardukan oleh-Nya. Selain itu Dia menggelarkan rezeki yang berlimpah di dunia ini buat hamba-Nya dan memberi mereka makan dari rezeki tersebut sebagai nikmat kehidupan buat mereka, padahal mereka tidak memilikinya. Dia mengingatkan dan menyeru mereka agar semuanya itu dijadikan sebagai sarana buat mencapai kehidupan yang abadi di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan yang kekal untuk selama-lamanya. Maka segala puji hanyalah bagi Tuhan kita atas semua itu sejak permulaan hingga akhir.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa alhamdulillah adalah pujian yang digunakan oleh Allah untuk memuji diri-Nya sendiri. termasuk di dalam pengertiannya ialah Dia memerintahkan hamba-Nya untuk memanjatkan puji dan sanjungan kepada-Nya. Seakan-akan Allah Swt. bermaksud, "Katakanlah oleh kalian, 'Segala puji hanyalah bagi Allah'!"

Ibnu Jarir mengatakan, adakalanya dikatakan "sesungguhnya ucapan seseorang yang mengatakan alhamdulillah merupakan pujian yang ditujukan kepada-Nya dengan menyebut asma-Nya yang terbaik dan sifat-Nya Yang Maha Tinggi". Sedangkan ucapan seseorang "segala syukur adalah milik Allah" merupakan pujian kepada-Nya atas nikmat dan limpahan rahmat-Nya.

Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan bantahannya yang kesimpulannya adalah "semua ulama bahasa Arab menyamakan makna antara alhamdu dan asy-syukru (antara puji dan syukur)". Pendapat ini dinukil pula oleh As-Sulami, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa puji dan syukur adalah sama pengertiannya, dari Ja'far As-Sadiq dan Ibnu Ata. dari kalangan ahlu tasawwuf. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ucapan "segala puji bagi Allah" merupakan kalimat yang diucapkan oleh semua orang yang bersyukur. Al-Qurtubi menyimpulkan dalil yang menyatakan kebenaran orang yang mengatakan bahwa kalimat alhamdulillah adalah ungkapan syukur, dia nyatakan ini terhadap Ibnu Jarir. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Jarir masih perlu dipertimbangkan dengan alasan bahwa telah dikenal di kalangan mayoritas ulama muta-akhkhirin bahwa alhamdu adalah pujian dengan ucapan terhadap yang dipuji dengan menyebutkan sifat-sifat lazimah dan yang muta'addiyah bagi-Nya, sedangkan asy-syukru tidaklah diucapkan melainkan hanya atas sifat yang muta'addiyah saja. Terakhir adakalanya diucapkan dengan lisan atau dalam hati atau melalui sikap dan perbuatan. sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair:

أَفَادَتْكُمُ النَّعْمَاءُ مِنِّي ثَلَاثَةً: ... يَدِي وَلِسَانِي وَالضَّمِيرُ الْمُحَجَّبَا

Nikmat paling berharga yang telah kalian peroleh dariku ada tiga macam, yaitu melalui kedua tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak tampak ini.

Akan tetapi, mereka berselisih pendapat mengenai yang paling umum maknanya di antara keduanya, pujian ataukah syukur. Ada dua pendapat mengenainya. Menurut penyelidikan, terbukti memang di antara keduanya terdapat pengertian khusus dan umum. Alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru, yakni bila dipandang dari segi pengejawantahannya. Dikatakan demikian karena alhamdu ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta'addiyah. Engkau dapat mengatakan, "Aku puji keberaniannya," dan "Aku puji kedermawanannya," hanya saja pengertiannya lebih khusus karena hanya diungkapkan melalui ucapan. Lain halnya dengan asy-syukru yang pengertiannya lebih umum bila dipandang dari segi pengejawantahannya (realisasinya) karena dapat diungkapkan dengan ucapan. perbuatan. dan niat. seperti yang telah dijelaskan tadi. Asy-syukur dinilai lebih khusus karena hanya diungkapkan terhadap sifat muta'addiyah saja, tidak dapat dikatakan, "Aku mensyukuri keberaniannya," atau "Aku mensyukuri kedermawanan dan kebajikannya kepadaku." Demikianlah menurut catatan sebagian ulama muta-akhkhirin.

Abu Nasr Ismail ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan, pengertian alhamdu merupakan lawan kata dari azzam (celaan). Dikatakan hamdihir rajula, alhamduhu hamdan wamahmadah (aku memuji lelaki itu dengan pujian yang setinggi-tingginya); bentuk fail-nya ialah hamid, dan bentuk mafid-nya ialah mahmud.

Lafaz tahmid mempunyai makna lebih kuat daripada alhamdu. sedangkan alhamdu lebih umum pengertiannya daripada asy-syukru. Abu Nasr mengatakan sehubungan dengan makna asy-syukru, yaitu "sanjungan yang ditujukan kepada orang yang berbuat baik sebagai imbalan dari kebaikan yang telah diberikannya". Dikatakan syakar-tuhu atau syakartu lahu artinya "aku berterima kasih kepadanya", tetapi yang memakai lam lebih fasih. Sedangkan makna al-madah lebih umum daripada alhamdu, karena pengertian al-madah (pujian) dapat ditujukan kepada orang hidup. orang mati, juga terhadap benda mati, sebagaimana pujian terhadap makanan, tempat, dan lain sebagainya; dan al-madah dapat dilakukan sebelum dan sesudah kebaikan, juga dapat ditujukan kepada sifat yang lazimah dan yang muta'addiyyah. Dengan demikian, berarti al-madah lebih umum pengertiannya (dari-pada alhamdu).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar Al-Qutai'i. telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Hajjaj, dari Ibnu Abu Mulai-kah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah berkata, Kami telah mengetahui makna subhanallah dan la ilaha illallah, lalu apakah makna alhamdulillah? Ali k.w. menjawab, Ia merupakan suatu kalimah yang diridai oleh Allah untuk diri-Nya.

Asar yang sama diriwayatkan pula oleh selain Abu Ma'mar, dari Hafs, disebutkan bahwa Khalifah Umar bertanya kepada Ali, sedangkan teman-teman Umar berada di hadapannya, La ilaha illal-lah. subhanallah, dan Allahu akbar telah kami ketahui maknanya. Apakah yang dimaksud dengan alhamdulillah? Ali k.w. menjawab, Ia adalah suatu kalimah yang disukai oleh Allah Swt. buat diri-Nya, diridai buat diri-Nya, dan suka bila diucapkan.

Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an menceritakan dari Yusuf ibnu Mihran yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, Alhamdu lillah adalah kalimat syukur. Apabila seorang hamba mengucapkan, Segala puji bagi Allah.' maka Allah Swt. berfirman. 'Hamba-Ku telah bersyukur kepada-Ku'. Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula bersama Ibnu Jarir, dari hadits Bisyir ibnu Imarah. dari Abu Rauq. dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa alhamdulillah sama dengan asy-syukru lillah yakni berterima kasih kepada-Nya dan mengakui segala nik'mat-Nya. hidayah-Nya, penciptaan-Nya, dan lain-lainnya.

Ka'b Al-Ahbar mengatakan, alhamdulillah adalah pujian kepada Allah. Ad-Dahhak mengatakan, alhamdulillah merupakan selendang (sifat) Tuhan Yang Maha Pemurah; di dalam sebuah hadis disebutkan hal yang semisal.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو السَّكوني، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنِي عِيسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عُمَيْرٍ، وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا

قُلْتَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَقَدْ شَكَرْتَ اللَّهَ، فَزَادَكَ

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepadaku Isa ibnu Ibrahim, dari Musa ibnu Abu Habib, dari Al-Hakam ibnu Umair yang dianggap sebagai sahabat. Dia menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila kamu ucapkan, Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, berarti engkau telah bersyukur kepada Allah, dan Dia niscaya akan menambahkan (nikmat-Nya) kepadamu.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan:

حَدَّثَنَا رُوحٌ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا أُنْشِدُكَ مَحَامِدَ حَمِدْتُ بِهَا رَبِّي، تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟ فَقَالَ: أَمَا إِنَّ رَبَّكَ يُحِبُّ الْحَمْدَ

telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Al-Hasan, dari Al-Aswad ibnu Sari' yang menceritakan, Aku pernah bertanya, 'Wahai Rasulullah, maukah engkau bila aku bacakan kepadamu pujian-pujian yang biasa kupanjatkan kepada Rabbku Yang Mahasuci dan Maha Tinggi.' Nabi Saw. menjawab, 'Ingatlah, sesungguhnya Tuhan-mu menyukai alhamdu (pujian)'.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Ali ibnu Hujr, dari Ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan, dari Al-Aswad dari Sari' dengan lafaz yang sama.

Abu Isa Al-Hafiz (yaitu Imam Turmuzi) Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadis Musa ibnu Ibrahim ibnu Kasir, dari Talhah ibnu Khirasy, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ»

Zikir yang paling afdal (utama) ialah, Tidak ada Tuhan selain Allah, dan doa paling afdal ialah, Segala puji bagi Allah.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib.

Ibnu Majah meriwayatkan melalui Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«مَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فقال: الحمد الله إِلَّا كَانَ الَّذِي أَعْطَى أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ»

Tidak sekali-kali Allah memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu si hamba mengucapkan, 'Segala puji bagi Allah,' melainkan apa yang diberikan oleh Allah (pahala) lebih afdal daripada apa yang diterimanya.

Al-Qurtubi di dalam kitab Tafsir-nya. dan di dalam kitab Nawadirid Usul telah meriwayatkan melalui Anas r.a., dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

«لَوْ أَنَّ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا فِي يَدِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لله كان الْحَمْدُ لِلَّهِ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ»

Seandainya dunia berikut semua isinya berada di tangan seorang lelaki dari kalangan umatku, kemudian dia mengucapkan, Segala puji bagi Allah, niscaya kalimat alhamdulillah (yang telah dia ucapkan itu) jauh lebih afdal daripada hal itu (dunia dan seisinya).

Al-Qurtubi dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari hadis ini ialah ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya untuk mengucapkan kalimah 'segala puji bagi Allah' benar-benar lebih banyak mengandung nikmat baginya daripada semua nikmat dunia. Dikatakan demikian karena pahala memuji Allah bersifat kekal, sedangkan nikmat dunia pasti lenyap dan tidak akan kekal. Allah SWT telah berfirman:

الْمالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَياةِ الدُّنْيا وَالْباقِياتُ الصَّالِحاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَواباً وَخَيْرٌ أَمَلًا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi:46)

Di dalam kitab Sunan Ibnu Majah disebutkan melalui Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw. pernah bercerita kepada mereka (para sahabat):

أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ قَالَ: يَا رَبِّ، لَكَ الْحَمْدُ كما ينبغي

لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ، فَعَضَلَتْ بِالْمَلَكَيْنِ فَلَمْ يَدْرِيَا كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا، فَصَعَدَا إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَا يَا رَبِّ، إِنَّ عَبْدًا قَدْ قَالَ مَقَالَةً لَا نَدْرِي كَيْفَ نَكْتُبُهَا، قَالَ اللَّهُ -وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ-: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟ قَالَا يَا رَبِّ إِنَّهُ قَدْ قَالَ: يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ. فَقَالَ اللَّهُ لَهُمَا: اكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِي حَتَّى يَلْقَانِي فَأَجْزِيَهُ بِهَا

Bahwa ada seorang hamba Allah mengucapkan doa, Wahai Tuhanku, bagi Engkau segala puji sebagaimana yang layak bagi keagungan zat-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu. Maka kedua malaikatnya merasa kesulitan, keduanya tidak mengetahui bagaimana mencatat (pahala)nya, lalu keduanya naik melapor kepada Allah dan berkata, Wahai Tuhan kami, sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan suatu kalimat (doa) yang kami tidak mengetahui bagaimana mencatatnya.”Allah Swt. berfirman —Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya itu—, Apakah yang telah diucapkan oleh hamba-Ku itu? Keduanya menjawab, Wahai Tuhanku, sesungguhnya dia telah mengatakan, 'Bagi Engkau segala puji, wahai Tuhanku, sebagaimana yang layak bagi keagungan zat-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu. Lalu Allah berfirman kepada kedua malaikat itu, Catatlah olehmu berdua seperti apa yang diucapkan oleh hamba-Ku hingga dia bersua dengan-Ku, maka Aku akan membalas pahalanya secara langsung.

Al-Qurtubi menceritakan dari segolongan ulama yang pernah mengatakan bahwa ucapan seorang hamba, Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, adalah lebih afdal daripada ucapannya, Tidak ada Tuhan selain Allah, mengingat kalimat alhamdulillahi rabbil 'ala-mina mengandung makna tauhid bersama pujian.

Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa ucapan, Tidak ada Tuhan selain Allah, adalah lebih afdal. mengingat kalimat inilah yang memisahkan antara iman dan kekafiran, karena kalimat ini pula manusia diperangi hingga mereka mau mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadis yang muttafaq 'alaih.

Di dalam hadis lain dinyatakan:

«أَفْضَلُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ»

Doa yang paling utama diucapkan olehku dan oleh para nabi sebelumku ialah, Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Dalam pembahasan yang lalu disebutkan sebuah hadis melalui Jabir secara marfu':

«أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ»

Zikir yang paling utama ialah, Tidak ada Tuhan selain Allah, dan doa yang paling utama ialah, Segala puji bagi Allah.

Hadis ini dinilai hasan oleh Imam Turmuzi.

Huruf alif dan lam dalam lafaz alhamdu menunjukkan makna yang mencakup segala macam pujian dan semua jenisnya hanya milik Allah Swt., sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam sebuah hadis:

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ، وَلَكَ الْمُلْكُ كُلُّهُ، وَبِيَدِكَ الْخَيْرُ كُلُّهُ، وَإِلَيْكَ يَرْجِعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ

Ya Allah, hanya milik-Mu-lah segala puji, dan hanya milik-Mu-lah semua kerajaan, serta di tangan kekuasaan-Mu-lah semua kebaikan, dan hanya kepada Engkaulah kembali semua urusan.

Istilah Rabb artinya pemilik yang berhak ber-tasarruj, menurut istilah bahasa diucapkan menunjukkan arti tuan dan orang yang ber-tasarruj untuk perbaikan. Pengertian tersebut masing-masing sesuai dengan hak Allah Swt. Lafaz Rabb tidak dapat dipakai untuk selain Allah Swt, melainkan di-mudaf-kan. Untuk itu, katakanlah olehmu Rabbud Dar (pemilik rumah) dan Rabb Kaza (pemilik anu). Lafaz Rabb yang dimaksudkan adalah Allah Swt, hanya dipakai tanpa mudaf. Menurut suatu pendapat. lafaz Rabb adalah Ismul A 'zam.

Al-'alamina bentuk jamak dari 'alamun, artinya semua yang ada selain Allah Swt.; dan lafaz 'alamun sendiri bentuk jamak yang tidak ada bentuk tunggal dari lafaz aslinya. Sedangkan lafaz al-'awalim artinya berbagai macam makhluk yang ada di langit, di daratan, di laut, dan setiap generasi dari semua jenis makhluk tersebut dinamakan 'alam pula.

Bisyr ibnu Imarah meriwayatkan dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam artinya ialah segala puji bagi Allah yang semua makhluk ini adalah milik-Nya, yaitu langit, bumi, dan yang ada di antara keduanya, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui.

Di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Rabbul 'alamina ialah Tuhan jin dan manusia. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, dan Ibnu Juraij. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ali k.w. Menurut Ibnu Abu Hatim, sanad asar tersebut tidak dapat dipegang.

Al-Qurtubi mengatakan demikian (yakni jin dan manusia) dengan berdalilkan firman Allah Swt. yang mengatakan:

لِيَكُونَ لِلْعالَمِينَ نَذِيراً

agar dia (Al-Qur'an) menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (Al-Furqan:1)

Makna yang dimaksud dengan seluruh alam ialah makhluk jin dan manusia.

Al-Farra dan Abu Ubaid mengatakan, yang dimaksud dengan al-'alam ialah ditujukan kepada makhluk yang berakal; mereka adalah manusia, jin, malaikat, dan setan. Untuk itu, semua jenis binatang tidak dapat dikatakan 'alam. Disebutkan dari Zaid ibnu Aslam dan Abu Muhaisin, bahwa 'alam artinya setiap makhluk bernyawa yang berkembang biak.

Qatadah mengatakan bahwa al-'alam adalah setiap jenis alam.

Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan di dalam autobiografi Marwan ibnu Muhammad —salah seorang khalifah dari kalangan Bani Umayyah yang dikenal dengan julukan Al-Ja'd dan sebutan Al-Himar— bahwa dia pernah mengatakan, Allah menciptakan tujuh belas ribu alam, penduduk langit dan penduduk bumi digolongkan satu alam, sedangkan yang lainnya tiada seorang pun yang mengetahuinya kecuali hanya Allah Swt.

Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya, Rabbil 'alamina bahwa Anas pernah mengatakan, Manusia merupakan alam, dan jin adalah alam, sedangkan selainnya terdiri atas 18. atau 14. —dia ragu— alam malaikat yang ada di atas bumi. Bumi mempunyai empat penjuru, pada tiap-tiap juru terdapat 3.5 alam (malaikat) yang telah diciptakan oleh Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya. Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim. Akan tetapi, kalimat seperti ini aneh; hal yang seperti ini memerlukan adanya dalil yang sahih.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Furat (yakni Ibnul Walid), dari Mu'tib ibnu Sumai, dari Subai' (yakni Al-Himyari) sehubungan dengan firman-Nya, Rabbil 'alamina bahwa al-alamina terdiri atas seribu umat: enam ratus berada di dalam laut, sedangkan empat ratus berada di darat.

Hal semisal diriwayatkan pula melalui Sa'id ibnul Musayyab, dan hal yang semisal ini diriwayatkan pula secara marfu’, seperti yang dikatakan oleh Al-Hafiz Abu Ya'la Ahmad ibnu Ali ibnul Mu-sanna di dalam kitab Musnad-nya, bahwa:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ وَاقِدٍ الْقَيْسِيُّ، أَبُو عَبَّادٍ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ كَيْسَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المنْكَدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَلَّ الْجَرَادُ فِي سَنَةٍ مِنْ سِنِي عُمَرَ الَّتِي وَلِيَ فِيهَا فَسَأَلَ عَنْهُ، فَلَمْ يُخْبَرْ بِشَيْءٍ، فَاغْتَمَّ لِذَلِكَ، فَأَرْسَلَ رَاكِبًا يَضْرِبُ إِلَى الْيَمَنِ، وَآخَرَ إِلَى الشَّامِ، وَآخَرَ إِلَى الْعِرَاقِ، يَسْأَلُ: هَلْ رُئِيَ مِنَ الْجَرَادِ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ قَالَ: فَأَتَاهُ الرَّاكِبُ الَّذِي مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ بِقَبْضَةٍ مِنْ جَرَادٍ، فَأَلْقَاهَا بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلَمَّا رَآهَا كَبَّرَ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول:

خَلَقَ اللَّهُ أَلْفَ أُمَّةٍ، سِتُّمِائَةٍ فِي الْبَحْرِ وَأَرْبَعُمِائَةٍ فِي الْبَرِّ، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَهْلِكُ مِنْ هَذِهِ الْأُمَمِ الْجَرَادُ، فَإِذَا هَلَكَ تَتَابَعَتْ مِثْلَ النِّظَامِ إِذَا قُطِعَ سِلْكُهُ

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnul Waqid Al-Qaisi Abu Ibad, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Isa ibnu Kaisan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, Pada suatu tahun dari masa pemerintahan Khalifah Umar, belalang berkurang jumlahnya. Lalu ia bertanya-tanya mengenai hal itu, tetapi tidak ada seorang pun yang menjawabnya, maka hal itu membuatnya kurang puas. Lalu ia mengirimkan seorang pengendara kuda untuk pergi ke negeri Yaman, seorang lagi menuju ke negeri Syam, dan yang seorang lagi menuju ke negeri Irak untuk menanyakan apakah ada belalang atau tidak di tempat tujuan masing-masing. Kemudian datang kepadanya pengendara dari Yaman membawa segenggam belalang, lalu utusan itu meletakkannya di hadapan Umar. Ketika Umar melihatnya, maka ia bertakbir, kemudian berkata, 'Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: 'Allah telah menciptakan seribu umat, enam ratus umat berada di laut dan yang empat ratus umat berada di daratan. Mula-mula umat yang binasa dari kesemuanya itu adalah belalang; apabila belalang musnah, maka merambat secara beruntun sebagaimana sebuah untaian kalung yang terputus talinya.

Muhammad ibnu Isa yang disebut di dalam sanad asar ini adalah Al-Hilali, dia orangnya daif.

Al-Bagawi meriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa dia pernah mengatakan.”Allah telah menciptakan seribu alam. enam ratus berada di lautan, sedangkan yang empat ratus berada di daratan.

Wahab ibnu Munabbih mengatakan bahwa Allah telah menciptakan18. alam, dunia ini merupakan salah satunya.

Muqatil mengatakan bahwa alam-alam itu seluruhnya ada8. . Ka'b Al-Ahbar mengatakan, tiada seorang pun yang mengetahui bilangan alam kecuali hanya Allah Swt. Semua yang telah disebutkan ini dinukil oleh Al-Bagawi.

Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan4. alam, sedangkan dunia ini dari timur hingga barat merupakan salah satu darinya.

Az-Zujaj mengatakan bahwa al-'alam ialah semua yang telah diciptakan oleh Allah di dunia dan akhirat. Demikian pendapat Al-Qurtubi, dan pendapat inilah yang sahih, yaitu yang mengatakan pengertian alam mencakup kedua alam tersebut (dunia dan akhirat), sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya (menurut bacaan orang yang membaca al-'alamina menjadi al-'alamaini), yaitu:

قالَ فِرْعَوْنُ وَما رَبُّ الْعالَمِينَ. قالَ رَبُّ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَما بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ

Fir'aun bertanya, 'Siapa Tuhan kedua alam itu?' Musa menjawab, Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu), jikakamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya'. (Asy-syuara23)

Al-'alam berakar dari kata al-'alamah. Menurut kami, dikatakan demikian karena adanya alam ini menunjukkan adanya Penciptanya, hasil karya-Nya dan keesaan-Nya. sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mu'taz:

فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الْإِلَهُ ... أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ

وَفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةً ... تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ

Alangkah anehnya, mengapa durhaka terhadap Tuhan, atau mengapa si pengingkar tidak mempercayai-Nya, padahal pada segala sesuatu yang ada terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa.


ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ 3

(3) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

(3) 

Firman Allah Swt., ar-rahmanir rahim, keterangannya dikemukakan dalam Bab Basmalah; itu sudah cukup dan tidak perlu diulangi lagi.

Al-Qurtubi mengatakan, sesungguhnya Allah Swt. menyifati diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim sesudah firman-nya, rabbil 'alamina, tiada lain agar makna tarhib yang dikandung rabbul 'alamina dibarengi dengan makna targib yang terkandung pada ar-rahmanir rahim, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

نَبِّئْ عِبادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. وَأَنَّ عَذابِي هُوَ الْعَذابُ الْأَلِيمُ

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (Al-Hijr:49-5)

Juga dalam firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu:

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-A'raf:165)

Lafaz Rabb (Tuhan) dalam ayat tersebut mengandung makna tarhib, sedangkan ar-rahmanir rahim mengandung makna targib.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنَ العقوبة ما طمع في جنته أَحَدٌ وَلَوْ يُعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ من الرحمة ما قنط من رحمته أحد»

Seandainya orang yang mukmin mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa siksaan, niscaya tiada seorang pun yang tamak menginginkan surga-Nya. Seandainya orang kafir mengetahui apa yang ada di sisi Allah berupa rahmat, niscaya tiada seorang pun yang berputus asa dari rahmat-Nya.


مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ 4

(4) Yang menguasai di Hari Pembalasan.

(4) 

Sebagian ulama qiraah membacanya

مَلِك,

sedangkan sebagian yang lain membacanya

مَالِكِ;

kedua-duanya sahih lagi mutawatir di kalangan As-Sab'ah.

Lafaz maliki dengan huruf lam di-kasrah-kan, ada yang membacanya malki dan maliki. Sedangkan menurut bacaan Nafi', harakat kasrah huruf kaf dibaca isyba' hingga menjadi malaki yaumid din

(مَلَكِي يَوْمِ الدِّينِ).

Kedua bacaan tersebut (malaki dan maliki) masing-masing mempunyai pendukungnya tersendiri ditinjau dari segi maknanya; kedua bacaan tersebut sahih lagi baik. Sedangkan Az-Zamakhsyari lebih menguatkan bacaan maliki, mengingat bacaan inilah yang dipakai oleh ulama kedua Kota Suci (Mekah dan Madinah), dan karena firman-Nya

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ

Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? (Al-Mu’min: 16)

قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ

Dan benarlah perkataan-Nya dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala sesuatu (Al-An'am: 75)

Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia membaca malaka yaumidin

(مَلَكَ يوم الدين)

atas dasar anggapan fi’il, fa’il, dan maf'ul, tetapi pendapat ini menyendiri lagi aneh sekali.

Abu Bakar ibnu Abu Daud meriwayatkan —sehubungan dengan bacaan tersebut— sesuatu yang garib (aneh), mengingat dia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Addi ib-aul Fadl. dari Abul Mutarrif, dari Ibnu Syihab yang telah mendengar hadits bahwa Rasulullah Saw., Abu Bakar. Umar, dan Usman serta Mu'awiyah dan anaknya —yaitu Yazid ibnu Mu'awiyah— membaca maaliki yaumid din. Ibnu Syihab mengatakan bahwa orang yang mula-mula membaca maliki adalah Marwan (Ibnul Hakam). Menurut kami, Marwan mengetahui kesahihan apa yang ia baca, sedangkan hal ini tidak diketahui oleh Ibnu Syihab.

Telah diriwayarkan sebuah hadis melalui berbagai jalur periwayatan yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih, bahwa Rasulullah Saw. membacanya maliki yaumid din. Lafaz malik diambil dari kata al-milku, seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَرِثُ الْأَرْضَ وَمَنْ عَلَيْها وَإِلَيْنا يُرْجَعُونَ

Sesungguhnya Kami memiliki bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kami-lah mereka dikembalikan. (Maryam: 4)

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ

Katakanlah, "Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Pemilik manusia. (An-Nas: 1-2)

Sedangkan kalau maliki diambil dari kata al-mulku, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ

Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)

قَوْلُهُ الْحَقُّ وَلَهُ الْمُلْكُ

Benarlah perkataan-Nya. dan di tangan kekuasaan-Nyalah segala kekuasaan. (Al-An'am: 73)

الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكانَ يَوْماً عَلَى الْكافِرِينَ عَسِيراً

Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)

Pengkhususan sebutan al-mulku (kerajaan) dengan yaumid din (hari pembalasan) tidak bertentangan dengan makna lainnya, mengingat dalam pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang pengertiannya umum mencakup di dunia dan akhirat. Di-mudhaf-kan kepada lafaz yaumid din karena tiada seorang pun pada hari itu yang mendakwakan sesuatu, dan tiada seorang pun yang dapat angkat bicara kecuali dengan seizin Allah Swt, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya:

يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقالَ صَواباً

Pada hari ketika roh dan malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata. kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. (An-Naba': 38)

وَخَشَعَتِ الْأَصْواتُ لِلرَّحْمنِ فَلا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْساً

dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. (Thaha: 18)

يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ

Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya. maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. (Hud: 15)

Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa maliki yaumid din artinya "tiada seorang pun bersama-Nya yang memiliki kekuasaan seperti halnya di saat mereka (raja-raja) masih hidup di dunia pada hari pembalasan tersebut".

Ibnu Abbas mengatakan, yaumid din adalah hari semua makhluk menjalani hisab, yaitu hari kiamat; Allah membalas mereka sesuai dengan amal perbuatannya masing-masing. Jika amal perbuatannya baik, balasannya baik; dan jika amal perbuatannya buruk, maka balasannya pun buruk, kecuali orang yang mendapat ampunan dari Allah Swt. Hal yang sama dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas dari kalangan para sahabat, para tabi'in, dan ulama Salaf; hal ini sudah jelas.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa tafsir dari firman-Nya, "Maliki yaumid din," ialah "Allah Mahakuasa untuk mengadakannya". Tetapi Ibnu Jarir sendiri menilai pendapat ini daif (lemah). Akan tetapi, pada lahiriahnya tidak ada pertentangan antara pendapat ini dengan pendapat lainnya yang telah disebutkan terdahulu. Masing-masing orang yang berpendapat demikian dan yang sebelumnya mengakui kebenaran pendapat lainnya serta tidak mengingkari kebenarannya, hanya saja konteks ayat lebih sesuai bila diartikan dengan makna pertama di atas tadi dibandingkan dengan pendapat yang sekarang ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا

Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu) suatu hari yang penuh dengan kesukaran bagi orang-orang kafir. (Al-Furqan: 26)

Sedangkan pendapat kedua pengertiannya mirip dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

وَيَوْمَ يَقُولُ كُنْ فَيَكُونُ

Pada hari Dia mengatakan, "Jadilah!, lalu terjadilah. (Al-An'am: 73)

Pada hakikatnya raja yang sesungguhnya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera. (Al-Hasyr: 23)

Di dalam hadis Sahihain disebutkan melalui Abu Hurairah r.a. secara marfu’:

«أَخْنَعُ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى بِمَلِكِ الْأَمْلَاكِ وَلَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ »

Nama yang paling rendah di sisi Allah ialah seorang yang menamakan dirinya dengan panggilan Malikid Amlak. sedangkan tiada raja selain Allah.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa Rasulullah Saw. Bersabda

«يَقْبِضُ اللَّهُ الْأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ ملوك الْأَرْضِ؟ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ؟ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ؟ »

Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman, "Aku-lah Raja. Sekarang mana raja-raja bumi, mana orang-orang yang diktator, mana orang-orang yang angkuh?"

Di dalam Al-Qur'an disebutkan melalui firman-Nya:

لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْواحِدِ الْقَهَّارِ

Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Al-Mu’min: 16)

Adapun mengenai nama lainnya di dunia ini dengan memakai sebutan malik, yang dimaksud adalah "nama majaz". bukan nama dalam arti yang sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksud di dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طالُوتَ مَلِكاً

Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi raja kalian. (Al-Baqarah: 247)

وَكانَ وَراءَهُمْ مَلِكٌ

karena di hadapan mereka ada seorang raja. (Al-Kahfi: 79)

إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِياءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكاً

ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dan dijadikan-Nya kalian sebagai raja-raja (orang-orang yang merdeka). (Al-Maidah: 2)

Di dalam sebuah hadis Sahihain disebutkan:

«مِثْلُ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ»

seperti raja-raja yang berada di atas dipan-dipannya (singgasana).

Ad-din artinya "pembalasan dan hisab", sebagaimana yang disebut di dalam firman lainnya, yaitu:

يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ

Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)

أَإِنَّا لَمَدِينُونَ

apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan? (Ash-Shaffat: 53)

Makna yang dimaksud ialah mendapat balasan yang setimpal dan dihisab.

Di dalam sebuah hadis disebutkan:

«الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ»

Orang yang pandai ialah orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya sendiri dan beramal untuk bekal sesudah mati.

Makna yang dimaksud ialah "hisablah dirimu sendiri", sebagaimana yang dikatakan Khalifah Umar r.a.. yaitu: "Hisablah diri kalian sendiri sebelum dihisab dan timbanglah amal perbuatan kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah (berbekallah) untuk menghadapi peradilan yang paling besar di hadapan Tuhan yang tidak samar bagi-Nya semua amal perbuatan kalian," seperti yang dinyatakan di dalam Firman-Nya:

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفى مِنْكُمْ خافِيَةٌ

Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhan kalian). Tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi-Nya). (Al-Haqqah: 18)


إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ 5

(5) Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

(5) 

Qira’ah Sab'ah dan jumhur ulama membaca tasydid huruf ya yang ada pada iyyaka. Sedangkan Amr ibnu Fayid membacanya dengan takhfif, yakni tanpa tasydid disertai dengan kasrah, tetapi qiraah ini dinilai syadz lagi tidak dipakai. karena iya artinya "cahaya matahari". Sebagian ulama membacanya ayyaka, sebagian yang lainnya lagi membaca hayyaka dengan memakai ha sebagai ganti hamzah, sebagaimana yang terdapat dalam ucapan seorang penyair:

فَهَيَّاكَ وَالْأَمْرَ الَّذِي إِنْ تَرَاحَبَتْ ... مَوَارِدُهُ ضَاقَتْ عَلَيْكَ مَصَادِرُهُ

Maka hati-hatilah kamu terhadap sebuah urusan bila sumbernya makin meluas, maka akan sulitlah bagimu jalan penyelesaiannya.

Lafaz nasta'inu dibaca fathah huruf nun yang ada pada permulaannya menurut qiraah semua ulama, kecuali Yahya ibnu Sabit dan Al-A'masy; karena keduanya membacanya kasrah, seperti yang dilakukan oleh Bani Asad, Bani Rabi'ah, dan Bani Tamim.

Al-'ibadah menurut istilah bahasa berasal dari makna az-zullah, artinya "mudah dan taat"; dikatakan tariqun mu'abbadun artinya "jalan yang telah dimudahkan (telah diaspal)" dan ba'irun mu'abbadun artinya "unta yang telah dijinakkan dan mudah dinaiki (tidak liar)". Sedangkan menurut istilah syara' yaitu "suatu ungkapan yang menunjukkan suatu sikap sebagai hasil dari himpunan kesempurnaan rasa cinta, tunduk, dan takut".

Mafid —yakni lafaz iyyaka— didahulukan dan diulangi untuk menunjukkan makna perhatian dan pembatasan. Dengan kata lain, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada Engkau dan kami tidak bertawakal kecuali hanya kepada Engkau. Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Agama secara keseluruhan berpangkal dari kedua makna ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama Salaf, bahwa surat Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur'an; sedangkan rahasia surat Al-Fatihah terletak pada kedua kalimat ini, yakni iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu.

Lafaz iyyaka na'budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyaka nasta'inu menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya. Pengertian ini selain dalam surat Al-Fatihah terdapat pula di dalam firman-Nya:

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَما رَبُّكَ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan. (Hud: 123)

قُلْ هُوَ الرَّحْمنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنا

Katakanlah.”Dialah Allah Yang Maha Penyayang, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakal." (Al-Mulk 29)

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا

(Dialah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9)

Demikian pula ayat yang sedang kita bahas tafsirnya, yaitu:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)

Pembicaraan berubah dari bentuk gaibah kepada bentuk muwajahah melalui huruf kaf yang menunjukkan makna khitab (lawan bicara). Ungkapan ini lebih sesuai, mengingat kedudukannya dalam keadaan memuji Allah Swt., maka seakan-akan orang yang bersangkutan mendekat dan hadir di hadapan Allah Swt. Karena itu, ia mengatakan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)

Pembahasan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa permulaan surat Al-Fatihah merupakan berita dari Allah Swt. yang memuji diri-Nya sendiri dengan sifat-sifat-Nya yang terbaik, sekaligus sebagai petunjuk buat hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya melalui kalimat-kalimat tersebut. Karena itu, tidaklah sah salat seseorang yang tidak mengucapkan surat ini. sedangkan dia mampu membacanya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ»

Tidak ada salat (tidak sah salat) orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadis Al-Ala ibnu Abdur Rahman maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«يقول اللَّهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ إِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ اللَّهُ مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»

Allah Swt. berfirman, "Aku bagikan salat buat diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian; satu bagian untuk-Ku dan sebagian yang lain untuk hamba-Ku. dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." Apabila seorang hamba mengatakan, "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," maka Allah berfirman, "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila dia mengatakan, "Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Yang menguasai hari pembalasan," Allah berfirman, "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.”Apabila dia mengatakan, "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan," maka Allah berfirman, "Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi kamba-Ku apa yang dia minta." Apabila dia mengatakan, "Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah: Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan) mereka yang sesat, maka Allah berfirman. Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hambaku apa yang dia minta.

Dahak mengatakan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa makna iyyaka na’budu ialah "Engkaulah Yang kami Esakan. Hanya kepada Engkaulah kami takut dan berharap, wahai Tuhan kami, bukan kepada selain Engkau"; Wa iyyaka nasta'inu maknanya "dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan untuk taat kepada-Mu dalam semua urusan kami".

Qatadah mengatakan, makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu ialah "Allah memerintahkan kepada kalian agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam semua urusan kalian". Sesungguhnya lafaz iyyaka na'budu didahulukan atas lafaz iyyaka nasta'inu tiada lain karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan utama, sedangkan meminta tolong merupakan sarana untuk melakukan ibadah, maka didahulukanlah hal yang lebih penting.

Apabila ada suatu pertanyaan, "Apakah makna nun dalam firman-Nya, 'Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'inu?" Jika makna yang dimaksud untuk jamak, ternyata yang berdoa hanya seorang; jika yang dimaksud sebagai ta'zim (menganggap diri besar), maka tidak sesuai dengan konteksnya.

Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "menyampaikan berita tentang jenis dari hamba-hamba Allah, sedangkan orang yang melakukan salat adalah salah seorang dari mereka; terlebih lagi jika dia berada dalam salat jamaah atau menjadi imam mereka, berarti sebagai berita tentang dirinya dan saudara-saudaranya yang mukmin bahwa mereka sedang melakukan ibadah yang merupakan tujuan utama mereka diciptakan, dan dia menjadi perantara bagi mereka untuk kebaikan".

Sebagian di antara mereka ada yang mengatakan, boleh mengartikannya untuk tujuan ta'zim, dengan pengertian bahwa seakan-akan dikatakan kepada hamba yang bersangkutan, "Apabila kamu berada dalam ibadah, maka kamu adalah orang yang mulia dan kedudukanmu tinggi." Dia mengatakan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah: 5)

Tetapi apabila kamu berada di luar ibadah, jangan sekali-kali kamu katakan 'kami', jangan pula kamu katakan 'kami telah melakukan', sekalipun kamu berada di tengah-tengah seratus, seribu, bahkan sejuta orang, karena semuanya berhajat dan membutuhkan Allah Swt.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa lafaz iyyaka na'budu mengandung makna lebih lembut daripada iyyaka 'abadna dalam hal berendah diri, mengingat lafaz kedua ini mengandung makna membesarkan diri karena dia menjadikan dirinya sebagai orang yang ahli melakukan ibadah. Padahal tiada seorang pun yang mampu beribadah kepada Allah Swt. dengan ibadah yang hakiki, tiada pula yang dapat memuji-Nya dengan pujian yang layak buat-Nya.

Ibadah merupakan suatu kedudukan yang besar, seorang hamba menjadi terhormat karena mengingat dirinya sedang berhubungan dengan Allah Swt. Salah seorang penyair mengatakan:

لَا تَدْعُنِي إِلَّا بِيَا عَبْدَهَا ... فَإِنَّهُ أَشْرَفُ أَسْمَائِي

Jangan kamu panggil aku melainkan dengan julukan 'hai ham-baNya', karena sesungguhnya nama ini merupakan namaku yang terhormat.

Allah Swt. menamakan Rasul-Nya dengan sebutan 'hamba-Nya' dalam tempat yang paling mulia, yaitu di dalam firman-Nya:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلى عَبْدِهِ الْكِتابَ

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya. (Al-Kahfi: 1)

وَأَنَّهُ لَمَّا قامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ

Dan bahwasanya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahnya (Al-Jin: 19)

سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلًا

Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (Al-Isra: 1)

Dalam ayat-ayat tersebut Allah Swt. menamakannya dengan sebutan "hamba" di saat Dia menurunkan wahyu kepadanya, di saat dia berdiri dalam doanya, dan di saat dilakukan isra kepadanya. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya agar mengerjakan ibadah di saat-saat dia mengalami kesempitan dada karena orang-orang yang menentangnya mendustakannya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ. فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ. وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (salat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). (Al-Hijr. 97-99)

Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa kedudukan ubudiyyah lebih mulia daripada kedudukan risalah, mengingat keadaan ibadah timbul dari makhluk, ditujukan kepada Tuhan Yang Mahahak. Sedangkan kedudukan risalah datang dari Tuhan Yang Mahahak ditujukan kepada makhluk. Ar-Razi mengatakan pula, "Dikatakan demikian karena Allah-lah Yang memegang semua kemaslahatan hamba-Nya, sedangkan Rasul memegang kemaslahatan-kemaslahatan umatnya. Akan tetapi, pendapat ini keliru dan pengarahannya lemah, tidak ada hasilnya." Dalam hal ini Ar-Razi tidak menyebutkan penilaiannya terhadap kelemahan yang terkandung di dalamnya, tidak pula mengemukakan sanggahannya.

Sebagian ulama sufi mengatakan bahwa ibadah itu adakalanya untuk menghasilkan pahala atau untuk menolak siksa. Mereka mengatakan bahwa pendapat ini pun kurang tepat, mengingat tujuannya ialah untuk mengerjakan hal yang menghasilkan pahala. Bila dikatakan tujuan ibadah ialah untuk memuliakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Allah Swt., pendapat ini pun menurut mereka (para ulama) dinilai lemah, bahkan pendapat yang benar ialah yang mengartikan "hendaknya seseorang beribadah kepada Allah untuk menyembah Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahasempurna". Mereka beralasan bahwa karena itu seseorang yang salat mengucapkan niat salatnya, "Aku salat karena Allah." Seandainya salat diniatkan untuk mendapat pahala dan menolak siksaan, maka batallah salatnya.

Akan tetapi, pendapat mereka itu dibantah pula oleh ulama lain yang mengatakan bahwa keadaan ibadah yang dilakukan karena Allah Swt. bukan berarti pelakunya tidak boleh meminta pahala atau mohon terhindar dari azab melalui salatnya itu. Perihalnya sama dengan apa yang dikatakan oleh seorang Badui:

أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ إِنَّمَا أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ»

"Adapun aku. sesungguhnya aku tidak dapat melakukan dialek-mu, tidak pula dialek Mu'az; tetapi aku hanya memohon surga kepada Allah, dan aku berlindung kepada-Nya dari neraka." Maka Nabi Saw. menjawab, "Kami pun meminta hal yang sama."


ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ 6

(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus,

(6) 

Bacaan yang dilakukan oleh jumhur ulama ialah ash-shirat dengan memakai shad. Tetapi ada pula yang membacanya sirat dengan memakai sin, ada pula yang membacanya zirat dengan memakai za, menurut Al-Farra berasal dari dialek Bani Uzrah dan Bani Kalb.

Setelah pujian dipanjatkan terlebih dahulu kepada Allah Swt, sesuailah bila diiringi dengan permohonan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis di atas, yaitu:

«فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ»

Separo untuk-Ku dan separo lainnya buat hamba-Ku, serta bagi hamba-Ku apa yang dia minta.

Merupakan suatu hal yang baik bila seseorang yang mengajukan permohonan kepada Allah Swt. terlebih dahulu memuji-Nya, setelah itu baru memohon kepada-Nya apa yang dia hajatkan —juga buat saudara-saudaranya yang beriman— melalui ucapannya, "Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus." Cara ini lebih membawa kepada keberhasilan dan lebih dekat untuk diperkenankan oleh-Nya; karena itulah Allah memberi mereka petunjuk cara ini, mengingat Ia paling sempurna. Adakalanya permohonan itu diungkapkan oleh si pemohon melalui kalimat berita yang mengisahkan keadaan dan keperluan dirinya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Nabi Musa a.s. dalam firman-Nya:

رَبِّ إِنِّي لِما أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku. (Al-Qashash : 24)

Tetapi adakalanya permohonan itu didahului dengan menyebut sifat Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Zun Nun dalam firman-Nya:

لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim. (Al-Anbiya: 87)

Adakalanya permohonan diungkapkan hanya dengan memuji orang yang diminta, sebagaimana yang telah dikatakan oleh seorang penyair:

أَأَذْكُرُ حَاجَتِي أَمْ قَدْ كَفَانِي ... حَيَاؤُكَ إِنَّ شِيمَتَكَ الْحَيَاءُ

إِذَا أَثْنَى عَلَيْكَ الْمَرْءُ يَوْمًا ... كَفَاهُ مِنْ تَعَرُّضِهِ الثَّنَاءُ

Apakah aku harus mengungkapkan keperluanku ataukah rasa malumu dapat mencukupi diriku, sesungguhnya pekertimu adalah orang yang pemalu, yaitu bilamana pada suatu hari ada seseorang memujimu, niscaya engkau akan memberinya kecukupan.

Al-hidayah atau hidayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah bimbingan dan taufik (dorongan). Lafaz hidayah ini adakalanya muta'addi dengan sendirinya. sebagaimana yang terdapat dalam ayat di bawah ini:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6)

Maka al-hidayah mengandung makna "berilah kami ilham atau berilah kami taufik, atau anugerahilah kami, atau berilah kami", sebagaimana yang ada dalam firman-Nya:

وَهَدَيْناهُ النَّجْدَيْنِ

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (Al-Balad: 1)

yang dimaksud ialah "Kami telah menjelaskan kepadanya (manusia) jalan kebaikan dan jalan keburukan".

Adakalanya al-hidayah muta'addi dengan ila seperti yang ada Dalam firman-Nya:

اجْتَباهُ وَهَداهُ إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ

Allah telah memilihnya dan memberinya petunjuk ke jalan yang lurus. (An-Nahl: 121)

Allah Swt. telah berfirman:

فَاهْدُوهُمْ إِلى صِراطِ الْجَحِيمِ

maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. (Ash-Shaffat: 23)

Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas ialah bimbingan dan petunjuk, begitu pula makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلى صِراطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Asy-Syura: 52)

Adakalanya al-hidayah ber-muta'addi kepada lam, sebagaimana ucapan ahli surga yang disitir oleh firman-Nya:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدانا لِهذا

Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. (Al-A'raf: 43)

Makna yang dimaksud ialah "segala puji bagi Allah yang telah mem-beri kami taufik ke surga ini dan menjadikan kami sebagai penghuni-nya".

Mengenai as-siratal mustaqim, menurut Imam Abu Ja'far ibnu Jarir semua kalangan ahli takwil telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan siratal mustaqim ialah "jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)". Pengertian ini berlaku di kalangan semua dialek bahasa Arab, antara lain seperti yang dikatakan oleh Jarir ibnu Atiyyah Al-Khatfi dalam salah satu bait syairnya, yaitu:

أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى صِرَاطٍ ... إِذَا اعْوَجَّ الْمَوَارِدُ مُسْتَقِيمُ

Amirul Mu’minin berada pada jalan yang lurus manakala jalan mulai bengkok (tidak lurus lagi).

Menurutnya, syawahid (bukti-bukti) yang menunjukkan pengertian tersebut sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Kemudian ia mengatakan, "Setelah itu orang-orang Arab menggunakan sirat ini dengan makna isti'arah (pinjaman). lalu digunakan untuk menunjukkan setiap ucapan, perbuatan, dan sifat baik yang lurus atau yang menyimpang. Maka jalan yang lurus disebut mustaqim, sedangkan jalan yang menyimpang disebut mu'awwij."

Selanjutnya ungkapan para ahli tafsir dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf berbeda dalam menafsirkan lafaz sirat ini, sekalipun pada garis besarnya mempunyai makna yang sama, yaitu mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya".

Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan sirat ialah Kitabullah alias Al-Qur'an.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يَمَانٍ، عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ سَعْدٍ، وَهُوَ أَبُو الْمُخْتَارِ الطَّائِيُّ، عَنِ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنِ الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ كِتَابُ اللَّهِ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Yaman, dari Hamzah Az-Zayyat, dari Sa'id (yaitu Ibnul Mukhtar At-Ta'i), dari anak saudaraku Al-Haris Al-A'war, dari Al-Haris Al-A'war sendiri, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Siratal Mustaqim adalah Kitabullah.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Hamzah ibnu Habib Az-Zayyat.

Dalam pembahasan yang lalu —yaitu dalam masalah keutamaan Al-Qur'an— telah disebutkan melalui riwayat Imam Ahmad dan Imam Turmuzi melalui riwayat Al-Haris Al-A'war, dari Ali r.a. secara marfu’,

"وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ، وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ، وَهُوَ الصِّرَاطُ المستقيم"

bahwa Al-Qur'an merupakan tali Allah yang kuat: dia adalah bacaan yang penuh hikmah. juga jalan yang lurus.

Telah diriwayatkan pula secara mauquf dari Ali r.a. Riwayat terakhir ini lebih mendekati kebenaran.

As-Sauri —dari Mansur, dari Abu Wa'il, dari Abdullah— telah mengatakan bahwa siratal mustaqim adalah Kitabullah (Al-Qur'an).

Menurut pendapat lain, siratal mustaqim adalah al-islam (agama Islam). Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Malaikat Jibril pernah berkata kepada Nabi Muhammad Saw., "Hai Muhammad, katakanlah. 'Tunjukilah kami jalan yang lurus'." Makna yang dimaksud ialah "berilah kami ilham jalan petunjuk, yaitu agama Allah yang tiada kebengkokan di dalamnya".

Maimun ibnu Mihran meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan firman-Nya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) Bahwa makna yang dimaksud dengan "jalan yang lurus" itu adalah "agama Islam".

Ismail ibnu Abdur Rahman As-Sadiyyul Kabir meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas dan Mun-ah Al-Hamazani, dari Ibnu Mas'ud, dari sejumlah sahabat Nabi Saw. sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6). Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam. Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil meriwayatkan dari Jabir sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6); dia mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agama Islam yang pengertiannya lebih luas daripada semua yang ada di antara langit dan bumi.

Ibnul Hanafiyyah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah: 6), bahwa yang dimaksud ialah "agama Islam yang merupakan satu-satunya agama yang diridai oleh Allah Swt. buat hamba-Nya".

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, yang dimaksud dengan ihdinas siratal mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus) ialah agama Islam.

Dalam hadis berikut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya disebutkan:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سَوَّارٍ أَبُو الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَى جَنْبَتَيِ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ، وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ، وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا تُعَوِّجُوا، وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ، فَإِذَا أَرَادَ الْإِنْسَانُ أَنْ يَفْتَحَ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ، قَالَ: وَيْحَكَ، لَا تَفْتَحْهُ؛ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ. فَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ، وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ، وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ، وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ، وَالدَّاعِي مِنْ فَوْقِ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ"

telah meriwayatkan kepada kami Al-Hasan ibnu Siwar Abul Ala, telah menceritakan kepada kami Lais (yakni Ibnu Sa'id), dari Mu'awiyah ibnu Saleh, bahwa Abdur Rahman ibnu Jabir ibnu Nafir menceritakan hadis berikut dari ayahnya, dari An-Nawwas ibnu Sam'an, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah membuat suatu perumpamaan, yaitu sebuah jembatan yang lurus; pada kedua sisinya terdapat dua tembok yang mempunyai pintu-pintu terbuka, tetapi pada pintu-pintu tersebut terdapat tirai yang menutupinya. sedangkan pada pintu masuk ke jembatan itu terdapat seorang penyeru yang menyerukan, "Hai manusia, masuklah kalian semua ke jembatan ini dan janganlah kalian menyimpang darinya." Dan di atas jembatan terdapat pula seorang juru penyeru; apabila ada seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu (yang berada pada kedua sisi jembatan) itu, maka juru penyeru berkata, "Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu, karena sesungguhnya jika kamu buka niscaya kamu masuk ke dalamnya." Jembatan itu adalah agama Islam, kedua tembok adalah batasan-batasan (hukuman-hukuman had) Allah, pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, sedangkan juru penyeru yang berada di depan pintu jembatan adalah Kitabullah, dan juru penyeru yang berada di atas jembatan itu adalah nasihat Allah yang berada dalam kalbu setiap orang muslim.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir melalui hadis Lais ibnu Sa'd dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkan pula hadis ini melalui Ali ibnu Hujr, dari Baqiyyah, dari Bujair ibnu Sa'd ibnu Khalid ibnu Ma'dan, dari Jubair ibnu Nafir, dari An-Nawwas ibnu Sam'an dengan lafaz yang sama. Sanad hadis ini hasan sahih.

Mujahid mengatakan bahwa makna ayat, "Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus," adalah perkara yang hak. Makna ini lebih mencakup semuanya dan tidak ada pertentangan antara pendapat ini de-ngan pendapat-pendapat lain yang sebelumnya.

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan melalui hadis Abun Nadr Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Hamzah ibnul Mugirah, dari Asim Al-Ahwal, dari Abul Aliyah mengenai makna "Tunjukilah kami ke jalan yang benar"; bahwa yang dimaksud dengan jalan yang benar adalah Nabi Saw. sendiri dan kedua sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar r.a.). Asim mengatakan, "Lalu kami ceritakan pendapat tersebut kepada Al-Hasan, maka Al-Hasan berkata, 'Abul Aliyah memang benar dan telah menunaikan nasihatnya'."

Semua pendapat di atas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat, karena barang siapa mengikuti Nabi Saw. dan kedua sa-abat yang sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar r.a.), berarti dia mengikuti jalan yang hak (benar); dan barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti dia mengikuti jalan Islam. Barang siapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur'an, yaitu Kitabullah atau tali Allah yang kuat atau jalan yang lurus. Semua definisi yang telah dikemukakan di atas benar, masing-masing membenarkan yang lainnya.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu-hammad ibnu Fadl As-Siqti, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi Al-Masisi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Al-A'masy. dari Abu Wa'il. dari Abdullah yang mengatakan bahwa siratal mustaqim itu ialah apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. buat kita semua.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan bahwa takwil yang lebih utama bagi ayat berikut, yakni: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) ialah "berilah kami taufik keteguhan dalam mengerjakan semua yang Engkau ridai dan semua ucapan serta perbuatan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat taufik di antara hamba-hamba-Mu", yang demikian itu adalah siratal mustaqim (jalan yang lurus). Dikatakan demikian karena orang yang telah diberi taufik untuk mengerjakan semua perbuatan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang telah mendapat nikmat taufik dari Allah di antara hamba-hamba-Nya —yakni dari kalangan para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang saleh— berarti dia telah mendapat taufik dalam Islam, berpegang teguh kepada Kitabullah, mengerjakan semua yang diperintahkan oleh Allah, dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta mengikuti jejak Nabi Saw. dan empat khalifah sesudahnya serta jejak setiap hamba yang saleh. Semua itu termasuk ke dalam pengertian siratal mustaqim (jalan yang lurus).

Apabila dikatakan kepadamu, "Mengapa seorang mukmin dituntut untuk memohon hidayah dalam setiap salat dan juga dalam keadaan lainnya, padahal dia sendiri berpredikat sebagai orang yang beroleh hidayah? Apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang sudah teraih?"

Sebagai jawabannya dapat dikatakan, "Tidak." Seandainya seorang hamba tidak memerlukan minta petunjuk di siang dan malam harinya, niscaya Allah tidak akan membimbingnya ke arah itu. Karena sesungguhnya seorang hamba itu selalu memerlukan Allah Swt. Dalam setiap keadaanya. agar dimantapkan hatinya pada hidayah dan dipertajam pandangannya untuk menemukan hidayah, serta hidayahnya bertambah meningkat dan terus-menerus berada dalam jalan hidayah. Sesungguhnya seorang hamba tidak dapat membawa manfaat buat dirinya sendiri dan tidak dapat menolak mudarat terhadap dirinya kecuali sebatas apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Maka Allah memberinya petunjuk agar dia minta kepada-Nya setiap wakru. semoga Dia memberinya pertolongan dan keteguhan hati serta taufik. Orang yang berbahagia adalah orang yang beroleh taufik Allah hingga dirinya terdorong memohon kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah Swt. telah menjamin akan memperkenankan doa orang yang meminta kepada-Nya. Terlebih lagi bagi orang yang dalam keadaan terdesak lagi sangat memerlukan pertolongan di setiap waktunya, baik di tengah malam ataupun di pagi dan petang harinya.

Allah Swt. telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلى رَسُولِهِ وَالْكِتابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ

Wahai orang-orangyang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (An-Nisa: 136)

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk beriman. Hal seperti ini bukan termasuk ke dalam pengertian meraih apa yang telah teraih, melainkan makna yang dimaksud ialah "perintah untuk lebih meneguhkan iman dan terus-menerus melakukan semua amal perbuatan yang melestarikan keimanan". Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan doa berikut yang termaktub di dalam firman-Nya:

رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا وَهَبْ لَنا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia). (Ali Imran: 8)

Abu Bakar As-Siddiq r.a. sering membaca ayat ini dalam rakaat ketiga setiap salat Magrib, yaitu sesudah dia membaca surat Al-Fatihah; ayat ini dibacanya dengan suara perlahan. Berdasarkan kesimpulan ini dapat dikatakan bahwa makna firman-Nya: Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Al-Fatihah: 6) ialah "tetapkanlah kami pada jalan yang lurus dan janganlah Engkau simpangkan kami ke jalan yang lain".


صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ 7

(7) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

(7) 

Dalam hadis yang lalu disebutkan apabila seseorang hamba mengucapkan.”Tunjukilah kami ke jalan yang lurus ...." sampai akhir surat. maka Allah Swt. berfirman: Ini untuk Hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.

Firman Allah swt yang mengatakan: Yaitu jalan orang-orangyang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 7) berkedudukan menafsirkan makna siratal mustaqim. Menurut kalangan ahli nahwu menjadi badal dan boleh dianggap sebagai 'ataf bayan.

Orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah Swt. adalah mereka yang disebutkan di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفى بِاللَّهِ عَلِيماً

Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui. (An-Nisa: 69-7)

Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah Swt., "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7) ialah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu; mereka adalah para malaikat-Mu, para nabi-Mu, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mere-ka itu bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga akhir ayat. (An-Nisa: 69)

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya, "(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka" (Al-Fatihah: 7). Makna yang dimaksud adalah "para nabi".

Ibnu Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a., bahwa yang dimaksud dengan "mereka" adalah orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid. Sedangkan menurut Waki'. mereka adalah orang-orang muslim.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi Saw. dan orang-orang yang mengikutinya. Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi mempunyai pengertian yang lebih mencakup dan lebih luas.

*****

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah: 7)

Menurut jumhur ulama, lafaz gairi dibaca jar berkedudukan sebagai na'at (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan dibaca gaira secara nasab karena dianggap sebagai hal (keterangan keadaan), hal ini merupakan bacaan Rasulullah Saw. dan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Qiraah ini diriwayatkan oleh Ibnu Kasir. Sedangkan yang berkedudukan sebagai zul hal ialah damir yang ada pada lafaz 'alaihim, dan menjadi 'amil ialah lafaz an'amta.

Makna ayat "tunjukilah kami kepada jalan yang lurus" yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah disebutkan sifat dan ciri khasnya. Mereka adalah ahli hidayah. istiqamah, dan taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka mengetahui perkara yang hak, tetapi menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang yang sesat. mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama). akhirnya mereka bergelimang dalam kesesatan. tanpa mendapatkan hidayah kepada jalan yang hak (benar).

Pembicaraan dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf la untuk menunjukkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani.

Sebagian dari kalangan ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata gairi dalam ayat ini bermakna istisna (pengecualian). Berdasarkan takwil ini berarti istisna bersifat munqati', mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh nikmat. dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami ketengahkan di atas adalah pendapat yang lebih baik karena berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu:

كَأَنَّكَ مِنْ جِمَالِ بَنِي أُقَيْشٍ ... يُقَعْقِعُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ بِشَنِّ

Seakan-akan engkau merupakan salah satu dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan suara dari kedua kakinya di saat melakukan penyerangan.

Makna yang dimaksud ialah "seakan-akan kamu mirip dengan salah seekor unta dari temak unta milik Bani Aqyasy". Dalam kalimat ini mausuf dibuang karena cukup dimengerti dengan menyebutkan sifatnya. Demikian pula dalam kalimat gairil magdubi 'alaihim, makna yang dimaksud ialah gairi siratil magdubi 'alaihim (bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai). Dalam kalimat ini cukup hanya dengan menyebut mudafilaih-nya saja, tanpa mudaf lagi; pengertian ini telah ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka. (Al-Fatihah: 6-7)

Kemudian Allah Swt. berfirman:

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)

Di antara mereka ada yang menduga bahwa huruf la dalam firman-Nya, "Walad dallina," adalah la zaidah (tambahan). Bentuk kalam selengkapnya menurut hipotesis mereka adalah seperti berikut: "Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan orang-orang yang sesat." Mereka mengatakan demikian berdalilkan perkataan Al-Ajjaj (salah seorang penyair), yaitu:

فِي بِئْرٍ لَا حُورٍ سَرَى وَمَا شَعَرَ

Dalam sebuah telaga —bukan telaga yang kering— dia berjalan, sedangkan dia tidak merasakannya.

Makna yang dimaksud ialah bi-ri haurin. Akan tetapi, makna yang sahih adalah seperti yang telah kami sebutkan di atas.

Karena itu, Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Fadailil Qur’an meriwayatkan sebuah asar Abu Mu'awiyah, dari A'masy dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Umar ibnul Khattab r.a. Disebutkan bahwa Umar r.a. pernah membaca gairil magdubi 'alaihim wa gairid dallina.

Sanad asar ini berpredikat sahih.

Demikian pula telah diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, bahwa dia membacanya demikian, tetapi dapat diinterpretasikan bahwa bacaan tersebut dilakukan oleh keduanya (Umar dan Ubay) dengan maksud menafsirkannya. Dengan demikian, bacaan ini memperkuat apa yang telah kami katakan. yaitu bahwa sesungguhnya huruf la didatangkan hanya untuk menguatkan makna nafi agar tidak ada dugaan yang menyangka bahwa lafaz ini di-ataf-kan kepada allazina an'amta 'alaihim; juga untuk membedakan kedua jalan tersebut dengan maksud agar masing terpisah jauh dari yang lainnya. karena sesungguhnya jalan yang ditempuh oleh ahli iman mengandung ilmu yang hak dan pengamalannya. Sedangkan -orang-orang Yahudi telah kehilangan pengamalannya, dan orang-orang Nasrani telah kehilangan ilmunya. Karena itu dikatakan murka menimpa orang-orang Yahudi dan kesesatan menimpa orang-orang Nasrani. Orang yang mengetahui suatu ilmu lalu ia meninggalkannya, yakni tidak mengamalkannya, berarti ia berhak mendapat murka; lain halnya dengan orang yang tidak mempunyai ilmu. Orang-orang Nasrani di saat mereka mengarah ke suatu tujuan. tetapi mereka tidak mendapat petunjuk menuju ke jalannya, mengingat mereka mendatangi sesuatu bukan dari pintunya, yakni tidak mengikuti perkara yang hak, akhirnya sesatlah mereka. Orang-orang Yahudi dan Nasrani sesat lagi dimurkai. Hanya, yang dikhususkan mendapat murka adalah orang-orang Yahudi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman Allah Swt.:

مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ

yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah. (Al-Maidah: 6)

Yang dikhususkan mendapat predikat sesat adalah orang-orang Nasrani, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيراً وَضَلُّوا عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ

mereka telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 77)

Hal yang sama disebutkan pula oleh banyak hadis dan asar. Pengertian ini tampak jelas dan gamblang dalam riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ سِماك بْنَ حَرْبٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عبَّاد بْنَ حُبَيش، يُحَدِّثُ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ: جَاءَتْ خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذُوا عَمَّتِي وَنَاسًا، فَلَمَّا أَتَوْا بِهِمْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُفُّوا لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَاءَ الْوَافِدُ وَانْقَطَعَ الْوَلَدُ، وَأَنَا عَجُوزٌ كَبِيرَةٌ، مَا بِي مِنْ خِدْمَةٍ، فمُنّ عَلَيَّ مَنّ اللَّهُ عَلَيْكَ، قَالَ: "مَنْ وَافِدُكِ؟ " قَالَتْ: عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ، قَالَ: "الَّذِي فَرَّ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ! " قَالَتْ: فمنَّ عَلَيَّ، فَلَمَّا رَجَعَ، وَرَجُلٌ إِلَى جَنْبِهِ، تَرَى أَنَّهُ عَلِيٌّ، قَالَ: سَلِيهِ حُمْلانا، فَسَأَلَتْهُ، فَأَمَرَ لَهَا، قَالَ: فَأَتَتْنِي فَقَالَتْ: لَقَدْ فَعَلَ فَعْلَةً مَا كَانَ أَبُوكَ يَفْعَلُهَا، فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، وَأَتَاهُ فُلَانٌ فَأَصَابَ مِنْهُ، فَأَتَيْتُهُ فَإِذَا عِنْدَهُ امْرَأَةٌ وَصِبْيَانٌ أَوْ صَبِيٌّ، وَذَكَرَ قُرْبَهُمْ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَعَرَفْتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِمُلْكِ كسرى ولا قيصر، فقال: "يَا عَدِيُّ، مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ فَهَلْ مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: مَا أَفَرَّكَ أَنْ يُقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، فَهَلْ شَيْءٌ أَكْبَرُ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ؟ ". قَالَ: فَأَسْلَمْتُ، فَرَأَيْتُ وَجْهَهُ اسْتَبْشَرَ، وَقَالَ: "الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ، وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى"

Dia mengatakan. telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar Sammak ibnu Harb menceritakan hadis berikut, bahwa dia mendengar Abbad ibnu Hubaisy menceritakannya dari Addi ibnu Hatim. Addi ibnu Hatim mengatakan, "Pasukan berkuda Rasulullah Saw. tiba, lalu mereka mengambil bibiku dan sejumlah orang dari kaumku. Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullah Saw., mereka berbaris ber-saf di hadapannya, dan berkatalah bibiku. 'Wahai Rasulullah. pemimpin kami telah jauh. dan aku tak beranak lagi, sedangkan aku adalah seorang wanita yang telah lanjut usia, tiada suatu pelayan pun yang dapat kusajikan. Maka bebaskanlah diriku, semoga Allah membalasmu.' Rasulullah Saw. bertanya, 'Siapakah pemimpinmu?' Bibiku menjawab, 'Addi ibnu Hatim.' Rasulullah Saw. menjawab, 'Dia orang yang membangkang terhadap Allah dan Rasul-Nya,' lalu beliau membebaskan bibiku. Ketika Rasulullah Saw. kembali bersama seorang lelaki di sampingnya lalu lelaki itu berkata (kepada bibiku), 'Mintalah unta kendaraan kepadanya,' lalu aku meminta unta kendaraan kepadanya dan ternyata aku diberi." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Setelah itu bibiku datang kepadaku dan berkata, 'Sesungguhnya aku diperlakukan dengan suatu perlakuan yang tidak pernah dilakukan oleh ayahmu. Sesungguhnya beliau kedatangan seseorang, lalu orang itu memperoleh darinya apa yang dimintanya; dan datang lagi kepadanya orang lain, maka orang itu pun memperoleh darinya apa yang dimintanya'." Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya, "Maka aku datang kepada beliau Saw. Ternyata di sisi beliau terdapat seorang wanita dan banyak anak, lalu disebutkan bahwa mereka adalah kaum kerabat Nabi Saw. Maka aku kini mengetahui bahwa Nabi Saw. bukanlah seorang raja seperti kaisar, bukan pula seperti Kisra. Kemudian beliau Saw. bersabda kepadaku, 'Hai Addi. apakah yang mendorongmu hingga kamu membangkang tidak mau mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah'? Apakah ada Tuhan selain Allah? Apakah yang mendorongmu membangkang tidak mau mengucapkan, 'Allahu Akbar'? Apakah ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah Swt.'?" Addi ibnu Hatim melanjutkan kisahnya.”Maka aku masuk Islam. dan kulihat wajah beliau tampak berseri-seri, lalu beliau bersabda,

«إن الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ الْيَهُودُ وَإِنَّ الضَّالِّينَ النَّصَارَى»

'Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu adalah orang-orang Yahudi, dan sesungguhnya orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang Nasrani'."

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi melalui Hadis Sammak ibnu Harb, dan ia menilainya hasan garib. Ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini kecuali dari Sammak ibnu Harb."

Menurut kami, hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Hammad ibnu Salamah melalui Sammak, dari Murri ibnu Qatri, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai firman-Nya. 'Bukan jalan orang-orang yang dimurkai," lalu beliau menjawab. 'Mereka adalah orang-orang Yahudi"; dan tentang firman-Nya. -Dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat" beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah ibnu Ismail ibnu Abu Khalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim dengan lafaz yang sama. Hadis Addi ini diriwayatkan melalui berbagai jalur sanad dan mempunyai banyak lafaz (teks), bila dibahas cukup panjang.

قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ بُدَيْل العُقَيْلي، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيق، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ مَنْ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِوَادِي القُرَى، وَهُوَ عَلَى فَرَسِهِ، وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي الْقَيْنِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: " الْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ -وَأَشَارَ إِلَى الْيَهُودِ-وَالضَّالُّونَ هُمُ النَّصَارَى"

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Badil Al-Uqaili; telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Syaqiq, bahwa ia pernah mendapat berita dari orang yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda ketika beliau berada di Wadil Qura seraya menaiki kudanya, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Qain bertanya, "Siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?" Lalu beliau Saw. bersabda: Mereka adalah orang-orang yang dimurkai, seraya menunjukkan isyaratnya kepada orang-orang Yahudi; dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.

Al-Jariri, Urwah, dan Khalid meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Syaqiq, tetapi mereka me-mursal-kannya dan tidak menyebutkan orang yang mendengar dari Nabi Saw. Di dalam riwayat Urwah disebut nama Abdullah ibnu Amr.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadis Ibrahim ibnu Tahman, dari Badil ibnu Maisarah, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Abu Zar r.a. yang menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna al-magdubi 'alaihim. Beliau menjawab bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Aku bertanya lagi, "(Siapakah) orang-orang yang sesat?" Beliau menjawab, "Orang-orang Nasrani."

As-Saddi meriwayatkan dari Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dan dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud serta dari segolongan orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. Disebutkan bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.

Dahhak dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, sedangkan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lainnya yang bukan hanya seorang.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, ia belum pernah mengetahui di kalangan ulama tafsir ada perselisihan pendapat mengenai makna ayat ini. Bukti yang menjadi pegangan pada imam tersebut dalam masalah "orang-orang Yahudi adalah mereka yang dimurkai, dan orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat" ialah hadis yang telah lalu dan firman Allah Swt. yang mengisahkan tentang kaum Bani Israil dalam surat Al-Baqarah, yaitu:

بِئْسَمَا اشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِما أَنْزَلَ اللَّهُ بَغْياً أَنْ يُنَزِّلَ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلى مَنْ يَشاءُ مِنْ عِبادِهِ فَباؤُ بِغَضَبٍ عَلى غَضَبٍ وَلِلْكافِرِينَ عَذابٌ مُهِينٌ

Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu, mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan. (Al-Baqarah: 9)

Di dalam surat Al-Maidah Allah Swt. berfirman:

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولئِكَ شَرٌّ مَكاناً وَأَضَلُّ عَنْ سَواءِ السَّبِيلِ

Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi, dan (orang yang) menyembah tagut?" Mereka ini lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (Al-Maidah: 6)

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرائِيلَ عَلى لِسانِ داوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذلِكَ بِما عَصَوْا وَكانُوا يَعْتَدُونَ كانُوا لَا يَتَناهَوْنَ عَنْ مُنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كانُوا يَفْعَلُونَ

Telah dilaknai orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (Al-Maidah: 78-79)

Di dalam kitab Sirah (sejarah) disebutkan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, ketika dia bersama segolongan teman-temannya berangkat menuju negeri Syam dalam rangka mencari agama yang hanif (agama Nabi Ibrahim a.s.). Setelah mereka sampai di negeri Syam, orang-orang Yahudi berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr menjawab, "Aku justru sedang mencari jalan agar terhindar dari murka Allah." Orang-orang Nasrani berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu tidak akan mampu masuk agama kami sebelum kamu mengambil bagianmu dari murka Allah." Maka Amr ibnu Nufail menjawab, "Aku tidak mampu."

Amr ibnu Nufail tetap pada fitrahnya dan menjauhi penyembahan kepada berhala dan menjauhi agama kaum musyrik, tidak mau masuk, baik ke dalam agama Yahudi maupun agama Nasrani. Sedangkan teman-temannya masuk agama Nasrani karena mereka menganggap agama Nasrani lebih dekat kepada agama hanif daripada agama Yahudi pada saat itu. Di antara mereka adalah Waraqah ibnu Naufal, hingga dia mendapat petunjuk dari Allah melalui Nabi-Nya, yaitu di saat Allah mengutusnya dan dia beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya. Semoga Allah melimpahkan rida kepadanya.

Makna Surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah berisikan tujuh ayat, yaitu mengandung pujian kepada Allah, mengagungkan-Nya. dan menyanjung-Nya dengan menyebut asma-asma-Nya yang terbaik sesuai dengan sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Disebutkan pula hari kembali —yaitu hari pembalasan— dan mengandung petunjuk-Nya buat hamba-hamba-Nya agar mereka memohon dan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya serta berlepas diri dari upaya dan kekuatan mereka. Surat Al-Fatihah mengandung makna ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan meng-esakan-Nya dengan sifat uluhiyyah serta membersihkan-Nya dari segala bentuk persekutuan atau persamaan atau tandingan. Mengandung permohonan mereka kepada Allah Swt untuk diberi hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus —yaitu agama Islam— dan permohonan mereka agar hati mereka diteguhkan dalam agama tersebut hingga dapat mengantarkan mereka melampaui sirat (jembatan) yang sesungguhnya kelak di hari kiamat dan akhirnya akan membawa mereka ke surga yang penuh dengan kenikmatan di sisi para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh.

Surat ini mengandung targib (anjuran) untuk mengerjakan amal-amal saleh agar mereka dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang saleh kelak di hari kiamat. Juga mengandung tarhib (peringatan) terhadap jalan yang batil agar mereka tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang menempuhnya kelak di hari kiamat. Mereka yang menempuh jalan batil itu adalah orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat.

Alangkah indahnya ungkapan isnad (penyandaran) pemberian nikmat kepada Allah Swt. dalam firman-Nya:

صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, (Al-Fatihah: 7)

Dibuangnya fail dalam firman-Nya:

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

bukan (jalan) mereka yang dimurkai. (Al-Fatihah: 7)

sekalipun pada hakikatnya Allah sendirilah yang menjadi fa'il-nya, sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْماً غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? (Al-Mujadilah: 14)

Demikian pula dalam meng-isnad-kan dalal (kesesatan) kepada pelakunya, sekalipun pada hakikatnya Allah-lah yang menyesatkan mereka melalui takdir-Nya, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman Allah Swt:

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِداً

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. (Al-Kahfi: 17)

مَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلا هادِيَ لَهُ وَيَذَرُهُمْ فِي طُغْيانِهِمْ يَعْمَهُونَ

Barang siapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. (Al-A'raf: 186)

Masih banyak ayat lainnya yang menunjukkan bahwa hanya Allah sematalah yang memberi hidayah dan yang menyesatkan, tidak seperti yang dikatakan oleh golongan Qadariyah dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Mereka mengatakan bahwa pelakunya adalah hamba-hamba itu sendiri, mereka mempunyai pilihan sendiri untuk melakukannya. Golongan Qadariyah ini mengatakan demikian dengan dalil-dalil mutasyabih dari Al-Qur'an dan tidak mau memakai nas-nas sarih (jelas) yang justru membantah pendapat mereka. Hal seperti ini termasuk sikap dari orang-orang yang sesat dan keliru. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

«إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ»

Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al-Qur’an, mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah. Maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.

Yang dimaksud ialah yang dinamakan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya:

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغاءَ تَأْوِيلِهِ

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih darinya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. (Ali Imran: 7)

Segala puji bagi Allah, tiada bagi orang ahli bid'ah suatu hujah pun yang sahih di dalam Al-Qur'an, karena Al-Qur'an diturunkan untuk memisahkan antara perkara yang hak dan perkara yang batil dan membedakan antara hidayah dengan kesesatan. Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat pertentangan, tidak pula perselisihan, karena ia dari sisi Allah, yaitu diturunkan dari Tuhan Yang Maha bijaksana lagi Maha Terpuji.

Fasal Tentang Amin

Orang yang membaca Al-Fatihah disunatkan mengucapkan lafaz amin sesudahnya yang ber-wazan semisal dengan lafaz yasin. Akan tetapi, adakalanya dibaca amin dengan bacaan yang pendek. Makna yang dimaksud ialah "kabulkanlah."

Dalil yang menunjukkan hukum sunat membaca amin ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Daud, dan Imam Turmuzi melalui Wa'il ibnu Hujr yang menceritakan:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ فَقَالَ: "آمِينَ"، مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ، وَلِأَبِي دَاوُدَ: رَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ

Aku pernah mendengar Nabi Saw. membaca, "gairil magdubi 'alaihim walad dallin." Maka beliau membaca, "'amin," seraya memanjangkan suaranya dalam membacanya. Menurut riwayat Imam Abu Daud, beliau mengeraskan bacaan amin-nya.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan. Hadis yang sama diriwayatkan pula melalui Ali r.a. dan Ibnu Mas'ud serta lain-lainnya.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلَا غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ قَالَ: "آمِينَ" حَتَّى يُسْمِعَ مَنْ يَلِيهِ مِنَ الصَّفِّ الْأَوَّلِ

Dari Abu Hurairah r.a.. disebutkan bahwa apabila Rasulullah Saw. Membaca . -Gairil magdubi 'alaihim walad dallin," lalu beliau membaca -Ammiin- hingga orang-orang yang berada di sebelah kiri dan kanannya dari saf pertama mendengar suaranya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah, tetapi di dalamnya ditambahkan bahwa masjid bergetar karena suara bacaan amin.

Imam Ad-Daruqutni mengatakan, sanad hadis ini berpredikat hasan.

عَنْ بِلَالٍ أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا تسبقني بآمين

Dari Bilal, disebutkan bahwa dia pernah berkata.”Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahuluiku dengan bacaan amin(mu) "

Demikianlah menurut riwayat Abu Daud.

Abu Nasr Al-Qusyairi telah menukil dari Al-Hasan dan Ja'far As-Sadiq, bahwa keduanya membaca tasydid huruf mim lafaz amin, semisal dengan apa yang terdapat di dalam firman-Nya:

آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرامَ

(dan jangan pula mengganggu) orang-orang yang mengunjungi Baitullah. (Al-Maidah: 2)

Menurut teman-teman kami dan selain mereka, bacaan amin ini disunatkan pula bagi orang yang berada di luar salat, dan lebih kuat lagi kesunatannya bagi orang yang sedang salat, baik dia salat sendirian, sebagai imam, ataupun sebagai makmum. dan dalam semua keadaan; karena di dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis melalui Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

Apabila imam membaca amin, maka ber-amin-lah kalian, karena sesungguhnya barang siapa yang bacaan amin-nya bersamaan dengan bacaan amin para malaikat, niscaya dia mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya terdahulu.

Menurut riwayat Imam Muslim. Rasulullah Saw. telah bersabda:

«إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ آمِينَ وَالْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

Apabila seseorang di antara kalian mengucapkan amin dalam salatnya, maka para malaikat yang di langit membaca amin pula dan ternyata bacaan masing-masing bersamaan dengan yang lainnya, niscaya dia mendapat ampunan terhadap dosa-dosanya yang terdahulu.

Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah "barang siapa bacaan amin-nya. bersamaan waktunya dengan bacaan amin para malaikat". Menurut pendapat lain, bersamaan dalam menjawabnya; sedangkan menurut pendapat yang lainnya lagi, dalam hal keikhlasannya.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Abu Musa secara marfu

"إِذَا قَالَ، يَعْنِي الْإِمَامَ: وَلَا الضَّالِّينَ ، فَقُولُوا: آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ"

"Apabila imam mengucapkan walad dallin, maka ucapkanlah amin oleh kalian, niscaya Allah memperkenankan (doa) kalian.”

Juwaibir meriwayatkan melalui Dahhak, dari Ibnu Abbas yang menceritakan:

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا مَعْنَى آمِينَ؟ قَالَ: "رَبِّ افْعَلْ"

Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah makna amin itu?" Beliau menjawab, "Wahai Tuhanku, kabulkanlah doa kami’

Al-Jauhari mengatakan, memang demikianlah makna amin, maka sebaiknya dilakukan. Sedangkan menurut Imam Turmuzi. makna amin ialah "'janganlah Engkau mengecewakan harapan kami". Tetapi menurut kebanyakan ulama, makna amin ialah "ya Allah, perkenankanlah bagi kami".

Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid dan Ja'far As-Sadiq serta Hilal ibnu Yusaf, bahwa amin merupakan salah satu dari asma-asma Allah Swt Hal ini diriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas secara marfu. Akan tetapi, menurut Abu Bakar ibnul Arabi Al-Maliki riwayat ini tidak sahih.

Murid-murid Imam Malik mengatakan bahwa imam tidak boleh membaca amiin, yang membaca amin hanyalah makmum. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Mafik melalui Sumai dari Abu Saleh dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda:

«وَإِذَا قَالَ- يَعْنِي الْإِمَامَ- وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ»

Apabila imam membaca walad dallin, maka ucapkanlah amin Oleh kalian.

Mereka lebih cenderung kepada hadis Abu Musa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

"وَإِذَا قَرَأَ: وَلَا الضَّالِّينَ ، فَقُولُوا: "آمِينَ"

Apabila imam membaca, "Walad dallin," maka ucapkanlah, "Amin," oleh kalian.

Dalam hadis yang muttafaq alaih yang telah kami ketengahkan disebutkan:

«إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا»

Apabila imam membaca amin, maka ber-amin-lah kalian.

Nabi Saw. selalu mengucapkan amin bila telah membaca, "Gairil magdubi 'alaihim walad dallin."

Teman-teman kami (mazhab Syafii) berselisih pendapat mengenai bacaan keras amin bagi makmum dalam salat jahriyyah. Dari perselisihan mereka dapat disimpulkan bahwa "apabila imam lupa membaca amin, maka makmum mengeraskan bacaan amin-nya." Ini merupakan satu pendapat. Bila imam membaca amin-nya dengan suara keras, menurut qaul jadid (ijtihad Imam Syafii di Mesir), makmum tidak mengeraskan bacaan amin-nya. Pendapat yang sama dikatakan pula oleh mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Malik. Dikatakan demikian karena amin merupakan salah satu zikir. Untuk itu, tidak boleh dibaca keras, sama halnya dengan zikir salat yang lainnya.

Sedangkan menurut qaul qadim (ijtihad Imam Syafii di Bagdad), makmum mernbacanya dengan suara keras. Pendapat ini merupakan yang dianut di kalangan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal dan riwayat lain dari Imam Malik. Dikatakan demikian karena di dalam hadisnya disebutkan.”Hingga masjid bergetar (karena bacaan amin)."

Menurut kami, ada pendapat ketiga dari kami sendiri, yaitu "apabila masjid yang dipakai berukuran kecil, maka makmum tidak boleh mengeraskan bacaan amin-nya, karena para makmum dapat mendengar bacaan imam. Lain halnya jika masjid yang dipakai berukuran besar, maka makmum mengeraskan bacaan amin agar dapat didengar oleh seluruh makmum yang ada di dalam masjid".

Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya telah meriwayatkan melalui Siti Aisyah r.a., bahwa pernah dikisahkan perihal orang-orang Yahudi di hadapan Rasulullah Saw. Maka beliau bersabda:

«إِنَّهُمْ لَنْ يَحْسُدُونَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسُدُونَا عَلَى الْجُمُعَةِ التي هدانا الله لها وضلوا عنها وعلى القبلة التي هدانا الله لها وضلوا عنها وَعَلَى قَوْلِنَا خَلْفَ الْإِمَامِ آمِينَ»

Sesungguhnya mereka tidak dengki terhadap kita atas sesuatu hal sebagaimana kedengkian mereka terhadap kita karena salat Jumat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, tetapi mereka sesat darinya; dan karena kiblat yang telah Allah tunjukkan kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya. dan karena ucapan amin kita di belakang imam.

Ibnu Majah meriwayatkannya pula dengan lafaz seperti berikut:

«مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى السَّلَامِ وَالتَّأْمِينِ»

Tiada sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian mereka kepada kalian karena ucapan salam dan amin.

Ibnu Majah meriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَى قَوْلِ آمِينَ فَأَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ آمِينَ»

Tidak sekali-kali orang-orang Yahudi dengki kepada kalian sebagaimana kedengkian mereka kepada kalian karena ucapan amin. Maka perbanyaklah bacaan amin.

Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat Talhah ibnu Amr, sedangkan dia berpredikat daif.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,

"آمِينَ: خَاتَمُ رَبِّ الْعَالَمِينَ عَلَى عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ"

"Ucapan amin adalah pungkasan doa semua orang bagi hamba-hamba-Nya yang beriman."

Dari Anas r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«أُعْطِيتُ آمِينَ فِي الصَّلَاةِ وَعِنْدَ الدُّعَاءِ لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ قَبْلِي إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُوسَى، كَانَ مُوسَى يَدْعُو وَهَارُونُ يُؤَمِّنُ فَاخْتِمُوا الدُّعَاءَ بِآمِينَ فَإِنَّ اللَّهَ يَسْتَجِيبُهُ لَكُمْ»

Aku dianugerahi amin dalam salat dan ketika melakukan doa, tiada seorang pun sebelumku (yang diberi amin) selain Musa. Dahulu Musa berdoa, sedangkan Harun mengamininya. Maka pungkasilah doa kalian dengan bacaan amin, karena sesungguhnya Allah pasti akan memperkenankan bagi kalian.

Menurut kami, sebagian ulama berdalilkan ayat berikut, yaitu firman-Nya:

وَقالَ مُوسى رَبَّنا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوالًا فِي الْحَياةِ الدُّنْيا رَبَّنا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلى أَمْوالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلى قُلُوبِهِمْ فَلا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذابَ الْأَلِيمَ. قالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُما فَاسْتَقِيما وَلا تَتَّبِعانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Musa berkata, "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami. akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Wahai Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." Allah berfirman, "Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui’ (Yunus: 88-89)

Allah menyebutkan bahwa yang berdoa hanyalah Musa a.s. sendiri, dan dari konteks kalimat terdapat pengertian yang menunjukkan bahwa Harun yang mengamini doanya. Maka kedudukan Harun ini disamakan dengan orang yang berdoa, karena berdasarkan firman-Nya: Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua. (Yunus: 89)

Hal ini jelas menunjukkan bahwa orang yang mengamini suatu doa seakan-akan dia sendiri yang berdoa. Berdasarkan pengertian ini, maka berkatalah orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya makmum tidak usah membaca surat Al-Fatihah lagi karena ucapan amin-nya atas bacaan surat tersebut sama kedudukannya dengan dia membacanya sendiri. Karena itu, dalam sebuah hadis disebutkan:

"مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الْإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ"

Barang siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imamnya itu juga bacaannya.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya. Bilal pernah mengatakan.”Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahului aku dengan ucapan amin(mu)" Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bacaan bagi makmum dalam salat jahriyah berkat ucapan amin-nya).

قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ لَيْثِ بْنِ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنْ كَعْبٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا قَالَ الْإِمَامُ: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ فَقَالَ: آمِينَ، فَتُوَافِقُ آمِينَ أَهْلِ الْأَرْضِ آمِينَ أَهْلِ السَّمَاءِ، غَفَرَ اللَّهُ لِلْعَبْدِ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَثَلُ مَنْ لَا يَقُولُ: آمِينَ، كَمَثَلِ رَجُلٍ غَزَا مَعَ قَوْمٍ، فَاقْتَرَعُوا، فَخَرَجَتْ سِهَامُهُمْ، وَلَمْ يَخْرُجْ سَهْمُهُ، فَقَالَ: لِمَ لَمْ يَخْرُجْ سَهْمِي؟ فَقِيلَ: إِنَّكَ لم تقل: آمين"

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Salam, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibranim, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Lais, dari Ibnu Abu Salim, dari Ka'b, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Apabila seorang imam mengucapkan gairil magdubi 'alaihim walad dallin, lalu ia mengucapkan amin. ternyata bacaan amin penduduk bumi bersamaan dengan bacaan amin penduduk langit (para malaikat), niscaya Allah mengampuni hamba yang bersangkutan dari dosa-dosanya yang terdahulu. Perumpamaan orang-orang yang tidak membaca amin (dalam salatnya) sama dengan seorang lelaki berangkat berperang bersama suatu kaum. Kemudian mereka melakukan undian (untuk menentukan yang maju) dan ternyata bagian mereka keluar, sedangkan bagian dia tidak keluar. Kemudian dia memprotes.”Mengapa bagianku tidak keluar?"Maka dijawab, "Karena kamu tidak membaca amin.”