5 - المائدة - Al-Maaida
The Table
Medinan
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًۭا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍۢ لِّإِثْمٍۢ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 3
(3) Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(3)
Allah Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kalimat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bangkai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat (bahaya), mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya; hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah mengharamkannya.
Tetapi dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya.
Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta '-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawab:
"هُوَ الطَّهُور مَاؤُهُ الحِلُّ مَيْتَتُهُ
Laut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal bangkainya.
Hal yang sama dikatakan terhadap belalang (yakni bangkainya), menurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya.
****
Firman Allah Swt.:
وَالدَّمُ
dan darah. (Al-Maidah: 3)
Yang dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pengertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
atau darah yang mengalir. (Al-An'am: 145)
Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Qais), dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian." Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah darah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Hammad ibnu Salamah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya darah yang dilarang itu hanyalah darah yang mengalir.
قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "أحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ ودمان، فأما الميتتان فالحوت والجراد، وأما الدمان فَالْكَبِدُ وَالطُّحَالُ".
Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan limpa.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi melalui hadis Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam yang menurut Imam Baihaqi dinilai daif. Diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Idris, dari Usamah, Abdullah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara marfu'. Menurut kami, ketiga-tiganya daif tetapi sebagian dari mereka lebih baik daripada sebagian yang lain.
Sulaiman ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat (kuat)— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar'ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih sahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah (yaitu Sada ibnu Ajlan) yang menceritakan, "Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak (manis), kemudian mereka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, 'Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami'." Sada berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepada kalian dari seseorang (Nabi) yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini." Mereka bertanya, "Apakah hal yang melarangnya?" Maka aku (Sada) membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-Nya: Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai dan darah. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisahnya, "Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, 'Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.' Saat itu aku memakai jubah 'abayah-ku. Mereka menjawab, 'Kami tidak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.' Maka aku menderita (karena kehausan), lalu aku tutupkan kain 'abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan seseorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu terdapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu kepadaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak pernah telanjang (tidak berpakaian) lagi sesudah mereguk minuman tersebut."
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semisal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat "sesudah mereguk minuman tersebut" hal berikut, yaitu: "Maka aku (Sada) mendengar mereka mengatakan, 'Orang yang datang kepada kalian ini dari kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguhkan minuman susu dan air kepadanya?" Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, 'Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang."
Alangkah baiknya apa yang didendangkan oleh Al-A'sya (seorang penyair) dalam qasidah (syair)nya yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak, yaitu:
وإياكَ وَالْمَيْتَاتِ لَا تقربنَّها ... وَلَا تَأْخُذَنَّ عَظْمًا حَدِيدًا فَتَفْصِدَا ...
Hindarilah olehmu bangkai-bangkai itu, jangan sekali-kali kamu mendekatinya,
dan jangan sekali-kali kamu mengambil tulang yang tajam, lalu kamu menyedot darah (ternak yang hidup).
Dengan kata lain, janganlah kamu lakukan perbuatan Jahiliah. Demikian itu karena seseorang dari mereka bila merasa lapar, ia mengambil sesuatu yang tajam dari tulang dan lainnya, kemudian ia menyedot darah ternak untanya atau ternak dari jenis lainnya. Kemudian ia kumpulkan darah yang keluar dari ternak itu, lalu meminumnya. Karena itulah Allah rnengharamkan darah atas umat ini. Kemudian Al-Asya’ mengatakan pula:
وَذَا النّصُب المنصوبَ لَا تَأتينّه ... وَلَا تَعْبُدِ الْأَصْنَامَ وَاللَّهَ فَاعْبُدَا ...
Dan tugu yang dipancangkan itu jangan sekali-kali kamu datangi,
dan janganlah kamu sembah berhala, tetapi sembahlah Allah dengan sebenar-benarnya.
*****
Firman Allah Swt,:
وَلَحْمُ الْخِنزيرِ
dan daging babi. (Al-Maidah: 3)
Yaitu baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak diperlukan pemahaman yang 'sok pintar' dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya:
فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا
—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. (Al-An'am: 145)
Dalam konteks firman-Nya:
إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— (Al-An'am: 145)
Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Padahal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah (bahasa), karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali kepada mudaf, bukan mudafilaih.
Menurut pengertian lahiriah, kata ‘daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang berlaku.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ لَعِبَ بالنردَشير فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَدَمِهِ"
Barang siapa yang bermain nartsyir (karambol), maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi.
Dengan kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila memakan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan lain-lainnya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ". فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهَا تُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَتُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، ويَسْتَصبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: "لَا هُوَ حَرَامٌ".
Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang," Rasulullah Saw. menjawab: Jangan, itu (tetap) haram.
Di dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, "Beliau (Nabi Saw.) melarang kami memakan bangkai dan darah."
****
Firman Allah Swt.:
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
(dan daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-Maidah: 3)
Yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang Mahaagung.
Oleh karena itu, manakala hal ini disimpangkan (diselewengkan) dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak menyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut kesepakatan semua.
Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah (Basmalah) dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan diterangkan nanti dalam tafsir surat Al-An'am.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan As-Sanjani, telah menceritakan kepada kami Na'im ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Al-Walid ibnu Jami', dari Abut Tufail yang mengatakan bahwa Nabi Adam diturunkan dalam keadaan diharamkan empat perkara, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Sesungguhnya keempat perkara ini belum pernah dihalalkan sama sekali, dan masih tetap haram sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Ketika zaman kaum Bani Israil, Allah mengharamkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, karena dosa-dosa mereka. Ketika Allah mengutus Nabi Isa ibnu Maryam a.s., ia mengembalikan kepada hukum pertama yang didatangkan oleh Nabi Adam, dan dihalalkan bagi mereka selain hal-hal tersebut, tetapi mereka mendustakannya dan mendurhakainya. Asar ini dinilai garib.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Rib'i, dari Abdullah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Jarud ibnu Abu Sabrah (kakek Abdullah) meriwayatkan asar berikut, bahwa dahulu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Rabah yang dikenal dengan nama Ibnu Wail. Dia adalah seorang penyair, ia menantang Abul Farazdaq, melakukan suatu pertandingan di sebuah mata air yang ada di luar kota Kufah. Masing-masing dari kedua belah pihak menyembelih seratus ekor untanya jika telah sampai di mata air (siapa yang paling cepat di antara keduanya, dialah yang menang). Ketika ternak unta telah sampai di mata air tersebut, keduanya bersiap-siap dengan pedang masing-masing dan mulai memegang leher ternaknya. Maka orang-orang berdatangan dengan mengendarai keledai dan begal dengan maksud ingin mendapat dagingnya. Sedangkan saat itu sahabat Ali berada di Kufah. Lalu sahabat Ali keluar dengan mengendarai hewan begal berwarna putih milik Rasulullah Saw., lalu ia berseru kepada orang-orang, "Hai manusia, janganlah kalian memakan dagingnya, karena sesungguhnya daging tersebut hasil sembelihan yang tidak disebutkan asma Allah padanya!"
Asar ini garib. Tetapi ada syahid yang membuktikan kesahihannya, yaitu sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud.
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ مَسْعَدة، عَنْ عَوْفٍ، عَنِ أَبِي رَيْحانة، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُعاقرة الْأَعْرَابِ.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-'adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah Saw. melarang (memakan daging) dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak unta.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja'far (yaitu Gundar) me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara munfarid.
وَقَالَ أَبُو دَاوُدَ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَبِي الزَّرْقَاءِ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ خِرِّيتٍ قَالَ: سَمِعْتُ عِكْرِمة يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ.
Imam Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan makanan hasil pertandingan (menyembelih) yang dilakukan oleh orang-orang yang bertanding.
Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya —selain Ibnu Jarir— tidak menyebutkan pada sanadnya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula.
****
Firman Allah Swt.:
وَالْمُنْخَنِقَةُ
dan hewan yang tercekik.(Al-Maidah: 3)
Yaitu hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati; maka hewan ini haram dagingnya.
Makna lafaz
الْمَوْقُوذَةُ
mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli dengan kayu hingga sekarat, lalu mati.Qatadah mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli hewannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka memakannya.
Di dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan buruan dengan lembing dan mengenainya." Rasulullah Saw. bersabda:
"إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فخَزَق فَكُلْه، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْضِه فَإِنَّمَا هُوَ وَقِيذ فَلَا تَأْكُلْهُ"
Apabila kamu melempar (buruan) dengan lembingmu, lalu menusuknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, maka janganlah kamu memakannya.
Dalam hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih.
Mereka berselisih pendapat dalam masalah bila hewan pemburu menabrak hewan buruannya, lalu hewan buruan itu mati karena tubuh hewan pemburu yang berat, tanpa melukainya. Ada dua pendapat mengenainya. Imam Syafii mempunyai dua pendapat sehubungan dengan masalah ini, yaitu:
Pertama, tidak halal. Perihalnya sama dengan masalah melempar buruan dengan anak panah dan yang mengenainya adalah bagian samping dari anak panah. Segi persamaannya adalah karena masing-masing hewan itu mati tanpa dilukai, dan penyebab matinya adalah terpukul.
Kedua, halal, mengingat ketentuan hukum yang membolehkan memakan hasil buruan anjing pemburu tidak memakai rincian. Hai ini menunjukkan boleh memakan hasil buruannya yang tidak dilukai (tetapi matinya karena tertabrak oleh anjing pemburu), karena hal ini termasuk ke dalam pengertian umum dari hukum tersebut.
Sehubungan dengan masalah ini kami membuat suatu pasal khusus seperti penjelasan berikut.
Sebuah pasal:
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah bila seseorang melepaskan anjing pemburunya untuk mengejar hewan buruan, lalu hewan buruan tersebut mati karena tertabrak oleh anjing pemburu tanpa melukainya. Apakah hukum hewan buruan itu halal atau tidak? Ada dua pendapat untuk menjawabnya, seperti penjelasan berikut:
Pendapat pertama mengatakan bahwa hewan buruan tersebut halal karena termasuk ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang mengatakan:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)
Termasuk pula ke dalam pengertian umum hadis yang diceritakan oleh Addi ibnu Hatim di atas.
Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Syafii. dari Imam Syafii, dan dinilai sahih oleh sebagian kalangan ulama muta-akhkhirin, antara lain seperti Imam Nawawi dan Imam Rafii.
Menurut kami. hal tersebut kurang jelas dari pendapat Imam Syafi’i rahimahullah di dalam kitab Al-Umm dan Al-Mukhtasar. Karena sesungguhnya dalam kedua kitab tersebut ia mengatakan hal yang mengandung dua makna. Kemudian ia mengemukakan alasannya masing-masing, lalu murid-muridnya menginterpretasikannya dari keterangan tersebut Kemudian mereka mengatakan sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat darinya (Imam Syafii). Hanya saja pada pendapat yang mengatakan halal, Imam Syafii agak menonjolkan kecenderungannya; tetapi pada garis besarnya dia tidak menegaskan salah satunya, tidak pula menjelaskan pendiriannya.
Pendapat yang mengatakan halal darinya dinukil oleh Ibnus Sabbagh, dari Abu Hanifah melalui riwayat Al-Hasan ibnu Ziyad, tetapi tidak disebutkan pendapat lainnya.
Abu Ja'far ibnu Jarir, dia meriwayatkannya di dalam kitab tafsir, dari Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah, dan Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Ibnu Umar. Tetapi riwayat ini gorib sekali, mengingat tidak ditemukan adanya keterangan yang menjelaskan hal tersebut yang bersumberkan dari mereka, melainkan hanya keluar dari ijtihad Imam Syafii sendiri.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hewan tersebut tidak halal. Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang bersumber dari Imam Syafii rahimahullah Pendapat ini dipilih oleh Al-Muzanni, dan dari ulasan Ibnus Sabbag tampak jelas bahwa dia menguatkannya.
Abu Yusuf dan Muhammad meriwayatkannya dari Abu Hanifah. Pendapat ini merupakan pendapat yang terkenal dari Imam Ahmad ibnu Hambal dan lebih mendekati kepada kebenaran, karena lebih sesuai dengan kaidah-kaidah Usul serta lebih menyentuh pokok-pokok syariat.
Ibnus Sabbag mengemukakan dalil untuk pendapat ini dengan sebuah hadis yang diceritakan oleh Rafi' ibnu Khadij, yaitu:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، إنا لاقو العدو غدا وليس معنا مُدًى، أَفَنَذْبَحُ بالقَصَب؟ قَالَ: "مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ"
"Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab (welat bambu)'?" Rasulullah Saw. menjawab: Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh kalian.
Hadis secara lengkapnya terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit'u, yaitu minuman nabiz yang terbuat dari madu.
Beliau Saw. menjawab melalui sabdanya:
"كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ"
Semua jenis minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Maka adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami'ul kalim.
Apabila hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya (hingga) mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Karena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis ini.
Apabila dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bukan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah dikecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan melalui sabdanya:
"لَيْسَ السِّنُّ وَالظُّفُرُ، وسأحدثكم عن ذلك: أما السن فعظم، وأما الظُّفُرُ فَمُدي الْحَبَشَةِ"
Tidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan kepada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.
Sedangkan mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu. Jika tidak demikian, berarti tidak muttasil (berkaitan). Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, sehingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda sebutkan.
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Saw. mengatakan:
"مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ"
Alat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan itu.
Dalam hadis ini tidak disebutkan, "Maka sembelihlah hewan itu dengan alat tersebut." Dengan demikian, berarti dari hadis ini dapat disimpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang dipakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih; darahnya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi, bukan pula kuku. Ini adalah suatu analisis.
Analisis yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya (kayunya), tidak boleh dimakan; jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah anjing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diinterpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah, yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempunyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, sekalipun penyebabnya berbeda. Perihalnya sama dengan wajib mengartikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama; hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal (pokok) mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyeluruh. Sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka menanggapi masalah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibunuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan yang terbunuh oleh bagian samping anak panah (yakni terpukul olehnya). Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan mati karena beratnya alat dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak bertentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik pula.
Analisis lainnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)
Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan kehalalannya, tidak terlepas adakalanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama hukumnya.
Dalam keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, Pentasyri' menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!"
Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memisahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengatakan bahwa sesungguhnya hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat membolehkan hal yang diperselisihkan (kehalalannya) melanggar kesepakatan ijma', bukan sebagai orang yang mendukung ijma', dan hal ini dilarang menurut kebanyakan ulama.
Kedua, bahwa firman-Nya yang mengatakan:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. (Al-Maidah: 4)
Tidak mengandung makna yang umum secara ijma', melainkan dikhususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dikecualikan dari keumuman makna lafaznya hewan yang tidak boleh dimakan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak dikenal.
Analisis lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya; maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada bangkai.
Analisis lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengatakan:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Diharamkan bagi kalian bangkai. (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat
bersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang memasukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt.:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4), hingga akhir ayat.
Sudah selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar, dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal tersebut.
Sebagai buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat (yang baik-baik). Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengertian yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim. Yaitu bilamana hewan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat tahrim.
Demikian pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buruan yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak halal.
Jika ditanyakan, "Mengapa tidak ada rincian dalam hukum berburu memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai, hukumnya halal; dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?"
Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya dengan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya. Sedangkan deraan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu, mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui haramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpukul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian, dan hewan yang mati karena tertanduk.
Mengenai masalah berburu memakai anak panah (tombak), adakalanya si pelempar (pemburu) melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya, bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara rinci.
Karena itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya. Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Saw. bersabda:
"إِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ"
Jika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menangkap buruan untuk dirinya sendiri (bukan untuk tuan yang melepaskannya).
Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab Sahihain.
Hukum yang disebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. Demikian riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya'bi, dan An-Nakha'i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal darinya.
Ibnu Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan sekalipun anjing pemburunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging saja.
Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya dari kalangan teman-temannya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa'labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Saw.
Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda mengenai anjing pemburu:
"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَكُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ"
Apabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menyebutkan nama Allah, maka makanlah (hasil buruannya), sekalipun anjingmu memakan sebagian darinya, dan makan (pulalah) apa yang kamu tarik dengan tanganmu.
Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah bertanya.”Wahai Rasulullah," lalu ia menyebutkan hadis yang semisal.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ جَرِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ: حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار الكَلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى-هُوَ اللَّاحُونِيُّ-حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي إِيَاسٍ -وَهُوَ مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ-عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ وَقَدْ أَكَلَ مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ.
Muhammad ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa (yaitu Al-Lahuni), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar (yakni At-Tahii). dari Abu Iyas (yaitu Mu'awiyah ibnu Qurrah), dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya terhadap hewan buruan, lalu anjing dapat menangkapnya dan memakan sebagian dari hewan buruannya, maka hendaklah ia memakan sisanya.
Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah diriwayatkan oleh Qatadah dan lain-lainnya, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman secara mauquf.
Adapun pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa'labah dan lain-lainnya.
Tetapi sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pemburu memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena lapar dan faktor lainnya, maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa (halal); demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Karena dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing tersebut menangkap hewan buruannya hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap hewan buruannya; dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya sendiri.
Mengenai burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama; dan tidak haram, menurut ulama lainnya.
Al-Muzanni dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikatakan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan. Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung pemburu.
Syekh Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh anjing pemburu sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan di antara keduanya.
Yang dimaksud dengan
الْمُتَرَدِّيَةُ
mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati, hukumnya tidak halal.Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari atas bukit.
Qatadah mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam sumur.
As-Saddi mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam, lalu mati.
النَّطِيحَةُ
Natihah artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya,maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian penyembelihannya.
Natihah ber-wazan fa'ilah. sedangkan maknanya maf'ulah,yakni
مَنْطُوحَةٍ
(hewan yang ditanduk). Bentuk lafaz ini kebanyakan di kalangan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya 'ainun kahllun (mata yang bercelak), kaffun khadibun (tangan yang memakai pacar). Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula 'ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah (jalan yang panjang).Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk menunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz 'ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dimengerti dari permulaan pembicaraan.
****
Firman Allah Swt.:
وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
dan yang diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)
Artinya, hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya, sekalipun telah mengalir darahnya; dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut kesepakatan.
Dahulu orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa, baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Swt. mengharamkan hal itu bagi kaum mukmin.
Firman Allah Swt.:
إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ
kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, f Al-Maidah: 3)
Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pengembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi dengan menyembelihnya, sedangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang stabil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nya:
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
hewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas. (Al-Maidah: 3)
Ali ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya. (Al-Maidah: 3); Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyembelihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka makanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan As-Saddi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik (saat kalian menyembelihnya), maka makanlah hewan itu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim dan Abbad; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan, "Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keadaan masih sempat menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakangnya, maka makanlah hewan tersebut."
Hal yang sama diriwayatkan dari Tawus, Al-Hasan, Qatadah, Ubaid ibnu Umair, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa hewan yang disembelih itu manakala masih dapat melakukan gerakan yang menunjukkan ia masih hidup sesudah disembelih, maka hewan itu halal hukumnya. Demikianlah menurut mazhab jumhur ulama fiqih; dan hal yang sama dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab, "Menurut pendapatku, kambing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?"
Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai masalah dubuk yang menerkam domba dan mematahkan punggungnya, "Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?" Imam Malik menjawab, "Jika yang digigitnya sampai ke tengkuknya. tidak boleh dimakan. Tetapi jika yang digigitnya itu adalah bagian lain dari anggota tubuhnya, tidak mengapa (disembelih,lalu dimakan)." Ketika ditanyakan lagi kepadanya, "Dubuk itu menerkamnya dan mematahkan punggungnya?" Imam Malik menjawab, "Tidak aneh bagiku, kambing itu pasti tidak dapat hidup lagi karenanya." Ketika ditanyakan lagi mengenai masalah serigala yang menerkam kambing dan merobek perut tanpa mengeluarkan isinya, maka Imam Malik menjawab, "Bila serigala telah merobek perutnya, maka menurut pendapatku kambing itu tidak boleh dimakan lagi."
Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, tetapi makna lahiriah ayat bersifat umum, tidak seperti apa yang dikecualikan oleh Imam Malik dalam gambaran-gambaran yang dialami oleh hewan-hewan tersebut sampai pada tahapan tidak dapat hidup lagi sesudahnya. Maka untuk menetapkannya diperlukan adanya dalil yang mentakhsis ayat.
Di dalam kitab Sahihain dari Rafi' ibnu Khadij disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempunyai pisau penyembelih, bolehkah kami menyembelih memakai welat?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya:
"مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ، لَيْسَ السنُّ والظَّفُر، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ، أما السن فعظم، وأما الظفر فمدى الحبشة"
Alat apa saja yang dapai mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah padanya, maka makanlah sembelihannya, selagi bukan berupa gigi dan kuku. Aku akan menceritakan kepada kalian tentang hal tersebut. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang Habsyah.
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni secara marfu' ada hal yang perlu dipertimbangkan di dalamnya. Telah diriwayatkan dari Umar secara mauquf, hal ini lebih sahih. Disebutkan,
"أَلَا إِنَّ الذَّكَاةَ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ، وَلَا تُعَجِّلُوا الْأَنْفُسَ أَنْ تَزْهَقَ".
"Ingatlah, menyembelih itu pada tenggorokan dan lubbah (urat leher), dan janganlah kalian tergesa-gesa agar rohnya cepat dicabut."
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Abul Asyra Ad-Darimi, dari ayahnya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,"Wahai Rasulullah, bukankah menyembelih itu lubbah dan tenggorokan?" Rasulullah Saw. menjawab:
"لَوْ طُعِنَتْ فِي فَخْذِهَا لَأَجْزَأَ عَنْكَ.
Seandainya kamu tusuk pada pahanya, niscaya sudah cukup bagimu.
Hadis ini sahih, tetapi pengertiannya ditujukan terhadap hewan yang tidak dapat disembelih pada tenggorokan dan lubbah (urat lehernya).
****
Firman Allah Swt.:
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
dan yang disembelih untuk berhala. (Al-Maidah: 3)
Mujahid dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa berhala terbuat dari batu di zaman dahulu banyak didapat di sekitar Ka'bah.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa jumlah berhala yang ada di sekeliling Ka'bah kurang lebih tiga ratus enam puluh buah. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab menyembelih hewan kurbannya di dekat berhala-berhala itu, lalu mereka melumuri bagian depan berhala-berhala itu —yang menghadap ke arah Ka'bah— dengan darah sembelihan mereka; dan mereka mengiris tipis dagingnya, lalu mereka letakkan pada berhala-berhala itu. Demikian pula hal yang diriwayatkan oleh lainnya yang bukan hanya seorang. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan itu; juga mengharamkan bagi mereka memakan sembelihan yang dilakukan di dekat berhala-berhala itu, sekalipun ketika menyembelihnya dibacakan asma Allah. Mengingat adanya bekas kemusyrikan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sudah selayaknya masalah ini disamakan dengan masalah di atas, karena sebelumnya telah dikatakan haram memakan sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.
*****
Firman Allah Swt.:
وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ
Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3)
Diharamkan bagi kalian, hai orang-orang mukmin, mengundi nasib dengan anak panah. Bentuk tunggal dari azlam ialah zulam, tetapi adakalanya dibaca zalam. Dahulu di masa Jahiliah orang-orang Arab sering melakukannya. Azlam merupakan tiga buah anak panah, pada salah satunya bertuliskan kata 'lakukanlah', pada yang kedua bertuliskan 'jangan kamu lakukan', sedangkan pada yang ketiganya tidak terdapat tulisan apa pun. Menurut sebagian orang, pada yang pertama bertuliskan 'Tuhanku memerintahkan kepadaku', pada yang kedua bertuliskan 'Tuhanku melarangku', dan pada yang ketiganya kosong, tidak ada tulisan.
Jika telah dikocok, lalu keluarlah panah yang bertuliskan kata perintah, maka orang yang bersangkutan mengerjakannya; atau jika yang keluar kata larangan, maka ia meninggalkannya. Jika yang keluar adalah anak panah yang kosong, maka ia mengulanginya lagi.
Istilah istiqsam diambil dari makna meminta bagian dari anak-anak panah tersebut yang dipakai untuk mengundi. Demikianlah menurut keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad As-Sabbah, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ata, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam adalah anak panah (yang belum diberi bulu kestabilan dan besi runcing pada ujungnya). Dahulu mereka menggunakan alat ini untuk mengundi nasib dalam semua perkara. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan Al-Basri, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Abbas mengatakan, azlam adalah anak panah yang dahulu mereka gunakan untuk mengundi nasib dalam semua urusan.
Muhammad ibnu Ishaq dan lain-lainnya menyebutkan bahwa berhala orang Quraisy yang paling besar diberi nama Hubal. Berhala ini dipancangkan di atas sebuah sumur yang terdapat di dalam Ka'bah, di dalamnya diletakkan semua hadiah dan harta Ka'bah. Di dekat berhala tersebut terdapat tujuh buah anak panah yang pada masing-masingnya tertera apa yang biasa mereka gunakan untuk memutuskan perkara-perkara yang sulit bagi mereka. Maka anak panah mana saja yang keluar, hal itu dijadikan pegangan oleh mereka dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa ketika Nabi Saw. memasuki Ka'bah, beliau menemukan gambar Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di dalamnya, pada tangan kedua nabi itu terdapat azlam. Maka Nabi Saw. bersabda:
"قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمَا لَمْ يَسْتَقْسِمَا بِهَا أَبَدًا."
Semoga Allah melaknat mereka (ahli Jahiliah), sesungguhnya mereka mengetahui bahwa keduanya sama sekali tidak pernah menggunakannya.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Suraqah ibnu Malik ibnu Ju'syum ketika berangkat mengejar Nabi Saw. dan Abu Bakar yang sedang menuju Madinah melakukan hijrahnya, terlebih dahulu mengundi nasib dengan azlam, apakah dia dapat menimpakan mudarat kepada mereka atau tidak. Ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu yang mengatakan, "Kamu tidak dapat menimpakan mudarat terhadap mereka." Suraqah mengatakan, "Lalu aku tidak menghiraukan apa yang dihasilkan oleh azlam itu, dan langsung aku mengejar mereka." Kemudian ia melakukannya lagi untuk yang kedua dan yang ketiga kalinya. Tetapi setiap ia melakukan undian, ternyata yang keluar adalah yang tidak disukainya, yaitu "kamu tidak dapat membahayakan mereka." Memang demikianlah kejadiannya. Saat itu Suraqah masih belum masuk Islam, ia baru masuk Islam sesudah peristiwa tersebut.
وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ رَقَبةَ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْر، عَنْ رَجاء بْنِ حَيْوَة، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَنْ يَلِج الدَّرَجَاتِ مَنْ تَكَهَّن أَوِ اسْتَقْسَمَ أَوْ رَجَعَ مِنْ سَفَرٍ طَائِرًا".
Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Ibrahim ibnu Yazid, dari Ruqabah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Raja ibnu Haiwah, dari Abu Darda yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang melakukan tenung atau mengundi nasib atau kembali dari bepergian karena tatayyur.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan Firman-Nya: Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah. (Al-Maidah: 3); Azlam ialah anak panah orang-orang Arab, dan dadu orang-orang Persia serta orang-orang Romawi yang biasa mereka pakai untuk berjudi.
Pendapat yang disebutkan oleh Mujahid ini sehubungan dengan pengertian azlam —yaitu alat yang dipakai untuk berjudi— masih perlu dipertimbangkan. Kecuali jika ia mengatakan bahwa dahulu orang-orang Arab adakalanya memakai azlam untuk beristikharah dan adakalanya untuk berjudi, karena sesungguhnya Allah Swt. menggandengkan antara azlam dan qumar (judi), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian. (Al-Maidah: 9-91)
sampai dengan firman-Nya:
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91)
Dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya dengan makna yang sama, yaitu:
وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. (Al-Maidah: 3)
Yaitu melakukan perbuatan tersebut akan mengakibatkan kefasikan, kesesatan, kebodohan, dan kemusyrikan. Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, apabila mereka merasa ragu dalam urusan mereka, hendaknya mereka melakukan istikharah kepada-Nya, yaitu dengan menyembah-Nya, kemudian memohon petunjuk dari-Nya tentang perkara yang hendak mereka lakukan.
Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Ahlus Sunan meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abul Mawali, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah mengajarkan kepada kami beristikharah dalam semua urusan, sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur'an kepada kami. Untuk itu beliau Saw. bersabda:
"إِذَا هَمَّ أحدُكُم بالأمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أسْتَخِيركَ بعلمكَ، وأسْتَقْدِرُك بقدرتكَ، وأسألُكَ مِنْ فَضْلك الْعَظِيمِ؛ فَإِنَّكَ تَقْدِر وَلَا أقْدِر، وتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَم، وَأَنْتَ عَلام الْغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنَّ كنتَ تَعْلَمُ هَذَا الْأَمْرَ -وَيُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ-خَيْرًا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وعاقِبة أَمْرِي، فاقدُرْهُ لِي ويَسِّره لِي وَبَارِكْ لِي فِيهِ، اللَّهُمَّ إِنْ كنتَ تَعْلَمْهُ شَرًّا لِي فِي دِينِي ومَعاشي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، فاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاصْرِفْهُ عنِّي، واقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِّني بِهِ".
Apabila seseorang di antara kalian berniat akan melakukan suatu urusan, hendaklah ia salat dua rakaat bukan salat fardu. Kemudian hendaklah ia mengucapkan (dalam doanya), "Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu, memohon karunia-Mu yang besar. Karena sesungguhnya Engkau Kuasa, sedangkan aku tidak kuasa; dan Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui. Engkau Maha Mengetahui semua yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (disebutkan nama urusannya) baik bagiku dalam agamaku, duniaku, kehidupanku, dan akibat perkaraku. Atau beliau Saw. mengatakan, 'Dalam urusan dunia dan akhiratku,' maka takdirkanlah urusan ini untukku dan mudahkanlah bagiku dalam melakukannya, kemudian berilah berkah bagiku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, duniaku, penghidupanku, dan akibat perkaraku, maka pa-lingkanlah aku darinya dan palingkanlah urusan ini dariku, dan takdirkanlah yang baik bagiku menurut seadanya, kemudian ridailah aku dengannya."
Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih garib, kami tidak mengetahuinya kecuali melalui hadis Ibnu Abul Mawali.
****
Firman Allah Swt.:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agama kalian. (Al-Maidah: 3)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mereka putus asa dan tidak punya harapan lagi untuk mengembalikan agama mereka. Hal yang sama diriwayatkan dari Ata ibnu Abu Rabah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. Berdasarkan makna ini disebutkan sebuah hadis dalam kitab sahih yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ المُصَلُّون فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ بالتَّحْرِيش بَيْنَهُمْ"
Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah kembali di Jazirah Arabia, tetapi masih bisa mengadu domba di antara mereka.
Makna ayat dapat ditafsirkan dengan makna lain, yaitu bahwa mereka telah putus asa untuk dapat menyerupai kaum muslim, mengingat kaum muslim mempunyai ciri khas yang berbeda dengan mereka, antara lain ialah sifat-sifat yang jauh bertentangan dengan kemusyrikan dan para penganutnya. Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk tetap bersabar dan teguh dalam perbedaan dengan orang-orang kafir, dan janganlah orang-orang mukmin merasa takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah Swt. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ
sebab itu janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. (Al-Maidah: 3)
Artinya, janganlah kalian takut dalam bersikap berbeda dengan mereka, tetapi takutlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan menolong kalian atas mereka, dan Aku akan mendukung kalian serta memenangkan kalian atas mereka. Aku akan melegakan hati kalian terhadap mereka dan menjadikan kalian berada di atas mereka di dunia dan akhirat.
*****
Firman Allah Swt.:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku. dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagi kalian. (Al-Maidah; 3)
Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini, karena Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi lain selain nabi mereka; semoga salawat dan salam terlimpahkan kepadanya. Karena itulah Allah menjadikan beliau Saw. sebagai nabi terakhir yang diutus-Nya untuk manusia dan jin. Tiada halal selain apa yang dihalalkannya, tiada haram kecuali apa yang diharamkannya dan tiada agama kecuali apa yang disyarjatkannya. Semua yang ia beritakan adalah benar belaka, tiada dusta dan tiada kebohongan padanya. Seperti yang disebut dalam firman Allah Swt., yaitu:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an), sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)
Yakni benar dalam beritanya, serta adil dalam perintah dan larangannya. Setelah Allah menyempurnakan bagi mereka agama mereka, berarti telah cukuplah kenikmatan yang mereka terima dari-Nya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْم
يَسْـَٔلُونَكَ مَاذَآ أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ ٱلْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُ ۖ فَكُلُوا۟ مِمَّآ أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ 4
(4) Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.
(4)
Setelah Allah menyebutkan hal-hal yang diharamkan-Nya pada ayat sebelumnya, yaitu berupa segala sesuatu yang buruk lagi membahayakan tubuh atau agama, atau kedua-duanya (tubuh dan agama) orang yang bersangkutan, dan Allah mcngccualikan apa-apa yang dikccuali-kan-Nya bila keadaan darurat. Seperti yang disebut di dalam firman-Nya:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya. (Al-An'am: 119)
maka sesudah itu Allah Swt. berfirman:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4)
Perihalnya sama dengan apa yang disebut di dalam surat Al-A'raf dalam kaitan menyebutkan sifat Nabi Muhammad Saw., bahwa Allah menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Abu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ala ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Addi ibnu Hatim dan Zaid ibnu Muhalhal yang keduanya berasal dari Tai bertanya kepada Rasulullah Saw. Untuk itu mereka berdua berkata, "Wahai Rasulullah, Allah telah mengharamkan bangkai, apakah yang dihalalkan bagi kami darinya?" Maka turunlah firman-Nya: Mereka menanyakan kepadamu.”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4)
Menurut Sa'id, makna yang dimaksud ialah sembelihan yang halal lagi baik untuk mereka. Menurut Muqatil, yang dimaksud dengan tayyibat ialah segala sesuatu yang dihalalkan untuk mereka memperolehnya, berupa berbagai macam rezeki.
Az-Zuhri pernah ditanya mengenai meminum air seni untuk berobat, maka ia menjawab, "Air seni bukan termasuk tayyibat." Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai menjual burung pemangsa, ia menjawab bahwa burung itu bukan termasuk burung yang halal.
****
Firman Allah Swt.:
وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ
dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)
Yaitu dihalalkan bagi kalian hewan-hewan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, rezeki-rezeki yang baik, dihalalkan pula bagi kalian hewan yang kalian tangkap melalui binatang pemburu, seperti anjing pemburu, macan tutul pemburu, burung falcon (elang), dan lain-lainnya yang serupa. Sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam. Di antara mereka yang mengatakan demikian ialah Ali ibnu Abu Talhah yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)
Hewan-hewan tersebut adalah anjing-anjing pemburu yang telah dilatih, dan burung elang serta burung pemangsa lainnya yang telah dilatih untuk berburu. Kesimpulannya ialah jawarih artinya hewan-hewan pemangsa, seperti anjing, macan tutul, burung elang, dan lain sebagainya yang serupa.
Demikianlah riwayat Ibnu Abu Hatim, kemudian ia mengatakan, telah diriwayatkan dari Khaisamah, Tawus, Mujahid, Mak-hul, dan Yahya ibnu Kasir hal yang semisal.
Telah diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa ia pernah mengatakan, "Burung elang dan burung garuda termasuk jawarih (hewan pemangsa) dari jenis burung." Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ali ibnul Husain.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia memakruhkan berburu dengan memakai segala jenis burung pemangsa, lalu ia membacakan firman-Nya: dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair hal yang semisal. Ibnu Jarir menukilnya dari Ad-Dahhak dan As-Saddi. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa hewan yang diburu oleh burung pemangsa dan lain-lainnya termasuk ke dalam jenis burung pemburu, maka apa yang kamu jumpai adalah untukmu dan apa yang tidak sempat kamu temui janganlah kamu memakannya.
Menurut kami, apa yang diriwayatkan dari jumhur ulama yaitu bahwa berburu dengan burung pemangsa sama dengan memakai anjing pemburu, karena burung pemburu menangkap mangsanya dengan cakarnya, sama halnya dengan anjing sehingga tidak ada bedanya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh mazhab Imam yang empat dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir yang menguatkannya dengan hadis yang diriwayatkan:
عَنْ هَنَّادٍ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، عَنْ مَجَالِدٍ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم عَنْ صَيْدِ الْبَازِي، فَقَالَ: "مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ فَكُلْ".
dari Hannad, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan hadis berikut: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang tangkapan burung elang, maka beliau Saw. menjawab, "Apa yang ditangkap untukmu, makanlah."
Imam Ahmad mengecualikan berburu dengan memakai anjing hitam, karena menurut Imam Ahmad anjing hitam termasuk hewan yang wajib dibunuh dan tidak boleh dipelihara.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis melalui sahabat Abu Bakar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"يَقْطَع الصلاةَ الحمارُ والمرأةُ والكلبُ الأسودُ" فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ ؟ فَقَالَ: "الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ"
"Keledai, wanita, dan anjing hitam dapat memutuskan salat." Lalu aku (Abu Bakar) bertanya, "Apakah bedanya antara anjing merah dan anjing hitam?" Rasulullah Saw. menjawab, "Anjing hitam adalah setan."
Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan membunuh anjing, kemudian beliau Saw. bersabda:
"مَا بَالُهُمْ وَبَالُ الْكِلَابِ، اقْتُلُوا مِنْهَا كُلَّ أَسْوَدٍ بَهِيم".
Apakah gerangan yang menimpa mereka dan anjing-anjing itu, bunuhlah oleh kalian setiap anjing yang hitam pekat dari anjing-anjing itu.
Hewan-hewan yang biasa dipakai berburu itu dinamakan jawarih, berasal dari kata al-jurh yang artinya al-kasbu (penghasilan), seperti yang dikatakan oleh orang-orang Arab Fulanun jaraha ahlahu khairan," yang artinya: si Fulan menghasilkan kebaikan bagi keluarganya. Mereka mengatakan, "Fulanun la jariha lah,'"' yang artinya: si Fulan tidak mempunyai penghasilan (mata pencaharian).
Allah Swt. telah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ
Dan Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan pada siang hari. (Al-An'am: 6)
Yakni mengetahui apa yang kalian hasilkan berupa kebaikan dan keburukan.
Mengenai penyebab turunnya ayat ini disebutkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ حَمْزَةَ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الحُبَاب، حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ، حَدَّثَنِي أَبَانُ بْنُ صَالِحٍ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ سَلْمَى أَمِّ رَافِعٍ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر بِقَتْلِ الْكِلَابِ، فَقُتِلَتْ، فَجَاءَ النَّاسُ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَحِلُّ لَنَا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ الَّتِي أَمَرْتَ بِقَتْلِهَا؟ قَالَ: فَسَكَتَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ الْآيَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ وسَمَّى، فَأَمْسَكَ عَلَيْهِ، فَلْيَأْكُلْ مَا لَمْ يَأْكُلْ ".
telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Habbab, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Aban ibnu Saleh, dari Al-Qa'qa' ibnu Hakim, dari Salma Ummu Rafi’, dari Abu Rafi' maula Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing (hitam), maka anjing-anjing itu dibunuh. Lalu orang-orang datang kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, mana sajakah yang dihalalkan dari jenis ini yang engkau perintahkan agar dibunuh?" Rasulullah Saw. diam, dan Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu" (Al-Maidah: 4), hingga akhir ayat. Maka Nabi Saw. bersabda: Apabila seseorang lelaki melepaskan anjing (pemburu)nya. lalu ia mengucapkan tasmiyah (bismillah) dan anjing itu menangkap buruan untuknya, maka hendaklah ia memakannya selagi anjing itu tidak memakannya.
Masih dalam bab yang sama:
رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِي كُرَيْب، عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحُبَابِ بِإِسْنَادِهِ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ: جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَسْتَأْذِنَ عَلَيْهِ، فَأَذِنَ لَهُ فَقَالَ: قَدْ أَذِنَّا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَجَلْ، وَلَكِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ، قَالَ أَبُو رَافِعٍ: فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْتُلَ كُلَّ كَلْبٍ بِالْمَدِينَةِ، فَقَتَلْتُ، حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى امْرَأَةٍ عِنْدَهَا كَلْبٌ يَنْبَحُ عَلَيْهَا، فَتَرَكْتُهُ رَحْمَةً لَهَا، ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ فَأَمَرَنِي، فَرَجَعَتْ إِلَى الْكَلْبِ فَقَتَلْتُهُ، فَجَاءُوا فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا يَحِلُّ لنا من هذه الأمة التي أمرت بقتلها؟ قَالَ: فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Zaid ibnul Habbab berikut sanadnya, dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw,, lalu meminta izin untuk masuk. Ia diizinkan masuk (tetapi tidak mau juga masuki, maka Nabi Saw. bersabda, "Saya telah memberimu izin masuk, wahai utusan Allah." Malaikat Jibril menjawab, "Tetapi kami (para malaikat) tidak mau masuk ke dalam suatu rumah yang ada anjingnnya." Abu Rafi" mengatakan, "Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepadaku membunuh semua anjing yang ada di Madinah, hingga aku sampai pada seorang wanita yang memiliki seekor anjing. Saat itu anjingnya sedang menggonggong, maka wanita itu meninggalkan anjingnya karena tidak tega melihatnya dibunuh. Kemudian aku (Abu Rafi') datang kepada Rasulullah Saw. dan kuceritakan hal itu kepadanya, tetapi beliau Saw. tetap memerintahkan kepadaku untuk membunuhnya. Maka aku kembali lagi kepada wanita itu dan membunuh anjingnya." Kemudian mereka datang dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah yang dihalalkan bagi kami dari jenis hewan ini yang engkau perintahkan agar semuanya dibunuh?" Rasulullah Saw. diam, dan Allah menurunkan firman-Nya: Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (binatang buruan yang ditangkap) oleh binatang pemangsa yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu." (Al-Maidah: 4)
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh dengan lafaz yang sama; dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah, bahwa Rasulullah Saw. mengutus Abu Rafi' untuk membunuh semua anjing hingga sampai di Awali (daerah Madinah yang tinggi). Maka datanglah Asim ibnu Addi, Sa'd ibnu Ktiais'amah dan Uwaim ibnu Sa'idah, lalu mereka bertanya, "Apakah yang dihalalkan bagi kami, wahai Rasulullah?" Maka turunlah ayat ini.
Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Sammak, dari Ikrimah, dan hal yang sama dikatakan oleh Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dalam penyebab turunnya ayat ini, yaitu berkenaan dengan pembunuhan terhadap anjing.
****
Firman Allah Swt.:
مُكَلِّبِينَ
dengan melatihnya untuk berburu. (Al-Maidah: 4)
Lafaz ayat ini dapat dikatakan sebagai hal dari damir yang terkandung di dalam firman-Nya:
عَلَّمْتُمْ
yang telah kalian ajari. (Al-Maidah: 4)
Dengan demikian, berarti ia menjadi hal dari fa'il. Dapat pula diartikan sebagai hal dari maf'ul yaitu lafaz al-jawarih. yakni binatang pemangsa yang telah kalian ajari saat kalian menggunakannya untuk menerkam hewan buruan kalian. Pengertian ini menunjukkan bahwa hewan pemburu tersebut membunuh mangsanya dengan taring dan cakar kukunya. Dalam keadaan demikian, berarti dapat disimpulkan bahwa hewan pemburu bila membunuh binatang buruannya dengan menabraknya atau menindihinya dengan berat tubuhnya, hukumnya tidak halal, seperti yang dikatakan oleh salah satu pendapat dari Imam Syafii dan segolongan ulama. Karena itulah dalam ayat Selanjutnya disebutkan:
تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ
kalian mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian. (Al-Maidah: 4)
Dengan kata lain, apabila dilepaskan oleh tuannya, ia langsung memburu mangsanya; dan apabila diperintahkan untuk mengintipnya sebelum menerkamnya, maka ia menuruti tuannya; apabila menangkap hewan buruannya, ia menahan dirinya untuk tuannya hingga tuannya datang kepadanya, dan ia tidak berani menangkapnya, lalu ia makan sendiri. Karena itulah disebutkan oleh firman Allah Swt selanjutnya:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah: 4)
Bilamana binatang pemburu telah diajari dan menangkap mangsanya untuk tuannya, sedangkan si tuan telah membaca asma Allah ketika melepasnya, maka hewan buruan itu halal, sekalipun telah dibunuhnya, menurut kesepakatan ulama.
Di dalam sunnah terdapat keterangan yang menunjukkan pengertian yang sama dengan makna ayat ini, seperti yang disebut di dalam kitab Sahihain dari Addi ibnu Hatim yang telah menceritakan:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُرْسِلُ الْكِلَابَ المعلَّمة وَأَذْكُرُ اسْمَ اللَّهِ. فَقَالَ: "إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ المعلَّم وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ، فَكُلْ مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ". قُلْتُ: وَإِنْ قَتَلْنَ؟ قَالَ: "وَإِنْ قَتَلْنَ مَا لَمْ يُشْرِكْهَا كَلْبٌ لَيْسَ مِنْهَا، فَإِنَّكَ إِنَّمَا سَمَّيْتَ عَلَى كَلْبِكَ وَلَمْ تُسَمِّ عَلَى غَيْرِهِ". قُلْتُ لَهُ: فَإِنِّي أَرْمِي بالمِعْرَاض الصَّيْدَ فَأُصِيبُ؟ فَقَالَ: "إِذَا رَمَيْتَ بِالْمِعْرَاضِ فَخَزق فَكُلْهُ، وَإِنْ أَصَابَهُ بعَرْض فَإِنَّهُ وَقِيذٌ، فَلَا تَأْكُلْهُ"
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melepaskan anjing pemburu yang telah dilatih dan aku menyebutkan asma Allah." Rasulullah Saw. menjawab, "Apabila kamu melepaskan anjing terlatihmu dan kamu sebut asma Allah, maka makanlah selagi anjingmu itu menangkap hewan buruan untukmu.”Aku bertanya, "Sekalipun hewan buruan itu telah dibunuhnya?" Rasulullah Saw. bersabda, "Sekalipun telah dibunuhnya selagi tidak ditemani oleh anjing lain yang bukan dari anjing-anjingmu, karena sesungguhnya kamu hanya membaca tasmiyah untuk anjingmu, bukan membacanya untuk anjing lain." Aku bertanya kepadanya, "Sesungguhnya aku melempar hewan buruan dengan tombak dan mengenainya." Rasulullah Saw. menjawab, "Jika kamu melemparnya dengan tombak dan tombak itu menembus tubuhnya, maka makanlah. Tetapi jika yang mengenainya ialah bagian sampingnya (tengahnya), sesungguhnya hewan buruan itu mati karena terpukul, jangan kamu makan."
Menurut lafaz lain yang juga dari keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) disebutkan seperti berikut:
"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ أَمْسَكَ عَلَيْكَ فَأَدْرَكْتَهُ حَيًّا فَاذْبَحْهُ، وَإِنْ أَدْرَكْتَهُ قَدْ قُتِلَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ فَكُلْهُ، فَإِنَّ أخْذ الْكَلْبِ ذَكَاتُهُ"
Jika kamu melepaskan anjing pemburumu, bacalah asma Allah; dan jika ia menangkap hewan buruannya untukmu, lalu kamu jumpai masih hidup, sembelihlah hewan buruan itu. Jika kamu menjumpainya telah mati dan anjingmu tidak memakannya, makanlah, karena sesungguhnya terkaman anjingmu itu merupakan sembelihannya.
Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan seperti berikut:
"فَإِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ."
Dan jika anjingmu itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu menangkapnya untuk dirinya sendiri.
Inilah yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama, dan hal inilah yang dikatakan oleh mazhab Syafii menurut qaul yang sahih. Yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari hewan buruannya, maka hewan buruan itu haram secara mutlak. Dalam hal ini mereka tidak memberikan keterangan yang rinci, sama dengan makna yang ada dalam hadis.
Tetapi diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf bahwa mereka mengatakan tidak haram sama sekali.
Asar-asar yang menyangkut masalah ini
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad dan Waki’, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Salman Al-Farisi pernah mengatakan, "Makanlah, sekalipun anjing pemburu itu memakan dua pertiga hewan buruannya," bilamana memang anjing itu memakan sebagian darinya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah dan Umar ibnu Amir dari Qatadah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Muhammad ibnu Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid ibnu Musa, dari Yazid, dari Humaid, dari Bakar ibnu Abdullah Al-Muzanni dan Al-Qasim, bahwa Salman pernah mengatakan, "Apabila anjing pemburu memakannya, kamu boleh memakannya, sekalipun ia memakan dua pertiganya"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Humaid ibnu Malik ibnu Khaisam Ad-Du-ali, bahwa ia pernah bertanya kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas tentang hewan buruan yang dimakan sebagiannya oleh anjing pemburu. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Makanlah olehmu, sekalipun tiada yang tersisa darinya kecuali hanya sepotong daging."
Syu'bah meriwayatkannya dari Abdu Rabbih ibnu Sa'id, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Sa'd ibnu Abu Waqqas yang mengatakan, "Makanlah (hewan buruan itu), sekalipun anjing pemburu telah memakan dua pertiganya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir ibnu Abu Hurairah yang mengatakan, "Apabila kamu melepas anjing pemburumu, lalu anjing pemburumu memakan sebagian dari hewan tangkapannya, maka kamu tetap boleh memakannya, sekalipun anjing pemburu telah memakan dua pertiganya dan yang tersisa adalah sepertiganya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, bahwa ia pernah mendengar Abdullah; dan telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila kamu melepas anjing terlatihmu dan kamu sebutkan nama Allah (ketika melepaskannya), maka makanlah olehmu selagi anjing itu menangkap buruannya untukmu, baik ia memakannya ataupun tidak memakannya,"
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ubaidillah ibnu Umar dan ibnu Abu Zi-b serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, dari Nafi’.
Asar-asar di atas terbukti bersumber dari Salman, Sa'd ibnu Abu Waqqas, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar. Hal yang sama diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Tetapi menurut asar yang dari Ata dan Al-Hasan Al-Basri, masalah ini masih diperselisihkan. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Az-Zuhri, Rabi'ah, dan Imam Malik. Imam Syafii menurut qaul qadim-nya. mengatakan masalah ini, tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkannya saja.
Telah diriwayatkan melalui jalur Salman Al-Farisi secara marfu'. Untuk itu Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ بَكَّار الكُلاعِيّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُوسَى اللَّاحُونِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ -هُوَ الطَّاحِيُّ-عَنْ أَبِي إِيَاسٍ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّة، عَنْ سعيد بن المسيَّب، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا أَرْسَلَ الرَّجُلُ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَأَدْرَكَهُ، وَقَدْ أَكَلَ مِنْهُ، فَلْيَأْكُلْ مَا بَقِيَ "
telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa Al-Lahuni, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar (yaitu At-Taji), dari Abu Iyas Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi. dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Apabila seseorang lelaki melepaskan anjingnya terhadap hewan buruan, lalu dapat ditangkapnya dan dimakan sebagiannya. maka hendaklah dia memakan yang sisanya.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam sanad hadis ini masih perlu ada yang dipertimbangkan. Sa'id tidak dikenal pernah mendengar dari Salman Al-Farisi, tetapi orang-orang yang siqah meriwayatkannya dari kalam yang tidak marfu'.
Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini memang benar, tetapi diriwayatkan makna yang sama secara marfu' melalui jalur-jalur lainnya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهال الضَّرِيرُ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْع، حَدَّثَنَا حَبِيبٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ أَعْرَابِيًّا -يُقَالُ لَهُ: أَبُو ثَعْلَبَةَ-قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي كِلَابًا مُكَلَّبة، فَأَفْتِنِي فِي صَيْدِهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ كَانَ لَكَ كِلَابٌ مُكَلَّبَةٌ، فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكَ". فَقَالَ: ذَكِيًّا وَغَيْرَ ذَكِيٍّ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ؟ قَالَ: "نَعَمْ، وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ". قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفْتِنِي فِي قَوْسِي. فَقَالَ: "كُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ قَوْسُكَ" قَالَ: ذَكِيًّا وَغَيْرَ ذَكِيٍّ؟ قَالَ: "وَإِنْ تَغَيَّبَ عَنْكَ مَا لَمْ يَصِلْ، أَوْ تَجِدْ فِيهِ أَثَرَ غَيْرِ سَهْمِكَ". قَالَ: أَفْتِنِي فِي آنِيَةِ الْمَجُوسِ إِذَا اضُّطُرِرْنَا إِلَيْهَا. قَالَ: "اغْسِلْهَا وَكُلْ فِيهَا".
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Minhal Ad-Darir (yang tuna netra), telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Habib Al-Mu’allim, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai anjing yang terlatih untuk berburu, maka berilah aku fatwa mengenai hasil buruannya." Maka Nabi Saw. menjawab melalui sabdanya: Jika kamu mempunyai anjing yang terlatih, maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu. Abu Sa'labah bertanya lagi, "Baik sempat disembelih, tidak sempat disembelih, dan sekalipun anjing itu memakan sebagiannya." Nabi Saw. menjawab: Ya, sekalipun anjing itu memakan sebagiannya. Abu Sa'labah bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, berilah aku fatwa mengenai berburu dengan panahku." Rasulullah Saw. menjawab: Makanlah apa yang dihasilkan oleh anak panahmu. Abu Sa'labah berkata, "Baik dalam keadaan sempat disembelih ataupun tidak sempat disembelih?" Nabi Saw. bersabda: Dan sekalipun hilang dari pencarianmu selagi masih belum membusuk atau kamu menemukan padanya bekas anak panah selain anak panahmu. Abu Sa'labah bertanya, "Berilah daku fatwa mengenai wadah milik orang-orang Majusi jika kami terpaksa memakainya." Nabi Saw. bersabda: Cucilah terlebih dahulu, lalu makanlah padanya.
Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Abu Daud.
Imam Nasai mengetengahkannya —demikian pula Imam Abu Daud— melalui jalur Yunus ibnu Saif, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Sa'labah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ، وَإِنْ أَكَلَ مِنْهُ، وَكُلْ مَا رَدَّتْ عَلَيْكَ يَدُكَ"
Apabila kamu melepaskan anjingmu dan kamu sebutkan nama Allah, maka makanlah, sekalipun anjingmu telah memakan sebagiannya, dan makan pulalah apa yang berhasil kamu tarik dengan tanganmu.
Sanad kedua hadis ini jayyid (baik).
As-Sauri meriwayatkan dari Sammak ibnu Harb, dari Addi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"مَا كَانَ مِنْ كَلْبٍ ضَارٍّ أَمْسَكَ عَلَيْكَ، فَكُلْ". قُلْتُ: وَإِنْ أَكَلَ؟ قَالَ: "نَعَمْ".
Apa yang ditangkap oleh anjing terlatihmu untuk kamu, makan- Abu Salabah bertanya, "Sekalipun anjing itu memakannya?" Nabi Saw menjawab.”Ya."
Abdul Malik ibnu Habib meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, dari Ibnu Abu Zaidah, dari Asy-Sya'bi, dari Addi hal yang semisal.
Semua asar yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa dimaafkan memakan hasil buruan anjing pemburu, sekalipun anjing telah memakan sebagiannya.
Asar-asar ini dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat tidak haram hasil buruan yang dimakan oleh anjing pemburunya atau hewan pemburu lainnya, seperti dalam keterangan di atas dari orang-orang yang kami ketengahkan pendapatnya.
Tetapi ulama lainnya bersikap pertengahan. Untuk itu mereka mengatakan, "Jika anjing pemburu memakan hewan tangkapannya sehabis menangkapnya, maka hal ini diharamkan," karena berdasarkan hadis Addi ibnu Hatim yang disebutkan di atas, juga karena Illat (penyebab) yang diisyaratkan oleh Nabi Saw. melalui sabdanya:
"فَإِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُونَ أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ"
Dan jika anjingmu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu menangkapnya untuk dirinya sendiri.
Jika anjing tersebut menangkapnya, kemudian menunggu-nunggu tuannya dan tidak kunjung datang, hingga ia lama menunggu dan lapar, lalu ia makan sebagian tangkapannya karena lapar. Maka dalam keadaan seperti ini tidak mempengaruhi kehalalannya, dan bukan termasuk yang diharamkan. Mereka mendasari pendapatnya dengan hadis Abu Sa'labah Al-Khusyani. Pemisahan atau rincian ini dinilai cukup baik, menggabungkan makna di antara kedua hadis yang sahih tadi. Sehingga Al-Ustaz Abul Ma'ali Al-Juwaini dalam kitab Nihayah-nya mengatakan, "Seandainya saja masalah ini dirincikan secara mendetail seperti ini." Memang Allah telah mengabulkan apa yang dicita-citakannya. Pendapat yang rinci ini ternyata dikatakan oleh sejumlah sahabat.
Ulama lainnya sehubungan dengan masalah ini mempunyai pendapat yang keempat, yaitu memisahkan antara anjing pemburu yang memakan, hukumnya haram berdasarkan hadis Addi ibnu Hatim; dan antara burung pemangsa dan lain-lainnya yang sejenis yang makan, hukumnya tidak haram, karena burung tidak dapat diajari dan tidak akan mengerti kecuali hanya memakan hewan buruannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibani, dari Hammad, dari Ibrahim, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengatakan sehubungan dengan masalah burung pemburu yang dilepaskan untuk memburu buruannya; ternyata ia membunuhnya, maka hasil buruannya boleh dimakan. Sesungguhnya anjing itu jika kamu pukul, maka ia tidak mau memakannya, tetapi mengajari burung pemburu untuk kembali kepada pemiliknya (tuannya) bukan dengan cara memukulnya. Karena itu, bila burung pemburu memakan sebagian dari tangkapannya dan telah mencabuti bulu hewan buruannya, maka hewan buruannya masih boleh dimakan. Demikianlah menurut pendapat Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman.
Mereka mengatakan demikian berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, yaitu:
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ، حَدَّثَنَا مُجالد، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا قَوْمٌ نَصِيدُ بِالْكِلَابِ وَالْبُزَاةِ، فَمَا يَحِلُّ لَنَا مِنْهَا؟ قَالَ: "يَحِلُّ لَكُمْ مَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ، فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ" ثُمَّ قَالَ: "مَا أَرْسَلْتَ مِنْ كَلْبٍ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ، فَكُلْ مِمَّا أَمْسَكَ عَلَيْكَ". قُلْتُ: وَإِنْ قَتَلَ؟ قَالَ: "وَإِنْ قَتَلَ، مَا لَمْ يَأْكُلْ". قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ خَالَطَتْ كِلَابُنَا كِلَابًا غَيْرَهَا؟ قَالَ: فَلَا تَأْكُلْ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ كَلْبَكَ هُوَ الَّذِي أَمْسَكَ". قَالَ: قُلْتُ: إِنَّا قَوْمٌ نَرْمِي، فَمَا يَحِلُّ لَنَا؟ قَالَ: "مَا ذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وخزَقَتْ فَكُلْ ".
telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan memakai anjing dan elang pemburu, apakah yang dihalalkan untuk kami darinya?" Rasulullah Saw. menjawab: Dihalalkan bagi kalian buruan yang ditangkap oleh binatang pemangsa yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu: kalian mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang pemangsa itu (waktu melepasnya). Kemudian Rasulullah Saw. bersabda pula: Dan anjing pemburu yang kamu lepaskan dengan menyebut nama Allah atas anjing itu (ketika melepasnya), maka makanlah olehmu hewan tangkapannya yang ditangkap untukmu. Aku (Addi ibnu Hatim) bertanya, "Sekalipun hewan tangkapannya itu telah membunuhnya." Rasulullah Saw. bersabda: Sekalipun telah membunuhnya selagi ia tidak memakannya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika anjing-anjing kami dicampur dengan anjing-anjing lainnya (dalam perburuan itu)?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya: Jangan kamu makan (hasil tangkapannya) sebelum kamu mengetahui bahwa anjingmulah yang menangkapnya. Aku bertanya, "Sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan memakai anak panah, maka apakah yang dihalalkan bagi kami?" Rasulullah Saw. menjawab: Selagi kamu membacakan nama Allah atasnya dan panahmu menembusnya, maka makanlah.
Segi penyimpulan dalil yang dilakukan oleh mereka ialah bahwa dalam berburu disyaratkan memakai anjing pemburu; hendaknya anjing tidak memakan hasil tangkapannya, hal ini tidak disyaratkan dalam berburu memakai burung elang. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya dalam masalah hukum.
*****
Firman Allah Swt.:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah: 4)
Membaca bismillah dilakukan sewaktu melepasnya, seperti apa yang dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Addi ibnu Hatim melalui sabdanya, yaitu:
"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ الْمُعَلَّمَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ، فَكُلْ مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ"
Apabila kamu lepas anjing terlatihmu dan kamu sebut asma Allah, maka makanlan apa yang ditangkapnya untukmu.
Di dalam hadis Abu Sa'labah yang diketengahkan di dalam kitab Sahihain disebutkan pula:
"إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ، فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، وَإِذَا رَمَيْتَ بِسَهْمِكَ فَاذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ"
Apabila kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma Allah; dan apabila kamu melepas anak panahmu, sebutlah asma Allah.
Karena itulah sebagian dari para imam —seperti Imam Ahmad— menurut pendapat yang masyhur darinya mensyaratkan bacaan tasmiyah (bismillah) waktu melepas anjing pemburu dan anak panahnya, berdasarkan ayat dan hadis ini. Pendapat yang sama dikatakan oleh jumhur ulama menurut qaul yang masyhur dari mereka, yaitu makna yang dimaksud dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu melepasnya. Demikianlah menurut As-Saddi dan lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah; 4); Bahwa apabila kamu melepas hewan pemangsamu, ucapkanlah bismillah. Tetapi jika kamu lupa membacanya, maka tidak ada dosa atas dirimu (tidak apa-apa).
Sebagian ulama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu hendak makan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis Sahihain,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّم رَبِيبه عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ فَقَالَ: "سَمّ اللَّهَ، وكُل بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"
bahwa Rasulullah Saw. mengajari anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah. Untuk itu beliau Saw. bersabda: Sebutlah asma Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah (makanan) yang dekat denganmu.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهُمْ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا -حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ-بلُحْمانٍ لَا نَدْرِي أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ فَقَالَ: "سَمّوا اللَّهَ أَنْتُمْ وكلوا."
dari Siti Aisyah r.a bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada suatu kaum yang baru masuk Islam datang kepada kami dengan membawa dua jenis daging, tanpa kami ketahui apakah mereka menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya) atau tidak." Rasulullah Saw. bersabda: Sebutlah nama Allah oleh kalian sendiri, lalu makanlah.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ بُدَيل، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيد بْنِ عُمَير، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم كان يَأْكُلُ الطَّعَامَ فِي سِتَّةِ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ، فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ أَوَّلَهُ فَلْيَقُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ".
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. makan bersama enam orang sahabatnya, lalu datanglah seorang Arab Badui yang langsung ikut makan sebanyak dua suap. Maka Nabi Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia membaca nama Allah, niscaya makanan ini cukup buat kalian. Maka apabila seseorang di antara kalian memakan makanan, hendaklah ia menyebut nama Allah. Jika ia lupa menyebut nama Allah pada permulaannya, hendaklah ia membaca, "Bismillahi awwalahu wa akhirahu" (Dengan menyebut asma Allah pada permulaan dan akhirnya).
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun dengan lafaz yang sama.
Hadis ini munqati' (terputus) antara Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Siti Aisyah, karena sesungguhnya dia belum pernah mendengar dari Siti Aisyah hadis ini. Sebagai buktinya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ، أَخْبَرْنَا هِشَامٌ -يَعْنِي ابْنَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الدَّسْتَوائي-عَنْ بُدَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ؛ أَنَّ امْرَأَةً مِنْهُمْ -يُقَالُ لَهَا: أُمُّ كُلْثُومٍ-حَدَّثَتْهُ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْكُلُ طَعَامًا فِي سِتَّةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ جَائِعٌ فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ، فَقَالَ: "أَمَا إِنَّهُ لَوْ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ، فَإِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ، فَإِنْ نَسِيَ اسْمَ اللَّهِ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ "
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Abu Abdullah Ad-Dustuwai'), dari Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, bahwa ada seorang wanita dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Ummu Kalsum telah menceritakan kepadanya dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. makan bersama enam orang sahabatnya. Lalu datanglah seorang Arab Badui yang sedang lapar, maka orang Badui itu langsung ikut makan sebanyak dua suap. Nabi Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia menyebut nama Allah, niscaya (makanan ini) cukup bagi kalian. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian makan, hendaklah terlebih dahulu menyeru: nama Allah. Dan jika ia lupa menyebut-Nya pada permulaan makan, hendaklah ia mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah pada permulaan makan dan akhirnya."
Hadis diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi. dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Hisyam Ad-Dustuwai' dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ صُبْحٍ حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْخُزَاعِيُّ، وَصَحِبْتُهُ إِلَى وَاسِطٍ، فَكَانَ يُسَمِّي فِي أَوَّلِ طَعَامِهِ وَفِي آخِرِ لُقْمَةٍ يَقُولُ: بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّكَ تُسَمِّي فِي أَوَّلِ مَا تَأْكُلُ، أَرَأَيْتَ قَوْلَكَ فِي آخِرِ مَا تَأْكُلُ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ؟ فَقَالَ: أُخْبِرُكَ عَنْ ذَلِكَ إِنَّ جَدِّي أُمِّيَّةَ بْنَ مُخَشَّى -وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-سَمِعْتُهُ يَقُولُ: إِنَّ رَجُلًا كَانَ يَأْكُلُ، وَالنَّبِيُّ يَنْظُرُ، فَلَمْ يُسَمِّ، حَتَّى كَانَ فِي آخِرِ طَعَامِهِ لُقْمَةٌ، فَقَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَاللَّهِ مَا زَالَ الشَّيْطَانُ يَأْكُلُ مَعَهُ حَتَّى سَمّى، فَلَمْ يَبْقَ شَيْءٌ فِي بَطْنِهِ حَتَّى قَاءَهُ ".
Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Jabir ibnu Subh, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Abdur Rahman Al-Khuza'i yang berguru kepada Wasit. Dia selalu mengucapkan bismillah pada permulaan makan, dan pada akhir suapannya dia mengucapkan bismillahi awwalahu wa akhirahu (Dengan menyebut nama Allah pada permulaan makan dan kesudahannya). Maka aku (Jabir ibnu Subh) bertanya kepadanya.”Sesungguhnya kamu membaca bismillah pada permulaan makanmu, tetapi mengapa engkau sesudah makan mengucapkan kalimat bismillahi awwalahu wa akhirahu?" Al-Musanna ibnu Abdur Rahman menjawab, "Aku akan menceritakan kepadamu bahwa kakekku (yaitu Umayyah ibnu Makhsyi, salah seorang sahabat Nabi Saw.) pernah kudengar menceritakan hadis berikut, bahwa ada seorang lelaki sedang makan, ketika itu Nabi Saw. melihatnya, dan lelaki itu tidak membaca bismillah; hingga pada akhir suapannya dia baru mengucapkan, "Dengan nama Allah pada permulaan makan dan kesudahannya. Maka Nabi Saw. bersabda: 'Demi Allah, setan masih terus makan bersamanya hingga ia membaca tasmiyah (bismillah). maka tidak ada suatu makanan pun yang ada dalam perut setan melainkan setan memuntahkannya (karena bacaan bismillah itu)'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasa’i melalui hadis Jabir ibnu Subh Ar-Rasi Abu Bisyr Al-Basri. Ibnu Mu'in menilainya siqah, begitu pula Imam Nasai. Tetapi Abul Fat Al-Azdi mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Hadis lain.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ خَيْثَمَة، عَنْ أَبِي حُذَيْفَةَ قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ: وَاسْمُهُ سَلَمَةُ بْنُ الْهَيْثَمِ بْنِ صُهَيْبٍ -مِنْ أَصْحَابِ ابْنِ مَسْعُودٍ-عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] عَلَى طَعَامٍ، لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا حَتَّى يَبْدَأَ رَسُولُ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] فَيَضَعُ يَدَهُ، وَإِنَّا حَضَرْنَا مَعَهُ طَعَامًا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ، كَأَنَّمَا تُدفع، فَذَهَبَتْ تَضَعُ يَدَهَا فِي الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهَا، وَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ كَأَنَّمَا يُدفع، فَذَهَبَ يَضَعُ يَدَهُ فِي الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] بِيَدِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ إِذَا لَمْ يُذْكِرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا، فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا، وَجَاءَ بِهَذَا الْأَعْرَابِيِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ، فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ يَدَهُ فِي يَدِي مَعَ يَدِهِمَا يَعْنِي الشَّيْطَانَ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah, dari Abu Huzaifah yang menurut Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Imam Ahmad disebutkan bahwa Abu Huzaifah ini nama aslinya adalah Salamah ibnul Haisam ibnu Suhaib, salah seorang murid sahabat Ibnu Mas'ud. Ia menceritakan hadis ini dari Huzaifah yang menceritakan, "Kami apabila menghadiri suatu jamuan bersama Nabi Saw., kami tidak berani menyentuh makanan terlebih dahulu sebelum Rasulullah Saw. memulainya. Ketika kami sedang menghadiri suatu jamuan, tiba-tiba datanglah seorang budak wanita, seakan-akan ada yang mendorongnya, lalu budak wanita itu langsung meletakkan tangannya pada jamuan makanan yang ada. Maka Rasulullah Saw. menahan tangan budak wanita itu. Lalu datang pula seorang Arab Badui, seakan-akan ada yang mendorongnya dan langsung hendak mengambil makanan. Maka Rasulullah Saw. memegang tangan orang Badui itu, lalu bersabda: Sesungguhnya setan menghalalkan makanan jika tidak disebutkan nama Allah atasnya, dan sesungguhnya setan datang dengan budak wanita ini untuk menghalalkannya, karena itu aku tahan tangannya. Dan setan datang pula dengan orang Arab Badui ini untuk menghalalkannya, karena itu aku tahan tangannya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya tangan setan itu kupegang dengan tanganku bersama tangan keduanya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai melalui hadis Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Hadis lain.
Imam Muslim dan Ahlus Sunan selain Imam Turmuzi meriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ، فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيت لَكُمْ وَلَا عَشَاء، وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يُذْكَرِ اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ، فَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ".
dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila seorang lelaki memasuki rumahnya, lalu ia menyebut nama Allah ketika memasukinya, juga ketika hendak makan, maka setan berkata.”Tiada tempat menginap dan tiada makan malam bagi kalian (ditujukan kepada sesamanya)." Tetapi jika seseorang memasuki rumahnya tanpa menyebut nama Allah ketika memasukinya, maka setan berkata (kepada sesamanya), "Kalian telah menjumpai tempat menginap." Dan apabila ia tidak menyebut nama Allah ketika hendak makan, maka setan berkata, "Kalian telah menjumpai tempat menginap dan makan malam."
Demikianlah menurut lafaz Imam Abu Daud.
Hadis lain.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ وَحْشِيّ بْنِ حَرْب بْنِ وَحْشِي بْنِ حَرْب، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا نَأْكُلُ وَمَا نَشْبَعُ؟ قَالَ: "فَلَعَلَّكُمْ تَأْكُلُونَ مُتَفَرِّقِينَ، اجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ "
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu Harb, tlari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi Saw., "Sesungguhnya kami makan, tetapi kami tidak pernah merasa kenyang." Nabi Saw. bersabda: Barangkali kalian makan terpisah-pisah (sendiri-sendiri), sekarang berjamaahlah dalam menyantap makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya kalian diberkati dalam makanan kalian.
Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Al-Walid ibnu Muslim.
ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ ۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّۭ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّۭ لَّهُمْ ۖ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍۢ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ 5
(5) Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
(5)
Setelah Allah Swt. menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang baik-baik yang dihalalkan untuk mereka, sesudah itu Allah Swt. berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. (Al-Maidah: 5)
Kemudian Allah Swt. menyebutkan hukum sembelihan dua Ahli Kitab. Yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, melalui firman-Nya:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَبَ حِلٌّ لَكُمْ
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu dihalalkan bagi kalian. (Al-Maidah: 5)
Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka (orang-orang Ahli Kitab).
Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa sesungguhnya sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim, karena mereka pun mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah, sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah Swt. Mahasuci lagi Mahaagung dari apa yang mereka katakan.
Telah disebutkan di dalam kitab sahih, dari Abdullah ibnu Mugaffal yang menceritakan bahwa dia memenuhi timba dengan lemak pada hari Perang Khaibar, lalu lemak itu ia bawa sendiri seraya berkata, "Pada hari ini aku tidak akan memberi seorang pun lemak ini." Lalu ia menoleh dan ternyata ada Nabi Saw. yang memandangnya seraya tersenyum.
Dari hadis ini ulama fiqih menyimpulkan, boleh mengambil makanan dan sejenisnya yang diperlukan dari kumpulan ganimah sebelum dibagikan, tetapi sebatas yang diperlukan secara wajar. Hal ini masalahnya jelas.
Tetapi ulama fiqih dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Syafii, dan mazhab Hambali menyimpulkan dalil dari hadis ini sebagai bantahan terhadap mazhab Maliki yang melarang memakan apa yang menurut keyakinan orang-orang Yahudi haram dari sembelihan mereka, seperti lemak dan lain-lainnya yang diharamkan atas mereka. Mazhab Maliki mengharamkan kaum muslim memakannya dengan berdalilkan firman-Nya: Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)
Mereka (mazhab Maliki) mengatakan bahwa lemak dan sejenisnya bukan termasuk makanan mereka (Ahli Kitab). Sedangkan jumhur ulama membantah pendapat mereka (mazhab Maliki) dengan berdalilkan hadis di atas. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat masalahnya berkaitan dengan masalah 'ain (barang), karena barangkali lemak tersebut merupakan lemak dari bagian yang diyakini oleh mereka (Ahli Kitab) halal, seperti lemak yang ada pada bagian punggung dan usus serta lain-lainnya.
Dalil lain yang lebih baik daripada ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirimkan seekor kambing panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan mereka telah membubuhi racun pada kakinya. Nabi Saw. menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw. memakan sebagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu memberitahukan kepada Nabi Saw. bahwa ia telah diracuni. Maka Nabi Saw. memuntahkannya kembali. Tetapi tak urung hal tersebut mempunyai pengaruh pada gigi seri dan urat nadi jantung beliau. Pada saat itu yang ikut makan bersama beliau adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma'rur, tetapi ia tidak tertolong lagi dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.
Segi pengambilan dalil dari hadis ini ialah bahwa Nabi Saw, dan orang yang menemaninya bertekad untuk memakan kiriman tersebut, tanpa bertanya apakah mereka membuang darinya hal-hal yang menurut keyakinan mereka diharamkan, berupa lemak atau tidak?
Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dijamu oleh seorang Yahudi yang menyuguhkan makanan kepadanya berupa roti yang terbuat dari tepung jewawut dan lemak.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa pernah dibacakan kepada Al-Abbas ibnul Walid ibnu Mazyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, telah menceritakan kepadaku An-Nu'man ibnul Munzir, dari Mak-hul yang mengatakan bahwa Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. (Al-An'am: 121)
Kemudian Allah Swt. me-nasakh-nya karena belas kasihan kepada kaum muslim. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)
Dengan demikian, ayat ini me-nasakh ayat tersebut dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab dihalalkan. Apa yang dikatakan oleh Mak-hul ini masih perlu dipertimbangkan. Karena sesungguhnya dibolehkan-Nya sembelihan Ahli Kitab bukan berarti memastikan bolehnya memakan sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, mengingat mereka (Ahli Kitab) selalu menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, juga atas kurban-kurbannya, sedangkan mereka menganggap hal ini sebagai sesuatu yang ritual. Karena itulah dilarang memakan sembelihan selain mereka (Ahli Kitab) dari kalangan orang-orang musyrik dan orang-orang yang serupa dengan ahli musyrik. Mengingat ahli musyrik tidak menyebut nama Allah atas sembelihan mereka, bahkan dalam memakan daging yang biasa mereka makan tidak bergantung sama sekali kepada hasil sembelihan. Bahkan mereka biasa memakan bangkai, lain halnya dengan selain mereka dan orang-orang yang serupanya dari kalangan orang-orang Samirah dan Sabi-ah serta orang-orang yang mengakui dirinya memegang agama Nabi Ibrahim, Nabi Syis, dan nabi-nabi lainnya, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat yang dikatakan oleh para ulama. Lain pula halnya dengan sembelihan orang-orang Nasrani Arab, seperti Bani Taglab, Bani Tanukh, Bani Buhra, Bani Juzam, Bani Lukhm dan Bani Amilah, serta lain-lainnya yang serupa; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, menurut jumhur ulama.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Ubaidah yang menceritakan bahwa sahabat Ali r.a. pernah mengatakan, "Janganlah kalian memakan sembelihan Bani Taglab, karena sesungguhnya mereka memegang agama Nasrani hanya kepada masalah meminum khamrnya saja." Hal yang sama dikatakan oleh ulama Khalaf dan ulama Salaf yang bukan hanya seorang.
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab dan Al-Hasan, bahwa keduanya berpandangan membolehkan memakan hasil sembelihan orang-orang Nasrani Bani Taglab.
Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi. Lain halnya dengan pendapat Abu Saur Ibrahim ibnu Khalid Al-Kalbi, salah seorang ulama fiqih pengikut mazhab Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Ketika Abu Saur mengatakan pendapatnya ini dan dikenal sebagai suatu pendapat darinya, maka ulama fiqih mendebatnya, sehingga Imam Ahmad yang dijuluki dengan sebutan Abu Saur —juga sama dengan namanya— mengatakan sehubungan dengan masalah sembelihan ahli Majusi, seakan-akan Ibrahim ibnu Khalid berpegang kepada keumuman makna hadis yang diriwayatkan secara mursal dari Nabi Saw. yang mengatakan:
"سُنوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ"
Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) sama dengan perlakuan terhadap Ahli Kitab.
Akan tetapi. hadis dengan lafaz ini masih belum terbukti kekuatannya. mengingat yang terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari dari Abdur Rahman ibnu Auf hanya disebutkan seperti berikut:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أَخَذَ الْجِزْيَةَ مِنْ مَجوس هَجَر
Bahwa Rasulullah Saw. memungut jizyah dari orang-orang Majusi tanah Hajar.
Sekiranya kesahihan hadis ini dapat dipertanggungjawabkan, maka pengertian umumnya di-takhsis oleh pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian. (Al-Maidah: 5)
Mafhum mukhalafah dari ayat ini jelas menunjukkan bahwa makanan atau sembelihan selain Ahli Kitab dari kalangan pemeluk agama lainnya tidak halal.
****
Firman Allah Swt.:
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
dan makanan kalian dihalalkan (pula) bagi mereka. (Al-Maidah: 5)
Artinya, dihalalkan bagi kalian memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian. Hal ini bukan merupakan berita mengenai hukum untuk mereka, kecuali bila dipandang dari segi makna sebagai berita tentang apa yang pernah diperintahkan kepada mereka, yaitu harus memakan sembelihan yang disebutkan nama Allah atasnya, baik dari kalangan mereka sendiri ataupun dari kalangan agama lain.
Akan tetapi, makna yang pertama lebih kuat, yang mengatakan bahwa kalian diperbolehkan memberi mereka makan dari hasil sembelihan kalian, sebagaimana kalian pun boleh memakan hasil sembelihan mereka. Hal ini termasuk ke dalam Bab 'Timbal Balik dan Saling Memberi". Perihalnya sama dengan masalah ketika Nabi Saw. memberikan pakaiannya kepada Abdullah ibnu Ubai ibnu Abu Salul (seorang munafik militan) ketika mati, lalu baju Nabi Saw. dipakaikan kepadanya sebagai kain kafannya. Mereka mengatakan bahwa dahulu Abu Salul pernah memberi pakaian kepada Al-Abbas (paman Nabi Saw.) ketika tiba di Madinah dengan pakaiannya, maka Nabi Saw. membalas kebaikannya itu dengan kebaikan lagi.
Mengenai sebuah hadis yang disebutkan di dalamnya hal berikut, yaitu:
"لَا تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ"
Janganlah kamu berteman kecuali orang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.
Maka makna hadis ini diinterpretasikan sebagai anjuran dan sesuatu yang disunatkan, bukan perintah wajib.
***
Firman Allah Swt.:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita-wanita yang beriman. (Al-Maidah: 5)
Yakni dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Ayat ini merupakan pendahuluan bagi firman Selanjutnya, yaitu firman-Nya:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُم
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan al-muhsanat ialah wanita-wanita merdeka, bukan budak belian. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Mujahid, bahwa sesungguhnya yang dimaksud Mujahid dengan istilah muhsanat adalah wanita-wanita merdeka. Dengan demikian, berarti barangkali yang dimaksud oleh Ibnu Jarir ialah apa yang dia riwayatkan darinya (Mujahid). Dapat pula diinterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan al-hurrah (wanita merdeka) ialah wanita yang menjaga kehormatannya, seperti yang disebutkan di dalam riwayat lainnya yang bersumber dari Mujahid. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Karena dengan pengertian demikian akan terhindarlah gabungan pengertian yang menunjukkan kepada wanita zimmi, sedangkan dia tidak memelihara kehormatannya. Sehingga keadaannya rusak sama sekali dan mengawininya berarti akan terjadi hal seperti yang disebut di dalam peribahasa "dapat kurma buruk dan takaran yang rusak".
Menurut makna lahiriah ayat, makna yang dimaksud dengan muhsanat ialah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Sama halnya dengan makna yang terdapat pada ayat lain, yaitu firman-Nya:
مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ
sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25)
Kemudian para ulama dan ahli tafsir berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dengan firman-Nya: dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-orang yang diberi Al-Kltab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
Apakah yang dimaksud adalah mencakup semua wanita Ahli Kitab yang memelihara kehormatannya, baik yang merdeka ataupun budak? Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari kalangan ulama Salaf yang menafsirkan muhsanah dengan pengertian wanita yang memelihara kehormatannya.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan Ahli Kitab adalah wanita-wanita israiliyat, seperti yang dikatakan oleh mazhab Syafii.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, yang dimaksud dengan wanita Ahli Kitab yang muhsanah ialah yang zimmi, bukan yang harbi, karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian. (At-Taubah: 29), hingga akhir ayat.
Sesungguhnya Ibnu Umar berpendapat, tidak boleh mengawini wanita Nasrani, dan ia mengatakan, "Aku tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada wanita yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa. Sedangkan Allah Swt. telah berfirman:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman' (Al-Baqarah: 221)."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hatim ibnu Sulaiman Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik (yakni Al-Muzanni), telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Sami’, dari Abu Malik Al-Gifari, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diturunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Maka orang-orang menahan dirinya dari mereka hingga turunlah ayat berikutnya dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya: dam wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5) Maka orang-orang mulai menikahi wanita-wanita Ahli Kitab.
Sesungguhnya ada segolongan di antara sahabat yang menikahi wanita-wanita Nasrani dan mereka memandangnya diperbolehkan karena berdasarkan firman-Nya: dan wanita-wanita yang memelihara kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kalian. (Al-Maidah: 5)
Mereka menilai ayat ini mentakhsis pengertian yang terkandung di dalam ayat surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) sekalipun bila dikatakan bahwa wanita kitabiyah termasuk ke dalam pengertian umum makna yang dikandungnya; bila tidak, berarti tidak ada pertentangan antara ayat ini dan ayat yang sebelumnya.
Orang-orang Ahli Kitab disebutkan secara terpisah dari orang-orang musyrik dalam berbagai tempat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 1)
وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالأمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا الآية
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kalian (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. (Ali Imran: 2), hingga akhir ayat.
****
Adapun firman Allah Swt.:
إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
bila kalian telah membayar maskawin mereka. (Al-Maidah: 5)
Yaitu maskawin mereka. Dengan kata lain, sebagaimana mereka menjaga kehormatannya, maka berikanlah kepada mereka maskawinnya dengan senang hati.
Jabir ibnu Abdullah, Amir Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seorang lelaki bila menikahi seorang wanita, lalu wanita itu berbuat zina sebelum digaulinya, maka keduanya harus dipisahkan, dan pihak wanita diharuskan mengembalikan maskawin yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari mereka.
***
Firman Allah Swt.:
مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah: 5)
Sebagaimana disyaratkan ihsan, yakni menjaga diri dari perbuatan zina pada pihak wanita, hal yang sama disyaratkan pula pada pihak laki-laki, yaitu hendaknya pihak laki-laki pun menjaga kehormatannya dari perbuatan zina. Karena itulah disebutkan 'tidak dengan maksud berzina’ dengan kata musafihina yang artinya laki-laki tukang zina yang tidak pernah kapok melakukan maksiat dan tidak pernah menolak terhadap wanita yang datang kepadanya.
Tidak pula menjadikannya gundik-gundik, yakni para kekasih hidup bagaikan suami istri tanpa ikatan nikah. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam surat An-Nisa. Karena itulah Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahuliah berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita pelacur sebelum ia bertobat dari perbuatannya. Bilamana wanita itu masih tetap sebagai pelacur, tidak sah dikawini oleh lelaki yang menjaga kehormatannya. Dikatakan tidak sah pula menurut Imam Ahmad bila seorang lelaki pezina melakukan akad nikah kepada seorang wanita yang memelihara kehormatannya, sebelum lelaki yang bersangkutan bertobat dan menghentikan perbuatan zinanya, karena berdasarkan ayat ini. Juga berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
"لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ."
Lelaki pezina yang telah dihukum dera tidak boleh kawin kecuali dengan orang (wanita) yang semisal dengannya (yakni pezina lagi).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Al-Hasan yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku berniat tidak akan membiarkan seseorang yang pernah berbuat zina dalam Islam menikahi wanita yang menjaga kehormatannya." Maka Ubay ibnu Ka'b r.a. berkata kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, syirik lebih besar (dosanya) daripada perbuatan itu, tetapi terkadang diterima bila ia bertobat."
Hal ini akan dibahas secara rinci pada tafsir firman-Nya:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Karena itulah dalam surat ini Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya, dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Al-Maidah: 5)