17 - الإسراء - Al-Israa

Juz : 15

The Night Journey
Meccan

وَإِن كَادُوا۟ لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ ٱلْأَرْضِ لِيُخْرِجُوكَ مِنْهَا ۖ وَإِذًۭا لَّا يَلْبَثُونَ خِلَٰفَكَ إِلَّا قَلِيلًۭا 76

(76) Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja.

(76) 

Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi, ketika mereka memberikan saran kepada Rasulullah Saw. untuk tinggal di negeri Syam yang merupakan negeri para nabi dengan meninggalkan kota Madinah yang ditempatinya saat itu. Pendapat ini di­nilai lemah karena ayat ini jelas ayat Makkiyyah, sedangkan Rasulullah Saw. tinggal di Madinah sesudah itu.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, sesungguhnya ayat ini diturunkan di Tabuk. Akan tetapi, kesahihan pendapat ini masih perlu dipertimbang­kan.

Imam Baihaqi dan Imam Hakim telah meriwayatkan dari Al-Asam, dari Ahmad ibnu Abdul Jabbar Al-Utaridi, dari Yunus ibnu Bukair, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abdur Rahman ibnu Ganam bahwa di suatu hari orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Hai Abul Qasim, jika engkau benar seorang nabi, maka pergilah ke negeri Syam, karena sesungguhnya negeri Syam adalah tanah Mahsyar dan tempat tinggal para nabi." Ternyata apa yang dikatakan oleh mereka itu dibenarkannya. Maka Nabi Saw. berangkat ke Medan Tabuk dengan tujuan tiada lain adalah negeri Syam. Setelah Nabi Saw. sampai di Medan Tabuk, Allah menurunkan kepadanya beberapa ayat surat Al-Isra setelah surat Al-Isra khatam, yaitu mulai dari firman-Nya:

وَإِنْ كَادُوا لَيَسْتَفِزُّونَكَ مِنَ الْأَرْضِ لِيُخْرِجُوكَ مِنْهَا ۖ وَإِذًا لَا يَلْبَثُونَ خِلَافَكَ إِلَّا قَلِيلًا

Dan sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja. (Al-Isra: 76)

Sampai dengan firman-Nya: suatu perubahan pun. (Al-Isra: 77) Maka Allah memerintahkan kepada Nabi Saw. untuk kembali ke Madinah, dan Allah berfirman, "Di Madinahlah tempat hidupmu dan tempat kematianmu, serta di Madinahlah engkau akan dibangkitkan."

Sanad hadis ini masih perlu dipertimbangkan kesahihannya, tetapi yang jelas pendapat ini tidak benar, karena sesungguhnya Nabi Saw. melakukan perang di Medan Tabuk bukan karena anjuran orang-orang Yahudi, melainkan menaati perintah Allah yang disebutkan melalui firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu. (At-Taubah: 123)

Dan firman Allah Swt.:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak meng­haramkan apa yang di haramkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sam­pai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk. (At-Taubah: 29)

Nabi Saw. memerangi mereka di Tabuk untuk melakukan pembalasan atas gugurnya sebagian dari para sahabat dalam perang Mu’tah.

Seandainya hadis tadi sahih, tentulah semakna dengan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Walid ibnu Muslim, dari Aqirah ibnu Ma'dan, dari Salim ibnu Amir, dari Abu umamah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"أُنْزِلَ الْقُرْآنُ فِي ثَلَاثَةِ أَمْكِنَةٍ: مَكَّةَ، وَالْمَدِينَةِ، وَالشَّامِ"

Al-Qur’an diturunkan di tiga tempat, yaitu Mekah, Madinah, dan Syam.

Al-Walid mengatakan, yang dimaksud dengan Syam ialah Baitul Maqdis. Akan tetapi tafsir yang mengatakan di Tabuk adalah lebih baik daripada apa yang dikatakan oleh Al-Walid yang menyatakan di Baitul Maqdis.

Menurut pendapat yang lainnya, ayat ini di turunkan berkenaan de­ngan orang-orang kafir Quraisy manakala mereka bertekad untuk meng­usir Rasulullah Saw. dari kampung halaman mereka. Maka Allah Swt. mengancam mereka dengan menurunkan ayat ini. Jika mereka mengusir Nabi Saw., sesudah itu tentulah mereka tidak akan lama lagi dapat ting­gal di Mekah. Dan memang demikianlah kejadiannya, karena sesungguh­nya sesudah Nabi Saw. berhijrah meninggalkan mereka setelah mengala­mi tekanan yang sangat berat dari pihak mereka, maka dalam masa satu setengah tahun berikutnya Allah Swt. mempertemukan mereka dengan Nabi Saw. di Medan Badar tanpa diduga-duga oleh mereka. Kemudian Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Saw. atas mereka, sehingga banyak dari kalangan pemimpin mereka yang terhormat gugur dan yang lainnya ditawan.


سُنَّةَ مَن قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِن رُّسُلِنَا ۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا 77

(77) (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.

(77) 

Karena itulah disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا

(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terha­dap rasul-rasul Kami. (Al-Isra: 77), hingga akhir ayat.

Dengan kata lain, demikianlah ketetapan Kami terhadap orang-orang yang kafir kepada rasul-rasui Kami dan yang menyakitinya dengan mengusirnya dari tempat tinggal mereka, Allah menurunkan azab terhadap mereka. Seandainya saja Rasulullah Saw. bukanlah rasul pembawa rah­mat, tentulah mereka akan ditimpa pembalasan di dunia ini dengan azab yang tak pernah dialami oleh seorang manusia pun. Dalam suatu ayat disebutkan oleh firman-Nya:

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedangkan kamu berada di antara mereka. (Al-Anfal: 33), hingga akhir ayat.


أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ ٱلَّيْلِ وَقُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْءَانَ ٱلْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًۭا 78

(78) Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).

(78) 

Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk mengerjakan salat-salat fardu dalam waktunya masing-masing.

أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ

Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (Al-Isra: 78)

Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan dulukusy syamsi ialah tenggelamnya matahari, menurut ibnu Mas'ud, Mujahid, dan ibnu Zaid.

Hasyim telah meriwayatkan dari Mugirah, dari Asy-Sya'bi, dari ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan dulukusy syams ialah sesudah matahari tergelincir dari pertengahan langit.

Nafi' meriwayatkan pendapat ini dari Ibnu Umar, dan Malik di dalam tafsirnya meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Ibnu Umar.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Barzah Al-Aslami yang juga merupakan riwayat lain dari Ibnu Mas'ud dan Mujahid.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Hasan, Ad-Dahhak, Abu Ja'far Al-Baqir serta Qatadah, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Di antara dalil yang mendukung pendapat ini ialah sebuah hadis yang diriwayatkan melalui Ibnu Humaid:

عَنِ الْحَكَمِ بْنِ بَشِيرٍ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ قَيْسٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، [عَنْ رَجُلٍ]، عَنِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: دَعَوْتُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ شَاءَ مِنْ أَصْحَابِهِ فَطَعِمُوا عِنْدِي، ثُمَّ خَرَجُوا حِينَ زَالَتِ الشَّمْسُ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "اخْرُجْ يَا أَبَا بَكْرٍ، فَهَذَا حِينَ دلكت الشمس"

dari Al-Hakam ibnu Basyir, bahwa telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Qais, dari Ibnu Abu Laila, dari seorang lelaki, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa ia pernah mengundang Rasulullah Saw. dan sebagian sahabat yang dekat dengannya untuk suatu jamuan makan yang diadakannya. Mereka selesai dari jamuan makan itu saat matahari tergelincir, lalu Rasulullah Saw. keluar dan bersabda: Hai Abu Bakar, keluarlah, ini adalah saat matahari baru tergelincir.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui Sahl ibnu Bakkar, dari Abu Uwwanah, dari Al-Aswad ibnu Qais, dari Nabih Al-Anazi, dari Jabir, dari Rasulullah Saw. dengan lafaz yang semisal.

Dengan demikian, berarti ayat ini mengandung makna keterangan tentang salat lima waktu.

*******************

Dan firman-Nya yang mengatakan:

لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ

dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam. (Al-Isra: 78)

Yang dimaksud dengan gasaqil lail ialah gelapnya malam hari, dan me­nurut pendapat lain artinya terbenamnya matahari. Dapat disimpulkan dari makna ayat ini waktu lohor, asar, dan magrib serta isya.

Firman Allah Swt.:

وَقُرْآنَ الْفَجْرِ

dan (dirikanlah pula salat) Subuh. (Al-Isra: 78)

Yang dimaksud dengan qura-nal fajri ialah salat Subuh.

Telah disebutkan di dalam sunnah dari Rasulullah Saw. secara mutawatir melalui perbuatan dan ucapannya yang merincikan waktu-waktu salat tersebut, seperti apa yang sekarang dilakukan oleh semua pemeluk agama Islam. Mereka menerimanya secara turun-temurun dari suatu generasi ke generasi lain yang sesudahnya. Penjelasan secara rinci mengenai hal ini disebutkan di dalam bagiannya sendiri (yaitu kitab-kitab fiqih).

إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Al- Isra: 78)

قَالَ الْأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ -وَعَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ: إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا قَالَ: "تَشْهَدُهُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ"

Al-A'masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, dari Ibnu Mas'ud, dan ia juga telah meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (dirikanlah pula salat) Subuh, sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Al-Isra: 78) Bahwa salat Subuh itu disaksikan oleh para malaikat yang telah bertugas di malam hari dan para malaikat yang akan bertugas di siang hari.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ -وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "فَضْلُ صَلَاةِ الْجَمِيعِ عَلَى صَلَاةِ الْوَاحِدِ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ دَرَجَةً، وَتَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ". وَيَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ: وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah dan Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi Saw. telah bersabda: Keutamaan salat berjamaah atas salat sendirian ialah dua pu­luh lima derajat, dan malaikat yang bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari berkumpul dalam salat Subuh. Kemudian Abu Hurairah berkata, "Bacalah jika kalian suka membaca­nya," yaitu firman Allah Swt.: dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Al-Isra: 78)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -وَحَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا قَالَ: "تَشْهَدُهُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ، وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asbat telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. Dan telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Al-Isra: 78) Nabi Saw. bersabda: Salat Subuh disaksikan oleh para malaikat yang telah bertugas di malam hari dan para malaikat yang akan bertugas di siang hari.

Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ubaid ibnu Asbat ibnu Muhammad, dari ayahnya dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini sahih hasan.

Menurut lafaz lain yang ada di dalam kitab Sahihain melalui jalur Malik, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

" يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَفِي صَلَاةِ الْعَصْرِ، فَيَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ -وَهُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ -كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي؟ فَيَقُولُونَ: أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ، وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ"

Malaikat malam hari dan malaikat siang hari silih berganti ke­pada kalian, dan mereka bersua di dalam salat Subuh dan salat Asar, kemudian para malaikat yang bertugas pada kalian di malam hari naik (ke langit), lalu Tuhan mereka Yang lebih menge­tahui menanyai mereka tentang kalian, "Bagaimanakah keada­an hamba-hamba-Ku saat kalian tinggalkan?” Mereka menja­wab, "Kami datangi mereka sedang mengerjakan salat, dan kami tinggalkan mereka sedang mengerjakan salat.”

Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan bahwa kedua malaikat penjaga bersua dalam salat Subuh. Para malaikat yang telah berjaga naik ke langit, se­dangkan para malaikat yang baru datang tetap tinggal menggantikannya. Hai yang sama telah dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha'i, Mujahid, Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang sehubungan dengan tafsir ayat ini.

Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam bab ini ia ketengahkan melalui hadis Al-Lais ibnu Sa'd, dari Ziyadah, da­ri Muhammad ibnu Ka'b A!-Qurazi, dari Fudalah ibnu Ubaid, dari Abu Darda, dari Rasulullah Saw. lalu ia menyebutkan tentang hadis turunnya para malaikat penjaga itu, yang di dalamnya antara lain disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:

"مَنْ يَسْتَغْفِرْنِي أَغْفِرْ لَهُ، مَنْ يَسْأَلْنِي أُعْطِهِ، مَنْ يَدْعُنِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ"

Barang siapa yang meminta ampun kepada-Ku, Aku memberi­kan ampun baginya; dan barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya; dan barang siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan memperkenankan baginya hingga fajar terbit.

Karena itulah maka dalam ayat ini disebutkan oleh Firman-Nya: dan (dirikanlah pula salat) Subuh. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Al-Isra: 78) Allah menyaksikannya, begitu pula para malaikat malam hari dan para malaikat siang hari.

Adanya tambahan ini dalam riwayat Ibnu Jarir, hanya dia sendirilah yang meriwayatkannya, dan ia mempunyai syahid yang mengatakan ini terdapat di dalam kitab Sunnah Abu Daud.


وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةًۭ لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًۭا مَّحْمُودًۭا 79

(79) Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

(79) 

Firman Allah Swt.:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ

Dan pada sebagian malam hari, salat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. (Al-Isra: 79)

Ayat ini merupakan perintah dari Allah kepada Nabi Saw. untuk mengerja­kan salat sunat malam hari sesudah salat fardu.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis melalui Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw., pernah ditanya mengenai salat yang paling utama sesudah salat fardu. Maka beliau Saw. menjawab melalui sabdanya:

"صَلَاةُ اللَّيْلِ"

salat sunat malam hari.

Karena itulah maka Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menghidupkan malam hari dengan salat sunat tahajud. Makna tahajud ialah salat yang dikerjakan sesudah tidur. Demikianlah menurut pendapat Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim An-Nakha'i, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Dan inilah pengertian yang dikenal di dalam bahasa Arab. Hal yang sama telah disebutkan di dalam banyak hadis dari Rasulullah Saw. yang menyebutkan bahwa beliau melakukan salat tahajudnya sesu­dah tidur. Hal ini diriwayatkan melalui Ibnu Abbas dan Siti Aisyah serta sahabat-sahabat lainnya, semuanya itu diterangkan secara rinci di tempat­nya sendiri.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa tahajud ialah salat yang dila­kukan sesudah salat Isya. Pendapat ini mempunyai interpretasi salat yang dikerjakan sesudah tidur terlebih dahulu.

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya:

نَافِلَةً لَكَ

sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. (Al-Isra: 79)

Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah bahwa Engkau secara khusus wajib melakukan hal itu. Maka mereka menganggapnya sebagai suatu kewajiban khusus bagi Nabi Saw. sendiri, tidak bagi umat­nya. Demikianlah menurut pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Inilah yang dikatakan oleh salah satu pendapat di antara dua pendapat yang ada di kalangan ulama, juga menurut salah satu penda­pat Imam Syafi'i, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Menurut pendapat lain, susungguhnya mengerjakan salat sunat malam hari dianggap sebagai ibadah tambahan khusus baginya, mengingat semua dosa Nabi Saw. telah diampuni, baik yang terdahulu maupun yang kemudian. Sedangkan bagi selain Nabi Saw. — yaitu umatnya — salat sunat itu dapat menghapuskan dosa-dosanya. Demikianlah menurut Muja­hid. Pendapat ini disebutkan di dalam kitab Musnad melalui riwayat Abu Umamah Al-Bahlil r.a.

Firman Allah Swt.:

عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra: 79)

Aku lakukan perintah ini kepadamu untuk menempatkanmu di hari kiamat kelak pada kedudukan yang terpuji. Semua makhluk akan memujimu, begitu pula Tuhan yang menciptakan mereka semua.

Ibnu Jarir mengatakan, kebanyakan ulama ahli takwil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kedudukan yang terpuji ini ialah kedudukan yang diperoleh Nabi Saw. pada hari kiamat nanti, yaitu memberikan syafa­at bagi umat manusia, agar Tuhan mereka membebaskan mereka dari kesengsaraan hari itu.

Pendapat ulama yang mengatakannya sebagai kedudukan syafaat

حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إسحاق، عن صِلَةَ بْنِ زُفَر، عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: يُجْمَعُ النَّاسُ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ، يُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ، حُفَاةً عُراة كَمَا خُلِقُوا قِيَامًا، لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، يُنَادَى: يَا مُحَمَّدُ، فَيَقُولُ: "لَبَّيْكَ وسعدَيك، وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، وَالْمَهْدِيُّ مَنْ هَدَيْت، وَعَبْدُكَ بَيْنَ يَدَيْكَ، وَبِكَ وَإِلَيْكَ، لَا مَنْجَى وَلَا مَلْجَأَ مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، سُبْحَانَكَ رَبَّ الْبَيْتِ".

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa manusia (kelak di hari kiamat) dikumpulkan di suatu tempat yang datar, suara penyeru terdengar oleh mereka dan pandangan mata mereka tembus (tiada yang menghalanginya). Mereka semua dalam keadaan telanjang dan tak beralas kaki, persis seperti ketika mereka baru dicipta-kan (dilahirkan). Mereka semua dalam keadaan berdiri, tiada seorang pun yang berani berbicara melainkan dengan seizin-Nya. Allah Swt. berseru, "Hai Muhammad!" Nabi Saw. menjawab: Labbaika wa sa'daika, semua kebaikan berada di Tangan-Mu, dan semua keburukan tidak pantas disandarkan kepada-Mu. Orang yang beroleh hidayah hanyalah orang yang Engkau beri hidayah. Hamba-Mu sekarang berada di hadapan-Mu, berasal dari (ciptaan)-Mu dan kembali kepada-Mu. Tiada jalan selamat dan tiada tempat berlindung dari murka-Mu kecuali hanya kepada-Mu. Mahasuci lagi Mahatinggi dan Mahaagung Engkau, wahai Tuhan Pemilik Ka'bah.”

Inilah yang dimaksud dengan kedudukan terpuji yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya itu.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Bandar, dari Gundar, dari Syu'bah, dari Abu Ishaq dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar dan As-Sauri, dari Abu Ishaq dengan sanad yang sama.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa kedudukan yang terpuji ini adalah kedudukan syafaat. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid. Pendapat yang sama dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri.

Qatadah mengatakan bahwa Nabi Saw. adalah orang yang mula-mula dibangkitkan dari kuburnya di hari kiamat, dan beliau adalah orang yang mula-mula memberi syafaat.

Ahlul 'ilmi berpendapat bahwa hal inilah yang dimaksud oleh Allah dengan kedudukan yang terpuji di dalam firman-Nya: mudah-mudah Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra: 79)

Menurut kami, sesungguhnya Rasulullah Saw. mempunyai beberapa ke­muliaan di hari kiamat yang tidak ada seorang pun yang menandinginya. Sebagaimana beliau pun memiliki beberapa keutamaan yang tiada seorang pun dapat menyainginya, yaitu seperti berikut:

Nabi Saw. adalah orang yang mula-mula dibangkitkan dari kubur­nya.

Nabi Saw. dibangkitkan dalam keadaan berkendaraan menuju Padang Mahsyar.

Nabi Saw. adalah pemegang panji yang bernaung di bawahnya Nabi Adam a.s. dan nabi-nabi lain sesudahnya, semuanya berada di ba­wah panjinya.

Nabi Saw. mempunyai telaga (Kausar) yang di tempat perhentian itu tiada sesuatu pun yang lebih banyak pendatangnya daripada telaga yang dimilikinya.

Nabi Saw. pemegang syafa'atul 'uzma di sisi Allah agar Allah mau datang untuk memutuskan peradilan di antara makhluk-Nya. Yang demikian itu terjadi sesudah semua manusia meminta kepada Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, lalu Isa; masing-masing dari mereka mengatakan, "Saya bukanlah orangnya.”Akhirnya mereka datang kepada Nabi Muhammad Saw. Maka Nabi Saw. bersabda: Akulah orangnya, akulah orangnya. Mengenai pembahasan masalah ini kami sebutkan nanti secara rinci.

Keistimewaan lainnya yang dimiliki oleh Nabi Saw. ialah memberi­kan syafaat kepada sejumlah kaum, padahal kaum-kaum itu telah diperin­tahkan untuk diseret ke dalam neraka, akhirnya mereka diselamatkan darinya.

Umat Nabi Saw. adalah umat yang paling pertama menerima ke-putusan dari Allah dalam peradilan-Nya di antara sesama mereka. Dan mereka adalah umat yang mula-mula melewati sirat bersama nabinya.

Nabi Saw. adalah orang yang mula-mula diberi syafaat oleh Allah untuk masuk ke dalam surga, seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim. Di dalam hadis sur (sangkakala) disebutkan bahwa semua orang mukmin tidak dapat masuk surga kecuali dengan syafaat dari Nabi Saw. Nabi Saw. adalah orang yang mula-mula masuk surga bersama umatnya sebelum umat-umat lainnya.

Nabi Saw. memberikan syafaat untuk meninggikan derajat sejum­lah kaum yang amal perbuatan mereka tidak dapat mencapainya.

Nabi Saw. adalah pemilik wasilah yang merupakan kedudukan tertinggi di surga. Kedudukan ini tidak layak disandang kecuali hanya oleh Nabi Saw. sendiri.

Apabila Allah Swt. telah memberikan izin untuk memberi syafaat kepada orang-orang yang durhaka, maka barulah para malaikat, para nabi, dan kaum mukmin memberikan syafaatnya masing-masing. Nabi Saw. memberikan syafaatnya kepada sejumlah besar makhluk yang tiada seorang pun mengetahui bilangannya kecuali hanya Allah Swt. Tiada seorang pun yang dapat menyamainya dan setara dengan dia dalam hal memberi syafaat.

Saya telah menjelaskan masalah ini secara rinci di dalam kitab As-Sirah pada Bab "Al-Khasais" (kitab lain karya tulis Ibnu Kasir). Berikut ini akan kami ketengahkan hadis-hadis yang menyebutkan tentang Kedu­dukan yang Terpuji ini.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Aban, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Adam ibnu Ali; ia pernah mendengar Ibnu Umar mengatakan bahwa sesungguh­nya manusia itu kelak di hari kiamat semuanya berlutut, setiap umat mengikuti nabinya masing-masing. Mereka mengatakan, "Hai Fulan, beri­lah syafaat. Hai Fulan, berilah syafaat!" Hingga sampailah syafaat kepada Nabi Saw., hanya dialah yang dapat memberikannya. Yang demikian itu terjadi di hari Allah mendudukkannya di tempat yang terpuji.

Hamzah ibnu Abdullah meriwayatkannya dari ayahnya, dari Nabi Saw.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ، حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ اللَّيْثِ، حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ حَمْزَةَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ يَقُولُ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِنَّ الشَّمْسَ لَتدنو حَتَّى يَبْلُغَ العَرَقُ نصفَ الْأُذُنِ، فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوا بِآدَمَ، فَيَقُولُ: لَسْتُ صَاحِبَ ذَلِكَ، ثُمَّ بِمُوسَى فَيَقُولُ كَذَلِكَ، ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ فَيَشْفَعُ بَيْنَ الْخَلْقِ ، فَيَمْشِي حَتَّى يَأْخُذَ بِحَلْقَةِ بَابِ الْجَنَّةِ، فَيَوْمَئِذٍ يَبْعَثُهُ اللَّهُ مَقَامًا مَحْمُودًا".

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnul Lais, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Ubaidillah ibnu Abu Ja'far yang mengatakan, ia pernah mendengar Hamzah ibnu Abdullah ibnu Umar mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdul­lah ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sesungguhnya matahari (kelak di hari kiamat) benar-benar dekat sehingga keringat (manusia) sampai sebatas pertengahan teli­nga (mereka). Ketika mereka dalam keadaan demikian, mereka meminta tolong kepada Adam, maka Adam menjawab, "Saya bukanlah orang yang memiliki syafaat itu." Kemudian kepada Musa. Musa menjawab dengan kata-kata yang sama (seperti yang dikatakan Adam). Dan akhirnya kepada Nabi Muhammad Saw. Maka Nabi Saw. memberikah syafaatnya kepada makhluk. Lalu beliau berjalan (menuju surga) dan memegang halgah (pe­gangan) pintu surga. Pada saat itulah Allah menempatkannya pada kedudukan yang terpuji.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Bab "Zakat" melalui Yahya ibnu Bukair dan Alqamah, dari Abdullah ibnu Saleh, keduanya dari Al-Lais ibnu Sa'd dengan sanad yang sama. Hanya dalam riwayat ini ditambahkan:

"فَيَوْمَئِذٍ يَبْعَثُهُ اللَّهُ مَقَامًا محمودًا، بحمده أَهْلُ الْجَمْعِ كُلُّهُمْ".

bahwa pada hari itu Allah menempatkan­nya pada kedudukan yang terpuji, semua makhluk yang ada di tempat pemberhentian memujinya.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: وَحَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاش، حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزة، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ المُنْكَدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ، حَلَّت لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ".

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Ali ibnu Ayyasy, telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Abu Ham­zah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barangsiapa yang mengucapkan doa berikut ketika mende­ngar suara azan, yaitu: "Ya Allah, Tuhan seruan yang sempur­na ini dan salat yang didirikan, berikanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, dan angkatlah dia ke kedudukan yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan kepadanya, " maka ia akan mendapat syafaatku kelak di hari kiamat.

Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid, tanpa Imam Muslim.

Hadis Ubay ibnu Ka'b.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْأَزْدِيُّ، حَدَّثَنَا زُهَيْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنِ الطُّفَيْلِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، كَنْتُ إِمَامَ الْأَنْبِيَاءِ وَخَطِيبَهُمْ، وَصَاحِبَ شَفَاعَتِهِمْ غَيْرَ فَخْر

Imam Ahmad telah mengatakan,, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Azdi, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari At-Tufail ibnu Ubay ibnu Ka'b, dari ayahnya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila hari kiamat tiba, saya menjadi pemimpin para nabi, khatib (pembicara) mereka, dan pemilik syafaat mereka, tanpa membanggakan diri.

Imam Turmuzi mengetengahkan hadis ini melalui riwayat Abu Amir Ab­dul Malik ibnu Amr Al-Aqdi. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil dengan sanad yang sama.

Dalam pembahasan terdahulu dalam hadis Ubay ibnu Ka'b mengenai bacaan Al-Qur'an yang terdiri atas tujuh dialek disebutkan bahwa di akhir hadis tersebut dikatakan:

"فَقُلْتُ: اللَّهُمَّ، اغْفِرْ لِأُمَّتِي، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأُمَّتِي، وَأَخَّرْتُ الثَّالِثَةَ لِيَوْمٍ يَرْغَبُ إِلَيَّ فِيهِ الْخَلْقُ، حَتَّى إبراهيم عليه السلام"

Maka aku .berdoa, "Ya Allah, berilah ampun kepada umatku. Ya Allah, berilah ampun kepada umatku, " dan aku tangguhkan permintaan yang ketiga buat suatu hari yang di hari itu semua makhluk memerlukan pertolonganku hingga Nabi Ibrahim a.s.

Hadis Anas ibnu Malik.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبة، حَدَّثَنَا قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَجْتَمِعُ الْمُؤْمِنُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُلْهَمُونَ ذَلِكَ فَيَقُولُونَ: لَوِ اسْتَشْفَعْنَا إِلَى رَبِّنَا، فَأَرَاحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا. فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُو الْبَشَرِ، خَلَقَكَ اللَّهُ بِيَدِهِ، وَأَسْجَدَ لَكَ مَلَائِكَتَهُ، وَعَلَّمَكَ أَسْمَاءَ كُلِّ شَيْءٍ، فَاشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا هَذَا. فَيَقُولُ لَهُمْ آدَمُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَيَذْكُرُ ذَنْبَهُ الَّذِي أَصَابَ، فَيَسْتَحْيِي رَبَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، مِنْ ذَلِكَ، وَيَقُولُ: وَلَكِنِ ائْتُوا نُوحًا، فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللَّهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ. فَيَأْتُونَ نُوحًا فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَيَذْكُرُ خَطِيئَةَ سُؤَالَهُ رَبَّهُ مَا لَيْسَ لَهُ بِهِ عِلْمٌ، فَيَسْتَحْيِي رَبَّهُ مِنْ ذَلِكَ، وَلَكِنِ ائْتُوا إِبْرَاهِيمَ خَلِيلَ الرَّحْمَنِ. فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَلَكِنِ ائْتُوا مُوسَى، عَبْدًا كَلَّمَهُ اللَّهُ، وَأَعْطَاهُ التَّوْرَاةَ. فَيَأْتُونَ مُوسَى فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَيَذْكُرُ لَهُمُ النَّفْسَ الَّتِي قَتَلَ بِغَيْرِ نَفْسٍ فَيَسْتَحْيِي رَبَّهُ مِنْ ذَلِكَ، وَلَكِنِ ائْتُوا عِيسَى عَبْدَ اللَّهِ وَرَسُولَهُ، وَكَلِمَتَهُ وَرُوحَهُ، فَيَأْتُونَ عِيسَى فَيَقُولُ: لَسْتُ هُنَاكُمْ، وَلَكِنِ ائْتُوا مُحَمَّدًا عَبْدًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَأْتُونِي". قَالَ الْحَسَنُ هَذَا الْحَرْفُ: "فَأَقُومُ فَأَمْشِي بَيْنَ سِماطين مِنَ الْمُؤْمِنِينَ". قَالَ أَنَسٌ: "حَتَّى أَسْتَأْذِنَ عَلَى رَبِّي، فَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي وَقَعْتُ لَهُ -أَوْ: خَرَرْتُ -سَاجِدًا لِرَبِّي، فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَدَعَنِي". قَالَ: "ثُمَّ يُقَالُ: ارْفَعْ مُحَمَّدُ، قُلْ يُسْمَعْ، وَاشْفَعْ تَشَفَّعْ، وَسَلْ تُعْطَهُ. فَأَرْفَعُ رَأْسِي، فَأَحْمَدُهُ بِتَحْمِيدٍ يُعَلِّمُنيه، ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا، فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ": "ثُمَّ أَعُودُ إِلَيْهِ الثَّانِيَةَ، فَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي وَقَعْتُ -أَوْ: خَرَرْتُ -سَاجِدًا لِرَبِّي، فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَدَعَنِي. ثُمَّ يُقَالُ: ارْفَعْ مُحَمَّدُ، قُلْ يُسْمَعْ، وَسَلْ تُعْطَهُ، وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ. فَأَرْفَعُ رَأْسِي فَأَحْمَدُهُ بِتَحْمِيدٍ يُعَلِّمُنيه، ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا، فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ، ثُمَّ أَعُودُ فِي الثَّالِثَةِ؛ فَإِذَا رَأَيْتُ رَبِّي وَقَعْتُ -أَوْ: خَرَرْتُ -سَاجِدًا لِرَبِّي، فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَدَعَنِي، ثُمَّ يُقَالُ: ارْفَعْ مُحَمَّدُ، قُلْ يُسْمَعْ، وَسَلْ تُعْطَهُ، وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ. فَأَرْفَعُ رَأْسِي فَأَحْمَدُهُ بِتَحْمِيدٍ يُعَلِّمُنيه ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا فَأُدْخِلُهُمُ الْجَنَّةَ. ثُمَّ أَعُودُ الرَّابِعَةَ فَأَقُولُ: يَا رَبِّ، مَا بَقِيَ إِلَّا مَنْ حَبَسَهُ الْقُرْآنُ". فَحَدَّثَنَا أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "فَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ" وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ شَعِيْرَةً، ثُمَّ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ" وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ بُرَّة ثُمَّ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ: "لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ" وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Arubah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: bahwa pada hari kiamat orang-orang mukmin berkumpul setelah mereka mengalami penderitaan terse­but. Lalu mereka berkata, "Sebaiknya kita meminta syafaat kepada Tuhan, agar Dia membebaskan kita dari tempat yang penuh dengan penderitaan ini." Maka mereka datang kepada Adam dan berkata, "Hai Adam, engkau adalah bapak manusia, Allah telah menciptakanmu dengan tangan-Nya sendiri, dan memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadamu, serta Allah telah mengajarkan kepadamu nama segala sesua­tu. Maka mohonkanlah syafaat buat kami kepada Tuhanmu agar Dia membebaskan kita dari tempat kita ini." Nabi Adam menjawab mereka, "Saya bukanlah orang yang kalian harapkan", lalu Adam menyebutkan dosa yang pernah dilakukannya, sehingga ia merasa malu kepada Tuhan Yang Mahaagung lagi Maha Mulia untuk meminta syafaat itu. Lalu ia berkata, "Sebaiknya kalian datang kepada Nuh, karena dia adalah rasul yang mula-mula diutus oleh Allah untuk penduduk bumi." Maka mereka datang kepada Nabi Nuh, lalu ia menjawab, "Saya bukanlah orang yang dapat kalian harapkan," kemudian Nabi Nuh menyebutkan suatu kesalahan, yaitu ia pernah meminta kepada Tuhan sesuatu yang tiada pengetahuan baginya tentang hal ifu, sehingga ia merasa malu kepada Tuhan untuk meminta syafaat yang mereka minta itu. Dan Nuh a.s. mengatakan, "Sebaiknya kalian pergi kepada Nabi Ibrahim a.s., kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah." Mereka datang kepada Nabi Ibrahim a.s., tetapi Nabi Ibrahim a.s. menjawab, "Saya bukanlah orang yang kalian maksudkan. Sebaiknya datanglah kalian kepada Musa, seorang hamba yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah dan Allah telah memberinya kitab Taurat." Mereka datang kepada Musa, tetapi Musa menjawab, "Saya bukanlah orang yang kalian maksudkan," lalu Musa menyebutkan bahwa ia pernah membunuh seseorang tanpa mendapat balasan qisas, sehingga ia merasa malu kepada Tuhan untuk meminta syafaat yang mereka kehendaki itu. Dan ia mengatakan, "Sebaiknya datanglah kalian kepada Isa, hamba dan Rasul Allah, serta kalimah dan roh-Nya." Mereka datang kepada Isa, tetapi Isa berkata, "Saya bukanlah orang yang kalian maksudkan. Sebaiknya datanglah kamu kepada Muhammad, seorang hamba yang telah diberi ampun oleh Allah Swt. atas semua do­sanya yang terdahulu dan yang kemudian." Mereka datang kepadaku — menurut Al-Hasan terjadi perubahan dalam ungkapan hadis —, lalu aku bangkit dan berjalan di antara dua ba­risan kaum mukmin -— Anas melanjutkan kisahnya—sehingga aku meng­hadap kepada Tuhan dan meminta izin untuk bersua dengan-Nya. Mana­kala aku melihat Tuhanku, maka aku menjatuhkan diri (menyungkur) bersujud kepada Tuhanku, dan Tuhanku membiarkan diriku dalam keadaan seperti itu selama apa yang Dia kehendaki. Kemudian Allah Swt. berfirman, "Hai Muhammad, angkatlah muka­mu. Katakanlah, perkataanmu didengar. Dan mintalah syafaat, kamu di­beri izin untuk memberi syafaat. Dan mintalah, pasti kamu diberi apa yang kamu minta!" Maka aku mengangkat mukaku dan memuji-Nya dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Lalu aku memberi syafaat, dan Allah memberikan batasan jumlah tertentu kepadaku, maka aku masukkan mereka ke dalam surga. Kemudian aku kembali kepada-Nya untuk kedua kalinya; dan apabila aku melihat-Nya, maka aku menjatuhkan diri atau menyungkur bersujud kepada-Nya, dan Dia membiarkan diriku dalam keadaan demikian selama apa yang dikehendaki-Nya. Lalu Allah Swt. berfirman, "Angkatlah mukamu, hai Muhammad. Katakanlah, perkataanmu pasti didengar. Mintalah, permintaanmu pasti dikabulkan. Dan mintalah syafaat, engkau akan diberi izin untuk memberi syafaat!" Maka aku mengangkat mukaku dan memuji-Nya dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Kemudian aku memberi syafaat, dan Dia membe­rikan batasan kepadaku jumlah tertentu, lalu aku masukkan mereka ke dalam surga. Kemudian aku kembali kepada-Nya untuk ketiga kalinya; dan mana­kala aku melihat-Nya, maka aku menjatuhkan diri atau menyungkur ber­sujud kepada-Nya. Dia membiarkan diriku dalam keadaan seperti itu selama apa yang Dia kehendaki. Sesudah itu Allah Swt. berfirman, "Hai Muhammad, angkatlah mu­kamu. Katakanlah, perkataanmu pasti di dengar. Mintalah, permintaanmu pasti diberikan. Dan mintalah syafaat, tentulah kamu diberi izin untuk memberi syafaat!" Maka aku mengangkat mukaku dan memuji-Nya dengan pujian yang Dia ajarkan kepadaku. Kemudian saya memberikan syafaat, dan Dia memberikan batasan sejumlah orang tertentu kepadaku, maka aku masukkan mereka ke dalam surga. Selanjutnya aku kembali kepada-Nya untuk keempat kalinya dan mengatakan kepada-Nya, "Wahai Tuhanku, tiada yang tersisa lagi selain orang-orang yang ditahan di dalam neraka oleh Al-Qur'an." Sahabat Anas telah menceritakan kepada kami bahwa Nabi Saw. bersabda: Maka dikeluarkanlah dari neraka orang yang pernah meng­ucapkan "Tidak ada Tuhan selain Allah", dan di dalam hatinya terdapat sedikit kebaikan seberat biji gandum. Kemudian dike­luarkan pula dari neraka orang yang pernah mengucapkan "Tidak ada Tuhan selain Allah", sedangkan di dalam hatinya ' terdapat sedikit kebaikan sebesar biji jewawut. Kemudian dikeluarkan pula dari neraka orang yang pernah mengucapkan "Tidak ada Tuhan selain Allah", sedangkan di dalam hatinya terdapat sedikit kebaikan sebesar semut yang paling kecil.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui riwa­yat Syu'bah dengan sanad yang sama.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Affan, dari Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas dengan teks yang cu­kup panjang.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا حَرْبُ بْنُ مَيْمُونٍ أَبُو الْخَطَّابِ الْأَنْصَارِيُّ، عَنِ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: حَدَّثَنِي نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنِّي لَقَائِمٌ أَنْتَظِرُ أُمَّتِي تَعْبُرُ الصِّرَاطَ، إِذْ جَاءَنِي عِيسَى، عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ:


وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍۢ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍۢ وَٱجْعَل لِّى مِن لَّدُنكَ سُلْطَٰنًۭا نَّصِيرًۭا 80

(80) Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.

(80) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Qabus ibnu Abu Zabyan, dari ayahnya, dari ibnu Abbas yang mencerita­kan bahwa ketika Nabi Saw. berada di Mekah, lalu diperintahkan untuk berhijrah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong." (Al-Isra: 8)

Imam Turmuzi menilai bahwa hadis ini hasan sahih.

Al-Hasan Al-Basri di dalam tafsir ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang kafir Mekah saat mereka sepakat di antara sesamanya untuk membunuh Nabi Saw. atau mengusirnya atau mengikatnya, dan Allah berkehendak untuk memerangi ahli Mekah, maka Dia memerintahkan kepada Rasul­Nya untuk berhijrah ke Madinah, yang antara lain Allah Swt. berfirman: Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar.” (Al-Isra: 8), hingga akhir ayat.

Qatadah mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan: Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar." (Al-Isra: 8) Yang dimaksud adalah kota Madinah. dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar. (Al-Isra: 8) Yang dimaksud ialah Mekah.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang paling terkenal.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: masukkanlah aku secara masuk yang benar. (Al-Isra: 8) Bahwa yang dimaksud ialah mati. dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar. (Al-Isra: 8) Maksudnya adalah kehidupan sesudah mati.

Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah hal-hal yang lain, tetapi pendapat yang paling sahih ialah pendapat pertama, yaitu pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. (Al-Isra: 8)

Al-Hasan Al-Basri dalam tafsir ayat ini mengatakan, Allah menjanjikan kepada Nabi Saw. bahwa Dia benar-benar akan mencabut Kerajaan Persia dan kejayaannya, dan Dia benar-benar akan memberikan hal itu kepadanya. Allah juga benar-benar akan mencabut Kerajaan Rumawi dan kejayaannya, lalu Dia memberikannya kepada beliau.

Qatadah mengatakan — sehubungan dengan tafsir ayat ini—sesung­guhnya Nabi Saw. menyadari bahwa dia tidak mempunyai kekuatan un­tuk mengemban tugas ini kecuali dengan kekuasaan. Maka beliau memo­hon kekuasaan yang menolong kepada Allah untuk membela Kitabullah, batasan-batasan Allah, hal-hal yang difardukan Allah, dan untuk mene­gakkan agama Allah; karena sesungguhnya kekuasaan itu adalah rahmat dari Allah yang Dia jadikan di kalangan hamba-hamba-Nya. Seandainya tidak ada kekuasaan ini, tentulah sebagian dari mereka menyerang sebagi­an yang lainnya, dan yang terkuat di antara mereka akan memakan yang lemah dari mereka.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: kekuasaan yang menolong. (Al-Isra: 8) Yakni bukti yang jelas.

Ibnu Jarir memilih pendapat yang dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah; dan pendapat inilah yang terkuat, karena sesung­guhnya merupakan suatu keharusan bagi perkara yang hak mengalahkan semua orang yang menentang dan bersikap oposisi terhadapnya. Karena itulah dalam ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti. (Al-Hadid: 25)

sampai dengan firman-Nya:

وَأَنزلْنَا الْحَدِيدَ

Dan Kami ciptakan besi. (Al-Hadid: 25), hingga akhir ayat.

Di dalam sebuah hadis disebutkan:

"إِنَّ اللَّهَ لَيَزَع بِالسُّلْطَانِ مَا لَا يَزَعُ بِالْقُرْآنِ"

Sesungguhnya Allah benar-benar mencegah (perbuatan dosa) melalui kekuasaan hal-hal yang tidak dapat dicegah melalui Al-Qur’an.

Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa sesungguhnya berkat kekuasa­an (pemerintahan) dapat dicegah banyak perbuatan keji dan dosa-dosa yang tidak dapat dicegah melalui Al-Qur'an di kalangan orang banyak, mengingat peringatan dan ancaman yang keras bagi para pelanggarnya benar-benar dilaksanakan, dan memang demikianlah kenyataannya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah, "Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap. (Al-Isra: 81), hingga akhir ayat.

Di dalam makna ayat ini terkandung ancaman dan peringatan yang dituju­kan kepada orang-orang kafir Quraisy, bahwa sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara hak dari Allah yang tiada keraguan di dalamnya serta tidak pernah mereka kenal sebelumnya, yaitu Al-Qur'an, iman, dan ilmu yang bermanfaat. Dan lenyaplah kebatilan itu, yakni surut dan binasalah kebatilan itu; karena sesungguhnya hal yang batil itu tidak akan dapat bertahan dan tidak dapat kekal bersama dengan adanya perkara yang hak.

Di dalam ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ

Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. (Al-Anbiya: 18)

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي مَعْمر، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ وَحَوْلَ الْبَيْتِ سِتُّونَ وَثَلَاثُمِائَةِ نُصُبٍ، فَجَعَلَ يَطْعَنُهَا بِعُودٍ فِي يَدِهِ، وَيَقُولُ: جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا ، جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ"

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Muja­hid, dari Abu Ma'mar, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Nabi Saw. memasuki Mekah (pada hari kemenangan atas kota Mekah), sedangkan di sekitar Ka'bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala, maka Rasulullah Saw. merobohkannya dengan tongkat yang ada di tanganya seraya mengucapkan firman-Nya: Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap. Sesung­guhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Al-Isra: 81) Perkara yang hak telah datang, dan perkara batil pasti tidak akan muncul dan tidak akan kembali lagi.

Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di lain tempat; begitu pula Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai, se­muanya meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ibnu Abu Nujaih dengan sanad yang sama.

Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syababah, telah menceritakan kepada kami Abuz Zubair, dari Jabir r.a. yang mengatakan bahwa kami masuk Mekah (di hari kemenangan atas kota Mekah) bersama dengan Rasulullah Saw., sedangkan di sekitar Ka'bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala yang disembah oleh mere­ka selain Allah. Rasulullah Saw. memerintahkan agar berhala-berhala itu dirobohkan. Maka semua berhala dirobohkan dengan kepala di bawah hingga hancur, dan Nabi Saw. membacakan firman-Nya: Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap. Sesung­guhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Al-Isra: 81)


وَقُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَٰطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًۭا 81

(81) Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.

(81) 

Firman Allah Swt.:

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah, "Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap. (Al-Isra: 81), hingga akhir ayat.

Di dalam makna ayat ini terkandung ancaman dan peringatan yang dituju­kan kepada orang-orang kafir Quraisy, bahwa sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara hak dari Allah yang tiada keraguan di dalamnya serta tidak pernah mereka kenal sebelumnya, yaitu Al-Qur'an, iman, dan ilmu yang bermanfaat. Dan lenyaplah kebatilan itu, yakni surut dan binasalah kebatilan itu; karena sesungguhnya hal yang batil itu tidak akan dapat bertahan dan tidak dapat kekal bersama dengan adanya perkara yang hak.

Di dalam ayat yang lain disebutkan melalui firman-Nya:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ

Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. (Al-Anbiya: 18)

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي مَعْمر، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ وَحَوْلَ الْبَيْتِ سِتُّونَ وَثَلَاثُمِائَةِ نُصُبٍ، فَجَعَلَ يَطْعَنُهَا بِعُودٍ فِي يَدِهِ، وَيَقُولُ: جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا ، جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ"

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Muja­hid, dari Abu Ma'mar, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Nabi Saw. memasuki Mekah (pada hari kemenangan atas kota Mekah), sedangkan di sekitar Ka'bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala, maka Rasulullah Saw. merobohkannya dengan tongkat yang ada di tanganya seraya mengucapkan firman-Nya: Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap. Sesung­guhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Al-Isra: 81) Perkara yang hak telah datang, dan perkara batil pasti tidak akan muncul dan tidak akan kembali lagi.

Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari di lain tempat; begitu pula Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai, se­muanya meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sufyan ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ibnu Abu Nujaih dengan sanad yang sama.

Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syababah, telah menceritakan kepada kami Abuz Zubair, dari Jabir r.a. yang mengatakan bahwa kami masuk Mekah (di hari kemenangan atas kota Mekah) bersama dengan Rasulullah Saw., sedangkan di sekitar Ka'bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala yang disembah oleh mere­ka selain Allah. Rasulullah Saw. memerintahkan agar berhala-berhala itu dirobohkan. Maka semua berhala dirobohkan dengan kepala di bawah hingga hancur, dan Nabi Saw. membacakan firman-Nya: Yang benar telah datang, dan yang batil telah lenyap. Sesung­guhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (Al-Isra: 81)


وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌۭ وَرَحْمَةٌۭ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًۭا 82

(82) Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.

(82) 

Allah Swt. menyebutkan tentang kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw., yaitu Al-Qur'an yang tidak datang kepa­danya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya; yang diturun­kan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin, yakni dapat melenyapkan berbagai penyakit hati, antara lain keraguan, kemunafikan, kemusyrikan, dan menyimpang dari perkara yang hak serta cenderung kepada hal yang batil. Al-Qur'an pun merupakan rahmat ba­gi mereka, karena dengan Al-Qur'an dapat dipertebal keimanan, hikmah dapat diperoleh, dan kebaikan dapat dijumpai padanya serta akan menam­bah kecintaan kepadanya. Hal seperti ini tidaklah dapat diperoleh kecuali oleh orang yang beriman kepada Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikuti petunjuknya. Maka Al-Qur'an akan menjadi penyembuh dan rahmat baginya.

Adapun orang kafir, yaitu orang yang menganiaya dirinya sendiri dengan kekafirannya, tiadalah mendengarkan Al-Qur'an menambahkan kepadanya melainkan hanya kejauhan dan kekufuran serta bencana akibat kekafirannya, bukan karena Al-Qur'annya. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain melalui firman-Nya:

وَإِذَا مَا أُنزلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ

Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat itu menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafirannya di samping keka­firannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (At-Taubah: 124-125)

Ayat-ayat yang menceritakan hal ini cukup banyak jumlahnya.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi pena­war dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Al-Isra: 82) Bahwa apabila seorang mukmin mendengarkan bacaan Al-Qur'an, maka ia beroleh manfaat darinya dan menghafal serta mengingat makna yang dikandungnya. tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain ke­rugian. (Al-Isra: 82) Yakni orang yang aniaya tidak dapat mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Ia tidak dapat menghafal dan memahami makna yang dikandungnya, karena sesungguhnya Allah Swt. menjadikan Al-Qur'an ini penawar dan rahmat hanya bagi orang-orang yang beriman.


وَإِذَآ أَنْعَمْنَا عَلَى ٱلْإِنسَٰنِ أَعْرَضَ وَنَـَٔا بِجَانِبِهِۦ ۖ وَإِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ كَانَ يَـُٔوسًۭا 83

(83) Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.

(83) 

Allah Swt. menyebutkan tentang kekurangan diri manusia secara apa adanya, kecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah Swt. dalam dua keadaan, yaitu keadaan senang dan sengsara. Karena sesungguhnya bi­la Allah memberinya nikmat berupa harta, kesehatan, kemenangan, rezeki, pertolongan, dan memperoleh apa yang diinginkannya, maka ia berpaling, tidak mau mengerjakan ketaatan kepada Allah, tidak mau menyembah-­Nya, serta berpaling membalikkan tubuhnya. Menurut Mujahid, makna membelakang dengan sikap yang sombong ialah menjauh dari Allah.

Menurut kami, ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di da­lam ayat lain melalui firman-Nya:

فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَسَّهُ

tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah ber­doa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (Yunus: 12)

فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ

maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling. (Al-Isra: 67)

Bahwa manusia itu apabila tertimpa malapetaka dan musibah,

كَانَ يَئُوسًا

niscaya dia berputus asa. (Al-Isra: 83)

Yakni putus harapan untuk dapat kembali normal dan putus asa untuk mendapat kebaikan sesudah kesusahannya itu, sama dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ

Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang me­nimpanya, niscaya dia akan berkata, "Telah hilang bencana-bencana itu dariku, " sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga, kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar. (Hud: 9-11)

*******************

Adapun firman Allah Swt.:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ

Katakanlah, "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." (Al-Isra: 84)

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan 'ala syakilatihi ialah menurut keahliannya masing-masing.

Menurut Mujahid, makna yang di­ maksud ialah menurut keadaannya masing-masing.

Menurut Qatadah ialah menurut niatnya masing-masing.

Sedangkan Ibnu Zaid mengatakan menurut keyakinannya masing-masing.

Semua definisi yang disebutkan di sini berdekatan maknanya.

Ayat ini mengandung makna ancaman terhadap orang-orang musyrik dan peringatan bagi mereka. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan Allah Swt. dalam ayat lain, yaitu:

وَقُلْ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنَّا عَامِلُونَ وَانْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman, "Ber­buatlah menurut kemampuan kalian.” (Hud: 121), hingga akhir ayat.

Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلا

Katakanlah, "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhan kalian lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Al-Isra: 84)

di antara kami dan kalian, dan kelak Dia akan membalas setiap orang yang beramal sesuai dengan amal perbuatannya. Sesungguhnya tiada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.


قُلْ كُلٌّۭ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًۭا 84

(84) Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.

(84) 

Adapun firman Allah Swt.:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ

Katakanlah, "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." (Al-Isra: 84)

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan 'ala syakilatihi ialah menurut keahliannya masing-masing.

Menurut Mujahid, makna yang di­ maksud ialah menurut keadaannya masing-masing.

Menurut Qatadah ialah menurut niatnya masing-masing.

Sedangkan Ibnu Zaid mengatakan menurut keyakinannya masing-masing.

Semua definisi yang disebutkan di sini berdekatan maknanya.

Ayat ini mengandung makna ancaman terhadap orang-orang musyrik dan peringatan bagi mereka. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan Allah Swt. dalam ayat lain, yaitu:

وَقُلْ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ اعْمَلُوا عَلَى مَكَانَتِكُمْ إِنَّا عَامِلُونَ وَانْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

Dan katakanlah kepada orang-orang yang tidak beriman, "Ber­buatlah menurut kemampuan kalian.” (Hud: 121), hingga akhir ayat.

Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلا

Katakanlah, "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhan kalian lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Al-Isra: 84)

di antara kami dan kalian, dan kelak Dia akan membalas setiap orang yang beramal sesuai dengan amal perbuatannya. Sesungguhnya tiada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.


وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًۭا 85

(85) Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

(85) 

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa ketika ia sedang berjalan mengiringi Rasulullah Saw. di sebuah lahan pertanian di Madinah —yang saat itu Rasulullah Saw. berjalan dengan memakai pelepah kurma sebagai tongkatnya — maka bersualah beliau dengan sejumlah orang dari kalangan orang-orang Yahudi. Sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lain, "Tanyailah dia oleh kalian tentang roh." Se­dangkan sebagian lainnya mengatakan, "Janganlah kalian bertanya kepa­danya." Akhirnya mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang roh. Untuk itu mereka berkata, "Hai Muhammad, apakah roh itu?" saat itu Nabi Saw. masih tetap bertopang pada pelepah kurmanya seraya berdiri. Ibnu Mas'ud merasa yakin bahwa saat itu Nabi Saw. sedang menerima wahyu. Setelah itu Nabi Saw. membacakan firman yang baru diturunkan itu, yakni: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi penge­tahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra: 85) Maka berkatalah sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain, "Telah kami katakan kepada kalian, janganlah kalian bertanya kepadanya."

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Al-A'masy dengan sanad yang sama.

Menurut la­faz Imam Bukhari sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a., disebutkan bahwa ketika kami sedang berjalan bersama dengan Rasulullah Saw. di sebuah lahan pertanian — saat itu Rasulullah Saw. berjalan dengan memegang pelepah kurma sebagai tongkatnya maka bersualah beliau dengan orang-orang Yahudi. Sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lain, "Tanyailah dia tentang roh." Salah seorang dari mereka berkata, "Apa perlunya kalian dengan dia?" Sebagian yang lainnya mengatakan, "Jangan sampai dia menghadapi kalian dengan sesuatu yang kalian tidak menyukainya." Mereka berkata, "Tanyailah dia tentang roh." Akhirnya mereka menanyai Nabi Saw. tentang roh. Tetapi Nabi Saw. diam, tidak menjawab sepatah kata pun terhadap mereka. Ibnu Mas'ud mengatakan, "Saya menyadari bahwa beliau Saw. sedang mene­rima wahyu, maka saya diam di tempat." Setelah wahyu selesai, Nabi Saw. membacakannya, yaitu firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku.” (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat.

Konteks ayat ini jelas menunjukkan bahwa ayat ini diturunkan di Madinah, diturunkan ketika orang-orang Yahudi menanyakan kepadanya tentang roh, sekalipun surat ini adalah surat Makiyyah.

Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa barangkali ayat ini ditu­runkan di Madinah untuk yang kedua kalinya, sebelumnya memang ayat ini pernah diturunkan di Mekah. Atau barangkali makna yang dimaksud dari hadis di atas bahwa Nabi Saw. menjawab pertanyaan mereka dengan membacakan ayat ini yang telah diturunkan sebelumnya, yaitu firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat.

Dan yang menunjukkan bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Nabi Saw. di Mekah, ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam salah satu hadis yang diketengahkannya.

Ia mengatakan, telah mencerita­kan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria, dari Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa orang-orang Quraisy pernah mengatakan kepada orang-orang Yahudi, "Berikanlah kepada kami sesuatu pertanyaan yang akan kami ajukan kepada lelaki ini." Orang-orang Yahudi menjawab, "Tanyailah dia tentang roh." Lalu orang-orang Quraisy bertanya kepada Nabi Saw. tentang masalah roh. Maka turunlah firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi penge­tahuan, melainkan sedikit.” (Al-Isra: 85) Orang-orang Yahudi berkata, "Kami telah diberi pengetahuan yang ba­nyak, kami telah diberi kitab Taurat; dan barang siapa yang diberi kitab Taurat, sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang banyak." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu. (Al-Kahfi: 19), hingga akhir ayat.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Muhammad ibnul Musanna, dari Abdul A'la, dari Daud, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Ahli Kitab pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang roh, maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat. Mereka mengatakan, "Kamu menduga bahwa tidaklah kami diberi penge­tahuan kecuali sedikit, padahal kami telah diberi kitab Taurat, dan kitab Taurat itu adalah hikmah." Mereka bermaksud seperti apa yang disebut­kan oleh firman-Nya: Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. (Al-Baqarah: 269) Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi). (Luqman: 27), hingga akhir ayat. Selanjutnya Ikrimah mengatakan bahwa pengetahuan yang telah diberikan kepada kalian yang membuat kalian diselamatkan oleh Allah dari neraka berkat pengetahuan itu. Maka hal itu adalah pemberian yang banyak la­gi baik, tetapi hal itu menurut pengetahuan Allah dianggap sedikit.

Muhammad Ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari salah seorang teman­nya, dari Ata ibnu Yasar yang mengatakan bahwa ayat berikut ini diturun­kan di Mekah, yaitu firman-Nya: dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al- Isra: 85) Ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, orang-orang alim Yahudi da­tang kepadanya dan bertanya, "Hai Muhammad, telah sampai kepada kami berita yang mengatakan bahwa engkau telah mengatakan: 'dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.' (Al-Isra: 85) Apakah yang engkau maksudkan adalah kami, ataukah kaummu sendiri?" Rasulullah Saw. menjawab, "Saya bermaksud kepada semuanya." Mereka berkata, "Sesungguhnya engkau telah membaca tentang kami, bahwa kami telah diberi kitab Taurat yang di dalamnya terdapat penjelasan segala sesuatu." Maka Rasulullah Saw. menjawab: Hal itu menurut pengetahuan Allah dianggap sedikit, dan se­sungguhnya Allah telah mendatangkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian mengamalkannya, tentulah kalian beroleh manfaat (yang banyak). Dan Allah menurunkan firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kali­mat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Luqman: 27)

Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini, seperti keterangan berikut:

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan roh ialah arwah Bani Adam.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85), hingga akhir ayat. Demikian itu terjadi ketika orang-orang Yahudi bertanya kepada Nabi Saw. tentang roh. Mereka mengatakan, "Ceritakanlah kepada kami ten­tang roh. Bagaimanakah roh yang ada di dalam jasad disiksa, padahal sesungguhnya roh itu berasal dari Allah?" Saat itu belum pernah ada suatu wahyu pun yang diturunkan kepada Nabi Saw. mengenainya, maka Nabi Saw. tidak menjawab sepatah kata pun. Kemudian datanglah Ma­laikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepadanya, yaitu firman Allah Swt.: Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra: 85) Kemudian Nabi Saw. menyampaikan wahyu itu kepada mereka (orang-orang Yahudi), dan mereka mengatakan, "Siapakah yang menyampaikan hal itu kepadamu?" Nabi Saw. menjawab, "Jibril telah datang kepadaku menyampaikannya dari sisi Tuhanku." Mereka menjawab Nabi Saw., "Demi Allah, tiada yang mengatakannya kepadamu melainkan musuh kami." Maka Allah menurunkan firman-Nya: Katakanlah, "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebe­lumnya. (Al-Baqarah: 97)

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini ialah Malaikat Jibril. Demikianlah menurut Qatadah, dan Qatadah mengatakan bahwa Ibnu Abbas menyembunyikan makna yang dimaksud dari ayat ini.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini ialah malaikat yang sangat besar, yang besarnya sama dengan semua makhluk Allah.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85) bahwa yang dimaksud dengan roh dalam ayat ini ialah malaikat.

قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُرْس الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ رِزْقٍ أَبُو هُرَيْرَةَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا عَطَاءٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ لِلَّهِ مَلَكًا، لَوْ قِيلَ لَهُ: الْتَقِمِ السَّمَاوَاتِ السَّبْعَ وَالْأَرَضِينَ بِلَقْمَةٍ وَاحِدَةٍ، لَفَعَلَ، تَسْبِيحُهُ: سُبْحَانَكَ حَيْثُ كُنْتَ"

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Abdullah ibnu Ars Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rauq ibnu Hubairah, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah mencerita­kan kepada kami Ata, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia penah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah mempunyai seorang malaikat, kalau seki­ranya diperintahkan kepadanya, "Telanlah langit tujuh lapis dan bumi (tujuh lapis) dengan sekali telan, " tentulah ia dapat melakukannya (karena tubuhnya yang sangat besar). Bacaan tasbihnya ialah, "Mahasuci Engkau yang layak dengan kesucian-Mu.”

Hadis ini berpredikat garib, bahkan dapat dikatakan berpredikat munkar.

Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali, telah menceritakan kepadaku Abdullah, telah menceritakan kepadaku Abu Marwan Yazid ibnu Samurah, dari orang yang menceritakan kepadanya, dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. (Al-Isra: 85) Ali r.a. mengatakan bahwa roh adalah malaikat yang mempunyai tujuh puluh ribu muka, tiap-tiap muka mempunyai tujuh puluh ribu lisan, dan ti­ap-tiap lisan dapat mengucapkan seribu bahasa, Ia bertasbih kepada Allah dengan memakai semua bahasa itu. Allah menciptakan seorang malaikat dari tiap tasbih yang diucapkannya, lalu malaikat itu terbang bersama malaikat lainnya hingga hari kiamat. Asar ini garib lagi aneh.

As-Suhaili mengatakan, telah diriwayatkan dari Ali bahwa ia pernah mengatakan, "Roh adalah malaikat yang mempunyai seratus ribu kepala, tiap kepala mempunyai seratus ribu wajah, tiap wajah mempunyai seratus ribu mulut, dan setiap mulut mempunyai seratus ribu lisan; semuanya bertasbih menyucikan Allah dengan berbagai macam bahasa.

As- Suhaili mengatakan bahwa menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan roh ialah segolongan malaikat yang rupanya seperti manusia. Menurut pendapat lainnya lagi, roh adalah segolongan malaikat yang da­pat melihat malaikat lainnya, tetapi para malaikat tidak dapat melihat mereka. Mereka sama halnya dengan malaikat bagi manusia (yakni tidak terlihat).

Firman Allah Swt.:

قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي

Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku." (Al-Isra: 85)

Artinya, hanya Allah sajalah yang mengetahuinya; dan hal itu termasuk sesuatu yang sengaja hanya diketahui oleh-Nya, tidak untuk kalian. Untuk itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا

dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra: 85)

Yakni apa yang diperlihatkan-Nya kepada kalian dari pengetahuan-Nya tiada lain hanyalah sedikit saja, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang menguasai sesuatu dari pengetahuan-Nya melainkan menurut apa yang dikehendaki-Nya. Mahasuci lagi Mahatinggi Dia. Makna yang di­maksud ialah sesungguhnya pengetahuan kalian amatlah sedikit bila di­bandingkan dengan pengetahuan Allah. Dan apa yang kalian tanyakan tentang roh, hal ini merupakan suatu perkara yang hanya diketahui oleh­-Nya. Dia tidak memperlihatkannya kepada kalian, sebagaimana Dia tidak memperlihatkan kepada kalian dari sebagian pengetahuannya melainkan hanya sedikit saja.

Dalam kisah Musa dan Khidir akan disebutkan bahwa Khidir me­mandang ke arah seekor burung pipit yang hinggap di pinggir perahu yang dinaiki keduanya, lalu burung pipit itu minum seteguk air dari sungai (laut) itu dengan paruhnya. Maka Khidir berkata, "Hai Musa, tiadalah pengetahuanku dan pengetahuanmu serta pengetahuan semua makhluk bila dibandingkan dengan pengetahuan Allah, melainkan sama halnya dengan apa yang diambil oleh burung pipit ini dari laut itu dengan laut itu sendiri." Atau hal lainnya yang semakna. Karena itulah disebutkan pada akhir ayat ini oleh firman-Nya:

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا

dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit. (Al-Isra: 85)

As-Suhaili mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa Allah tidak menjawab pertanyaan mereka karena mereka mengajukan pertanyaannya dengan nada ingkar. Menurut pendapat yang lainnya lagi Allah Swt. menjawabnya.

As-Suhaili mengemukakan alasannya, bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: Katakanlah, "Roh itu termasuk urusan Tuhanku." (Al-Isra: 85) Yakni termasuk sebagian dari syariat-Nya. Dengan kata lain, masuklah kalian ke dalam agama-Nya, karena sesungguhnya kalian telah mengeta­hui bahwa tiada jalan untuk mengetahui masalah ini melalui keahlian ataupun filsafat. Sesungguhnya pengetahuan mengenainya hanya dapat diperoleh melalui syariat-Nya. Akan tetapi, alasan yang dikemukakan oleh As-Suhaili dan pandangannya ini masih perlu dipertimbangkan kebe­narannya.

Kemudian As- suhaili mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi pula sehubungan dengan definisi roh. Ada yang mengatakan bahwa roh itu adalah jiwa, ada pula yang mengatakan selain itu. Hanya As-Suhaili pada akhirnya menyimpulkan bahwa roh itu adalah suatu zat yang lembut seperti udara, ia beredar di seluruh tubuh bagaikan aliran air di dalam akar-akar pohon.

As-Suhaili menyimpulkan pula bahwa roh yang ditiupkan oleh malaikat ke dalam janin adalah jiwa, tetapi dengan syarat bahwa penggabungan roh tersebut dengan tubuh menimbulkan reaksi munculnya sifat-sifat yang terpuji atau sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu, jiwa itu ada yang diberi nama jiwa yang tenang (baik) atau jiwa yang labil yang selalu me­merintahkan kepada keburukan.

As-Suhaili melanjutkan analisisnya, bahwa hal itu terjadi seperti hal­nya air yang menjadi kehidupan bagi pohon; kemudian setelah air itu menyatu dengan pohon, maka menghasilkan nama (istilah) tersendiri. Dengan kata lain, apabila air berada di dalam buah anggur, lalu diperas, maka air yang dihasilkan darinya dinamakan minuman perasan anggur atau dapat pula dijadikan sebagai khamr. Dalam keadaan seperti itu ia ti­dak dapat dikatakan sebagai air, melainkan dalam ungkapan kiasan.

Jiwa tidak dapat pula dikatakan sebagai roh, melainkan melalui ung­kapan kiasan; sebagaimana tidak dapat pula dikatakan bahwa roh adalah jiwa, melainkan berdasarkan pertimbangan kausalitasnya.

Kesimpulan dari apa yang telah kami kemukakan ialah bahwa se­sungguhnya roh itu adalah asal-usul jiwa. Jiwa adalah terbentuk akibat menyatunya roh dengan tubuh. Dengan demikian, istilah roh hanyalah dipandang dari salah satu aspeknya saja, bukan dari semua aspeknya.

Hal ini merupakan pendapat yang cukup baik.

Menurut kami, banyak kalangan ulama yang membahas masalah roh, yakni tentang hakikat roh dan ciri-ciri khasnya. Mereka menulis ki­tab-kitab yang menerangkan tentang masalah ini; diantaranya tulisan yang terbaik mengenai masalah ini dibuat oleh Al-Hafiz ibnu Mandah di dalam kitabnya yang berjudul Sami'nahu fir Ruhi.


وَلَئِن شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ بِهِۦ عَلَيْنَا وَكِيلًا 86

(86) Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembelapun terhadap Kami,

(86) 

Allah Swt. menyebutkan nikmat dan karunia-Nya yang besar yang telah Dia limpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu melalui Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya yang tidak dapat kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.

Ibnu Mas'ud r.a. mengatakan bahwa diakhir zaman kelak akan berti­up angin merah melanda manusia dari arah negeri Syam maka setelah itu tiada satu ayat pun dalam mushaf seseorang atau dalam hatinya melainkan terhapus semuanya. Kemudian sahabat Ibnu Mas'ud r.a. membacakan friman-Nya:

وَلَئِنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ بِهِ عَلَيْنَا وَكِيلًا

Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami le­nyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu. (Al-Isra: 86), hingga akhir ayat.

Kemudian Allah Swt. mengisyaratkan tentang kemuliaan yang dimiliki oleh Al-Qur'an. Untuk itu Allah Swt. memberitahukan bahwa seandainya seluruh manusia dan jin berkumpul, lalu mereka sepakat akan membuat hal yang semisal dengan kitab yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya untuk selama-lamanya, sekalipun mereka saling membantu dan menolong di antara sesama mere­ka. Karena sesungguhnya hal ini merupakan suatu perkara yang mustahil dapat mereka lakukan, karena jelas tidak ada keserupaan antara perkata­an makhluk dan kalam Tuhan Yang Maha Pencipta yang tiada persamaan, tiada yang semisal dan tiada yang setara dengan Dia.

Muhammad ibnu Ishaq telah meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Sa'id ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari kaum Yahudi. Mereka datang kepada Rasulullah Saw., lalu mengatakan, "Se­sungguhnya kami dapat mendatangkan hal yang semisal dengan apa yang engkau sampaikan (yakni Al-Qur'an)." Maka Allah Swt. menurun­kan ayat ini.

Riwayat ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat ayat ini termaktub di dalam surat Makiyyah dan seluruh konteksnya ber­

kaitan dengan orang-orang Quraisy, sedangkan orang-orang Yahudi baru bersua dengan Nabi Saw. setelah beliau berada di Madinah.