18 - الكهف - Al-Kahf

Juz : 15

The Cave
Meccan

وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوٓا۟ أَنَّ وَعْدَ ٱللَّهِ حَقٌّۭ وَأَنَّ ٱلسَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَآ إِذْ يَتَنَٰزَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا۟ ٱبْنُوا۟ عَلَيْهِم بُنْيَٰنًۭا ۖ رَّبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ ٱلَّذِينَ غَلَبُوا۟ عَلَىٰٓ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِم مَّسْجِدًۭا 21

(21) Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: "Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka". Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya".

(21) 

Firman Allah Swt.:

وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ

Dan demikian (pula) Kami pertemukan (manusia) dengan mere­ka. (Al-Kahfi: 21)

Yakni Kami memperlihatkan mereka kepada manusia.

لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا

agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. (Al-Kahfi:21)

Bukan hanya seorang saja dari kalangan ulama Salaf mengatakan bahwa di masa itu para penduduk masih meragukan tentang hari berbangkit dan hari kiamat.

Ikrimah mengatakan, di antara mereka ada segolongan orang yang berpendapat bahwa yang dibangkitkan hanyalah arwah, sedangkan jasad tidak dibangkitkan. Maka Allah Swt. mengirimkan para pemuda penghuni gua itu sebagai hujah, bukti, dan tanda yang menunjukkan hal tersebut, bahwa Allah membangkitkan jasad dan roh.

Para ulama menyebutkan bahwa ketika salah seorang dari para pe­muda itu hendak berangkat menuju Madinah guna membeli sesuatu ma­kanan yang mereka perlukan, ia mengubah dirinya dan keluar dengan langkah yang sangat hati-hati hingga sampai di kota itu. Mereka menye­butkan bahwa nama pemuda yang berangkat ke kota itu adalah Daksus. Ia menduga bahwa dirinya masih belum lama meninggalkan kota tersebui. padahal penduduk kota itu telah berganti, generasi demi generasi, abad demi abad, dan umat demi umat, serta semua keadaan negeri telah beru­bah berikut dengan para penduduknya, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:

أَمَّا الدّيارُ فَإنَّها كَديارهِم .. وَأرَى رجالَ الحَي غَيْرَ رجَاله ...

Adapun tempat-tempat tinggal mereka, sama dengan tempat-tempat tinggal mereka di masa lalu, hanya orang-orang yang menghuninya bukanlah orang-orang yang seperti dahulu.

Maka ia tidak melihat sesuatu pun dari tanda-tanda kota itu yang telah dikenalnya; tiada seorang manusia pun yang mengenalnya, baik dari ka­langan orang-orang khususnya maupun kalangan awamnya. Dia tampak kebingungan dan berkata kepada dirinya sendiri, Barangkali saya terkena penyakit gila, atau kesambet setan, atau sedang dalam mimpi. Tetapi ia menjawab sendiri, Demi Allah, saya tidak tertimpa sesuatu pun dari itu; dan sesungguhnya kota ini baru saya tinggalkan kemarin sore, tetapi ke­adaannya bukan seperti sekarang ini. Lalu ia berkata kepada dirinya sendiri, Sebaiknya saya selesaikan urusan saya dengan segera, lalu meninggalkan kota ini.

Kemudian ia mendekati seseorang yang sedang menjual makanan, dan ia menyerahkan mata uang yang dibawanya kepada penjual makanan itu, lalu ia meminta kepadanya agar menukarnya dengan makanan. Tetapi ketika penjual makanan itu melihat mata uang yang diterimanya, kontan ia terheran-heran dan tidak mau menerimanya. Maka ia berikan uang itu kepada tetangganya yang juga menjual makanan, sehingga akhirnya mata uang itu berkeliling di antara para penjual makanan, dan mereka mengatakan, Barangkali orang ini telah menemukan harta karun yang terpendam.

Mereka bertanya kepadanya tentang identitas pribadinya, berasal dari manakah mata uang ini, barangkali ia menemukan harta karun; dan siapakah sebenarnya dia.

Ia menjawab, Saya berasal dari penduduk kota ini, dan saya baru meninggalkan kota ini kemarin sore, sedangkan yang menjadi raja kota ini adalah Dekianius.

Mereka menilainya sebagai orang gila. Akhirnya mereka membawa­nya ke hadapan penguasa kota dan pemimpin mereka. Lalu pemimpin kota itu menanyainya tentang identitas pribadinya dan urusannya serta kisah dirinya, karena si pemimpin merasa bingung dengan keadaan dan sikap orang yang ditanyainya itu.

Setelah pemuda itu menceritakan semuanya, maka raja beserta pen­duduk kota itu ikut bersamanya ke gua tersebut. Setelah sampai di mulut gua, pemuda itu berkata kepada mereka, Biarkanlah aku masuk dahulu untuk memberitahukan kepada teman-temanku. Lalu ia masuk.

Menurut suatu pendapat, mereka tidak mengetahui pemuda itu sete­lah masuk ke dalam gua, dan Allah menyembunyikan para pemuda itu dari mereka. Dengan kata lain, mereka menghilang tanpa jejak dan tidak mengetahui lagi berita tentang mereka.

Menurut pendapat yang lainnya lagi tidak begitu, bahkan mereka masuk menemui para pemuda itu dan melihat mereka, serta raja menya­lami para pemuda penghuni gua itu dan memeluk mereka. Saat itu raja kota tersebut beragama Islam, namanya Yandusius. Para pemuda itu merasa gembira dengan kedatangan raja yang muslim dan mengajaknya mengobrol karena rindu. Sesudah itu mereka berpamitan kepadanya dan mengucapkan salam kepadanya, lalu kembali ke tempat peraduan mereka, dan Allah mewafatkan mereka untuk selamanya.

Qatadah mengatakan bahwa Ibnu Abbas berangkat berperang ber­sama dengan Habib ibnu Maslamah. Mereka melewati sebuah gua di negeri Romawi, dan mereka melihat tulang-belulang manusia di dalamnya. Ada yang mengatakan bahwa tulang-belulang itu adalah milik para pemuda penghuni gua. Maka Ibnu Abbas mengatakan, Sesungguhnya tulang-belulang mereka telah hancur sejak lebih tiga ratus tahun yang silam. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ

Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka. (Al-Kahfi:21)

Yakni sebagaimana Kami buat mereka tidur, lalu Kami bangunkan mereka dalam keadaan utuh, maka Kami perlihatkan mereka kepada orang-orang yang ada di masa itu.

لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ

agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka. (Al-Kahfi:21)

Yaitu sehubungan dengan masalah hari kiamat; di antara mereka ada orang-orang yang percaya dengan adanya hari kiamat, dan di antara mereka ada orang-orang yang tidak percaya. Maka Allah menjadikan munculnya para pemuda penghuni gua itu kepada mereka sebagai bukti bahwa hari berbangkit itu ada.

فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ

orang-orang itu berkata, Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” (Al-Kahfi:21)

Maksudnya, marilah kita tutup pintu gua mereka, dan biarkanlah mereka dalam keadaan seperti itu.

قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

Orang-orang yang berkuasa atas utusan mereka berkata, Se­sungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” (Al-Kahfi: 21)

Ibnu Jarir meriwayatkan dua pendapat sehubungan dengan hal ini. Salah satunya mengatakan bahwa sebagian dari mereka adalah orang-orang muslim. Pendapat yang lainnya mengatakan, sebagian dari mereka adalah orang-orang musyrik. Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenarannya.

Makna lahiriah ayat menunjukkan bahwa orang-orang yang Menga­takan demikian adalah para penguasa yanng berpengaruh di kalangan mereka. Akan tetapi, terpujikah perbuatan mereka itu? Untuk menjawab pertanyaan ini masih perlu adanya pertimbangan yang mendalam, mengi­ngat Nabi Saw. telah bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai tempat peribadatan.

Nabi Saw. mengucapkan demikian dengan maksud memperingatkan ka­um muslim agar jangan berbuat seperti mereka.

Telah diriwayatkan pula kepada kami dari Amirul Mu’minin Umar ibnul Khattab r.a., bahwa ketika ia menjumpai kuburan Nabi Danial di masa pemerintahannya di Irak, maka ia memerintahkan agar kuburan itu disembunyikan dari orang-orang, dan batu-batu bertulis (prasasti) yang mereka temukan di tempat itu agar dikubur. Prasasti tersebut berisikan kisah-kisah kepahlawanan dan lain-lainnya.


سَيَقُولُونَ ثَلَٰثَةٌۭ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌۭ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًۢا بِٱلْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌۭ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُل رَّبِّىٓ أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌۭ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَآءًۭ ظَٰهِرًۭا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًۭا 22

(22) Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: "(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya", sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.

(22) 

Allah Swt. berfirman menceritakan tentang perselisihan pendapat di ka­langan orang-orang sehubungan dengan kisah para peronda penghuni gua itu. Pendapat mereka ada tiga, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pendapat yang keempat; dan bahwa pendapat yang pertama dan yang kedua adalah lemah, sebab disebutkan oleh firman-Nya:

رَجْمًا بِالْغَيْبِ

sebagai terkaan terhadap barang yang gaib. (Al-Kahfi: 22)

Yakni pendapat yang tidak berlandaskan kepada pengetahuan. Perihalnya sama dengan seseorang yang membidikkan anak panahnya ke arah yang tidak diketahuinya, maka sesungguhnya lemparan panahnya itu tidak akan mengenai sasaran; dan jika mengenai sasaran, maka hanya karena kebe­tulan.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan pendapat yang ketiga, lalu tidak memberi komentar terhadapnya atau secara tidak langsung sebagai pe­ngakuan akan kebenarannya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ

yang kedelapan adalah anjingnya. (Al-Kahfi: 22)

Hal ini menunjukkan kebenaran pendapat yang ketiga, dan bahwa memang itulah kenyataannya.

Firman Allah Swt.:

قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ

Katakanlah, "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka. (Al-Kahfi: 22)

Suatu petunjuk yang menyatakan bahwa hal yang terbaik dalam mengha­dapi masalah seperti ini ialah mengembalikan pengetahuan tentangnya kepada Allah Swt., karena tidak perlu kita mendalami hal seperti ini tan­pa pengetahuan. Tetapi jika Allah memberitahukan kepada kita suatu pengetahuan mengenainya, maka kita mengatakannya; jika tidak, kita hentikan langkah sampai di situ.

Firman Allah Swt.:

مَا يَعْلَمُهُمْ إِلا قَلِيلٌ

tidak ada yang mengetahui jumlah (bilangan) mereka kecuali sedikit. (Al-Kahfi: 22)

Artinya, hanya sedikit orang yang mengetahui bilangan mereka yang se­benarnya.

Qatadah mengatakan, Ibnu Abbas pernah berkata bahwa dirinya termasuk golongan orang yang sedikit itu yang dikecualikan oleh Allah dalam ayat ini; jumlah mereka adalah tujuh orang.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ata Al-Khurrasani, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan, "Saya termasuk orang yang di­kecualikan oleh Allah Swt." Ibnu Abbas mengatakan pula bahwa jumlah mereka ada tujuh orang.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehu­bungan dengan makna firman-Nya: tidak ada yang mengetahui jumlah (bilangan) mereka kecuali sedikit. (Al-Kahfi: 22) Ibnu Abbas mengatakan, "Saya termasuk sedikit orang itu, jumlah mereka ada tujuh orang."

Semua riwayat ini disandarkan kepada Ibnu Abbas secara sahih, bahwa jumlah mereka ada tujuh orang (yakni para pemuda penghuni gua itu). Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas ini sesuai dengan apa yang telah kita sebutkan di atas.

Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan, "Sesungguhnya saya telah mendapat kisah bahwa di antara para pemuda penghuni gua itu terdapat orang yang masih muda sekali usianya." Ibnu Abbas mengatakan bahwa sepanjang siang dan malam mereka selalu menyembah Allah se­raya menangis, dan memohon pertolongan kepada Allah. Jumlah mereka ada delapan orang. Orang yang tertua di antara mereka bernama Makslimina, dialah yang diajak bicara oleh raja. Lalu Yamlikha, Martunus, Kastunus, Bairunus, Danimus, Yatbunus, dan Qalusy. Demikianlah menurut yang terdapat di dalam riwayat Ibnu Ishaq, dan pendapat ini mempunyai takwil bahwa ini adalah perkataan Ibnu Ishaq dan orang-orang yang ada antara dia dan Ibnu Abbas. Karena sesungguhnya pendapat yang benar dari Ibnu Abbas ialah yang mengatakan bahwa jumlah mereka ada tujuh orang. Hal inilah yang sesuai dengan makna lahiriah ayat.

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan dari Sya'b Al-Juba-i bahwa nama anjing mereka adalah Hamran. Sehubungan dengan penye­butan nama mereka dengan nama-nama tersebut, juga nama anjing mere­ka, kebenarannya masih perlu dipertimbangkan. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya. Karena sesungguhnya sumber berita menge­nai hal ini kebanyakan berasal dari kaum Ahli Kitab. Sedangkan Allah Swt. telah berfirman:

فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً ظَاهِرًا

Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja. (Al-Kahfi: 22)

Maksudnya, debatlah mereka dengan debat yang ringan dan mudah, ka­rena sesungguhnya mengetahui hal tersebut dengan pengetahuan yang sebenarnya tidak banyak mengandung manfaat.

وَلا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا

dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka. (Al-Kahfi: 22)

Karena sesungguhnya pada hakikatnya mereka tidak mempunyai penge­tahuan tentang hal tersebut kecuali apa yang mereka katakan dari diri mereka sendiri, sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; yakni tanpa bersandarkan kepada pendapat orang yang dipelihara dari kesalahan. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu Muhammad, berita yang hak yang tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Maka itulah yang harus engkau pegang dan engkau prioritaskan daripada pendapat yang dikata­kan oleh kitab-kitab terdahulu dan pendapat orang-orangnya.


وَلَا تَقُولَنَّ لِشَا۟ىْءٍ إِنِّى فَاعِلٌۭ ذَٰلِكَ غَدًا 23

(23) Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi,

(23) 

Allah Swt. memberi petunjuk kepada Rasul-Nya tentang etika bila hendak mengerjakan sesuatu yang telah ditekadkannya di masa mendatang, hendaklah ia mengembalikan hal tersebut kepada kehendak Allah Swt. Yang mengetahui hal yang gaib, Yang mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, dan yang mengetahui apa yang tidak akan terjadi, seandainya terjadi bagaimana akibatnya.

Dalam kitab Sahihain telah disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dari Ra­sulullah Saw. yang telah bersabda bahwa Sulaiman ibnu Daud a.s. pernah mengatakan, "Sungguh saya akan menggilir ketujuh puluh orang istriku malam ini." Menurut riwayat lain sembilan puluh orang istri, dan menurut riwayat yang lainnya lagi seratus orang istri. Dengan tujuan agar masing-masing istri akan melahirkan seorang anak lelaki yang kelak akan berperang di jalan Allah. Maka dikatakan kepada Sulaiman, yang menurut riwayat lain malaikat berkata kepadanya, "Katakanlah, 'Insya Alldh'," tetapi Sulaiman tidak menurutinya.

Sulaiman menggilir mereka dan ternyata tiada yang mengandung dari mereka kecuali hanya seorang istri yang melahirkan setengah manu­sia. Setelah menceritakan kisah itu Rasulullah Saw. bersabda:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ: "إِنْ شَاءَ اللَّهُ" لَمْ يَحْنَثْ، وَكَانَ دَرْكًا لِحَاجَتِهِ"، وَفِي رِوَايَةٍ: "وَلَقَاتَلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, seandainya dia mengucapkan, "Insya Allah" (jika Allah menghendaki), dia tidak akan melanggar sumpahnya dan akan meraih apa yang diinginkannya. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan: Dan sungguh mereka (anak-anaknya) akan berperang di jalan Allah semuanya dengan mengendarai kuda.

Dalam permulaan surat ini telah disebutkan latar belakang penyebab tu­runnya ayat ini, yaitu dalam pembahasan sabda Nabi Saw. ketika ditanya mengenai kisah para pemuda penghuni gua, yaitu sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Besok aku akan menjawab (pertanyaan) kalian. Kemudian wahyu datang terlambat sampai lima belas hari. Kami telah menyebutkan hadis tersebut secara rinci mencakup semua keterangannya, sehingga tidak perlu diutarakan lagi di sini.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ

Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)

menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah apabila kamu lupa mengucapkan pengecualian (Insya Allah), maka sebutkanlah pengecualian itu saat kamu ingat kepadanya. Demikianlah menurut Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri.

Hasyim telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang bersum­pah bahwa ia boleh mengucapkan Insya Allah sekalipun dalam jarak satu tahun lamanya, dan ia mengucapkan firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, mengucapkan kata Insya Allah itu. Dikatakan kepada Al-A'masy, "Apakah engkau mendengarnya dari Mujahid?" Al-A'masy menjawab bahwa telah menceritakan kepadanya Lais ibnu Abu Sulaim, dan mengatakan bahwa Kisai mempunyai pendapat yang sama dengan ini.

Imam Tabrani telah meriwayatkannya melalui hadis Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.

Pada garis besarnya pendapat Ibnu Abbas mengatakan bahwa seseorang masih boleh mengucapkan Insya Allah, sekalipun lamanya satu tahun dari sumpahnya itu. Dengan kata lain, apabila ia bersumpah, lalu berlalu satu tahun dan ia baru teringat bahwa ketika bersumpah ia belum menyebut kalimat Insya Allah, maka hendaklah ia menyebutkannya saat ingat.

Menurut tuntunan sunnah, hendaknya orang yang bersangkutan mengucapkan Insya Allah agar ia beroleh pahala karena mengerjakan anjuran sunah, sekalipun hal ini dilakukannya sesudah sumpahnya dilanggar. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir rahimahullah. Dan ia memberikan ulasan dalam nasnya, bahwa kalimat Insya Allah itu bukan dimaksud untuk menghapus sangsi kifarat sumpah yang dilanggarnya. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan takwil yang benar terhadap pendapat Ibnu Abbas.

Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Bahwa makna yang dimaksud dengan iza nasita ialah bila kamu marah.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnul Haris Al-Jabali, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Abdul Aziz ibnu Husain, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut), 'Insya Allah'.” Dan ingatlah kepada Tuhan­mu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 23-24) Yaitu dengan cara menyebut kalimat Insya Allah

Imam Tabrani telah meriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas sehu­bungan dengan makna firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, jika kamu lupa mengucapkan kalimat Insya Allah, maka sebutkanlah kalimat itu jika kamu ingat. Kemudian Ibnu Abbas r.a. menga­takan bahwa hal ini hanya khusus bagi Rasulullah Saw, tidak diperboleh­kan bagi seorang pun dari kita mengucapkan kalimat istisna (Insya Allah) ini kecuali bila berhubungan langsung dengan sumpahnya (yakni tidak ada jarak pemisah). Imam Tabrani mengatakan bahwa hal ini diriwayat­kan secara munfarid oleh Al-Walid, dari Abdul Aziz ibnul Husain.

Makna ayat mengandung takwil lain, yaitu bahwa melalui ayat ini Allah memberikan petunjuk kepada seseorang yang lupa akan sesuatu dalam pembicaraannya, agar ia mengingat Allah Swt. karena sesungguh­nya lupa itu bersumber dari setan. Seperti yang disebutkan oleh pemuda yang menemani Musa, yang perkataannya disitir oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ

dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan. (Al-Kahfi: 63)

Sedangkan mengingat Allah itu dapat mengusir setan. Apabila setan te­lah pergi, maka lenyaplah lupa itu. Zikrullah atau mengingat Allah adalah penyebab bagi sadarnya ingatan dari keterlupaannya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)

*******************

Adapun firman Allah Swt.:

وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا

dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Al-Kahfi: 24)

Artinya, apabila kamu ditanya tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka mintalah kepada Allah tentang jawabannya, dan mohonlah kepada-Nya dengan segenap jiwa ragamu agar Dia memberimu taufik ke jalan yang benar dan diberi petunjuk jawabannya. Menurut pendapat yang la­in, menafsirkan ayat dengan tafsiran yang lain daripada ini.


إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ ۚ وَٱذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰٓ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّى لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًۭا 24

(24) kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".

(24) 

Firman Allah Swt.:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ

Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)

menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah apabila kamu lupa mengucapkan pengecualian (Insya Allah), maka sebutkanlah pengecualian itu saat kamu ingat kepadanya. Demikianlah menurut Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri.

Hasyim telah meriwayatkan dari Al-A'masy, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang bersum­pah bahwa ia boleh mengucapkan Insya Allah sekalipun dalam jarak satu tahun lamanya, dan ia mengucapkan firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, mengucapkan kata Insya Allah itu. Dikatakan kepada Al-A'masy, "Apakah engkau mendengarnya dari Mujahid?" Al-A'masy menjawab bahwa telah menceritakan kepadanya Lais ibnu Abu Sulaim, dan mengatakan bahwa Kisai mempunyai pendapat yang sama dengan ini.

Imam Tabrani telah meriwayatkannya melalui hadis Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.

Pada garis besarnya pendapat Ibnu Abbas mengatakan bahwa seseorang masih boleh mengucapkan Insya Allah, sekalipun lamanya satu tahun dari sumpahnya itu. Dengan kata lain, apabila ia bersumpah, lalu berlalu satu tahun dan ia baru teringat bahwa ketika bersumpah ia belum menyebut kalimat Insya Allah, maka hendaklah ia menyebutkannya saat ingat.

Menurut tuntunan sunnah, hendaknya orang yang bersangkutan mengucapkan Insya Allah agar ia beroleh pahala karena mengerjakan anjuran sunah, sekalipun hal ini dilakukannya sesudah sumpahnya dilanggar. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir rahimahullah. Dan ia memberikan ulasan dalam nasnya, bahwa kalimat Insya Allah itu bukan dimaksud untuk menghapus sangsi kifarat sumpah yang dilanggarnya. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan takwil yang benar terhadap pendapat Ibnu Abbas.

Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Bahwa makna yang dimaksud dengan iza nasita ialah bila kamu marah.

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnul Haris Al-Jabali, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Abdul Aziz ibnu Husain, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, "Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut), 'Insya Allah'.” Dan ingatlah kepada Tuhan­mu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 23-24) Yaitu dengan cara menyebut kalimat Insya Allah

Imam Tabrani telah meriwayatkan pula melalui Ibnu Abbas sehu­bungan dengan makna firman-Nya: Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24) Maksudnya, jika kamu lupa mengucapkan kalimat Insya Allah, maka sebutkanlah kalimat itu jika kamu ingat. Kemudian Ibnu Abbas r.a. menga­takan bahwa hal ini hanya khusus bagi Rasulullah Saw, tidak diperboleh­kan bagi seorang pun dari kita mengucapkan kalimat istisna (Insya Allah) ini kecuali bila berhubungan langsung dengan sumpahnya (yakni tidak ada jarak pemisah). Imam Tabrani mengatakan bahwa hal ini diriwayat­kan secara munfarid oleh Al-Walid, dari Abdul Aziz ibnul Husain.

Makna ayat mengandung takwil lain, yaitu bahwa melalui ayat ini Allah memberikan petunjuk kepada seseorang yang lupa akan sesuatu dalam pembicaraannya, agar ia mengingat Allah Swt. karena sesungguh­nya lupa itu bersumber dari setan. Seperti yang disebutkan oleh pemuda yang menemani Musa, yang perkataannya disitir oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ

dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan. (Al-Kahfi: 63)

Sedangkan mengingat Allah itu dapat mengusir setan. Apabila setan te­lah pergi, maka lenyaplah lupa itu. Zikrullah atau mengingat Allah adalah penyebab bagi sadarnya ingatan dari keterlupaannya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa. (Al-Kahfi: 24)

*******************

Adapun firman Allah Swt.:

وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا

dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (Al-Kahfi: 24)

Artinya, apabila kamu ditanya tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka mintalah kepada Allah tentang jawabannya, dan mohonlah kepada-Nya dengan segenap jiwa ragamu agar Dia memberimu taufik ke jalan yang benar dan diberi petunjuk jawabannya. Menurut pendapat yang la­in, menafsirkan ayat dengan tafsiran yang lain daripada ini.


وَلَبِثُوا۟ فِى كَهْفِهِمْ ثَلَٰثَ مِا۟ئَةٍۢ سِنِينَ وَٱزْدَادُوا۟ تِسْعًۭا 25

(25) Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).

(25) 

Apa yang disebutkan dalam kedua ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah Swt. kepada Rasul-Nya tentang lamanya masa yang dijalani oleh para pemuda penghuni gua dalam gua mereka, sejak Allah menidur­kan mereka hingga Allah membangunkan mereka dan orang-orang yang ada di masa itu dapat menjumpai mereka. Disebutkan bahwa masa itu adalah tiga ratus tahun lebih sembilan tahun menurut perhitungan tahun Qamariyah. Sedangkan menurut tahun Syamsiyyah, masa mereka adalah tiga ratus tahun. Karena perbedaan antara tahun Qamariyyah dan tahun Syamsiyyah ialah: Kalau tahun Syamsiyyah seratus tahun, persamaannya dalam perhitungan tahun Qamariyyahnya adalah seratus tiga tahun. Ka­rena itulah sesudah disebutkan tiga ratus tahun, disebutkan pula oleh fir­man-Nya:

وَازْدَادُوا تِسْعًا

dan ditambah sembilan tahun (lagi). (Al-Kahfi: 25)

*******************

Firman Allah Swt.:

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا

Katakanlah, "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).” (Al-Kahfi: 26)

Apabila kamu ditanya mengenai berapa lamanya mereka tinggal di gua, sedangkan kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya dan tidak ada pula petunjuk dari Allah Swt. yang menerangkannya kepadamu, maka janganlah kamu memberikan suatu tanggapan pun, melainkan kata­kanlah dalam hal semisal itu:

اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua), kepunyaan-Nyalah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. (Al-Kahfi: 26)

Dengan kata lain, tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali Dia dan orang yang diberitahu oleh-Nya dari kalangan makhluk-Nya. Apa yang telah kami kemukakan sehubungan dengan tafsir ayat ini dikatakan oleh banyak kalangan ulama tafsir, seperti Mujahid dan lain-lainnya dari ka­langan ulama Salaf dan Khalaf.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun. (Al-Kahfi: 25), hingga akhir ayat. Bahwa hal ini menyitir apa yang dikatakan oleh kaum Ahli Kitab, kemudi­an dijawab oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Katakanlah, "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).” (Al-Kahfi: 26)

Qatadah mengatakan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu Mas'ud disebut qalu (mereka mengatakan), bukannya qul (katakanlah!), maksudnya ialah perkataan tersebut dikatakan oleh orang-orang. Demikianlah menu­rut pendapat Qatadah dan Mutarrif ibnu Abdullah. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Qatadah ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya menurut berita yang ada di tangan orang-orang Ahli Kitab, ashabul kahfi tinggal selama tiga ratus tahun tanpa tambah­an sembilan tahun, menurut perhitungan tahun syamsiyyah, sekalipun Allah telah menceritakan pendapat mereka melalui firman-Nya: dan ditambah sembilan tahun. (Al-Kahfi: 25)

Menurut makna lahiriah, sesungguhnya hal ini hanyalah pemberitaan dari Allah, bukan mengisahkan ucapan mereka. Demikianlah menurut apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Adapun riwayat Qatadah dan qiraat Ibnu Mas'ud bersifat munqati', kemudian riwayat tersebut berpredikat sya'z (menyendiri) bila dibandingkan dengan qiraat jumhur ulama, karenanya qiraat Ibnu Mas'ud tidak dapat dijadikan pegangan sebagai hujah.

*******************

Firman Allah Swt.:

أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ

Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. (Al-Kahfi: 26)

Yakni sesungguhnya Allah benar-benar Maha Melihat lagi Maha Mende­ngar tentang mereka.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ungkapan ini merupa­kan ungkapan pujian yang maksimal. Seakan-akan dikatakan bahwa alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. Dengan kata lain, takwil kalimat adalah sebagai berikut: Alangkah terang penglihatan Allah kepada semua yang ada, dan alangkah tajam pende­ngaran Allah terhadap semua yang didengar, tiada sesuatu pun yang ter­sembunyi bagi-Nya dari hal tersebut.

Kemudian diriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pende­ngaran-Nya. (Al-Kahfi: 26) Maka tidak ada seorang pun yang lebih melihat daripada Allah, dan tidak ada pula seorang pun yang lebih mendengar daripada-Nya.

Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pende­ngaran-Nya. (Al-Kahfi: 26) Allah melihat semua perbuatan mereka dan mendengar hal tersebut dari mereka dengan pendengaran yang disertai dengan penglihatan.

Firman Allah Swt:

مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya da­lam menetapkan keputusan. (Al-Kahfi: 26)

Yakni sesungguhnya Allah Swt. itu, Dialah Yang menciptakan dan Yang menentukan keputusan; tiada yang mempertanyakan tentang keputusan-Nya, tiada pembantu, tiada penolong, tiada sekutu, dan tiada penasihat bagi-Nya. Mahatinggi lagi Mahasuci Dia.


قُلِ ٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا۟ ۖ لَهُۥ غَيْبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ أَبْصِرْ بِهِۦ وَأَسْمِعْ ۚ مَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِىٍّۢ وَلَا يُشْرِكُ فِى حُكْمِهِۦٓ أَحَدًۭا 26

(26) Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan".

(26) 

Firman Allah Swt.:

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا

Katakanlah, "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).” (Al-Kahfi: 26)

Apabila kamu ditanya mengenai berapa lamanya mereka tinggal di gua, sedangkan kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya dan tidak ada pula petunjuk dari Allah Swt. yang menerangkannya kepadamu, maka janganlah kamu memberikan suatu tanggapan pun, melainkan kata­kanlah dalam hal semisal itu:

اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua), kepunyaan-Nyalah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. (Al-Kahfi: 26)

Dengan kata lain, tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali Dia dan orang yang diberitahu oleh-Nya dari kalangan makhluk-Nya. Apa yang telah kami kemukakan sehubungan dengan tafsir ayat ini dikatakan oleh banyak kalangan ulama tafsir, seperti Mujahid dan lain-lainnya dari ka­langan ulama Salaf dan Khalaf.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun. (Al-Kahfi: 25), hingga akhir ayat. Bahwa hal ini menyitir apa yang dikatakan oleh kaum Ahli Kitab, kemudi­an dijawab oleh Allah Swt. melalui firman-Nya: Katakanlah, "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).” (Al-Kahfi: 26)

Qatadah mengatakan bahwa menurut qiraat Abdullah ibnu Mas'ud disebut qalu (mereka mengatakan), bukannya qul (katakanlah!), maksudnya ialah perkataan tersebut dikatakan oleh orang-orang. Demikianlah menu­rut pendapat Qatadah dan Mutarrif ibnu Abdullah. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Qatadah ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya menurut berita yang ada di tangan orang-orang Ahli Kitab, ashabul kahfi tinggal selama tiga ratus tahun tanpa tambah­an sembilan tahun, menurut perhitungan tahun syamsiyyah, sekalipun Allah telah menceritakan pendapat mereka melalui firman-Nya: dan ditambah sembilan tahun. (Al-Kahfi: 25)

Menurut makna lahiriah, sesungguhnya hal ini hanyalah pemberitaan dari Allah, bukan mengisahkan ucapan mereka. Demikianlah menurut apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Adapun riwayat Qatadah dan qiraat Ibnu Mas'ud bersifat munqati', kemudian riwayat tersebut berpredikat sya'z (menyendiri) bila dibandingkan dengan qiraat jumhur ulama, karenanya qiraat Ibnu Mas'ud tidak dapat dijadikan pegangan sebagai hujah.

*******************

Firman Allah Swt.:

أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ

Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. (Al-Kahfi: 26)

Yakni sesungguhnya Allah benar-benar Maha Melihat lagi Maha Mende­ngar tentang mereka.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ungkapan ini merupa­kan ungkapan pujian yang maksimal. Seakan-akan dikatakan bahwa alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya. Dengan kata lain, takwil kalimat adalah sebagai berikut: Alangkah terang penglihatan Allah kepada semua yang ada, dan alangkah tajam pende­ngaran Allah terhadap semua yang didengar, tiada sesuatu pun yang ter­sembunyi bagi-Nya dari hal tersebut.

Kemudian diriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pende­ngaran-Nya. (Al-Kahfi: 26) Maka tidak ada seorang pun yang lebih melihat daripada Allah, dan tidak ada pula seorang pun yang lebih mendengar daripada-Nya.

Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pende­ngaran-Nya. (Al-Kahfi: 26) Allah melihat semua perbuatan mereka dan mendengar hal tersebut dari mereka dengan pendengaran yang disertai dengan penglihatan.

Firman Allah Swt:

مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا

tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain dari-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya da­lam menetapkan keputusan. (Al-Kahfi: 26)

Yakni sesungguhnya Allah Swt. itu, Dialah Yang menciptakan dan Yang menentukan keputusan; tiada yang mempertanyakan tentang keputusan-Nya, tiada pembantu, tiada penolong, tiada sekutu, dan tiada penasihat bagi-Nya. Mahatinggi lagi Mahasuci Dia.


وَٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِن كِتَابِ رَبِّكَ ۖ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَٰتِهِۦ وَلَن تَجِدَ مِن دُونِهِۦ مُلْتَحَدًۭا 27

(27) Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari pada-Nya.

(27) 

Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya agar membaca Kitab­Nya yang mulia (yaitu Al-Qur'an) dan menyampaikannya kepada manu­sia.

لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ

Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. (Al-Kahfi: 27)

Artinya, tiada seorang pun yang dapat mengubahi, menyelewengkan, dan menghapuskan kalimat-kalimat-Nya.

Firman Allah Swt.:

وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا

Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung sela­in dari-Nya. (Al-Kahfi: 27)

Menurut Mujahid, multahada artinya tempat berlindung. Sedangkan me­nurut Qatadah, multahada ialah penolong, yakni tiada penolong selain dari-Nya.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna ayat ialah 'jika kamu, hai Mu­hammad, tidak membaca apa yang Aku wahyukan kepadamu dari Kitab Tuhanmu, maka sesungguhnya tidak ada tempat berlindung bagimu dari-Nya' . Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ

Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah meme­lihara kamu dari (gangguan) manusia. (Al-Maidah: 67)

Dan firman Allah Swt

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ

Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. (Al-Qashash: 85)

Maksudnya, Dia kelak akan menanyakan kepadamu tentang apa yang telah difardukan atas dirimu, yaitu menyangkut tentang penyampaian ri­salahmu.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengha­rap keridaan-Nya. (Al-Kahfi: 28)

Yakni duduklah kamu bersama orang-orang yang mengingat Allah seraya mengagungkan, memuji, menyucikan, dan membesarkan-Nya serta me­mohon kepada-Nya di setiap pagi dan petang hari dari kalangan hamba-hamba-Nya, baik mereka itu orang-orang fakir ataupun orang-orang kaya, orang-orang kuat ataupun orang-orang lemah.

Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang terhormat dari kalangan kabilah Quraisy saat mereka meminta Nabi Saw. agar duduk bersama mereka secara terpisah dan mereka meminta agar mereka tidak dikumpulkan bersama orang-orang yang lemah dari kalangan sahabat-sahabatnya, seperti sahabat Bilal, sahabat Ammar, sahabat Suhaib, sahabat Khabbab, dan sahabat Ibnu Mas'ud. Maka masing-masing dari kedua kelompok itu dikumpulkan secara terpisah, lalu Allah Swt.melarang Nabi Saw. melakukan hal tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ

الْآيَةَ

Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari. (Al-An'am: 52), hingga akhir ayat.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi-Nya agar tetap berta­han duduk bersama mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28), hingga akhir ayat.

وَقَالَ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَسَدِيُّ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْح، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ سَعْدٍ -هُوَ ابْنُ أَبِي وَقَاصٍّ-قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ نَفَرٍ، فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اطْرُدْ هَؤُلَاءِ لَا يَجْتَرِئُونَ عَلَيْنَا!. قَالَ: وَكُنْتُ أَنَا وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَرَجُلٌ مِنْ هُذَيْلٍ، وَبِلَالٌ وَرَجُلَانِ نَسِيتُ اسْمَيْهِمَا (7) فَوَقَعَ فِي نَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقَعَ، فَحَدَّثَ نَفْسَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَلا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Asadi, dari Israil, dari Al-Miqdam ibnu Syuraih, dari ayahnya, dari Sa'd ibnu Abu Waqas yang menceritakan, "Kami berenam selalu bersama-sama Nabi Saw. Kemudian orang-orang musyrik mengatakan (kepada Nabi Saw.), 'Usirlah mereka, agar mereka tidak berbuat kurang ajar kepada kami'." Sa'd ibnu Abu Waqas mengata­kan bahwa keenam orang itu adalah dia sendiri, Ibnu Mas'ud, seorang lelaki dari kalangan Bani Huzail, Bilal, dan dua orang lelaki lainnya yang ia lupa namanya. Maka setelah mendapat sambutan mereka yang demikian itu, Ra­sulullah Saw. berfikir sejenak mempertimbangkannya. Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya: dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka menghendaki keridaan-Nya. (Al-An'am: 52)

Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاح قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الْجَعْدِ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَاصٍّ يَقُصُّ، فَأَمْسَكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قُص، فَلِأَنْ أَقْعُدَ غُدْوَةً إِلَى أَنْ تُشْرِقَ الشَّمْسُ، أَحَبُّ إليَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muham­mad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abut Tayyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abul Ja'd menceri­takan hadis berikut dari Abu Umamah: Rasulullah Saw. keluar untuk mendengarkan seorang juru dongeng, lalu tukang dongeng itu menghentikan dongengannya (ketika melihat Rasul Saw. datang), maka Rasulullah Saw. bersabda: Lanjutkanlah kisahmu, sesungguhnya aku duduk di suatu pagi hingga matahari terbit (untuk mendengarkan dongeng ini) lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَيْسَرة قَالَ: سَمِعْتُ كُرْدُوس بْنَ قَيْسٍ -وَكَانَ قَاصَّ الْعَامَّةِ بِالْكُوفَةِ-يَقُولُ: أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابٍ بَدْرٍ: أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لِأَنْ أَقْعُدَ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَجْلِسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رِقَابٍ". قَالَ شُعْبَةُ: فَقُلْتُ: أَيُّ مَجْلِسٍ؟ قَالَ: كَانَ قَاصًّا

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abdul Malik, ibnu Maisarah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Kardus ibnu Qais (seorang tukang dongeng di Kufah) mengatakan bahwa telah menceritakan kepa­daku seorang lelaki dari kalangan ahli Badar; ia pernah mendengar Ra­sulullah Saw. bersabda: Sungguh aku duduk dalam keadaan seperti majelis ini lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak. Syu'bah mengatakan, lalu aku bertanya "Majelis yang mana?" Abu Um-mah menjawab, "Majelis tukang dongeng."

Abu Daud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبَانٍ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَأَنْ أُجَالِسَ قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ إِلَى طُلُوعِ الشَّمْسِ، أحَبّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ، وَلَأَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أعتق ثَمَانِيَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ دِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا". فَحَسِبْنَا دِيَّاتِهِمْ وَنَحْنُ فِي مَجْلِسِ أَنَسٍ، فَبَلَغَتْ سِتَّةً وَتِسْعِينَ أَلْفًا، وَهَاهُنَا مَنْ يَقُولُ: "أَرْبَعَةٌ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيلَ" وَاللَّهِ مَا قَالَ إِلَّا ثَمَانِيَةً، دِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمُ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا

Telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Aban, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sungguh aku duduk bersama-sama dengan suatu kaum yang sedang berzikir mengingat Allah setelah usai dari salat Subuh sampai matahari terbit lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang matahari terbit menyinarinya. Dan sungguh aku berzikir mengingat Allah sesudah salat Asar hingga matahari tenggelam lebih aku sukai daripada memerdekakan delapan orang budak dari kalangan keturunan Nabi Ismail yang diat tiap-tiap orang dari mereka adalah dua belas ribu. Maka kami menghitung-hitung jumlah diat mereka seluruhnya, saat itu kami berada di majelis sahabat Anas; ternyata jumlah keseluruhannya adalah sembilan puluh enam ribu. Dan di tempat itu ada yang mengatakan empat orang dari keturunan Nabi Ismail. Demi Allah, dia tidak mengata­kan kecuali delapan orang yang diat masing-masingnya adalah dua belas ribu.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْأَهْوَازِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بن ثابت، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ -وَهُوَ الْكُوفِيُّ-أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِرَجُلٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْكَهْفِ، فَلَمَّا رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَكَتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "هَذَا الْمَجْلِسُ الَّذِي أُمِرْتُ أَنْ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ".

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq Al-Ahwazi, telah menceritakan ke­pada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar Abu Muslim Al-Kufi, bahwa Rasulullah Saw. bersua dengan seorang lelaki yang sedang mem­baca surat Al-Kahfi. Ketika orang tersebut melihat Nabi Saw., ia meng­hentikan bacaannya. Maka Nabi Saw. bersabda: Majelis inilah yang aku diperintahkan agar tetap bersabar duduk bersama dengan mereka (orang-orang yang menghadiri­nya).

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad, dari Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar secara mursal.

وَحَدَّثْنَاهُ يَحْيَى بْنُ الْمُعَلَّى، عَنْ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّلْتِ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ثَابِتٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ، عَنِ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ قَالَا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُ سُورَةَ الحِجْر أَوْ سُورَةَ الْكَهْفِ، فَسَكَتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذَا الْمَجْلِسُ الَّذِي أُمِرْتُ أَنْ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ"

Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Ma'la, dari Mansur, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnus Silt, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sabit, dari Ali ibnul Aqmar, dari Al-Agar Abu Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id, keduanya telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. datang saat seseorang sedang membaca surat Al-Hajj atau surat Al-Kahfi, lalu si pembaca diam. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Majelis inilah yang aku diperintahkan agar tetap bersabar duduk bersama dengan mereka (orang-orang yang menghadiri­nya).

وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا مَيْمُونٌ المَرئي، حَدَّثَنَا مَيْمُونُ بْنُ سِيَاه، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يُذْكُرُونَ اللَّهَ، لَا يُرِيدُونَ بِذَلِكَ إِلَّا وَجْهَهُ، إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ، قَدْ بُدِّلت سيئاتُكُم حَسَنَاتٍ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Maimun Al-Mar-i, telah menceritakan kepada kami Maimun ibnu Sayah, dari Anas ibnu Malik r.a., dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Tidak sekali-kali suatu kaum berkumpul seraya mengingat Allah tanpa ada niat lain kecuali mengharapkan keridaah-Nya, mela­inkan mereka diseru oleh juru penyeru dari langit seraya mengatakan, "Bangkitlah kalian dalam keadaan diberikan ampunan bagi kalian, semua keburukan kalian telah diganti dengan kebaikdn-kebaikan.”

Hadis ini diriwayatkan secara munfarid oleh Imam Ahmad. ,

قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنيف قَالَ: نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ فِي بَعْضِ أَبْيَاتِهِ: وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ فَخَرَجَ يَلْتَمِسُهُمْ، فَوَجَدَ قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَعَالَى، مِنْهُمْ ثَائِرُ الرَّأْسِ، وَجَافِي الْجِلْدِ (12) وَذُو الثَّوْبِ الْوَاحِدِ، فَلَمَّا رَآهُمْ جَلَسَ مَعَهُمْ وَقَالَ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي أُمَّتِي مَنْ أَمَرَنِي اللَّهُ أَنَّ أُصَبِّرَ نَفْسِي مَعَهُمْ"

Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Usamah ibnu Zaid, dari Abu Hazm, dari Abdur Rahman ibnu Sahl ibnu Hanif yang mengatakan bahwa diturunkan kepada Rasulullah Saw. ayat berikut saat beliau berada di ru­mahnya, yaitu firman-Nya: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhan-Nya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28), hingga akhir ayat. Maka Nabi Saw. keluar dari rumahnya mencari mereka, dan beliau menjumpai suatu kaum yang sedang berzikir mengingat Allah Swt.; di antara mereka terdapat orang-orang yang berpenampilan lusuh dengan rambut yang acak-acakan, berkulit kasar lagi hanya mempunyai selapis pakaian (yakni orang-orang miskin). Setelah melihat mereka, maka beliau duduk bersama-sama mereka dan bersabda: Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan di kalangan umatku orang-orang yang aku diperintahkan agar bersabar duduk bersama mereka.

Abdur Rahman yang disebutkan dalam sanad hadis ini dikatakan oleh Abu Bakar ibnu Abu Daud sebagai seorang sahabat, sedangkan ayahnya termasuk salah seorang sahabat yang terkemuka.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. (Al-Kahfi: 28)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa janganlah kamu melewati mereka de­ngan memilih selain mereka, yakni menggantikan mereka dengan orang­-orang yang berkedudukan dan yang berharta.

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا

dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami. (Al-Kahfi: 28)

Yakni orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan dunia, melupakan agama dan menyembah Tuhannya.

وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Al-Kahfi: 28)

Maksudnya, semua amal dan perbuatannya hura-hura, berlebih-lebihan, dan sia-sia. Janganlah kamu mengikuti kemauan mereka, jangan menyu­kai cara mereka, jangan pula kamu menginginkannya. Makna ayat sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepa­da kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (Thaha: 131)