2 - البقرة - Al-Baqara
The Cow
Medinan
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 216
(216) Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(216)
Allah mewajibkan jihad kepada kaum muslim demi mempertahankan agama Islam dari kejahatan musuh-musuhnya. Az-Zuhri mengatakan bahwa jihad itu wajib atas setiap orang, baik ia ahli dalam berperang ataupun tidak. Bagi orang yang tidak biasa berperang, apabila diminta bantuannya untuk keperluan jihad, maka ia harus membantu. Dan apabila dimintai pertolongannya, maka ia harus menolong. Apabila diminta untuk berangkat berjihad, maka ia harus berangkat; tetapi jika tidak diperlukan, ia boleh tinggal (tidak berjihad).
Menurut kami, di dalam sebuah hadis sahih telah disebutkan seperti berikut:
"مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ، وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِغَزْوٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً"
Barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia belum pernah berperang (berjihad) dan tiada pula keinginan dalam hatinya untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.
Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam hari kemenangan atas kota Mekah:
"لَا هِجْرَةَ، وَلَكِنْ جِهَادٌ ونيَّة، إِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا"
Tidak ada hijrah sesudah kemenangan, tetapi hanya jihad dan niat; dan apabila kalian diperintahkan untuk berangkat berperang, maka berangkatlah.
***********
Firman Allah Swt.:
وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ
padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. (Al-Baqarah: 216)
Yakni terasa keras dan berat bagi kalian, dan memang kenyataan perang itu demikian, adakalanya terbunuh atau terluka selain dari masyaqat perjalanan dan menghadapi musuh. Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. (Al-Baqarah: 216)
Dikatakan demikian karena berperang itu biasanya diiringi dengan datangnya pertolongan dan kemenangan atas musuh-musuh, menguasai negeri mereka, harta benda mereka, istri-istri, dan anak-anak mereka.
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. (Al-Baqarah: 216)
Hal ini bersifat umum mencakup semua perkara. Adakalanya seseorang mencintai sesuatu, sedangkan padanya tidak ada kebaikan atau suatu maslahat pun baginya. Antara lain ialah diam tidak mau berperang, yang akibatnya musuh akan menguasai negeri dan pemerintahan.
Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216)
Artinya, Allah lebih mengetahui tentang akibat dari semua perkara daripada kalian, dan lebih melihat tentang hal-hal yang di dalamnya terkandung kemaslahatan dunia dan akhirat bagi kalian. Maka perkenankanlah seruan-Nya dan taatilah perintah-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلشَّهْرِ ٱلْحَرَامِ قِتَالٍۢ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌۭ فِيهِ كَبِيرٌۭ ۖ وَصَدٌّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَكُفْرٌۢ بِهِۦ وَٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِۦ مِنْهُ أَكْبَرُ عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ ٱلْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُونَ يُقَٰتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ ٱسْتَطَٰعُوا۟ ۚ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌۭ فَأُو۟لَٰٓئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ 217
(217) Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
(217)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, telah menceritakan kepadaku Al-Hadrami, dari Abus Siwar, dari Jundub ibnu Abdullah yang telah menceritakan hadis berikut: Rasulullah Saw. mengirimkan utusan yang terdiri atas sejumlah orang, dan mereka mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin. Ketika Abu Ubaidah hendak berangkat menunaikan tugasnya, tiba-tiba ia menangis karena rindu kepada Rasulullah Saw. hingga terhentilah ia dari perjalanannya. Maka Rasulullah Saw. menggantinya dengan Abdullah ibnu Jahsy dan menulis sepucuk surat buatnya dengan instruksi ia tidak boleh membaca surat tersebut sebelum tiba di tempat tertentu. Nabi Saw. bersabda kepadanya: Jangan sekali-kali kamu memaksa seseorang dari kalangan teman-temanmu untuk berangkat bersamamu. Ketika ia membaca surat tersebut, ia mengucapkan istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi raji'una), lalu mengatakan, "Aku tunduk dan taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya." Kemudian Abdullah ibnu Jahsy menceritakan kepada mereka dan membacakan surat Nabi Saw. itu kepada mereka. Maka ada dua orang lelaki dari kalangan mereka yang kembali, sedangkan sisanya tetap bersama Abdullah ibnu Jahsy. Kemudian mereka bersua dengan Ibnul Hadrami, lalu mereka membunuhnya, sedangkan mereka tidak mengetahui apakah bulan itu adalah bulan Rajab atau bulan Jumadi. Maka orang-orang musyrik berkata kepada orang-orang muslim, "Kalian telah melakukan pembunuhan dalam bulan Haram." Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. Pada mulanya Rasulullah Saw. mengirimkan sejumlah pasukan rahasia yang terdiri atas tujuh orang, di bawah pimpinan Abdullah ibnu Jahsy Al-Asadi. Mereka semuanya adalah Ammar ibnu Yasir, Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah, Sa'id ibnu Abu Waqqas, Atabah ibnu Gazwan As-Sulami (teman sepakta Bani Naufal), Suhail ibnu Baida, Amir ibnu Fuhairah, dan Waqid ibnu Abdullah Al-Yarbu'i (teman sepakta Umar ibnul Khattab). Nabi Saw. menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy dan berpesan kepadanya agar janganlah ia membaca surat tersebut sebelum turun di Lembah Nakhlah. Ketika ia turun di Lembah Nakhlah, ia membuka surat itu dan ternyata di dalamnya terdapat perintah: "Berjalanlah terus sampai kamu turun di Lembah Nakhlah". Maka Ibnu Jahsy berkata kepada teman-temannya, "Barang siapa yang ingin mati, hendaklah ia maju terus dan berwasiatlah, karena sesungguhnya aku sendiri akan berwasiat dan maju melakukan perintah Rasulullah Saw." Ibnu Jahsy maju, dan yang tidak ikut dengannya adaiah Sa'd ibnu Abu Waqqas serta Atabah; keduanya kehilangan unta kendaraannya. Karena itulah ia tidak ikut serta, sebab mencari unta kendaraannya masing-masing. Ibnu Jahsy terus berjalan menuju ke tengah Lembah Nakhlah. Tiba-tiba ia bersua dengan Al-Hakam ibnu Kaisan dan Usman ibnu Abdullah ibnul Mugirah. Bulan Jumada telah berakhir, lalu Amr terbunuh; ia dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah. Perang ini merupakan perang pertama yang menghasilkan ganimah bagi sahabat Rasulullah Saw. Ketika mereka kembali ke Madinah dengan membawa dua orang tawanan perang dan harta ganimah, maka penduduk Mekah berkeinginan untuk menebus kedua tawanannya itu. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad menduga bahwa dia taat kepada Allah, tetapi dia sendirilah orang yang mula-mula menghalalkan bulan Haram dan membunuh teman kami dalam bulan Rajab." Maka kaum muslim menjawab, "Sesungguhnya kami hanya membunuhnya dalam bulan Jumada, dan ia terbunuh pada permulaan malam Rajab dan akhir malam Jumada." Lalu kaum muslim menyarungkan pedang mereka ketika bulan Rajab masuk, dan Allah menurunkan firman-Nya mencela penduduk Mekah, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar." (Al-Baqarah: 217) Yaitu tidak halal. Apa yang telah kalian lakukan, hai kaum musyrik, lebih besar daripada melakukan pembunuhan dalam bulan Haram, karena kalian kafir kepada Allah dan menghalang-halangi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya. Mengusir ahli Masjidil Haram darinya ketika mereka mengusir Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya merupakan perbuatan yang lebih besar dosanya di sisi Allah daripada melakukan pembunuhan.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang perang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar" (Al-Baqarah: 217) Pada mulanya kaum musyrik menghalang-halangi Rasulullah Saw. (untuk sampai ke Masjidil Haram) dan menolaknya masuk, hal ini terjadi pada bulan Haram. Maka Allah memberikan kemenangan kepada Nabi-Nya pada bulan Haram, juga tahun berikutnya. Lalu orang-orang musyrik mencela Rasulullah Saw. karena melakukan perang dalam bulan Haram. Allah Swt. berfirman: tetapi menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Yakni daripada melakukan peperangan di dalam bulan Haram. Selanjutnya Nabi Muhammad Saw. mengirimkan suatu pasukan khusus, lalu mereka bersua dengan Amr ibnul Hadrami yang sedang dalam perjalanannya dari Taif pada akhir malam Jumada dan permulaan malam bulan Rajab. Sedangkan sahabat Nabi Saw. menduga bahwa malam itu masih termasuk bulan Jumada, padahal malam tersebut merupakan permulaan malam bulan Rajab, tetapi mereka tidak menyadarinya. Maka Amr ibnul Hadrami terbunuh oleh seseorang dari pasukan khusus tersebut dan mereka merampas semua barang bawaannya (sebagai ganimah). Lalu kaum musyrik mengirimkan utusannya, mencela Nabi Saw. yang telah melakukan demikian (dalam bulan Haram). Maka Allah Swt. berfirman: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya.'" (Al-Baqarah: 217) Yaitu mengusir ahli Masjidil Haram lebih besar dosanya daripada apa yang telah dilakukan oleh sahabat Nabi Saw., dan dosa yang lebih besar lagi daripada semuanya ialah mempersekutukan Tuhan.
Demikianlah menurut riwayat Abu Sa'id Al-Baqqal, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan pasukan rahasia yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Jahsy dan terbunuhnya Amr ibnul Hadrami.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa firman berikut diturunkan berkenaan dengan terbunuhnya Amr ibnul Hadrami dari peristiwa yang berkaitan dengannya, yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat. Abdul Malik ibnu Hisyam (seorang perawi Sirah) meriwayatkan dari Ziyad ibnu Abdullah, dari Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar Al-Madani di dalam Kitabus Sirah-nya, bahwa Rasulullah Saw. pernah mengutus Abdullah ibnu Jahsy ibnu Rabbab Al-Asadi dalam bulan Rajab, sekembalinya beliau dari Badar pertama. Beliau pun mengutus pula bersama Ibnu Jahsy delapan orang lainnya yang semuanya dari kalangan Muhajirin tanpa ada seorang Ansar pun untuk membantunya. Nabi Saw. menulis sepucuk surat buat Ibnu Jahsy seraya berpesan bahwa janganlah Ibnu Jahsy membuka surat tersebut sebelum berjalan selama dua hari. Ibnu Jahsy berangkat seperti apa yang diperintahkan kepadanya dan tidak memaksa seorang pun di antara teman-temannya untuk ikut bersamanya. Teman-teman Abdullah ibnu Jahsy dalam misi tersebut terdiri atas kalangan Muhajirin, mereka dari Bani Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf, yaitu Abu Huzaifah ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu Abdusy Syams ibnu Abdu Manaf; teman sepakta mereka adalah Abdullah ibnu Jahsy yang menjadi pemimpin mereka. Lalu Ukasyah ibnu Mihsan (seorang dari kalangan Bani Asad ibnu Khuzaimah, teman sepakta mereka), dan dari kalangan Bani Naufal ibnu Abdu Manaf ialah Atabah ibnu Gazwan ibnu Jabir, teman sepakta mereka. Dari kalangan Bani Zuhrah ibnu Kilab ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas, dan dari Bani Ka'b ialah Addi ibnu Amir ibnu Rabi'ah, teman sepakta mereka. Sedangkan dari luar kalangan mereka ialah Ibnu Wail dan Waqid ibnu Abdullah ibnu Abdu Manaf ibnu Urs ibnu Sa'labah ibnu Yarbu', salah seorang dari kalangan Bani Tamim, teman sepakta mereka; juga Khalid ibnul Bukair (salah seorang dari Bani Sa'd ibnu Lais, teman sepakta mereka), sedangkan dari kalangan Banil Haris ibnu Fihr ialah Suhail ibnu Baida. Ketika Abdullah ibnu Jahsy telah berjalan selama dua hari, ia membuka surat tersebut, lalu ia membacanya. Ternyata di dalamnya berisikan kalimat berikut: Apabila kamu membaca suratku ini di tempat yang dimaksud, maka lanjutkanlah perjalananmu hingga kamu istirahat di Nakhlah yang terletak antara Mekah dan Taif untuk mengintai orang-orang Quraisy dan kamu sampaikan kepada kami berita tentang (gerak-gerik) mereka. Setelah isi surat itu dibaca oleh Abdullah ibnu Jahsy, ia berkata, "Kami tunduk dan patuh." Kemudian ia berkata kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepadaku untuk berangkat ke Nakhlah guna mengintai orang-orang Quraisy, lalu aku sampaikan beritanya kepada beliau Saw. Sesungguhnya Nabi Saw. melarangku memaksa seseorang dari kalian untuk ikut bersamaku. Maka barang siapa yang ingin mati syahid di antara kalian dan menyukainya, hendaklah ia berangkat bersamaku. Barang siapa yang tidak suka, ia boleh kembali. Adapun saya sendiri akan terus berangkat melaksanakan perintah Rasulullah Saw." Maka Ibnu Jahsy berangkat bersama teman-temannya, tiada seorang pun di antara mereka yang tertinggal. Ibnu Jahsy menempuh jalan Pegunungan Hijaz. Ketika ia sampai di suatu tambang yang terletak di atas bukit yang dikenal dengan nama Najran, Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan kehilangan unta cadangannya, maka keduanya tertinggal karena mencari unta tersebut. Sedangkan Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya tetap melanjutkan perjalanannya hingga sampai di Nakhlah. Kemudian lewatlah kafilah orang-orang Quraisy membawa muatan berupa minyak, lauk-pauk, dan barang dagangan milik mereka. Kafilah tersebut dikawal oleh Amr ibnul Hadrami (nama aslinya ialah Abdullah ibnu Abbad, salah seorang pengawal bayaran), Usman ibnu Abdullah ibnul Mugirah dan saudaranya (yaitu Naufal ibnu Abdullah), keduanya dari Bani Makhzum; juga Al-Hakam ibnu Kaisan maula Hisyam ibnul Mugirah. Ketika mereka melihat Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya yang sedang beristirahat di dekat tempat mereka, maka rasa takut merayap di dalam hati mereka. Selanjutnya Ukasyah ibnu Mihsan menampakkan dirinya, yang saat itu Ukasyah telah mencukur rambutnya. Ketika mereka melihatnya, mereka tidak memeranginya dan membiarkannya dalam keadaan aman, dan mereka mengatakan, "Ammar termasuk salah seorang dari kaum." Kemudian kaum (pasukan kaum muslim) bermusyawarah di antara sesama mereka mengenai langkah yang akan mereka lakukan terhadap kafilah Quraisy itu. Hal tersebut terjadi pada akhir bulan Rajab. Lalu kaum berkata, "Demi Allah, seandainya kita membiarkan mereka malam ini, niscaya mereka berada di dalam bulan Haram, dan mereka akan selamat dari tangan kalian. Tetapi jika kalian memerangi mereka, berarti kalian berperang dengan mereka dalam bulan Haram." Pasukan kaum muslim ragu-ragu dan enggan memerangi mereka, tetapi pada akhirnya mereka membulatkan tekad untuk memerangi kafilah Quraisy dan sepakat untuk membunuh orang-orang yang dapat mereka kejar dari rombongan kafilah itu serta mengambil barang yang dibawanya. Kemudian Waqid ibnu Abdullah At-Tamimi melepaskan anak panahnya ke arah Amr ibnul Hadrami dan tepat mengenainya hingga ia mati, sedangkan Usman ibnu Abdullah dan Al-Hakam ibnu Kaisan mereka tawan. Di antara rombongan kafilah yang selamat ialah Naufal ibnu Abdullah, ia melarikan diri dan tidak dapat dikejar lagi oleh pasukan kaum muslim. Selanjutnya Abdullah ibnu Jahsy dan teman-temannya kembali membawa kafilah tersebut dan dua orang tawanan, hingga datang kepada Rasulullah Saw. di Madinah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa salah seorang keluarga Abdullah ibnu Jahsy ada yang menuturkan bahwa Abdullah berkata kepada teman-temannya, "Sesungguhnya Rasulullah Saw. mempunyai bagian dari ganimah yang kita hasilkan ini sebanyak seperlimanya." Demikian itu sebelum ada perintah dari Allah yang memfardukan seperlimanya buat Rasulullah Saw. (yakni seperlima ganimah). Lalu seperlima dari ganimah dipisahkan khusus buat Rasulullah Saw., sedangkan sisanya dibagi-bagikan kepada pasukan kaum muslim yang ikut dalam misi tersebut, yaitu Abdullah ibnu Jahsy dan teman-teman-nya.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mereka datang di hadapan Rasulullah Saw., maka bersabdalah beliau Saw., "Aku tidak memerintahkan kalian melakukan perang dalam bulan Haram." Akhirnya kafilah itu dan kedua tawanan tersebut didiamkan dan beliau tidak berani mengambil sesuatu pun darinya. Ketika Rasulullah Saw. bersabda demikian, maka semua kaum yang terlibat merasa takut dan mereka menduga bahwa dirinya akan binasa, terlebih lagi saudara-saudara mereka dari kalangan kaum muslim lainnya ikut mengecam perbuatan mereka itu. Di lain pihak orang-orang Quraisy mengatakan bahwa Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram, mengalirkan darah, dan merampas harta benda serta menahan orang-orang dalam bulan tersebut. Lalu orang yang menjawab ucapan mereka (dari kalangan kaum muslim) yang ada di Mekah mengatakan, "Sesungguhnya apa yang telah mereka lakukan itu hanya terjadi dalam bulan Sya'ban." Sedangkan pihak orang-orang Yahudi mengaitkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan bahwa Amr ibnul Hadrami dibunuh oleh Waqid ibnu Abdullah. Mereka mengemukakan ramalannya bahwa amr artinya ramai (yakni perang mulai ramai), sedangkan al-hadrami artinya perang telah tiba masanya, dan waqid artinya perang telah berkobar. Maka Allah membalikkan kenyataan tersebut menimpa diri orang-orang Yahudi, bukan orang-orang muslim. Tatkala peristiwa tersebut ramai dibicarakan oleh orang-orang, maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya kepada Rasulullah Saw., yaitu: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." (Al-Baqarah: 217) Dengan kata lain, jika kalian melakukan peperangan dalam bulan Haram, sesungguhnya mereka telah menghalang-halangi kalian dari jalan Allah karena kekufuran mereka kepada-Nya; mereka juga telah mengusir kalian dari Masjidil Haram dan menghalang-halangi kalian darinya, padahal kalian adalah penduduknya. lebih besar dosanya di sisi Allah. (Al-Baqarah: 217) Yaitu daripada kalian membunuh seseorang di antara mereka. Dan berbuat fitnah lebih besar dosanya daripada membunuh. (Al-Baqarah: 217) Yakni sebelum itu mereka telah memfitnah orang muslim dalam agamanya agar mereka mengembalikannya kepada kekufuran sesudah ia beriman. Perbuatan tersebut jauh lebih besar dosanya menurut Allah daripada membunuh. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman berikutnya: Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. (Al-Baqarah: 217) Kemudian mereka tetap melakukan hal tersebut, bahkan yang lebih kotor dan lebih besar lagi tanpa henti-hentinya dan tanpa merasa jenuh.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa ketika Al-Qur'an menurunkan keterangan ini, maka legalah hati kaum muslim, dan kini mereka merasa terbebas dari apa yang selama ini mengungkung hati mereka. Akhirnya Rasulullah Saw. menerima ganimah kafilah itu berikut kedua tawanannya. Selanjutnya orang-orang Quraisy mengirimkan sejumlah harta kepada Nabi Saw. untuk menebus Usman ibnu Abdullah dan Al-Hakam ibnu Kaisan. Tetapi Rasulullah Saw. menjawab: Kami tidak mau menerima tebusan kedua orang ini dari kalian sebelum kedua sahabat kami datang (dengan selamat). Yang dimaksud dengan kedua sahabat itu adalah Sa'd ibnu Abu Waqqas dan Atabah ibnu Gazwan. Selanjutnya Nabi Saw. bersabda: Karena sesungguhnya kami merasa khawatir kalian berbuat apa-apa terhadap kedua sahabatku itu. Jika kalian membunuh keduanya, maka kami akan membunuh kedua teman kalian ini. Ternyata Sa'd dan Atabah datang dengan selamat, maka Rasulullah Saw. baru mau menerima tebusan kedua tawanan itu dari mereka. Adapun Al-Hakam ibnu Kaisan, ia masuk Islam dan berbuat baik dalam masa Islamnya. Ia berada di dekat Rasulullah Saw. hingga gugur sebagai syahid dalam Perang Bi-r Ma'unah. Sedangkan Usman ibnu Abdullah bergabung di Mekah dan mati dalam keadaan kafir di Mekah.
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya merasa lega dari apa yang selama itu mengungkungnya berkat adanya keterangan dari Al-Qur'an yang baru diturunkan, maka mereka merasa kehausan akan pahala, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan agar kami maju berperang lagi, karena kami menginginkan perolehan. pahala orang-orang yang berjihad?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 218) Akhirnya Allah Swt. memenuhi keinginan mereka dengan pemenuhan yang mernuaskan.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa hadis mengenai hal ini dari Az-Zuhri dan Yazid ibnu Rauman, dari Urwah. Yunus ibnu Bukair meriwayatkan hal yang hampir sama konteksnya dengan hadis ini, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Rauman, dari Urwah ibnuz Zubair. Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan pula hal yang semisal dari Az-Zuhri sendiri.
Syu'aib ibnu Abu Hamzah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair hal yang semisal dengan hadis ini, tetapi di dalamnya disebutkan bahwa Ibnul Hadrami merupakan korban pertama dalam perang yang terjadi antara kaum muslim dan kaum musyrik. Kemudian sejumlah orang kafir Quraisy sebagai utusan mereka, memacu kendaraannya menuju Madinah, hingga tibalah mereka di hadapan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Apakah dihalalkan melakukan peperangan dalam bulan Haram?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
Hal ini telah diteliti oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah-nya.
Kemudian Ibnu Hisyam mengatakan dari Ziyad, dari Ibnu Ishaq, bahwa salah seorang keluarga Ibnu Jahsy menceritakan bahwa harta fai' dibagi-bagikan di antara keluarganya, empat perlimanya diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam perang tersebut, sedangkan yang seperlimanya dikhususkan buat Allah dan Rasul-Nya. Maka ketentuan tersebut tetap berlaku seperti apa yang telah dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap kafilah tersebut.
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa kafilah tersebut merupakan harta ganimah yang mula-mula didapat oleh kaum muslim, dan Amr ibnul Hadrami adalah orang yang mula-mula terbunuh oleh kaum muslim, sedangkan Usman ibnu Abdullah serta Al-Hakam ibnu Kaisan merupakan orang yang mula-mula ditawan oleh kaum muslim.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa setelah peristiwa perang yang dialami oleh Abdullah ibnu Jahsy tersebut, sahabat Abu Bakar mengucapan syair berikut.
Tetapi menurut pendapat lain, yang mengatakannya justru Abdullah ibnu Jahsy sendiri. Yaitu ketika orang-orang Quraisy mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram. Maka mereka mengalirkan darah padanya, merampas harta, dan menahan orang-orang."
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa bait-bait berikut adalah mihk Abdullah ibnu Jahsy sendiri, yaitu:
تَعُدُّونَ قَتْلًا فِي الْحَرَامِ عَظِيمَةً ... وَأَعْظَمُ مِنْهُ لَوْ يَرَى الرُّشْدَ رَاشِدُ
صُدُودُكُمُ عَمَّا يَقُولُ مُحَمَّدٌ ... وَكُفْرٌ بِهِ وَاللَّهُ رَاءٍ وَشَاهِدُ
وَإِخْرَاجُكُمْ مِنْ مَسْجِدِ اللَّهِ أَهْلَهُ ... لِئَلَّا يُرَى لِلَّهِ فِي الْبَيْتِ سَاجِدُ
فَإِنَّا وَإِنْ عَيَّرْتُمُونَا بِقَتْلِهِ ... وَأَرْجَفَ بِالْإِسْلَامِ بَاغٍ وَحَاسِدُ
سَقَيْنَا مِنَ ابْنِ الْحَضْرَمِيِّ رِمَاحَنَا ... بِنَخْلَةَ لَمَّا أَوْقَدَ الْحَرْبَ وَاقِدُ
دَمًا وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ عُثْمَانُ بَيْنَنَا ... يُنَازِعُهُ غلّ من القدّ عائد
Kalian menganggap pembunuhan dalam bulan Haram merupakan dosa besar, padahal ada yang lebih besar lagi dosanya daripada itu sekiranya orang yang berakal mau menggunakan pikirannya. Yaitu kalian telah menghalang-halangi apa yang dikatakan oleh Muhammad dan ingkar kepadanya, Allah melihat dan menyaksikan hal itu. Dan kalian telah mengusir penduduk Masjidil Haram dari tempat tinggalnya agar tidak terlihat lagi di rumah-Nya orang yang bersujud (kepada-Nya). Dan sesungguhnya kami —sekalipun kalian mencela kami karena telah membunuhnya (Ibnul Hadrami)— hanyalah untuk menghajar orang yang kelewat batas dan orang yang dengki terhadap Islam. Kami telah membasahi tombak kami dengan darah Ibnul Hadrami di Nakhlah, yaitu ketika Waqid menyalakan peperangan. Dan Ibnu Abdullah —yaitu Usman— berada di antara kami dalam keadaan terbelenggu oleh rantai akan dikembalikan.
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 218
(218) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(218)
Ibnu Ishaq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah Abdullah ibnu Jahsy dan kawan-kawannya merasa lega dari apa yang selama itu mengungkungnya berkat adanya keterangan dari Al-Qur'an yang baru diturunkan, maka mereka merasa kehausan akan pahala, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau menginginkan agar kami maju berperang lagi, karena kami menginginkan perolehan. pahala orang-orang yang berjihad?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 218) Akhirnya Allah Swt. memenuhi keinginan mereka dengan pemenuhan yang mernuaskan.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa hadis mengenai hal ini dari Az-Zuhri dan Yazid ibnu Rauman, dari Urwah. Yunus ibnu Bukair meriwayatkan hal yang hampir sama konteksnya dengan hadis ini, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Rauman, dari Urwah ibnuz Zubair. Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan pula hal yang semisal dari Az-Zuhri sendiri.
Syu'aib ibnu Abu Hamzah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Urwah ibnuz Zubair hal yang semisal dengan hadis ini, tetapi di dalamnya disebutkan bahwa Ibnul Hadrami merupakan korban pertama dalam perang yang terjadi antara kaum muslim dan kaum musyrik. Kemudian sejumlah orang kafir Quraisy sebagai utusan mereka, memacu kendaraannya menuju Madinah, hingga tibalah mereka di hadapan Rasulullah Saw., lalu mereka berkata, "Apakah dihalalkan melakukan peperangan dalam bulan Haram?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang dalam bulan Haram. (Al-Baqarah: 217), hingga akhir ayat.
Hal ini telah diteliti oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Baihaqi di dalam kitab Dalailun Nubuwwah-nya.
Kemudian Ibnu Hisyam mengatakan dari Ziyad, dari Ibnu Ishaq, bahwa salah seorang keluarga Ibnu Jahsy menceritakan bahwa harta fai' dibagi-bagikan di antara keluarganya, empat perlimanya diberikan kepada orang-orang yang terlibat dalam perang tersebut, sedangkan yang seperlimanya dikhususkan buat Allah dan Rasul-Nya. Maka ketentuan tersebut tetap berlaku seperti apa yang telah dilakukan oleh Abdullah ibnu Jahsy terhadap kafilah tersebut.
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa kafilah tersebut merupakan harta ganimah yang mula-mula didapat oleh kaum muslim, dan Amr ibnul Hadrami adalah orang yang mula-mula terbunuh oleh kaum muslim, sedangkan Usman ibnu Abdullah serta Al-Hakam ibnu Kaisan merupakan orang yang mula-mula ditawan oleh kaum muslim.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa setelah peristiwa perang yang dialami oleh Abdullah ibnu Jahsy tersebut, sahabat Abu Bakar mengucapan syair berikut.
Tetapi menurut pendapat lain, yang mengatakannya justru Abdullah ibnu Jahsy sendiri. Yaitu ketika orang-orang Quraisy mengatakan, "Sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah menghalalkan bulan Haram. Maka mereka mengalirkan darah padanya, merampas harta, dan menahan orang-orang."
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa bait-bait berikut adalah mihk Abdullah ibnu Jahsy sendiri, yaitu:
تَعُدُّونَ قَتْلًا فِي الْحَرَامِ عَظِيمَةً ... وَأَعْظَمُ مِنْهُ لَوْ يَرَى الرُّشْدَ رَاشِدُ
صُدُودُكُمُ عَمَّا يَقُولُ مُحَمَّدٌ ... وَكُفْرٌ بِهِ وَاللَّهُ رَاءٍ وَشَاهِدُ
وَإِخْرَاجُكُمْ مِنْ مَسْجِدِ اللَّهِ أَهْلَهُ ... لِئَلَّا يُرَى لِلَّهِ فِي الْبَيْتِ سَاجِدُ
فَإِنَّا وَإِنْ عَيَّرْتُمُونَا بِقَتْلِهِ ... وَأَرْجَفَ بِالْإِسْلَامِ بَاغٍ وَحَاسِدُ
سَقَيْنَا مِنَ ابْنِ الْحَضْرَمِيِّ رِمَاحَنَا ... بِنَخْلَةَ لَمَّا أَوْقَدَ الْحَرْبَ وَاقِدُ
دَمًا وَابْنُ عَبْدِ اللَّهِ عُثْمَانُ بَيْنَنَا ... يُنَازِعُهُ غلّ من القدّ عائد
Kalian menganggap pembunuhan dalam bulan Haram merupakan dosa besar, padahal ada yang lebih besar lagi dosanya daripada itu sekiranya orang yang berakal mau menggunakan pikirannya. Yaitu kalian telah menghalang-halangi apa yang dikatakan oleh Muhammad dan ingkar kepadanya, Allah melihat dan menyaksikan hal itu. Dan kalian telah mengusir penduduk Masjidil Haram dari tempat tinggalnya agar tidak terlihat lagi di rumah-Nya orang yang bersujud (kepada-Nya). Dan sesungguhnya kami —sekalipun kalian mencela kami karena telah membunuhnya (Ibnul Hadrami)— hanyalah untuk menghajar orang yang kelewat batas dan orang yang dengki terhadap Islam. Kami telah membasahi tombak kami dengan darah Ibnul Hadrami di Nakhlah, yaitu ketika Waqid menyalakan peperangan. Dan Ibnu Abdullah —yaitu Usman— berada di antara kami dalam keadaan terbelenggu oleh rantai akan dikembalikan.
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌۭ كَبِيرٌۭ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ ٱلْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ 219
(219) Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
(219)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah, dari Umar yang menceritakan hadis berikut: Bahwa ketika ayat pengharaman khamr diturunkan, Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Maka turunlah firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219). Lalu Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya ayat ini. Maka ia mengatakan, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan." Kemudian turunlah ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat, sedangkan kalian dalam keadaan mabuk. (An-Nisa: 43). Tersebutlah bahwa juru azan Rasulullah Saw. apabila mendirikan salat selalu menyerukan, "Orang yang mabuk tidak boleh mendekati salat!" Kemudian Umar dipanggil lagi dan dibacakan kepadanya ayat tersebut. Maka Umar berkata, "Ya Allah, berilah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang lebih memuaskan lagi." Lalu turunlah ayat yang ada di dalam surat Al-Maidah. Ketika bacaan ayat sampai pada firman-Nya: maka berhentilah kalian (dari mengerjakan perbuatan itu). (Al-Maidah: 91) maka Umar berkata, "Kami telah berhenti, kami telah berhenti."
Demikianlah menurut riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Israil, dari Abu Ishaq.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih melalui jalur As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Abu Maisarah yang nama aslinya ialah Amr ibnu Syurahbil AI-Hamdani Al-Kufi, dari Umar. Amr ibnu Syurahbil tidak mempunyai hadis lain yang dari Umar selain hadis ini. Akan tetapi, menurut pendapat Abu Zar'ah disebutkan bahwa Amr ibnu Syurahbil belum pernah mendengar dari Umar.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa sanad hadis ini baik lagi sahih, dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, sedangkan dalam riwayat Ibnu Abu Hatim disebutkan sesudah perkataan Umar, "Kami telah berhenti," yaitu "Sesungguhnya khamr itu melenyapkan harta dan menghilangkan akal."
Hadis ini diketengahkan lagi beserta hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui jalur Abu Hurairah pada tafsir firman-Nya dalam surat Al-Maidah, yaitu:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 9)
*************
Firman Allah Swt.:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (Al-Baqarah: 219)
Definisi khamr ialah seperti apa yang dikatakan oleh Amirul Muminin Umar ibnul Khattab, yaitu segala sesuatu yang menutupi akal (memabukkan), sebagaimana yang akan dijelaskan nanti dalam tafsir surat Al-Maidah. Demikian pula maisir, yakni judi.
************
Firman Allah Swt.:
قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ
Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia'" (Al-Baqarah: 219)
Adapun mengenai dosa kedua perbuatan tersebut berdasarkan peraturan agama, sedangkan manfaat keduniawiannya jika dipandang sebagai suatu manfaat. Maka manfaatnya terhadap tubuh ialah mencernakan makanan, mengeluarkan angin, dan mengumpulkan sebagian lemak serta rasa mabuk yang memusingkan, seperti apa yang dikatakan oleh Hassan ibnu Sabit dalam masa Jahiliah:
وَنَشْرَبُهَا فَتَتْرُكُنَا مُلُوكًا ... وأسْدًا لَا يُنَهْنهها اللقاءُ ...
Kami meminumnya (khamr) dan khamr membuat kami bagaikan raja-raja dan juga bagaikan harimau yang tidak kuat perang (yakni menjadi pemberani).
Termasuk manfaatnya pula memperjual-belikannya dan memanfaatkan hasilnya. Sedangkan manfaat judi ialah kemenangan yang dihasilkan oleh sebagian orang yang terlibat di dalamnya, maka dari hasil itu ia dapat membelanjakannya buat dirinya sendiri dan keluarganya.
Akan tetapi, manfaat dan maslahat tersebut tidaklah sebanding dengan mudarat dan kerusakannya yang jauh lebih besar daripada manfaatnya, karena kerusakannya berkaitan dengan akal dan agama, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. (Al-Baqarah: 219)
Karena itu, ayat ini merupakan pendahuluan dari pengharaman khamr yang pasti. Di dalam ayat ini pengharaman tidak disebutkan dengan tegas, melainkan dengan cara sindiran. Karena itulah maka Umar ibnul Khattab r.a. ketika dibacakan ayat ini kepadanya mengatakan: Ya Allah, berikanlah kami penjelasan tentang khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.
Setelah itu barulah turun ayat yang mengharamkannya di dalam surat Al-Maidah, yaitu firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّما يُرِيدُ الشَّيْطانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَداوَةَ وَالْبَغْضاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingati Allah dan salat; maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu). (Al-Maidah: 9-91)
Dalam tafsir surat Al-Maidah nanti, masalah ini akan diterangkan dengan keterangan yang rinci.
Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, sesungguhnya ayat ini merupakan permulaan ayat yang menerangkan pengharaman khamr, yaitu firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar." (Al-Baqarah: 219) Kemudian turun pula ayat yang ada di dalam surat An-Nisa, sesudah itu turun ayat yang terdapat di dalam surat Al-Maidah yang mengharamkan khamr secara tegas.
***************
Firman Allah Swt.:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219)
Lafaz al-'afwa dapat pula dibaca al-'afwu, keduanya baik dan berdekatan pengertiannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah sampai suatu hadis kepadanya bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Sa'labah datang menghadap Rasulullah Saw., lalu keduanya bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mempunyai banyak budak dan keluarganya yang semuanya itu termasuk harta kami." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. (Al-Baqarah: 219)
Al-Hakam mengatakan dari Miqsam, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan.” (Al-Baqarah: 219) Yakni lebihan dari nafkah yang diperlukan.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari. Ibnu Umar, Mujahid, Ata, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka'b, Al-Hasan, Qata-dah, Al-Qasim, Salim, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya. Disebutkan bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) Lafaz al-'afwa di sini artinya al-fadla atau lebihan (sisa dari yang diperlukan).
Telah diriwayatkan dari Tawus bahwa makna yang dimaksud ialah segala sesuatu yang mudah.
Dari Ar-Rabi' disebutkan pula bahwa makna yang dimaksud ialah hartamu yang paling utama dan paling baik. Akan tetapi, semua pendapat merujuk kepada pengertian lebihan dari apa yang diperlukan.
Abdu ibnu Humaid mengatakan dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Hauzah ibnu Khalifah, dari Auf, dari Al-Hasan sehubungan dengan ayat berikut: Mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan." (Al-Baqarah: 219) Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan istilah al-'afwa ialah jangan sampai nafkah itu memberatkan hartamu yang akhirnya kamu tidak punya apa-apa lagi dan meminta-minta kepada orang lain.
Pengertian ini ditunjukkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنِ ابْنِ عَجْلان، عَنِ المَقْبُريّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عِنْدِي دِينَارٌ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى أَهْلِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِكَ". قَالَ: عِنْدِي آخَرُ؟ قَالَ: "فَأَنْتَ أبصَرُ".
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ibnu Ajlan, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan: Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai uang dinar.'" Nabi Saw. menjawab, "Belanjakanlah buat dirimu sendiri." Lelaki itu berkata, "Aku masih memiliki yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat keluargamu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. bersabda, "Nafkahkanlah buat anakmu." Lelaki itu berkata, "Aku masih mempunyai yang lainnya." Nabi Saw. menjawab, "Kamu lebih mengetahui."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim di dalam kitab sahih-nya.
Dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui Jabir r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada seorang lelaki:
"ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَل شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضُلَ شَيْءٌ عَنْ أَهْلِكَ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضُلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا"
Mulailah dengan dirimu sendiri, bersedekahlah untuknya; jika ada lebihannya, maka buat keluarga (istri)mu. Dan jika masih ada lebihannya lagi setelah istrimu, maka berikanlah kepada kaum kerabatmu; dan jika masih ada lebihan lagi setelah kaum kerabatmu, maka berikanlah kepada ini dan itu.
Menurut Imam Muslim pula, disebutkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"خير الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْر غِنًى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولَ"
Sebaik-baik sedekah ialah yang diberikan setelah berkecukupan; tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima). Dan mulailah dengan orang yang berada dalam tanggunganmu.
Di dalam sebuah hadis lain disebutkan pula:
"ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ إِنْ تبذُل الفضلَ خيرٌ لَكَ، وَإِنْ تُمْسِكْهُ شَرٌّ لَكَ، وَلَا تُلام عَلَى كَفَافٍ"
Hai anakAdam, sesungguhnya jikalau kamu memberikan lebihan dari yang diperlukan adalah lebih baik bagimu dan jika kamu memegangnya, maka hal itu buruk bagimu, dan kamu tidak akan dicela karena tidak mempunyai sesuatu yang bersisa.
Akan tetapi, menurut pendapat yang lain ayat ini di-mansukh oleh ayat zakat, seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, Al-Aufi, dan Ibnu Abbas; juga yang dikatakan oleh Ata Al-Khurrasani. Menurut pendapat yang lainnya lagi, ayat ini diperjelas pengertiannya oleh ayat zakat, menurut Mujahid dan lain-lainnya. Pendapat yang terakhir ini lebih terarah (kuat).
************
Firman Allah Swt.:
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ * فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 219-22)
Yakni sebagaimana Allah menguraikan hukum-hukum ini kepada kalian. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat lainnya kepada kalian, baik mengenai hukum-hukum, janji, maupun ancaman-Nya, supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat.
Dari Ibnu Abbas, Ali ibnu Abu Talhah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dunia dengan kefanaannya dan menyongsong akhirat dengan kekebalannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Assa'q At-Tamimi yang telah mengatakan, aku telah menyaksikan Al-Hasan dan ia membaca ayat berikut: Supaya kalian berpikir tentang dunia dan akhirat. (Al-Baqarah: 219-22) Demi Allah, ayat ini bagi orang-orang yang merenungi makna yang terkandung di dalamnya, niscaya ia akan mengetahui bahwa dunia ini adalah negeri cobaan, kemudian fana; dan agar ia mengetahui bahwa akhirat itu negeri pembalasan dan negeri yang kekal abadi.
Qatadah dan Ibnu Juraij serta selain keduanya mengatakan demikian.
Abdurrazaq —dari Ma'mar, dari Qatadah— mengatakan, "Agar kalian mengutamakan negeri akhirat daripada dunia." Dan menurut suatu riwayat dari Qatadah dikatakan, "Maka utamakanlah negeri akhirat daripada dunia "
**************
Firman Allah Swt:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian; dan Allah mengetahui siapa yang berbuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian." (Al-Baqarah: 22), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152, Al Isra: 34)
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوالَ الْيَتامى ظُلْماً إِنَّما يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 1)
Maka orang-orang yang memelihara anak yatim memisahkan makanannya dengan makanan anak yatim. Begitu pula minumannya, ia pisahkan antara milik sendiri dan milik anak yatim. Akhirnya banyak lebihan makanan yang tak sempat dimakan, maka sisa tersebut ia simpan untuk dimakan di lain waktu atau makanan itu menjadi basi. Hal tersebut terasa amat berat atas diri mereka yang mempunyai anak-anak yatim, lalu mereka menceritakan perihalnya kepada Rasulullah Saw. Maka turunlah firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian." (Al-Baqarah: 22) Akhirnya mereka berani mencampurkan makanan mereka dengan makanan anak-anak yatim mereka, begitu pula minumannya.
Demikianlah menurut riwayat Abu Daud, Nasai, Ibnu Abu Hatim, Ibnu Murdawaih, dan Al-Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui berbagai jalur dari Ata ibnus Saib dengan lafaz yang sama.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ali ibnu Abu Talhah dari Ibnu Abbas r.a.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh As-Saddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas; juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud r.a. dengan lafaz yang semisal.
Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang perawi saja mengenai asbabun nuzul ayat ini, antara lain seperti Mujahid, Ata, Asy-Sya'bi, Ibnu Abu Laila, dan Qatadah; bukan pula hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan ulama Khalaf.
Waki' ibnul Jarrah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam (murid Ad-Dustiwa-i), dari Hammad, dari Ibrahim yang telah mengatakan bahwa Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku tidak suka bila harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaanku dipisahkan secara menyendiri, melainkan aku mencampurkan makanannya dengan makananku dan minumannya dengan minumanku."
**************
Firman Allah Swt.:
قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ
Katakanlah, "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.” (Al-Baqarah: 22)
Makna yang dimaksud ialah memisahkannya secara menyendiri.
وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
Dan jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara kalian. (Al-Baqarah: 22)
Artinya, bila kamu mencampurkan makananmu dengan makanan mereka, begitu pula minumanmu dengan minuman mereka, tidaklah mengapa kamu melakukannya, sebab mereka adalah saudara-saudara seagama kalian. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. (Al-Baqarah: 22)
Yakni Allah mengetahui tujuan dan niat yang sebenarnya, apakah hendak membuat kerusakan atau perbaikan.
**************
Firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 22)
Yaitu seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan mempersulit kalian dan mempersempit kalian. Tetapi ternyata Dia meluaskan kalian dan meringankan beban kalian, serta memperbolehkan kalian bergaul dan bercampur dengan mereka (anak-anak yatim) dengan cara yang lebih baik.
Allah Swt. telah berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا مالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Dan janganlah kalian dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (Al-An'am: 152)
Bahkan Allah memperbolehkan bagi orang yang miskin memakan sebagian dari harta anak yatim dengan cara yang makruf, yaitu adakalanya dengan jaminan akan menggantinya bagi orang yang mudah untuk menggantinya atau secara gratis. Seperti yang akan dijelaskan keterangannya dalam tafsir surat An-Nisa nanti.