24 - النور - An-Noor

Juz : 18

The Light
Medinan

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأْمُرُ بِٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۚ وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًۭا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّى مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ 21

(21) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

(21) 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. (An-Nur: 21)

Yaitu jalan-jalan setan, sepak terjangnya, serta apa yang dianjurkan olehnya.

وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. (An-Nur: 21)

Di dalam ungkapan ayat ini terkandung makna yang membuat pendengar­nya menjauhi hal yang dilarangnya dan bersikap waspada terhadap setan, suatu ungkapan yang sarat isi dan indah.

Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: langkah-langkah setan. (An-Nur: 21) Bahwa makna yang dimaksud ialah amal perbuatan setan.

Ikrimah mengatakan artinya ialah bisikan setan.

Menurut Qatadah, setiap perbuatan maksiat termasuk langkah-langkah setan. Sedangkan Abu Mijlaz mengatakan bahwa nazar dalam kedurhakaan termasuk langkah-langkah setan.

Masruq mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Mas'ud, "Sesungguhnya aku telah mengharamkan diriku memakan makanan." Lalu lelaki itu menyebutkan jenis makanan yang diharamkan atas dirinya itu. Maka Ibnu Mas'ud berkata, "Itu termasuk perbuatan yang dibisikkan oleh setan. Maka bayar kifaratlah untuk sumpahmu itu, lalu makanlah."

Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan pengertian ayat ini, bahwa ada seorang lelaki bernazar akan menyembelih anak laki-lakinya. Maka Asy-Sya'bi berkata, "Itu termasuk bisikan setan," lalu Asy-Sya'bi memberinya fatwa agar menyembelih seekor kambing domba (sebagai kifaratnya).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Abdullah Al-Masri, telah menceritakan kepada kami As-Sirri ibnu Yahya, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa ibunya pernah marah kepada istrinya, sesekali mengatakan wanita Yahudi, dan kesempatan lain mengatakannya wanita Nasrani; dan ibunya mengatakan, "Semua budak miliknya dimerdekakan jika kamu tidak menceraikan istrimu." Maka aku (Abu Rafi') datang kepada Abdullah ibnu Umar melaporkan hal tersebut, lalu Ibnu Umar menjawab, "Hal itu termasuk bisikan (godaan) setan."

Hal yang sama telah dikatakan oleh Zainab binti Ummu Salamah, yang pada masanya ia adalah seorang wanita yang paling mendalam pengetahuan agamanya di Madinah. Dan aku mendatangi Asim ibnu Umar, maka ia mengatakan hal yang sama.

*******************

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا

Seandainya tidaklah karena Karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya. (An-Nur: 21)

Seandainya Allah tidak memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk bertobat, kembali kepada-Nya, dan membersihkan dirinya dari keburukan, kekotoran, dan semua akhlak yang rendah, yang masing-masing orang disesuaikan dengan keadaannya, tentulah tidak akan ada seorang pun yang bersih dan tidak (pula) beroleh kebaikan.

وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ

tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nur: 21)

dari kalangan makhluk-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya, lalu menjerumuskannya ke dalam kesesatan yang membinasakan dirinya.

Firman Allah Swt.:

وَاللَّهُ سَمِيعٌ

Dan Allah Maha Mendengar. (An-N ur: 21)

semua ucapan hamba-hamba-Nya.

عَلِيمٌ

lagi Maha Mengetahui. (An-N ur: 21)

siapa di antara mereka yang berhak memperoleh petunjuk dan siapa yang berhak beroleh kesesatan.


وَلَا يَأْتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلْفَضْلِ مِنكُمْ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤْتُوٓا۟ أُو۟لِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا۟ وَلْيَصْفَحُوٓا۟ ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ 22

(22) Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,

(22) 

Firman Allah Swt. yang menyebutkan:

وَلا يَأْتَلِ

Dan janganlah bersumpah. (An-Nur: 22)

Berasal dari kata ilyah yang artinya sama dengan al-hilf maksudnya 'janganlah bersumpah'.

أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ

orang-orang yang mempunyai kelebihan di antara kalian. (An-Nur: 22)

Yang dimaksud dengan kelebihan ialah kelebihan harta, rajin bersedekah, dan berbuat kebajikan.

وَالسَّعَة

dan kelapangan. (An-Nur: 22)

Yaitu kesejahteraan.

أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

untuk tidak akan memberikan bantuan kepada kaum kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. (An-Nur: 22)

Yakni janganlah kalian bersumpah bahwa kalian tidak akan bersilaturahmi lagi dengan kaum kerabat kalian, orang-orang miskin, dan kaum Muhaj irin. Yaitu tidak akan lagi memberikan bantuan kepada mereka. Ayat ini mengandung anjuran yang sangat untuk berbelaskasihan dan lemah lembut terhadap kaum kerabat dalam rangka bersilaturahmi kepada mereka.

Firman Allah Swt.:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا

dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. (An-Nur: 22)

terhadap keburukan dan sikap menyakitkan mereka di masa lalu. Hal ini termasuk sifat Penyantun Allah Swt., Kemuliaan, dan Kelembutan-Nya kepada makhluk-Nya, padahal mereka berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri.

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sahabat Abu Bakar As-Siddiq r.a. ketika ia bersumpah bahwa dia tidak akan memberikan bantuannya lagi kepada Mistah ibnu Asasah untuk selamanya. Hal ini terjadi setelah Mistah mengatakan hal-hal yang buruk terhadap putrinya (yaitu Siti Aisyah r.a.) seperti yang telah disebutkan di atas.

Setelah Allah menurunkan wahyu yang membersihkan diri Siti Aisyah Ummul Mu’minin sehingga hati Siti Aisyah senang dan tenteram, dan Allah menerima tobat orang-orang yang membicarakan berita bohong itu dari kalangan kaum mukmin, lalu ditegakkan hukum had kepada sebagian dari mereka yang berhak menerimanya. Maka Khitab Allah beralih kepada sahabat Abu Bakar As-Siddiq yang memerintahkan kepadanya agar berbelas kasih kepada kerabatnya, yaitu Mistah ibnu Asasah. Mistah ibnu Asasah adalah anak bibi sahabat Abu Bakar, yang berarti sepupu dia. Mistah adalah orang yang miskin, tidak berharta kecuali apa yang ia terima dari uluran bantuan sahabat Abu Bakar r.a. Mistah termasuk salah seorang dari kaum Muhajirin yang berjihad di jalan Allah. Tetapi ia terpeleset dan melakukan suatu kesalahan, kemudian Allah menerima tobatnya, dan telah menjalani hukuman had yang harus diterimanya akibat kesalahannya itu.

Sahabat Abu Bakar adalah seorang yang bijak lagi dermawan. Ia suka berderma dan memberikan bantuannya, baik kepada kerabatnya sendiri maupun orang lain. Ketika ayat ini diturunkan hingga firman-Nya:

أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ

Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (An-Nur: 22), hingga akhir ayat.

Karena sesungguhnya setiap amal perbuatan itu mendapat balasan sesuai dengan jenis amal perbuatannya, sebagaimana engkau mengampuni dosa orang yang berdosa kepadamu, maka Allah mengampuni pula dosa-dosamu. Dan sebagaimana kamu memaaf, maka Allah pun memaafmu pula. Maka pada saat itu juga Abu Bakar berkata, "Benar, demi Allah, sesungguhnya kami suka bila Engkau memberikan ampunan kepada kami, wahai Tuhan kami."

Kemudian Abu Bakar kembali memberikan nafkah bantuannya kepada Mistah seperti biasanya. Untuk itu Abu Bakar berkata, "Demi Allah, aku tidak akan mencabutnya selama-lamanya." Perkataannya kali ini untuk mengimbangi apa yang telah dikatakannya sebelum itu, yakni ucapannya," Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi barang sedikit pun, selamanya." Karena itulah maka sahabat Abu Bakar sesuai dengan nama julukannya, yaitu As-Siddiq; semoga Allah melimpahkan rida kepadanya, juga kepada putrinya.


إِنَّ ٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ٱلْغَٰفِلَٰتِ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ لُعِنُوا۟ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌۭ 23

(23) Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,

(23) 

Hal ini merupakan ancaman dari Allah Swt. kepada orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik yang sedang dalam keadaan lengah berbuat zina, sedangkan mereka adalah wanita-wanita yang beriman. Disebutkan secara mayoritas mu’minat, maka Ummahatul Mu’minin termasuk ke dalam pengertian ini secara prioritas lebih dari semua wanita yang baik-baik. Terlebih lagi wanita yang menjadi penyebab turunnya ayat ini yaitu Siti Aisyah bintis Siddiq r.a.

Para ulama rahimahumullah telah sepakat secara bulat, bahwa orang yang mencaci Siti Aisyah sesudah peristiwa turunnya ayat ini lalu menuduhnya berbuat zina sesudah ada keterangan dari Al-Qur'an yang membersihkan kehormatan dirinya. Maka orang tersebut adalah kafir karena menentang Al-Qur'an.

Tetapi sehubungan dengan Ummahatul Mu’minin lainnya, ada dua pendapat. Menurut pendapat yang paling sahih, mereka pun sama dengan Siti Aisyah r.a. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah Swt.:

لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

mereka kena laknat di dunia dan akhirat. (An-Nur: 23), hingga akhir ayat.

Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 57), hingga akhir ayat.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini hanyalah khusus bagi Siti Aisyah r.a.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hirasy, dari Al-Awwam, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23 ) Bahwa ayat ini secara khusus diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal ini melalui Siti Aisyah. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah dituduh berbuat zina, sedangkan ia dalam keadaan lalai (tidak menyadarinya), lalu berita itu sampai kepadanya. Ketika Rasulullah Saw. sedang duduk di rumah Siti Aisyah, tiba-tiba wahyu diturunkan kepadanya.

Siti Aisyah mengatakan, "Apabila wahyu sedang diturunkan kepada Rasulullah Saw. maka beliau mengalami suatu keadaan seperti orang yang sedang dalam keadaan mengantuk. Ketika wahyu diturunkan kepadanya, beliau sedang duduk di dekatku, kemudian beliau duduk tegak seraya mengusap wajahnya dan berkata, 'Hai Aisyah, bergembiralah.' Aku menjawab, 'Saya memuji kepada Allah, bukan memuji kepadamu.' Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina).' (An-Nur: 23) sampai dengan firman-Nya: 'Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang menuduhnya. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).' (An-Nur: 26)."

Demikianlah bunyi hadis yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir, di dalamnya tidak terdapat suatu ketentuan yang menyatakan bahwa hal ini khusus menyangkut Siti Aisyah. Bahkan yang disebutkan di dalamnya hanya menyatakan bahwa peristiwa Siti Aisyah adalah yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, sedangkan mengenai ketentuan hukumnya bersifat umum mencakup selainnya.

Barangkali pendapat tersebut yang mengatakan bahwa hal ini khusus bagi Siti Aisyah hanyalah menurut pendapat Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang sependapat dengan dia.

Ad-Dahhak, Abul Jauza, dan Salamah ibnu Nabit mengatakan yang dimaksud oleh ayat ini ialah istri-istri Nabi Saw. secara khusus, bukan wanita lainnya.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Yakni istri-istri Nabi Saw. yang dituduh berbuat zina oleh orang-orang munafik, maka Allah melaknat dan murka terhadap mereka, serta mereka akan kembali dengan membawa murka dari Allah Swt. Hal ini hanya berlaku berkenaan dengan istri-istri Nabi Saw. Kemudian diturunkan sesudahnya firman Allah Swt. yang menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 5) Allah menurunkan ayat yang menyangkut masalah hukuman had dan tobatnya. Tobat diterima, tetapi kesaksian yang bersangkutan tidak diterima.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Al-Awwam ibnu Hausyab, dari seorang Syekh dari kalangan Bani Asad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia menafsirkan surat An-Nur, dan ketika sampai pada firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Maka Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal ini berkenaan dengan Aisyah dan istri-istri Nabi Saw. yang lainnya. Di dalam ayat ini tidak jelas disebutkan ketentuan hukumnya, dan tidak disebutkan bahwa tobat mereka diterima. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan tafsirannya sampai pada firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi. (An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). (An-Nur: 5). hingga akhir ayat. Maka Allah Swt. menjadikan bagi mereka jalan untuk tobat, dan tidak menjadikan bagi mereka yang menuduh istri-istri Nabi Saw. jalan untuk tobat.

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu sebagian dari para hadirin di majelis itu berniat bangkit menuju kepada Ibnu Abbas dengan maksud akan mencium kepalanya karena tafsir yang ia kemukakan tentang surat An-Nur ini sangat baik, sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.

Perkataan Ibnu Abbas Mubhamah mengandung pengertian umum tentang pengharaman menuduh berzina setiap wanita yang baik-baik, dan bahwa pelakunya mendapat laknat di dunia dan akhirat.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa hal ini berkenaan dengan Siti Aisyah dan orang-orang yang melakukan perbuatan serupa terhadap kaum muslimat di masa sekarang. Maka bagi mereka ancaman yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya. Akan tetapi, Siti Aisyah saat itu dijadikan sebagai teladan dan contoh dalam masalah ini.

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung pengertian yang umum, dan pendapat inilah yang benar menurutnya.

Pendapat yang mengatakan bermakna umum diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -ابْنُ أَخِي ابْنِ وَهْبٍ -حَدَّثَنَا عَمِّي، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الغَيث عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ".

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman (anak lelaki saudara Wahb), telah menceritakan kepadaku pamanku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Bilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Abul Gais, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Jauhilah tujuh macam dosa yang membinasakan.” Ketika ditanyakan, "Apa sajakah itu, wahai Rasulullah? Rasulullah Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita yang baik-baik, yang lalai lagi beriman."

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Sulaiman ibnu Bilal dengan sanad yang sama.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرو بْنِ خَالِدٍ الحَذَّاء الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو شُعَيب الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا جَدِّي أَحْمَدُ بْنُ أَبِي شُعَيب، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ صِلَة بْنِ زُفَر، عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"قَذْفُ الْمُحْصَنَةِ يَهْدِمُ عَمَلَ مِائَةِ سَنَةٍ"

Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar Abu Khalid At-Ta-i Al-Mahrami, telah menceritakan kepadaku Abi Tabrani mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami kakekku (yaitu Ahmad ibnu Abu Syu'aib), telah menceritakan kepadaku Musa ibnu A'yun, dari Lais, dari Abu Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina dapat menggugurkan amal (baik) seratus tahun.


يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ 24

(24) pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.

(24) 

Firman Allah Swt.:

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An-Nur: 24)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Ar-Razi, dari Amr ibnu Abu Qais, dari Mutarrif, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik. Manakala mereka merasakan bahwa tiada yang dapat masuk surga kecuali ahli salat, mereka berkata, "Marilah kita mengingkari perbuatan-perbuatan kita dahulu (semasa di dunia)." Maka ketika mereka hendak mengingkari perbuatannya, dikuncilah mulut mereka, dan bersaksilah kedua tangan dan kedua kaki mereka (menyatakan perbuatan mereka yang sesungguhnya) sehingga mereka tidak dapat menyembunyikan kepada Allah suatu amal perbuatan pun.

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan:

حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ رسول الله صلى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، عُرف الْكَافِرُ بِعَمَلِهِ، فَيَجْحَدُ وَيُخَاصِمُ، فَيُقَالُ لَهُ: هَؤُلَاءِ جِيرَانُكَ يَشْهَدُونَ عَلَيْكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا. فَيَقُولُ: أَهْلُكَ وَعَشِيرَتُكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا، فَيَقُولُ: احْلِفُوا. فَيَحْلِفُونَ، ثُمَّ يُصمِتهم اللَّهُ، فَتَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَيْدِيهِمْ وَأَلْسِنَتُهُمْ، ثُمَّ يُدْخِلُهُمُ النَّارَ"

telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij dari Abu Haisam, dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila hari kiamat telah terjadi, maka diperkenalkanlah kepada orang kafir amal perbuatannya, lalu ia mengingkarinya dan berkilah. Maka dikatakan kepadanya, "Itulah mereka para tetanggamu yang mempersaksikan kamu.” Dia berkata, "Mereka dusta.” Kemudian dikatakan pula, "Itulah mereka keluarga dan kaum kerabatmu.” Ia menjawab, "Mereka dusta.” Lalu dikatakan, "Bersumpahlah kamu!" Maka mereka berani bersumpah, setelah itu Allah membuat mereka bisu (tidak dapat bicara), maka bersaksilah terhadap mereka kedua tangan dan lisan mereka, lalu Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بن أبي شيبة الكوفي، حدثنا مِنْجَاب بْنُ الْحَارِثِ التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الأسَدِيَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عُبَيْدٍ المُكْتب، عَنْ فُضَيل بْنِ عَمْرٍو الفُقَيمي، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجذُه، ثُمَّ قَالَ: "أَتُدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ " قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "مِنْ مُجَادَلَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ: يَا رَبِّ، أَلَمْ تُجِرْني مِنَ الظُّلْمِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: لَا أُجِيزُ عليَّ شَاهِدًا إِلَّا مِنْ نَفْسِي. فَيَقُولُ: كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا، وَبِالْكِرَامِ عَلَيْكَ شُهُودًا فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ، وَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ: انْطِقِي فَتَنْطِقُ بِعَمَلِهِ، ثُمَّ يُخَلِّي بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلَامِ، فَيَقُولُ: بُعدًا لَكُنّ وسُحْقًا، فعنكُنَّ كنتُ أُنَاضِلُ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syaibah Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Abu Syaibah Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Minjab ibnul Haris At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Ubaidul Maktab, dari Fudail ibnu Amr Al-Faqimi, dari Asy-Sya'bi dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa ketika kami berada di rumah Nabi Saw, tiba-tiba beliau tertawa sehingga gigi serinya kelihatan, kemudian beliau bersabda: "Tahukah kalian mengapa aku tertawa?” Kami menjawab, "Allah da Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Saw. bersabda, "Karena perdebatan seorang hamba kepada Tuhannya, ia berkata, 'Wahai Tuhanku, bukankah Engkau melindungi diriku dari kezaliman?' Allah berfirman, 'Aku tidak memperkenankan seorang saksi pun kecuali dari pihak-Ku. 'Allah berfirman, "Cukuplah hari ini engkau sebagai saksi terhadap dirimu dan juga para malaikat yang mulia-mulia.” Maka dikuncilah mulutnya, lalu dikatakan kepada seluruh anggota tubuh si hamba itu, 'Berbicaralah kamu. ' Maka seluruh anggota tubuh si hamba itu membicarakan tentang amal perbuatan­nya. Kemudian Allah membiarkannya berbicara kembali, maka si hamba itu berkata (kepada seluruh anggota tubuhnya), 'Celakalah kalian dan binasalah kalian, padahal aku berjuang untuk kalian'.”

Imam Muslim dan Imam Nasai telah meriwayatkannya pula melalui Abu Bakar ibnu AbuNadr, dari ayahnya, dari Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Nasai berkata, bahwa ia tidak mengetahui seseorang meriwayatkan hadis ini dari Sufyan selain Al-Asyja'i. Dengan demikian, hadis ini berpredikat garib. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.

Demikianlah menurut komentar Imam Nasai.

Qatadah mengatakan, "Hai anak Adam, demi Allah, sesungguhnya pada dirimu terdapat saksi-saksi yang tidak diragukan lagi dari badanmu sendiri. Maka waspadalah terhadap kesaksian mereka dan bertakwalah kepada Allah dalam rahasia dan terang-terangan kamu, karena sesungguhnya bagi Allah tiada sesuatu pun yang tersembunyi. Kegelapan bagi Allah adalah sinar, dan rahasia bagi Allah adalah hal yang terang. Maka barang siapa yang mampu mati dalam keadaan berbaik prasangka kepada Allah, lakukanlah, dan tidak ada kekuatan (untuk mengerjakan amal ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah."


يَوْمَئِذٍۢ يُوَفِّيهِمُ ٱللَّهُ دِينَهُمُ ٱلْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْحَقُّ ٱلْمُبِينُ 25

(25) Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya).

(25) 

يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ

Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. (An-Nur: 25)

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan dinahum ialah hisab (perhitungan amal) mereka, dan semua lafaz dinahum yang terdapat di dalam Al-Qur'an artinya hisab mereka. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh selain Ibnu Abbas.

Menurut qiraat jumhur ulama, bacaan nasab lafaz al-haq karena berkedudukan sebagai sifat dari dinahum.

Sedangkan Mujahid membacanya rafa' karena menjadi sifat bagi lafaz Allah. Sebagian ulama Salaf membacanya demikian di dalam mushaf Ubay ibnu Ka'b, yakni dengan bacaan rafa'.

Firman Allah Swt.:

وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ

dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar lagi Yang Menjelaskan. (An-Nur: 25)

Yakni janji, ancaman, dan hisabnya. Dia adalah Mahaadil yang tidak pernah curang dalam hisab-Nya.


ٱلْخَبِيثَٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَٱلْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَٰتِ ۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُم مَّغْفِرَةٌۭ وَرِزْقٌۭ كَرِيمٌۭ 26

(26) Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).

(26) 

Ibnu Abbas mengatakan bahwa perkataan yang keji hanyalah pantas dilemparkan kepada lelaki yang berwatak keji, dan laki-laki yang keji hanyalah pantas menjadi bahan pembicaraan perkataan yang keji. Perkataan yang baik-baik hanyalah pantas ditujukan kepada lelaki yang baik-baik, dan lelaki yang baik-baik hanyalah pantas menjadi bahan pembicaraan perkataan yang baik-baik. Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Siti Aisyah dan para penyebar berita bohong. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Syabi, Al-Hasan Al-Basri, Habib ibnu Abu Sabit, dan Ad-Dahhak. Ibnu Jarir memilih pendapat ini dan memberikan komentarnya, bahwa perkataan yang keji pantas bila ditujukan kepada orang yang berwatak keji, dan perkataan yang baik pantas bila ditujukan kepada orang yang baik. Dan apa yang dikatakan oleh para penyebar berita dusta terhadap diri Siti Aisyah, sebenarnya merekalah yang lebih utama menyandang predikat itu. Siti Aisyah lebih utama beroleh predikat bersih dan suci daripada diri mereka. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ

Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh para penuduhnya. (An-Nur: 26)

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan —sehubungan dengan makna ayat ini— bahwa orang-orang yang keji dari kalangan kaum wanita adalah untuk orang-orang yang keji dari kalangan kaum pria. Dan orang-orang yang keji dari kalangan kaum pria adalah untuk orang-orang yang keji dari kalangan kaum wanita. Orang-orang yang baik dari kalangan kaum wanita adalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan kaum pria. Dan orang-orang yang baik dari kalangan kaum pria adalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan kaum wanita.

Takwil inipun senada dengan apa yang telah dikatakan oleh para ulama di atas sebagai suatu kepastian. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tidaklah Allah menjadikan Aisyah r.a. sebagai istri Nabi Saw. melainkan karena dia adalah wanita yang baik, sebab Rasulullah Saw. adalah manusia yang terbaik di antara yang baik. Seandainya Aisyah adalah seorang wanita yang keji tentulah tidak pantas, baik menurut penilaian syari'at maupun penilaian martabat, bila ia menjadi istri Rasulullah Saw. Karena itu Allah Swt. berfirman dalam penghujung ayat ini:

أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ

mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang melancarkan tuduhan (an-Nur: 26)

Maksudnya, mereka jauh sekali dari apa yang dituduhkan oleh para penyiar berita bohong dan musuh-musuhnya.

لَهُمْ مَغْفِرَةٌ

Bagi mereka ampunan. (An-Nur: 26)

Disebabkan kedustaan yang dilemparkan terhadap diri mereka (yang hal itu mencuci dosa mereka).

وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

dan rezeki yang mulia. (An-Nur; 26)

Yakni di sisi Allah yaitu surga yang penuh dengan kenikmatan. Di dalam makna ayat ini terkandung suatu janji yang menyatakan bahwa istri Rasulullah Saw. pasti masuk surga.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Harb, dari Yazid ibnu Abdur Rahman, dari Al-Hakam berikut sanadnya sampai kepada Yahya ibnul Jazzar yang mengatakan bahwa Asir ibnu Jabir datang kepada Abdullah, lalu berkata, "Sesungguhnya saya telah mendengar Al-Walid ibnu Uqbah pada hari ini mengatakan suatu pembicaraan yang mengagum­kan saya." Maka Abdullah menjawab, "Sesungguhnya seorang lelaki mukmin di dalam kalbunya terbetik kalimat yang baik hingga meresap ke dalam hatinya sampai dalam, hingga manakala dia mengucapkannya dan memperdengarkannya kepada orang lain yang ada di hadapannya, maka lelaki itu akan mendengarkannya dan meresapkannya di dalam hatinya. Sesungguhnya seseorang yang durhaka yang di dalam hatinya terbetik perkataan yang kotor hingga meresap ke dalam relung hatinya, hingga manakala dia mengutarakannya dan memperdengarkannya kepada orang lain yang ada di hadapannya, maka orang itu akan mendengarkannya dan meresapinya di dalam hatinya." Kemudian Abdullah membaca firman-Nya: Perkataan-perkataan yang keji hanyalah untuk orang-orang yang keji, dan orang-orang yang keji hanyalah untuk perkataan-perkataan yang keji; dan perkataan-perkataan yang baik-baik hanyalah untuk orang-orang yang baik-baik, dan orang-orang yang baik-baik hanyalah untuk perkataan-perkataan yang baik-baik (pula). (An-Nur: 26)

(Terjemahan ini berdasarkan tafsir yang dimaksudkan oleh sahabat Ibnu Ma'sud r.a., pent.)

Pengertian ini mirip dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya secara marfu', yaitu:

"مِثْلَ الَّذِي يَسْمَعُ الْحِكْمَةَ ثُمَّ لَا يُحدِّث إِلَّا بشرِّ مَا سَمِعَ، كَمَثَلِ رَجُلٍ جَاءَ إِلَى صَاحِبِ غَنَمٍ، فَقَالَ: أجْزِرني شَاةً. فَقَالَ: اذْهَبْ فَخُذ بأذُن أَيِّهَا شئتَ. فَذَهَبَ فَأَخَذَ بِأُذُنِ كَلْب الْغَنَمِ"

Perumpamaan orang yang mendengar kalimat yang bijak, kemudian ia tidak menceritakannya melainkan kebalikan dari apa yang ia dengar, sama dengan seorang lelaki yang datang kepada pemilik ternak kambing, lalu ia berkata, "Sembelihkanlah seekor kambing untukku.” Lalu dijawab, "Pilihlah sendiri dan peganglah telinga kambing mana yang kamu sukai.” Kemudian ia memilih dan memegang telinga anjing (penjaga) ternak kambingnya.

Di dalam hadis lain disebutkan:

"الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ وَجَدَهَا أَخَذَهَا"

Hikmah adalah sesuatu yang dicari oleh orang mukmin; di mana pun ia menjumpainya, maka dia boleh mengambilnya.


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَدْخُلُوا۟ بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا۟ وَتُسَلِّمُوا۟ عَلَىٰٓ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌۭ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 27

(27) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.

(27) 

Inilah etika-etika syariat yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu etika dalam meminta izin masuk kedalam rumah orang lain untuk keperluan. Allah menandaskan bahwa mereka tidak boleh memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin kepada para penghuninya dan memberikan ucapan salam kepada mereka.

Seseorang yang hendak memasuki rumah orang lain dianjurkan meminta izin sebanyak tiga kali. Bila diizinkan, maka ia boleh masuk; dan bila tidak diizinkan, hendaknya ia pergi.

Di dalam kitab sahih telah disebutkan bahwa Abu Musa pernah meminta izin untuk masuk ke dalam rumah Umar sebanyak tiga kali, tetapi tidak diizinkan baginya, maka ia kembali. Sesudah itu Umar berkata, "Tidakkah tadi saya mendengar suara Abdullah ibnu Qais (nama asli Abu Musa) meminta izin untuk masuk?" Maka Umar berkata, "Berilah izin dia untuk masuk." Mereka mencarinya, tetapi dia telah pergi. Sesudah itu Abu Musa kembali dan Umar berkata, "Mengapa kamu tadi pulang?" Abu Musa menjawab, "Saya telah meminta izin masuk untuk menemuimu sebanyak tiga kali, tetapi masih belum juga diizinkan bagiku. Dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

"إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا، فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَلْيَنْصَرِفْ"

Apabila seseorang di antara kalian meminta izin sebanyak tiga kali, lalu masih juga belum diizinkan baginya, maka hendaklah ia kembali'."

Maka Umar berkata, "Sungguh kamu harus mendatangkan saksi yang membenarkan hadis ini ke hadapanku. Jika tidak, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan." Maka Abu Musa pergi menemui segolongan orang-orang Ansar, lalu menceritakan kepada mereka apa yang telah dikatakan oleh Khalifah Umar. Mereka menjawab, "Tiada yang dapat menjadi saksimu kecuali hanya orang yang kecil di antara kami." Maka pergilah Abu Musa dengan ditemani oleh Abu Sa'id Al-Khudri (ke tempat Umar), lalu ia menceritakan hal tersebut kepada Umar. Maka Umar berkata, "Hadis itu terlupakan olehku karena kesibukanku dengan transaksi dagang di pasar-pasar."

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Umar, dari Sabit, dari Anas atau lainnya, bahwa Nabi Saw. meminta izin untuk menemui Sa'd ibnu Ubadah. Maka Nabi Saw. mengucapkan, "Assalamu 'alaika warahmatullah, " Sa'd menjawab, "Wa'alaikas salam warahmatullah, " tetapi jawabannya itu tidak terdengar oleh Nabi Saw. sehingga Nabi Saw. mengucapkan salamnya sebanyak tiga kali; dan Sa'd membalasnya pula sebanyak tiga kali, tetapi tidak sampai terdengar oleh Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw. kembali. Sa'd mengejarnya lalu berkata, "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, tidak sekali-kali engkau mengucapkan salam melainkan terdengar oleh kedua telingaku ini; dan sungguh aku telah menjawab setiap salammu, tetapi sengaja aku tidak memperdengar­kannya kepadamu karena aku menginginkan agar mendapat banyak salam dan berkah darimu." Kemudian Nabi Saw. dipersilakan masuk ke dalam rumah, dan Sa'd menyuguhkan makanan buah anggur yang telah disale kepada Nabi Saw. lalu beliau menyantap hidangan tersebut. Setelah selesai makan, Rasulullah Saw. bersabda:

"أَكَلَ طَعَامَكُمُ الْأَبْرَارُ، وصَلَّت عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ"

Orang-orang yang baik telah makan makanan kalian, dan para malaikat mendoakan kalian, serta orang-orang yang puasa telah berbuka di rumah kalian.

Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkan melalui hadis Abu Amr Al-Auza'i. Ia pernah mendengar Yahya ibnu Abu Kasir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sa'd ibnu Zurarah, dari Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. berkunjung ke rumah mereka. Beliau Saw. mengucapkan "Assalamu 'alaikum warahmatullah.” Maka Sa'd membalasnya dengan suara yang pelan. Qais bertanya, "Mengapa tidak engkau izinkan Rasulullah Saw. masuk?" Sa'd menjawab, "Sengaja saya biarkan beliau agar banyak mengucapkan salam kepada kita." Rasulullah Saw. kembali mengucapkan salamnya, "Assalamu 'alaikum warahmatullah.” Sa'd menjawab dengan suara yang lirih (pelan). Kemudian Rasulullah Saw. mengulangi lagi salamnya, "Assalamu 'alaikum warahmatullah.” Setelah itu Rasulullah Saw. kembali, dan Sa'd mengejarnya, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar salammu dan menjawab setiap salammu dengan suara pelan, agar engkau banyak mendoakan keselamatan bagi kami." Maka Rasulullah Saw. kembali bersama Sa'd, dan Sa'd memerintah­kan agar disediakan air untuk mandi, lalu Sa'd menyediakan baju Khamisah yang dicelup dengan minyak Za'faran atau minyak al-waras, kemudian baju itu dipakai oleh Rasulullah Saw. Sesudah itu Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa:

"اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ".

Ya Allah limpahkanlah ampunan dan rahmat-Mu kepada keluarga Sa 'd ibnu Ubadah.

Kemudian Rasulullah Saw. menyantap sebagian dari makanan yang dihidangkan. Ketika beliau hendak pulang, Sa'd menyiapkan seekor keledai Untuk kendaraan Nabi Saw. yang telah diberi pelana dengan kain qatifah. Maka Rasulullah Saw. mengendarainya, Lalu Sa'd berkata, "Hai Qais, temanilah Rasulullah Saw.". Qais menceritakan, "Kemudian Rasulullah Saw. bersabda (kepadaku), 'Naiklah,' tetapi aku menolak. Maka Rasulullah Saw. bersabda, 'Jika kamu tidak mau naik bersamaku, maka pergilah kamu (yakni jangan kawal aku seperti raja),' Qais berkata, "Lalu aku pergi." Hadis yang semisal telah diriwayatkan melalui berbagai jalur. Dengan demikian, berarti hadis mvjayid lagi kuat.

Kemudian perlu diketahui bahwa orang yang meminta izin untuk masuk ke dalam rumah seseorang dianjurkan agar jangan berdiri persis di tengah-tengah pintu sehingga berhadap-hadapan dengan pintu. Akan tetapi, hendaklah ia berdiri agak menyamping baik ke arah kanan pintu atau ke sebelah kirinya.

Demikian itu berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'ammal ibnul Fadl Al-Harrani, lalu disebutkan perawi-perawi lainnya. Mereka mengatakan, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Abdullah ibnu Bisyr yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. apabila mendatangi pintu rumah suatu kaum, beliau tidak pernah menghadapkan dirinya ke arah pintu, tetapi dari sebelah kanan atau sebelah kirinya, lalu mengucapkan, "Assalamu 'alaikum.” Demikian itu karena di masa itu pintu-pintu rumah tidak memakai kain penutup (gordin). Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara tunggal.

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir.

Dalam waktu yang sama Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Hafs, dari Al-A'masy, dari Talhah, dari Hazil yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang; Usman mengatakan bahwa dia adalah Sa'd. lalu Sa'd berdiri di depan pintu rumah Nabi Saw. seraya meminta izin untuk masuk. Usman (perawi) mengatakan bahwa Sa'd berdiri menghadap ke arah pintu, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya seraya berisyarat, "Beginilah caranya, minggirlah dari pintu, sesungguhnya meminta izin itu tiada lain untuk diperbolehkan melihat."

Abu Daud At-Tayalisi meriwayatkannya melalui Sufyan As-Sauri, dari Al-A'masy, dari Talhah ibnu Masraf, dari seorang lelaki, dari Nabi Saw. Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis dia.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَوْ أَنَّ امْرَأً اطَّلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذَنٍ فَخَذَفته بِحَصَاةٍ، فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ، مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"

Seandainya ada seseorang mengintipmu tanpa seizinmu, lalu kamu lempar dengan batu kerikil hingga membutakan matanya, maka tiada dosa bagimu.

Jama'ah mengetengahkannya melalui hadis Syu'bah, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir yang mengatakan bahwa ia datang kepada Nabi Saw. untuk membayar utang ayahnya, lalu ia mengetuk pintu. Maka Nabi Saw. bertanya. ”Siapakah kamu?" Aku (Jabir) berkata, "Saya." Nabi Saw. bersabda, "Saya, saya," seakan-akan beliau tidak suka dengan jawaban tersebut.

Sesungguhnya Nabi Saw. tidak suka dengan jawaban tersebut karena jawaban itu masih belum memperkenalkan pelakunya sebelum menyebutkan namanya atau julukannya yang menjadi nama panggi lannya. Jika tidak demikian, maka setiap orang bisa saja menyebutkan dirinya dengan kata 'saya'. Hal ini tidak dapat memenuhi maksud yang dituju dari memperkenalkan diri agar diberi izin untuk masuk, seperti yang dianjurkan oleh ayat ini.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa isti-nas artinya meminta izin. Hal yang sama dikatakan oleh selain Ibnu Abbas.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam. (An-Nur: 27) Ibnu Abbas mengatakan, sesungguhnya telah terjadi kekeliruan yang dilakukan oleh para penyalin, sebenarnya hatta tasta-zinu watusallimu.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hasyim, dari Abu Bisyr (yaitu Ja'far ibnu Iyas), dari Sa'id, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal. Ditambahkan pula di dalam riwayat ini bahwa Ibnu Abbas membacanya dengan bacaan tasta-zinu. Dia membacanya berdasarkan qiraat Ubay ibnu Ka'b r.a. Akan tetapi, riwayat ini berpredikat garib sekali bila bersumber dari Ibnu Abbas.

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa di dalam mushaf Ibnu Mas'ud disebutkan hatta tusallimu 'ala ahliha watasta-zinii (hingga kalian mengucapkan salam kepada penghuninya dan meminta izin kepada mereka). Hal seperti inipun disebutkan di dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Sufyan; Amr ibnu Abu Safwan pernah menceritakan kepadanya bahwa Kaidah ibnul Hambal pernah menceritakan kepadanya, "Safwan ibnu Umayyah menyuruhku pergi ke Laba', Jidayah, dan Dagabis di masa penaklukan kota Mekah, sedangkan Nabi Saw. berada di puncak lembah. Lalu aku masuk untuk menemui Nabi Saw. tanpa bersalam dan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Maka Nabi Saw. bersabda:

"ارْجِعْ فَقُلِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ، أَأَدْخُلُ؟ "

Kembalilah kamu dan ucapkanlah: Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'

Demikian itu terjadi setelah Safwan ibnu Umayyah masuk Islam."

Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Juraij dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya kecuali hanya melalui jalur Ibnu Juraij.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Mansur, dari Rib'i yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Bani' Amir meminta izin untuk menemui Rasulullah Saw. yang ada di dalam rumahnya, lalu lelaki itu berkata, "Bolehkah saya masuk?" Maka Nabi Saw. bersabda kepada pelayannya, "Keluarlah, dan temui orang itu, ajarilah dia cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar terlebih dahulu mengucapkan, 'Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'." Perkataan Nabi Saw. rupanya terdengar oleh lelaki itu, maka ia mengucapkan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?" Kemudian Nabi Saw. mengizinkannya untuk masuk.

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur dari Ibnu Sirin, dan telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Ubaid, dari Amr ibnu Sa'id As-Saqafi, bahwa seorang lelaki meminta izin untuk bertemu dengan Nabi Saw. Untuk itu ia mengatakan, "Bolehkah saya masuk?" Atau, "Bolehkah kami masuk?" Maka Nabi Saw. bersabda kepada budak perempuannya yang dikenal dengan nama Raudah, "Pergilah kamu dan temuilah orang itu. Ajarilah dia cara meminta izin, dia masih, belum mengerti cara meminta izin. Katakanlah kepadanya agar mengucapkan, 'Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?'." Ternyata lelaki itu mendengar ucapan Nabi Saw. Maka ia berkata, "Assala mu'alaikum, bolehkah saya masuk?" Lalu Nabi Saw. bersabda, "Masuklah."

قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الصَّبَاحِ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ زَكَرِيَّا، عَنْ عَنْبَسَة بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَاذَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ المنْكَدِر، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "السَّلَامُ قَبْلَ الْكَلَامِ"

Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Zakaria, dari Anbasah ibnu Abdur Rahman, dari Muhammad ibnu Zazan, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salam itu sebelum bicara.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis Anbasah lemah lagi tak terpakai, dan Muhammad ibnu Zazan di dalam sanadnya terdapat nakarah dan kelemahan.

Hasyim mengatakan, Mugirah pernah mengatakan bahwa Mujahid pernah menceritakan bahwa Ibnu Umar datang dari suatu keperluan dalam keadaan lusuh karena panasnya matahari padang pasir yang menyengat. Lalu ia mendatangi kemah seorang wanita Quraisy. Ibnu Umar mengucapkan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah saya masuk?" Wanita itu menjawab, "Masuklah dengan selamat." Ibnu Umar mengulangi lagi salamnya, dan wanita itu menjawabnya seperti jawaban semula, sedangkan Ibnu Umar masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, lalu ia berkata (kepada wanita itu), "Jawablah, 'Masuklah!'." Lalu wanita itu menuruti apa yang diajarkannya dan mengucapkan, "Masuklah." Setelah itu barulah Ibnu Umar masuk.

Ibnu Abu Hatim menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Ahwal, telah menceritakan kepadaku Khalid ibnu Iyas, telah menceritakan kepadaku nenekku Ummu Iyas yang mengatakan bahwa ia bersama tiga orang wanita lainnya yang jumlah seluruhnya empat orang meminta izin untuk menemui Siti Aisyah. Maka mereka mengucapkan, "Bolehkah kami masuk?" Siti Aisyah menjawab, "Jangan, ajarkanlah kepada teman kalian cara meminta izin!" Maka nenekku mengatakan, "Assalamu 'alaikum, bolehkah kami masuk?" Siti Aisyah menjawab, "Masuklah kalian." Kemudian Siti Aisyah membaca firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27)

Hasyim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asy'a.s ibnu Siwar, dari Kardus, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Kalian harus meminta izin pula kepada ibu dan saudara perempuan kalian."

Asy'as mengatakah dari Addi ibnu Sabit, bahwa seorang wanita Ansar berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku di dalam rumahku dalam keadaan penampilan yang tidak aku sukai bila ada seseorang melihatku dalam keadaan demikian, baik dia orang tuaku ataupun anakku. Dan sesungguhnya sampai sekarang masih saja ada laki-laki dari kalangan keluargaku yang memasuki rumahku dalam keadaan aku seperti itu." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu turunlah firman Allah Swt. yang mengatakan: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah (An-Nur: 27), hingga akhir ayat.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa aku mendengar Ata ibnu Abu Rabah meriwayatkan asar berikut dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa ada tiga ayat yang berbeda dengan apa yang berlaku di kalangan manusia. Allah telah berfirman:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (Al-Hujurat: 13)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa manusia mengatakan, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah ialah orang yang paling besar rumahnya."

Ibnu Abbas mengatakan bahwa etika seluruhnya tidak disukai oleh manusia. Lalu Ata bertanya, "Apakah saya harus meminta izin masuk pula kepada saudara-saudara perempuanku, mereka adalah anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaanku, hidup bersamaku dalam satu rumah?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya." Maka aku mengulangi lagi pertanyaanku dengan maksud agar diberi dispensasi buatku dalam masalah ini, tetapi Ibnu Abbas tetap menolak dan balik bertanya, "Apakah kamu ingin melihatnya dalam keadaan telanjang?" Aku menjawab, "Tidak." Ibnu Abbas berkata, "Kalau demikian, minta izinlah sebelum kamu masuk menemuinya."

Ata kembali bertanya mengenai masalah itu, maka Ibnu Abbas balik bertanya, "Sukakah kamu berbuat ketaatan kepada Allah?" Aku menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Kalau demikian, minta izinlah."

Ibnu Juraij mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnu Tawus dari ayahnya yang telah mengatakan: "Tiada seorang wanita pun yang lebih aku benci dari seorang wanita muhrim yang aku lihat auratnya," yakni memperlihatkan auratnya, dan adalah beliau orang yang sangat keras dalam masalah ini. Ata mengatakan bahwa Ibnu Abbas sangat memperketat masalah ini.

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa ia pernah mendengar Hazil ibnu Syurahbil Al-Audi yang tuna netra menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Ibnu Mas'ud saat mengatakan, "Kalian harus meminta izin pula kepada ibu-ibu kalian (jika kalian hendak masuk menemui mereka)."

Ibnu Juraij bertanya kepada Ata, "Apakah seorang lelaki diharuskan meminta izin kepada ibunya?" Ata menjawab, "Tidak." Fatwa dari Ata ini ditakwilkan mengandung hukum bahwa hal tersebut tidak wajib, melainkan hanya dianjurkan. Karena sesungguhnya hal yang paling utama ialah memberitahukan kepada si ibu bahwa si anak akan masuk menemuinya, dan jangan masuk begitu saja sehingga mengejutkan si ibu karena barangkali si ibu berada dalam keadaan yang tidak suka bila ada orang lain melihatnya dalam keadaan seperti itu.

Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hazim, dari Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Yahya Al-Jazzar, dari anak lelaki saudara lelaki Zainab, istri sahabat Abdullah ibnu Mas'ud, dari Zainab r.a. yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud apabila pulang dari suatu keperluannya, dan langkahnya sampai ke depan pintu, maka terlebih dahulu ia mendehem dan meludah, sebab ia tidak suka bila masuk ketika kami dalam keadaan yang tidak disukai olehnya. Sanad asar ini sahih.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Abdullah apabila masuk ke dalam rumahnya terlebih dahulu meminta izin dengan suara yang keras.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yaitu memberitahu dengan cara berdehem atau berdahak.

Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah mengatakan bahwa apabila seseorang memasuki rumahnya, ia suka bila orang tersebut mendehem terlebih dahulu atau menggerakkan kedua terompahnya. Karena itulah disebutkan di dalam kitab sahih bersumber dari Rasulullah Saw. bahwa beliau Saw. melarang seorang lelaki datang ke rumah istrinya di malam hari. Menurut riwayat lain, datang di malam hari mengejutkan mereka.

Di dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. tiba di Madinah pada siang hari, maka terlebih dahulu beliau memberhentikan kendaraannya untuk istirahat di tanah lapang Madinah, lalu beliau bersabda:

"انْتَظِرُوا حَتَّى تَدْخُلَ عَشَاءٌ -يَعْنِي: آخِرَ النَّهَارِ -حَتَّى تَمْتَشِطَ الشَّعثَة وَتَسْتَحِدَّ المُغَيبة"

Tunggulah sebelum kita masuk di petang hari, sehingga wanita yang tadinya kusut rambutnya bersisir dahulu dan wanita yang ditinggal suaminya berpergian berseka terlebih dahulu.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حدَّثنا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ وَاصِلِ بْنِ السَّائِبِ، حدَّثني أَبُو سَوْرة ابْنِ أَخِي أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا السَّلَامُ، فَمَا الِاسْتِئْنَاسُ؟ قَالَ: "يَتَكَلَّمُ الرَّجُلُ بِتَسْبِيحَةٍ وَتَكْبِيرَةٍ وَتَحْمِيدَةٍ، وَيَتَنَحْنَحُ فَيؤذنُ أَهْلَ الْبَيْتِ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Sulaiman, dari Wasil ibnus Sa-ib, telah menceritakan kepadaku Abu Saurah anak saudara Abu Ayyub, dari Abu Ayyub, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.”Wahai Rasulullah, mengenai salam saya sudah mengerti, tetapi apakah yang dimaksud dengan istinas? Rasulullah Saw. bersabda: Hendaknyalah seseorang mengucapkan tasbih, takbir, atau tahmid, dan mendehem, lalu meminta izin kepada penghuni rumah.

Hadis ini berpredikat garib.

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum meminta izin. (An-Nur: 27) Yang dimaksud ialah meminta izin sebanyak tiga kali; dan barang siapa yang tidak diberi izin masuk oleh penghuni rumah yang didatanginya, hendaknya ia kembali. Izin yang pertama sebagai pemberitahuan kedatangan, izin yang kedua agar mereka bersiap sedia, dan izin yang ketiga sebagai keputusan; diizinkan masuk atau tidak, terserah kepada penghuni rumah. Mereka boleh mengizinkan dan boleh menolak kedatangannya. Tetapi janganlah kamu berdiri di depan pintu suatu kaum yang menolak kedatanganmu, karena sesungguhnya manusia mempunyai banyak keperluan dan kesibukan, dan Allah lebih utama untuk diperhatikan.

Muqatil ibnu Hayyan telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27) Bahwa dahulu di masa Jahiliah seorang lelaki bila bersua dengan temannya tidak mengucapkan salam kepadanya, melainkan hanya mengatakan kepadanya, "Selamat pagi," atau, "Selamat sore." Dan itulah salam penghormatan yang berlaku di antara mereka. Apabila seseorang dari mereka pergi menemui temannya, maka ia tidak meminta izin lagi untuk masuk, melainkan langsung masuk ke dalam rumah seraya berkata, "Saya masuk," atau perkataan lainnya yang semakna, sehingga hal itu dirasakan tidak enak bagi yang didatangi karena barangkali ia sedang bersama istrinya. Setelah Islam datang, maka Allah Swt. mengubah secara total tradisi itu dengan etika yang sopan, bersih, dan suci dari perbuatan yang kotor dan tidak baik. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (An-Nur: 27), hingga akhir ayat.

Apa yang dikemukakan oleh Muqatil ini cukup baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:

ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ

Yang demikian itu lebih baik bagi kalian. (An-Nur: 27)

Maksudnya, meminta izin itu baik bagi kalian; yakni baik bagi kedua belah pihak yang bersangkutan, baik pihak tamu maupun pihak penghuni rumah.

لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Agar kalian (selalu) ingat. (An-Nur: 27)

*******************

Adapun firman Allah Swt.:

فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ

Jika kalian tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka jangan­lah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. (An-Nur: 28)

Karena sikap yang dilarang itu mengandung pengertian tindakan seenaknya terhadap hak milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Padahal si pemilik mempunyai kekuasaan penuh untuk memberi izin masuk atau menolak menurut apa yang disukainya.

وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ

Dan jika dikatakan kepada kalian, "Kembali (saja)lah?, " maka hen­daklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)

Yakni apabila penghuni rumah menolak kedatangan kalian sebelum kalian meminta izin atau sesudahnya.

فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ

maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. (An-Nur: 28)

Yaitu kembali kalian adalah lebih suci dan lebih bersih bagi nama kalian.

وَاللهُ بِمَا تَعْملُونَ عَلِيم

dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)

Qatadah mengatakan bahwa sebagian Muhajirin berkata bahwa sesungguhnya sepanjang usianya ia mencari makna ayat ini, tetapi ia tidak menjumpainya; karena bila ia meminta izin untuk menemui seseorang dari saudaranya, saudaranya itu berkata, "Kembalilah," hingga terpaksa ia kembali, sedangkan hatinya masih dipenuhi oleh rasa ingin tahu.

وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Dan jika dikatakan kepada kalian, "Kembali (saja)lah, " maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (An-Nur: 28)

Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa janganlah kalian berdiri di depan pintu rumah orang lain (bila meminta izin).

Firman Allah Swt.:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍَ

Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami. (An-Nur: 28), hingga akhir ayat.

Ayat yang mulia ini lebih khusus maknanya daripada ayat sebelumnya. Karena dalam ayat ini terkandung pengertian yang membolehkan masuk ke dalam rumah-rumah yang disediakan tidak untuk didiami, jika ia mempunyai keperluan di dalamnya, sekalipun tanpa izin. Misalnya seperti ruangan yang disediakan untuk tamu; bila seseorang telah mendapat izin sejak semulanya, maka itu sudah cukup baginya.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian. (An-Nur: 27) Kemudian ayat ini di-mansukh dan dikecualikan oleh firman Allah Swt. yang lainnya, yaitu: Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluan kalian. (An-Nur: 29)

Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri. Yang lainnya mengatakan bahwa rumah yang tidak disediakan untuk didiami ialah seperti kios-kios, ruang-ruang tunggu para penumpang, rumah-rumah Mekah, dan lain-lainnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan ia meriwayatkannya dari Jama'ah, tetapi pendapat yang pertama lebih kuat. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa rumah yang disediakan bukan untuk didiami adalah yang terbuat dari bulu, yakni kemah-kemah dan tenda-tenda.