2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

لَّا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَٰنِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌۭ 225

(225) Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

(225) 

Firman Allah Swt.:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ

Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225)

Yakni Allah tidak akan menghukum kalian dan tidak pula mewajibkan suatu sanksi pun atas diri kalian karena sumpah yang tidak dimaksud untuk bersumpah. Yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah kalimat yang biasa dikeluarkan oleh orang yang bersangkutan dengan nada yang tidak berat dan tidak pula dikukuhkan.

Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ: وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى، فَلْيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ"

Barang siapa yang bersumpah, lalu mengatakan dalam sumpah-nya, "Demi Lata dan Uzza," maka hendaklah ia mengucapkan pula, "Tidak ada Tuhan selain Allah."

Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. kepada orang-orang Jahiliah yang baru masuk Islam, sedangkan lisan mereka masih terikat dengan kebiasaannya di masa lalu, yaitu bersumpah menyebut nama Lata tanpa sengaja. Untuk itu mereka diperintahkan mengucapkan kalimah ikhlas, mengingat mereka mengucapkannya tanpa sengaja, dan kalimat terakhir (kalimat tauhid) berfungsi meralat kalimat yang pertama. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:

وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ

tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 225)

Di dalam ayat yang lain disebutkan:

بِما عَقَّدْتُمُ الْأَيْمانَ

disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 89)

Imam Abu Daud di dalam Bab "Sumpah yang Tidak Disengaja" mengatakan:

حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الشَّامِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ -يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ -حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ -يَعْنِي الصَّائِغَ -عَنْ عَطَاءٍ: فِي اللَّغْوِ فِي الْيَمِينِ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "هُوَ كَلَامُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ: كَلَّا وَاللَّهِ وَبَلَى وَاللَّهِ".

telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas'adah Asy-Syami, telah menceritakan kepada kami Hayyan (yakni Ibnu Ibrahim), telah menceritakan kepada kami Ibrahim (yakni As-Saig), dari Ata mengenai sumpah yang tidak disengaja; Siti Aisyah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Sumpah yang tidak disengaja ialah perkataan seorang lelaki di dalam rumahnya, "Tidak demikian, demi Allah; dan memang benar, demi Allah."

Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnul Furat, dari Ibrahim As-Saig, dari Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.

Az-Zuhri, Abdul Malik, dan Malik ibnu Magul meriwayatkannya pula, semuanya melalui jalur Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.

Menurut kami, memang demikian telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, Ibnu Abu Laila, dari Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hannad, dari Waki', Abdah dan Abu Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Yang dimaksud adalah seperti 'Tidak, demi Allah. Memarig benar, demi Allah'.

Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Humaid, dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah.

Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata, dari Siti Aisyah, dan perkataan Abdurrazzaq, yaitu Ma'mar telah menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara. Maka Abdurrazzaq mengatakan demikian, 'Tidak, demi Allah' dan 'Memang benar, demi Allah' dan 'Tidak demikian, demi Allah', mereka adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara, tidak ada kesengajaan dalam hati mereka.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun Ibnu Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah mengatakan, yang dimaksud adalah seperti perkataan seorang lelaki, Tidak, demi Allah', 'Memang benar demi Allah'.

Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan kepadaku ibnu Luhai'ah, dari Abul Aswad, dari Urwah yang menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya sumpah yang tidak disengaja itu hanya terjadi pada senda gurau dan berseloroh, yaitu seperti perkataan seorang lelaki, Tidak, demi Allah,', dan 'Ya, demi Allah.' Maka hal seperti itu tidak ada kifaratnya. Sesungguhnya yang ada kifaratnya ialah sumpah yang timbul dari niat hati orang yang bersangkutan untuk melakukannya atau tidak melakukannya."

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya, Asy-Sya'bi dan Ikrimah dalam salah satu pendapatnya, serta Urwah ibnuz Zubair, Abu Saleh, dan Ad-Dahhak dalam salah satu pendapatnya; juga Abu Qilabah dan Az-Zuhri.

Pendapat yang kedua menyebutkan, telah dibacakan kepada Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku orang yang siqah, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa ia mengemukakan takwilnya sehu-bungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Menurutnya makna yang dimaksud ialah jika seseorang di antara kalian mengemukakan sumpahnya atas sesuatu hal, sedangkan dia tidak bermaksud, melainkan hanya kebenaran belaka, tetapi kenyataannya berbeda dengan apa yang disumpahkannya.

Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya, Sulaiman ibnu Yasar, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid pada salah satu pendapatnya, Ibrahim An-Nakha'i dalam salah satu pendapatnya, Al-Hasan, Zararah ibnu Aufa, Abu Malik, Ata Al-Khurrasani, Bakr ibnu Abdullah, salah satu pendapat Ikrimah, Habib ibnu Abu Sabit, As-Saddi, Makhul, Muqatil, Tawus, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Yahya ibnu Sa'id, dan Rabi'ah.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْحَرَشِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَيْمُونٍ المرالي، حَدَّثَنَا عَوْفٌ الْأَعْرَابِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ، قَالَ: مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ يَنْتَضِلُونَ -يَعْنِي: يَرْمُونَ -وَمَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَرَمَى رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقَالَ: أَصَبْتُ وَاللَّهِ وَأَخْطَأْتُ وَاللَّهِ. فَقَالَ الَّذِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَنِثَ الرَّجُلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "كَلَّا أَيْمَانُ الرُّمَاةِ لَغْوٌ لَا كَفَّارَةَ فِيهَا وَلَا عُقُوبَةَ"

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musa Al-Jarasyi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Maimun Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Auf Al-A'rabi, dari Al-Hasan ibnu Abul Hasan yang menceritakan: Rasulullah Saw. bersua dengan suatu kaum yang sedang berlomba memanah, ketika itu Rasulullah Saw. ditemani oleh salah seorang sahabatnya. Maka berdirilah salah seorang lelaki dari kalangan kaum, lalu ia berkata, "Panahku mengenai sasaran, demi Allah; dan panah yang lainnya melenceng dari sasaran, demi Allah." Maka berkatalah orang yang menemani Nabi Saw. kepada Nabi Saw., "Wahai Rasulullah, lelaki itu telah melanggar sumpahnya." Rasulullah Saw. menjawab, "Tidaklah demikian, sumpah yang diucapkan oleh orang-orang yang memanah merupakan sumpah yang tidak disengaja, tidak ada kifarat padanya, tidak ada pula hukuman."

Hadis ini berpredikat mursal lagi hasan dari Al-Hasan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Siti Aisyah dua pendapat kesemuanya.

Telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Jabir, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah ucapan seseorang, "Tidak, demi Allah; dan memang benar, demi Allah," dia menduga bahwa apa yang dikatakannya itu benar, tetapi kenyataannya berbeda.

Pendapat-pendapat yang lain disebutkan oleh Abdur Razzaq, dari Hasyim, dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah seseorang bersumpah atas sesuatu, kemudian ia lupa kepada sumpahnya.

Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sumpah tersebut adalah seperti ucapan seorang lelaki, "Semoga Allah membutakan penglihatan-ku jika aku tidak melakukan anu dan anu," atau "Semoga Allah melenyapkan hartaku jika aku tidak datang kepadamu besok, yakni hartaku yang ini."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid, telah menceritakan kepada kami Ata, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak disengaja ialah sumpah yang kamu ucapkan, sedangkan kamu dalam keadaan emosi.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepadaku Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak disengaja ialah bila kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu, yang demikian itu tidak ada kifaratnya bagimu jika kamu melanggarnya. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.

Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab "Sumpah dalam Keadaan Emosi":

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمِنْهَالِ، أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا حَبِيبٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ: أَنَّ أَخَوَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ بَيْنَهُمَا مِيرَاثٌ، فَسَأَلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ الْقِسْمَةَ فَقَالَ: إِنْ عُدْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْقِسْمَةِ، فَكُلُّ مَالِي فِي رِتَاجِ الْكَعْبَةِ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: إِنَّ الْكَعْبَةَ غَنِيَّةٌ عَنْ مَالِكَ، كَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَكَلِّمْ أَخَاكَ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَمِينَ عَلَيْكَ، وَلَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ الرَّحِمِ، وَلَا فِيمَا لَا تَمْلِكُ".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Habib Al-Mu'allim, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa ada dua orang bersaudara dari kalangan Ansar, keduanya mempunyai bagian warisan. Lalu salah seorang meminta bagian dirinya kepada saudaranya, kemudian saudaranya berkata, "Jika kamu kembali meminta bagian kepadaku, maka semua hartaku disedekahkan untuk Ka'bah." Maka Khalifah Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya Ka'bah tidak memerlukan hartamu. Maka bayarlah kifarat sumpahmu itu dan berbicaralah dengan saudaramu. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Tiada sumpah atas dirimu dan tiada pula nazar dalam maksiat terhadap Allah Swt., tiada pula dalam memutuskan silaturahmi, serta tiada pula dalam apa yang tidak kamu miliki'."

**************

Adapun firman Allah Swt.:

وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ

tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 225)

Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah bila seseorang bersumpah atas sesuatu, sedangkan ia mengetahui bahwa dirinya berdusta dalam sumpahnya itu.

Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan firman-Nya:

وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ

tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat.

***********

Firman Allah Swt.:

وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 225)


لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍۢ ۖ فَإِن فَآءُو فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 226

(226) Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(226) 

Ila ialah sumpah seorang suami terhadap istrinya bahwa dia tidak akan menggaulinya selama suatu masa. Hal ini adakalanya berjangka waktu kurang dari empat bulan atau lebih. Jika jangka waktunya kurang dari empat bulan, maka pihak suami harus menunggu habisnya masa yang disumpahkannya, setelah itu baru boleh menyetubuhi kembali istrinya; dan pihak istri harus bersabar, pihaknya tidak boleh meminta dijimak dalam masa tersebut. Hal ini telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ آلَى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، فَنَزَلَ لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ، وَقَالَ: "الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ"

Bahwa Rasulullah Saw. pernah meng-ila istri-istrinya selama satu bulan. Maka beliau baru turun setelah dua puluh sembilan hari, lalu bersabda, "Bulan ini bilangannya dua puluh sembilan hari.”

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan pula hal yang semisal melalui Umar ibnul Khattab r.a.

Jika masa ila lebih dari empat bulan, maka pihak istri boleh meminta kepada pihak suami agar menggaulinya setelah habis masa empat bulan. Setelah habis masa empat bulan, pihak suami hanya ada salah satu pilihan: Adakalanya menyetubuhi istrinya dan adakalanya menceraikan istrinya, pihak hakim boleh menekan pihak suami untuk melakukan hal tersebut. Demikian itu agar pihak istri tidak mendapat mudarat karenanya. Oleh sebab itulah maka disebutkan oleh firman-Nya:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ

Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya. (Al-Baqarah: 226)

Yakni bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Di dalam ayat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa ila hanya kliusus bagi istri, tidak berlaku bagi budak perempuan. Seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama.

تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ

diberi tangguh empat bulan (lamanya). (Al-Baqarah: 226)

Pihak suami menunggu selama empat bulan sejak ia mengucapkan sumpahnya, kemudian dihentikan, lalu dituntut untuk menyetubuhi istrinya atau menceraikannya. Karena itulah pada firman selanjutnya disebutkan:

فَإِنْ فَاءُوا

Kemudian jika mereka kembali (kepada istri-istrinya). (Al-Baqarah: 226)

Yaitu hubungan mereka berdua kembali seperti semula sebagai suami istri secara utuh. Kalimat ini merupakan kata sindiran yang menunjukkan pengertian bersetubuh. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Masruq, Asy-Sya'bi, Sa'id ibnu Jubair, dan ulama lainnya yang bukan hanya seorang, di antaranya ialah Ibnu Jarir.

**********

Firman Allah Swt.:

فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 226)

Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang atas semua kelalaian yang dilakukan terhadap hak para istri disebabkan sumpah ila.

*************

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 226)

Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menjadi pegangan salah satu di antara dua pendapat yang ada di kalangan ulama, yaitu qaul qadim dari Imam Syafii.

Bahwa orang yang bersumpah ila apabila kembali kepada istrinya sesudah empat bulan, tidak ada kifarat atas dirinya. Hal ini diperkuat oleh hadis yang terdahulu mengenai ayat ini, diriwayatkan dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا"

Barang siapa yang bersumpah atas sesuatu, lalu ia melihat bahwa selainnya lebih baik daripadanya, maka kifaratnya ialah meninggalkan sumpahnya itu.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi.

Akan tetapi, pendapat jumhur ulama sama dengan qaul jadid Imam Syafii yang mengatakan bahwa si suami dikenakan kifarat, mengingat keutamaan makna wajib membayar kifarat bagi setiap orang yang bersumpah, lalu melanggar sumpahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis-hadis terdahulu yang semuanya sahih.

***********

Firman Allah Swt.:

وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ

Dan jika mereka bertetap hati untuk talak. (Al-Baqarah: 227)

Di dalam kalimat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa talak tidak jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama mutaakhkhirin. Sedangkan menurut pendapat ulama lainnya, talak satu jatuh setelah lewat masa empat bulan. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang sanad-sanadnya berpredikat sahih, dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Sirin, Masruq, Al-Qasim, Salim, Al-Hasan, Abu Sala-mah, Qatadah, Syauraih Al-Qadi, Qubaisah ibnu Zuaib, Ata, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Tarkhan At-Taimi, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.

Kemudian dikatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa ila empat bulan dengan status talak raj'i. Demikianlah menurut Sa'id ibnul Musayyab, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, Makhul, Rabi'ah, Az-Zuhri, dan Marwan ibnul Hakam.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, si istri tertalak bain. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Usman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit; serta dipegang oleh Ata, Jabir ibnu Zaid, Masruq, Ikrimah, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Hanafiyyah, Ibrahim, Qubaisah ibnu Zuaib, Abu Hanifah, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh.

Semua pendapat yang mengatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa empat bulan mewajibkan adanya idah atas pihak istri. Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya'sa yang mengatakan bahwa si istri telah mengalami haid tiga kali, maka tidak ada idah atas dirinya. Pendapat inilah yang dikemukakan oleh Imam Syafii.

Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mutaakhkhirin mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya, dan tiada suatu talak pun yang jatuh atas diri si istri hanya karena lewatnya masa empat bulan.

Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki meng-ila istrinya, maka talaknya tidak ada yang jatuh, sekalipun telah berlalu masa empat bulan; melainkan pihak suami dihentikan, lalu dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya." Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.

Imam Syafii rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar yang mengatakan, "Aku telah menjumpai belasan orang sahabat Nabi Saw., semua berpendapat bahwa lelaki yang bersumpah ila dihentikan." Pengertian belasan menurut Imam Syafii paling sedikit terdiri atas tiga belas orang.

Imam Syafii meriwayatkan sebuah asar melalui Ali r.a., bahwa ia menghentikan suami yang bersumpah ila. Kemudian mengatakan bahwa memang demikianlah menurut pendapat kami, pendapat ini sesuai dengan apa yang telah kami riwayatkan melalui Umar, Ibnu Umar, Siti Aisyah, Usman, Zaid ibnu Sabit dan belasan orang sahabat Nabi lainnya. Demikianlah pendapat Imam Syafii rahimahullah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayub, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada dua belas lelaki sahabat tentang masalah seorang lelaki yang mengucapkan sumpah ila terhadap istrinya. Mereka mengatakan bahwa si suami tidak dikenakan apa pun sebelum lewat masa empat bulan, setelah itu si suami dihentikan dan dipaksa memilih salah satu di antara dua alternatif: Adakalanya kembali kepada istrinya (menyetubuhinya) atau menceraikannya.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni melalui Suhail.

Menurut kami, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Aisyah Ummul Muminin, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Umar ibnu Abdul Aziz, Mujahid, Tawus, Muhammad ibnu Ka'b, dan Al-Qasim.

Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta murid-murid mereka semuanya, rahimahullah.

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir, juga yang dikatakan oleh Al-Lais, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Saur, dan Daud. Mereka semua berpendapat bahwa jika pihak suami tidak mau kembali kepada istrinya, maka pihak suami harus menalak istrinya. Jika pihak suami tidak mau menalak istrinya, maka pihak hakimlah yang menjatuhkan talaknya. Kemudian talak yang dijatuhkan ber-sifat raj’i, si suami boleh merujuknya selagi dalam masa idahnya.

Tetapi Imam Malik berpendapat menyendiri. Ia mengatakan, tidak boleh pihak suami merujuknya sebelum ia menyetubuhi istrinya dalam idahnya. Pendapat ini aneh sekali.

Para ahli fiqih dan lain-lainnya sehubungan dengan masalah menangguhkan seorang suami yang bersumpah ila selama empat bulan telah menyebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas di dalam kitab Muwatta-nya, dari Abdullah ibnu Dinar yang menceritakan bahwa di suatu malam Khalifah Umar ibnul Khattab keluar, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan syair berikut:

Malam ini terasa amat panjang dan lambungnya kelihatan sudah menghitam, sedangkan aku tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang biasa bermain denganku. Maka demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai perasaan bahwa Allah selalu mengawasiku, niscaya lambungnya akan bergerak dari tempat tidur ini.

Kemudian Umar bertanya kepada anak perempuannya (yaitu Siti Hafsah r.a.), "Berapa lamakah seorang wanita bertahan ditinggal suaminya?" Siti Hafsah menjawab, "Enam atau empat bulan." Maka Umar berkata, "Aku tidak akan menugaskan seorang pun dari pasukan kaum muslim lebih dari masa tersebut."

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari As-Saib ibnu Jubair maula ibnu Abbas yang telah menjumpai masa sahabat Nabi Saw. (yakni tabi'in) mengatakan bahwa ia masih tetap teringat kepada hadis Umar. Disebutkan bahwa di suatu malam Khalifah Umar mengelilingi kota Madinah, dia sering melakukan hal tersebut; tiba-tiba ia melewati rumah seorang wanita Arab, sedangkan pintu rumah wanita itu tertutup, lalu terdengar wanita itu mendendangkan syair berikut:

Malam ini terasa amat panjang dan lambung tempat tidurnya Sudah lapuk, sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang aku biasa bermain dengannya. Aku bermain dengannya tahap demi tahap, seakan-akan bulan menampakkan alisnya di malam yang pekat, Dia membuat senang orang yang bermain di dekatnya, dalam kelembutan perutnya yang agak besar itu aku mendekatinya. Demi Allah, seandainya tidak ada Allah dan memang kenyataannya tiada sesuatu pun selain Allah, niscaya lambungnya pasti direbahkannya di atas tempat tidur ini. Akan tetapi, aku takut kepada malaikat pengawas yang ditugaskan menjaga diri kami, sepanjang masa dia selalu mencatat semuanya karena taat kepada perintah Tuhanku, sedangkan rasa malu menghalang-halangi diriku dan demi menghormat suamiku agar diriku jangan tercemar.

Kemudian perawi melanjutkan asar ini seperti yang disebutkan di atas atau semisal dengannya. Asar ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dan merupakan salah satu as'ar yang terkenal.


وَإِنْ عَزَمُوا۟ ٱلطَّلَٰقَ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ 227

(227) Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

(227) 

Firman Allah Swt.:

وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ

Dan jika mereka bertetap hati untuk talak. (Al-Baqarah: 227)

Di dalam kalimat ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa talak tidak jatuh hanya dengan lewatnya masa empat bulan. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama mutaakhkhirin. Sedangkan menurut pendapat ulama lainnya, talak satu jatuh setelah lewat masa empat bulan. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang sanad-sanadnya berpredikat sahih, dari Umar, Usman, Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Sirin, Masruq, Al-Qasim, Salim, Al-Hasan, Abu Sala-mah, Qatadah, Syauraih Al-Qadi, Qubaisah ibnu Zuaib, Ata, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Sulaiman ibnu Tarkhan At-Taimi, Ibrahim An-Nakha'i, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi.

Kemudian dikatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa ila empat bulan dengan status talak raj'i. Demikianlah menurut Sa'id ibnul Musayyab, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, Makhul, Rabi'ah, Az-Zuhri, dan Marwan ibnul Hakam.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, si istri tertalak bain. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Usman, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Zaid ibnu Sabit; serta dipegang oleh Ata, Jabir ibnu Zaid, Masruq, Ikrimah, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Hanafiyyah, Ibrahim, Qubaisah ibnu Zuaib, Abu Hanifah, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh.

Semua pendapat yang mengatakan bahwa si istri tertalak dengan lewatnya masa empat bulan mewajibkan adanya idah atas pihak istri. Kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abusy Sya'sa yang mengatakan bahwa si istri telah mengalami haid tiga kali, maka tidak ada idah atas dirinya. Pendapat inilah yang dikemukakan oleh Imam Syafii.

Akan tetapi, pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mutaakhkhirin mengatakan bahwa pihak suami dihentikan, lalu ia dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya, dan tiada suatu talak pun yang jatuh atas diri si istri hanya karena lewatnya masa empat bulan.

Imam Malik meriwayatkan dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki meng-ila istrinya, maka talaknya tidak ada yang jatuh, sekalipun telah berlalu masa empat bulan; melainkan pihak suami dihentikan, lalu dituntut untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya." Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Bukhari.

Imam Syafii rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sulaiman ibnu Yasar yang mengatakan, "Aku telah menjumpai belasan orang sahabat Nabi Saw., semua berpendapat bahwa lelaki yang bersumpah ila dihentikan." Pengertian belasan menurut Imam Syafii paling sedikit terdiri atas tiga belas orang.

Imam Syafii meriwayatkan sebuah asar melalui Ali r.a., bahwa ia menghentikan suami yang bersumpah ila. Kemudian mengatakan bahwa memang demikianlah menurut pendapat kami, pendapat ini sesuai dengan apa yang telah kami riwayatkan melalui Umar, Ibnu Umar, Siti Aisyah, Usman, Zaid ibnu Sabit dan belasan orang sahabat Nabi lainnya. Demikianlah pendapat Imam Syafii rahimahullah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ayub, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Suhail ibnu Abu Saleh, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada dua belas lelaki sahabat tentang masalah seorang lelaki yang mengucapkan sumpah ila terhadap istrinya. Mereka mengatakan bahwa si suami tidak dikenakan apa pun sebelum lewat masa empat bulan, setelah itu si suami dihentikan dan dipaksa memilih salah satu di antara dua alternatif: Adakalanya kembali kepada istrinya (menyetubuhinya) atau menceraikannya.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Daruqutni melalui Suhail.

Menurut kami, pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Aisyah Ummul Muminin, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Umar ibnu Abdul Aziz, Mujahid, Tawus, Muhammad ibnu Ka'b, dan Al-Qasim.

Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta murid-murid mereka semuanya, rahimahullah.

Pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Jarir, juga yang dikatakan oleh Al-Lais, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Ubaid, Abu Saur, dan Daud. Mereka semua berpendapat bahwa jika pihak suami tidak mau kembali kepada istrinya, maka pihak suami harus menalak istrinya. Jika pihak suami tidak mau menalak istrinya, maka pihak hakimlah yang menjatuhkan talaknya. Kemudian talak yang dijatuhkan ber-sifat raj’i, si suami boleh merujuknya selagi dalam masa idahnya.

Tetapi Imam Malik berpendapat menyendiri. Ia mengatakan, tidak boleh pihak suami merujuknya sebelum ia menyetubuhi istrinya dalam idahnya. Pendapat ini aneh sekali.

Para ahli fiqih dan lain-lainnya sehubungan dengan masalah menangguhkan seorang suami yang bersumpah ila selama empat bulan telah menyebutkan sebuah asar yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas di dalam kitab Muwatta-nya, dari Abdullah ibnu Dinar yang menceritakan bahwa di suatu malam Khalifah Umar ibnul Khattab keluar, lalu ia mendengar seorang wanita mengucapkan syair berikut:

Malam ini terasa amat panjang dan lambungnya kelihatan sudah menghitam, sedangkan aku tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang biasa bermain denganku. Maka demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai perasaan bahwa Allah selalu mengawasiku, niscaya lambungnya akan bergerak dari tempat tidur ini.

Kemudian Umar bertanya kepada anak perempuannya (yaitu Siti Hafsah r.a.), "Berapa lamakah seorang wanita bertahan ditinggal suaminya?" Siti Hafsah menjawab, "Enam atau empat bulan." Maka Umar berkata, "Aku tidak akan menugaskan seorang pun dari pasukan kaum muslim lebih dari masa tersebut."

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari As-Saib ibnu Jubair maula ibnu Abbas yang telah menjumpai masa sahabat Nabi Saw. (yakni tabi'in) mengatakan bahwa ia masih tetap teringat kepada hadis Umar. Disebutkan bahwa di suatu malam Khalifah Umar mengelilingi kota Madinah, dia sering melakukan hal tersebut; tiba-tiba ia melewati rumah seorang wanita Arab, sedangkan pintu rumah wanita itu tertutup, lalu terdengar wanita itu mendendangkan syair berikut:

Malam ini terasa amat panjang dan lambung tempat tidurnya Sudah lapuk, sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur karena tiada kekasih yang aku biasa bermain dengannya. Aku bermain dengannya tahap demi tahap, seakan-akan bulan menampakkan alisnya di malam yang pekat, Dia membuat senang orang yang bermain di dekatnya, dalam kelembutan perutnya yang agak besar itu aku mendekatinya. Demi Allah, seandainya tidak ada Allah dan memang kenyataannya tiada sesuatu pun selain Allah, niscaya lambungnya pasti direbahkannya di atas tempat tidur ini. Akan tetapi, aku takut kepada malaikat pengawas yang ditugaskan menjaga diri kami, sepanjang masa dia selalu mencatat semuanya karena taat kepada perintah Tuhanku, sedangkan rasa malu menghalang-halangi diriku dan demi menghormat suamiku agar diriku jangan tercemar.

Kemudian perawi melanjutkan asar ini seperti yang disebutkan di atas atau semisal dengannya. Asar ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dan merupakan salah satu as'ar yang terkenal.


وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍۢ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىٓ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوٓا۟ إِصْلَٰحًۭا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۭ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ 228

(228) Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

(228) 

Allah memerintahkan kepada wanita-wanita yang diceraikan dan telah dicampuri, sedangkan mereka mempunyai masa quru', hendaklah mereka menunggu selama tiga kali quru'. Yakni salah seorang dari mereka yang dicerai oleh suaminya melakukan idahnya selama tiga kali quru', kemudian kawin jika menghendaki.

Para imam yang empat orang mengecualikan keumuman makna ayat ini, yaitu berkenaan dengan budak wanita apabila diceraikan. Maka sesungguhnya dia melakukan idahnya hanya selama dua kali quru', mengingat segala sesuatunya adalah separo dari wanita yang merdeka; sedangkan quru' tidak dapat dipecahkan, maka digenapkanlah baginya dua kali quru'. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muzahir ibnu Aslam Al-Makhzumi Al-Madani, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«طَلَاقُ الْأَمَةِ تَطْلِيقَتَانِ، وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ»

Bilangan talak budak perempuan adalah dua kali talak, dan idahnya adalah dua kali haid.

Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah, tetapi Muzahir ini berpredikat daif sama sekali. Al-Hafiz Ad-Daruqutni mengatakan, begitu pula yang lainnya, bahwa yang benar ialah hadis ini merupakan ucapan Al-Qasim ibnu Muhammad sendiri. Tetapi Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Atiyyah Al-Aufi, dari Ibnu Umar secara marfu. Imam Daruqutni mengatakan bahwa yang benar apa yang diriwayatkan oleh Salim dan Nafi', dari Ibnu Umar adalah perkataan Ibnu Umar sendiri (yakni mauquf, bukan marfu'). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Umar ibnul Khattab.

Para ulama mengatakan, belum pernah diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat mengenai masalah ini. Sebagian ulama Salaf mengatakan, bahkan idah budak perempuan itu sama dengan wanita merdeka, mengingat keumuman makna ayat di atas (Al-Baqarah: 228). Mengingat masalah ini merupakan hal yang bersifat pembawaan, maka tidak ada perbedaan antara wanita yang merdeka dan budak wanita. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr dari Muhammad ibnu Sirin dan sebagian penganut mazhab Zahiri, tetapi Abu Umar menilainya daif.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Ayyasy), dari Amr ibnu Muhajir, dari ayahnya, bahwa Asma (anak perempuan Yazid ibnus Sakan Al-Ansariyah) telah menceritakan hadis berikut: Ia pernah diceraikan di masa Rasulullah Saw., sedangkan saat itu masih belum ada idah bagi wanita yang diceraikan. Maka Allah menurunkan firman-Nya-ketika Asma ditalak, yakni firman yang menerangkan tentang idah wanita yang diceraikan. Dengan demikian, Asma merupakan wanita pertama yang diturunkan berkenaan dengannya masalah idah wanita yang diceraikan. Yang dimaksud adalah firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228)

Hadis ini garib bila ditinjau dari segi (jalur) ini.

Ulama Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat mengenainya, yaitu:

Pendapat pertama. Yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci.

Imam Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya). Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang membantah; mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Kitab-Nya: tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata, "Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan quru" Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci."

Imam Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru' adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan oleh Aisyah.

Imam Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan suaminya terlepas darinya." Selanjutnya Imam Malik mengatakan, "Memang demikianlah yang berlaku di kalangan kami."

Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim, Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Pendapat ini sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Mereka mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya:

فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)

Yakni di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami menjatuhkan talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci merupakan salah satu quru' yang tiga yang d-perintahkan bagi si istri untuk menjalaninya. Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam idahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa haidnya yang ketiga.

Batas minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa idahnya habis ialah tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan demikian dengan berpegang kepada perkataan seorang penyair, yaitu Al-A'sya:

فَفِي كُلِّ عَامٍ أَنْتَ جَاشِمُ غَزْوَةٍ ... تَشُدُّ لأقصاها عزيم عزائكا

مورثة مالا وفي الذكر رِفْعَةٌ ... لَمَّا ضَاعَ فِيهَا مِنْ قُرُوءِ نِسَائِكَا

Setiap tahun kamu selalu menggeluti perang, sekalipun jauh, tekad dan semangatmu tetap menyala, banyak harta benda (ganimah) yang kamu peroleh, dan kamu dari keturunan yang terhormat, sekalipun tersia-siakan di dalamnya masa suci istri-istrimu.

Penyair memuji seorang Amir Arab yang lebih senang memilih berperang daripada tinggal di rumah, hingga terlewatkanlah masa-masa suci istri-istrinya; ia tidak menyetubuhi mereka di masa-masa tersebut.

Pendapat kedua. Yang dimaksud dengan quru' ialah masa haid.

Karena itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa idahnya sebelum bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus mandi terlebih dahulu dari haidnya.

Batas minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis masa idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.

As-Sauri meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang menceritakan, "Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattab r.a. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku, sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka Umar berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah menjadi istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu Mas'ud berkata, 'Aku pun berpendapat demikian'."

Demikian pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu Darda, Ubadah ibnus Samit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b, Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim, Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Makhul, Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru' artinya haid.

Pendapat ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua riwayatnya. Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan, "Para pembesar sahabat Rasulullah Saw. mengatakan bahwa quru' artinya haid."

Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.

Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnul Mugirah, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda kepadanya:

«دَعِي الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ»

Tinggalkanlah salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).

Seandainya disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini lebih sahih, tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan orang-orang Arab menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi. Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci. Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.

Menurut Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang Arab menamakan haid dengan sebutan quru', begitu pula masa suci. Dengan kata lain, haid dan suci dinamakan quru'.

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru' ialah haid dan suci; dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.

**************

Firman Allah Swt.:

وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ

Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228)

Yakni kandungan atau masa haidnya. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hakam ibnu Uyaynah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ad-Dahhak serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Al-Baqarah: 228)

Ayat ini mengandung makna ancaman yang ditujukan kepada mereka jika mereka menentang perkara yang hak. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatunya dalam masalah ini dikembalikan kepada pihak wanita, karena hal ini tidak dapat diketahui kecuali dari pihak mereka sendiri; dan sulit untuk menegakkan bayyinah (bukti) pada kebanyakannya untuk membuktikan hal tersebut. Karena itu, segala sesuatu di-kembalikan kepada mereka. Lalu mereka diancam oleh ayat ini agar jangan sekali-kali mereka memberitahukan kecuali hanya kebenaran belaka, mengingat adakalanya pihak wanita mau mempercepat masa idahnya atau berkeinginan memperpanjang masa idahnya karena ada maksud-maksud tertentu. Karena itulah seorang istri diperintahkan agar menceritakan hal yang sebenarnya dalam hal ini tanpa menambah-nambahi atau mengurangi.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا

Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah.(Al-Baqarah: 228)

Maksudnya, suami yang menceraikannya lebih berhak untuk merujukinya selagi ia masih berada dalam idahnya, jika tujuan rujuk itu adalah untuk perdamaian dan kebaikan. Hal ini berlaku bagi wanita-wanita yang ditalak raj'i. Adapun bagi wanita-wanita yang diceraikan secara bain, maka di saat turunnya ayat ini belum ada yang namanya talak bain. Talak bain baru ada setelah dibatasi sampai tiga kali.

Adapun di saat ayat ini diturunkan, maka seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya sebanyak seratus kali. Ketika mereka dibatasi oleh ayat sesudahnya hanya tiga kali talak, maka baru muncul di kalangan orang-orang ada wanita yang ditalak bain dan yang bukan talak bain (talak raj'i).

Apabila Anda renungkan masalah ini, maka tampak jelas bagi Anda kelemahan metode yang ditempuh oleh sebagian ulama Usul, yaitu mereka yang menyimpulkan dalil dari ayat ini tentang masalah kembalinya damir yang ada padanya. Dengan kata lain, apakah damir tersebut men-takhsis pengertian lafaz umum yang sebelumnya ataukah tidak? Karena sesungguhnya tamsil yang ada pada ayat ini bersifat tidak mutlak seperti apa yang mereka sebutkan.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)

Yakni para wanita mempunyai hak atas suami mereka seimbang dengan hak yang ada pada para lelaki atas diri mereka. Karena itu, hendaklah masing-masing pihak dari keduanya menunaikan apa yang wajib ia tunaikan kepada pihak lain dengan cara yang makruf.

Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam haji wada'nya:

"فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أخذتموهُنّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ، وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسَوْتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ".

Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam masalah wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian halalkan farji mereka dengan kalimat Allah. Maka bagi kalian atas mereka hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang lelaki yang kalian benci menginjak permadani (rumah) kalian. Dan jika mereka mengizinkan hal tersebut, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan bagi mereka pangan dan sandangnya secara makruf.

Di dalam hadis Bahz ibnu Hakim, dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, dari ayahnya, dari kakeknya, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah hak istri seseorang di antara kami?" Rasulullah Saw. menjawab:

"أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طعمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبَ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُرَ إِلَّا فِي الْبَيْتِ"

Hendaknya kamu memberi makan dia jika kamu makan, memberi pakaian kepadanya jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah, jangan pula berkata-kata buruk serta jangan pula mengisolasinya kecuali di dalam lingkungan rumah.

Waki' meriwayatkan dari Basyir ibnu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar suka berhias diri untuk istri, sebagaimana si istri suka berhias untukku." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena Allah Swt. telah berfirman: Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (Al-Baqarah: 228)

Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228)

Yakni keutamaan dalam hal pembawaan, akhlak, kedudukan, taat pada perintah, berinfak, mengerjakan semua kepentingan, dan keutamaan di dunia serta akhirat. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ بِما فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلى بَعْضٍ وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)

*******************

Adapun firman Allah Swt.:

وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Baqarah: 228)

Yakni Mahaperkasa dalam pembalasan-Nya terhadap orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang perintah-Nya, lagi Mahabijaksana dalam perintah, syariat, dan takdir-Nya.


ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌۢ بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا۟ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْـًٔا إِلَّآ أَن يَخَافَآ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا ٱفْتَدَتْ بِهِۦ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ 229

(229) Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

(229) 

Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali talak, selagi si istri masih dalam masa idahnya.

Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang ketiga kalinya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)

Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnan-nya mengatakan, yaitu dalam Bab "Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali", telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat. Demikian itu bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah yang lebih berhak merujukinya, sekalipun dia telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman-Nya:Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Nasai, dari Zakaria ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafaz yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, "Aku tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya." Si istri bertanya, "Bagaimana caranya bisa demikian?" Lelaki (si suami) menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali." Lalu si istri datang kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan kepadanya hal tersebut. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229)

Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris.

Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari Ja'far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadis ini dari Hisyam, dari ayahnya yang menceritakan: Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang dikehendakinya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya. Dan ada seorang lelaki dari kalangan Ansar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan, "Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan tidak pula akan menceraikanmu." Si istri bertanya, "Bagaimana bisa demikian?" Si suami menjawab, "Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi; dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali." Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali" (Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang suka menjatuhkannya maupun yang belum pernah.

Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya'la ibnu Syabib maula Az-Zubair, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha-dis ini seperti yang disebutkan di atas, yakni semisal dengannya.

Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama.

Kemudian Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui Abu Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini paling sahih.

Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ya'qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya'la ibnu Syabib dengan lafaz yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.

Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat menceraikan istrinya, lalu merujukinya kembali selagi si istri belum habis masa idahnya. Dan tersebutlah terjadi antara seorang lelaki Ansar dengan istrinya suatu hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenaknya). Si lelaki berkata, "Demi Allah, aku benar-benar akan membuat dirimu bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita yang bersuami." Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah istrinya hampir habis, maka ia merujukinya kembali; dia melakukan hal tersebut berkali-kali. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya, "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sampai batas tiga kali, tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum si istri kawin dengan suami yang baru.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As-Saddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu Jarir memilih bahwa hadis ini merupakan tafsir dari ayat ini.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229)

Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu masih dalam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan ikatannya darimu dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu berbuat aniaya terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu membuat dia mudarat.

Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang makruf dan mempergaulinya dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya barang sedikit pun."

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قِرَاءَةً، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، حَدَّثَنِي إِسْمَاعِيلُ بْنُ سُمَيْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَزِين يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ أَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan As-Sauri, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Sami' yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman-Nya, 'Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik" (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya? Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik."

Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadis ini di dalam kitab tafsirnya yang lafaznya berbunyi seperti berikut:

أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ سَمِيعٍ، أَنَّ أَبَا رَزِينٍ الْأَسَدِيَّ يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ: " الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ "، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "التَّسْرِيحُ بِإِحْسَانٍ الثَّالِثَةُ".

Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sami', bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadis berikut: Seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu mengenai firman Allah Swt., 'Talak (yang boleh dirujuki) dua kali’ (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya?" Nabi Saw. menjawab, "Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.''''

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu'awiyah, dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui jalur Qais ibnur Rabi', dari Ismail ibnu Sami', dari Abu Razin dengan lafaz yang sama secara mursal.

Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari Ismail ibnu Sami', dari Anas ibnu Malik, dari Nabi Saw., lalu ia menceritakan hadis tersebut.

Kemudian Ibnu Murdawaih mengatakan;

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ جَرِيرِ بْنِ جَبَلَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَائِشَةَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَكَرَ اللَّهُ الطَّلَاقَ مَرَّتَيْنِ، فَأَيْنَ الثَّالِثَةُ؟ قَالَ: "إِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ".

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aisyah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang telah menceritakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali, maka manakah talak yang ketiganya?" Rasulullah Saw. menjawab, "Rujuk lagi dengan cara yang makruf atau melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.”

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229)

Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada kalian sebagai ganti maskawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:

وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)

Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka hati, maka diterangkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً

Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4)

Jika suami dan istri bertengkar karena pihak istri tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepadanya —begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya—, maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami dengan mengembalikan kepada pihak suami apa yang pernah ia terima darinya. Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena itulah Allah Swt. berfirman: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.

Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur), kemudian ia meminta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, menurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan:

حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ -وَحَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ -قَالَا جَمِيعًا: حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ أَبِي قِلابة، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ ثَوْبَانَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقَهَا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ".

telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya (Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah Saw., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya bau surga.

Demikian pula menurut riwayat Imam Turmuzi, dari Bandar, dari Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan. Imam Turmuzi mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban. Sebagian ahli hadis ada yang meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu'.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ -قَالَ: وَذَكَرَ أَبَا أَسْمَاءَ وَذَكَرَ ثَوْبَانَ -قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Wanita mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya bau surga.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, Imam Ibnu Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadis Hammad ibnu Zaid dengan lafaz yang sama.

Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ، عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ، حَرّم اللَّهُ عَلَيْهَا رَائِحَةَ الْجَنَّةِ".

telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari Lais ibnu Abu Idris, juga Sauban (pelayan Rasul Saw.), bahwa Nabi Saw. Pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah mengharamkan atasnya bau surga.

Nabi Saw. bersabda pula:

"الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".

Wanita-wanita yang meminta khulu' (diceraikan oleh suaminya) adalah wanita-wanita munafik.

Kemudian Ibnu Jarir dan Imam Turmuzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Lais (yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abul Khattab, dari Abu Zar'ah, dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

«الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ»

Wanita-wanita yang meminta khulu' adalah wanita-wanita munafik.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib bila ditinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat.

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ بِشْرٍ، حَدَّثَنَا قَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ سَوَّارٍ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ ثَابِتِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ الْمُخْتَلِعَاتِ الْمُنْتَزِعَاتِ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ"

telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi', dari Asy'as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.

Hadis ini berpredikat garib lagi daif bila ditinjau dari segi ini.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ".

telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ يَحْيَى بْنِ ثَوْبان، عَنْ عَمِّهِ عمارةَ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا تسألُ امْرَأَةٌ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ كُنْهِه فَتَجِدَ رِيحَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا لُيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا".

telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abu Asim, dari Ja'far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Imarah ibnu Sauban, dari Ata, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat dirasakan sejauh perjalanan empat puluh tahun.

Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan para Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu' kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada firman-Nya:

وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا [إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ]

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229)

Mereka mengatakan bahwa masalah khulu' hanya disyariatkan bila kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini. Karena itu, masalah khulu' tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Sedangkan pada asalnya selain kasus ini tidak ada.

Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam Malik dan Al-A'uzai mengatakan, "Seandainya seorang suami mengambil sesuatu dari istrinya, sedangkan hal itu memudaratkan pihak istri, maka penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj'i." Imam Malik mengatakan, "Demikianlah yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat demikian."

Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan melakukan khulu' dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi yang lebih utama. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua muridnya.

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Istizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bahwa khulu' itu di-mansukh oleh firman-Nya:

وَآتَيْتُمْ إِحْداهُنَّ قِنْطاراً فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئاً

sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun. (An-Nisa: 2)

Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai. Karena sesungguhnya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Habibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya.

قَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي مُوَطَّئِهِ: عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرة بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زَرَارَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الغَلَس، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ هَذِهِ؟ " قَالَتْ: أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ. فَقَالَ: "مَا شَأْنُكِ؟ " فَقَالَتْ: لَا أَنَا وَلَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ -لِزَوْجِهَا -فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هذه حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ". فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْ مِنْهَا". فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا.

Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya mengatakan dari Yahya ibnu Sa'id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa'id ibnu Zararah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti Sahl Al-Ansari, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas. Ketika Rasulullah Saw. keluar menunaikan salat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahl berada di depan pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap. Maka Rasulullah Saw. bertanya, "Siapakah wanita ini?" Ia menjawab, "Aku Habibah binti Sahl." Rasulullah Saw. bertanya, "Apakah keperluanmu?" Ia menjawab, "Aku tidak ada kaitan lagi dengan Sabit ibnu Qais," maksudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu Qais) datang, maka Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, "Perempuan ini adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh Allah mengenai dirinya." Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, semua apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku." Maka Rasulullah Saw. bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), "Ambillah kembali darinya." Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah, lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya.

Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Daud meriwayatkannya pula dari Al-Qa'nabi, dari Malik, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.

Hadis lain diriwayatkan dari Siti Aisyah.

Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو السَّدُوسِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -بْنِ أَبِي بَكْرٍ -عَنْ عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ نُغضها فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ، فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَابِتًا فَقَالَ: "خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا". قَالَ: وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ". قَالَ: فَإِنِّي أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ، فَهُمَا بِيَدِهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خُذْهُمَا وَفَارِقْهَا". فَفَعَلَ.

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah binti Sahl adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukulnya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah. Kemudian Habibah datang kepada Rasulullah Saw. sesudah salat Subuh, dan mengadu kepadanya. Maka Rasulullah Saw. memanggil Sabit dan bersabda, "Ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!" Sabit bertanya, "Apakah hal tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?" Rasulullah Saw. menjawab, "Ya." Sabit berkata, "Sesungguhnya aku menyedekahkan kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangannya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ambillah kedua kebun itu darinya, kemudian ceraikanlah dia." Lalu Sabit melakukan hal tersebut.

Demikianlah menurut lafaz Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi adalah Sa'id ibnu Salamah ibnu Abul Husam.

Hadis lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً".

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan hadis berikut: Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya dalam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melainkan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun (kurma)nya?" Ia menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bersabda, "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak."

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai dari Azar ibnu Jamil berikut sanadnya. Imam Bukhari meriwayatkannya pula dari Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal.

Demikian pula Imam Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada sebagiannya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan:

لَا أُطِيقُهُ

Aku tidak tahan dengannya - yakni benci.

Hadis ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Bukhari sendiri yang memilikinya.

Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah r.a. —demikianlah menurutnya—, tetapi yang masyhur nama pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya.

Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah mengatakan: telah menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya'qub ibnu Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Bagawi), telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepadaku Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadis berikut:

أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ، وَلَكِنَّنِي أَكْرَهُ الْكُفْرَ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، لَا أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلَا يَزْدَادَ.

Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi Saw., lalu berkata, "Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada kemunafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya karena benci." Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?" Jamilah menjawab, "Ya" Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais untuk mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih.

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Marwan, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la hal yang semisal. Demikian pula menurut riwayat Ibnu Majah, dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan lafaz yang sama, sanad hadis ini baik lagi benar.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ جَمِيلَةَ بِنْتِ أُبَيِّ ابْنِ سَلُولَ: أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَنَشَزَتْ عَلَيْهِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "يَا جَمِيلَةُ، مَا كَرِهْتِ مِنْ ثَابِتٍ؟ " قَالَتْ: وَاللَّهِ مَا كَرِهْتُ مِنْهُ دِينًا وَلَا خُلُقًا، إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ دَمَامَتَهُ! فَقَالَ لَهَا: "أَتَرُدِّينَ الْحَدِيقَةَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتِ الْحَدِيقَةَ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu Rabah, dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang kepada suaminya. Maka Nabi Saw. memanggilnya, kemudian bersabda kepadanya: "Hai Jamilah, mengapa engkau tidak suka kepada Sabit?'" Jamilah menjawab, "Demi Allah, bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah agama, tidak pula dalam masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang buruk." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun itu?" Jamilah menjawab, "Ya." Maka Jamilah mengembalikan kebun itu, dan Nabi Saw. menceraikan di antara keduanya.

Ibnu Jarir meriwayatkan pula:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي جَرِيرٍ أَنَّهُ سَأَلَ عِكْرِمَةَ: هَلْ كَانَ لِلْخُلْعِ أَصْلٌ؟ قَالَ: كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: إِنَّ أَوَّلَ خُلْعٍ كَانَ فِي الْإِسْلَامِ فِي أُخْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ، أَنَّهَا أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا يَجْمَعُ رَأْسِي وَرَأْسَهُ شَيْءٌ أَبَدًا، إِنِّي رفعتُ جَانِبَ الْخِبَاءِ، فَرَأَيْتُهُ أَقْبَلَ فِي عِدَّةٍ، فَإِذَا هُوَ أَشُدُّهُمْ سَوَادًا، وَأَقْصَرُهُمْ قَامَةً وَأَقْبَحُهُمْ وَجْهًا. قَالَ زَوْجُهَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي قَدْ أَعْطَيْتُهَا أَفْضَلَ مَالِي، حَدِيقَةً لِي، فَإِنْ رَدَّتْ عليَّ حَدِيقَتِي؟ قَالَ: "مَا تَقُولِينَ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، وَإِنْ شَاءَ زِدْتُهُ. قَالَ: فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا.

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Fudail yang menerima hadis berikut dari Abu Jarir, bahwa Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, "Apakah masalah khulu' mempunyai dalil asal?" Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu' dalam Islam terjadi pada saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay. Disebutkan bahwa pada mulanya saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah Saw., lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk selama-lamanya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam, tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek." Maka suaminya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta milikku yang paling berharga, yaitu kebunku. Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu kepadaku?" Rasulullah Saw. bertanya kepada istrinya, "Bagaimanakah pendapatmu?" Si istri menjawab, "Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri tambahannya." Maka Nabi Saw. memisahkan (menceraikan) keduanya.

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب، حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ، عَنْ حَجَّاجٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ: كَانَتْ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَكَانَ رَجُلًا دَمِيمًا، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ لَوْلَا مَخَافَةُ اللَّهِ إِذَا دَخَلَ عليَّ بَصَقْتُ فِي وَجْهِهِ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ. قَالَ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupanya. Lalu Habibah berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, sekiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku ludahi wajahnya." Rasulullah Saw. bersabda, "Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?" Habibah menjawab, "Ya." Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia berikan kepada)nya. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan keduanya.

Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki meminta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada pihak si istri.

Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena mengingat keumuman makna firman-Nya: maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Khalifah Umar seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya. Maka Khalifah Umar memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya, "Bagairnanakah perasaanmu?" Si wanita menjawab, "Aku belum pernah merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu engkau menyekapku." Maka Khalifah Umar berkata kepada suaminya, "Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan anting-anting-nya."

Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafaz yang semisal. Tetapi di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wanita itu di dalam rumah tersebut selama tiga hari.

Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu wanita itu mengadu perihal dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam rumah yang penuh dengan sampah. Pada keesokan harinya Khalifah Umar berkata kepadanya, "Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?" Wanita itu menjawab, "Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini." Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), "Ambillah, sekalipun kondenya (lalu ceraikanlah dia)."

Imam Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan khulu' dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra pernah menceritakan asar berikut. Ia pernah mempunyai seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di rumah; dan apabila bepergian, maka si suami menelantarkannya.

Ar-Rabi' binti Mu'awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, "Aku meminta khulu' kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki." Si suami menjawab, "Ya." Maka Ar-Rabi' melakukan hal itu.

Ar-Rabi' melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu'az ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan. Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu' itu dan memerintahkan kepada suaminya untuk mengambil konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu yang nilainya lebih kecil daripada konde.

Makna yang dimaksud dari asar ini ialah bahwa pihak suami diperbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu' seperti itu segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar ataupun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde kepalanya.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu Saleh, dan Usman Al-Batti.

Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Lais, Imam Syafii, dan Abu Saur serta dipilih oleh Ibnu Jarir.

Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan tidak boleh lebih dari itu. Jika pihak suami menuntut tambahannya, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.

Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, maka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istrinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan.

Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu'. Hal ini dikatakan oleh Sa'id ibnu Musayyab, Ata, Amr ibnu Syu'aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.

Ma'mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, "Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang meminta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan ke-padanya."

Al-Auza'i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.

Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadis yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah Saw. memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu.

Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari Ata, bahwa Nabi Saw. tidak suka bila seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu' hal yang lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.

Mereka menakwilkan makna ayat berikut: Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yakni berupa apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya, mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut.

Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi' ibnu Anas melalui qiraahnya yang mengatakan, "Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian tersebut." Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir. Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah: 229)

Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam masalah khulu'. Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak istri meminta khulu' darinya. Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka, mengingat Allah Swt. telah berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) sampai dengan firman-Nya: bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin kembali. (Al-Baqarah: 23)

Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya.

Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa'd ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu' darinya. Pertanyaannya, "Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?" Ibnu Abbas menjawab, "Ya, boleh. Khulu' bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu' disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu' bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak)." Kemudian Ibnu Abbas r.a. membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 23)

Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas r.a. yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu' bukanlah talak, melainkan fasakh nikah.

Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan r.a. dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Saur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan.

Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu' mengatakan bahwa khulu' adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.

Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu' dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, "Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan."

Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa asar ini daif.

Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Ata, Syuraih, Asy-Sya'bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta As-Sauri, Al-Auza'i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.

Hanya mazhab Hanafi mengatakan, "Manakala Mukhali' berniat dengan khulu'-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak."

Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu', yaitu manakala khulu' terjadi bukan dengan lafaz talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama sekali.

Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu' mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru' jika ia termasuk wanita yang berhaid.

Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, As-Sauri, Al-Auza'i, Al-Lais ibnu Sa'd, dan Abul Ubaid.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu' adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu' dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu' dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.

Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi' meminta khulu' kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi' datang kepada Khalifah Usman r.a. (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman r.a. berkata, "Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid."

Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, "Hendaklah wanita yang khulu' melakukan idahnya selama tiga kali haid." Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, "Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami."

Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu' kepada suaminya adalah sekali haid.

Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Lais, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali'ah (wanita yang meminta khulu') idahnya adalah sekali haid.

Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu' adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi; masing-masing dari keduanya mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ الْبَغْدَادِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu' dari suaminya di masa Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi garib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Turmuzi:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى، عَنْ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ مَوْلَى آلِ طَلْحَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ - أَوْ أُمِرَتْ -أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ.

telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu' di masa Rasulullah Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya —atau dia diperintahkan— untuk melakukan idah sekali haid.

Imam Turmuzi mengatakan, yang sahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.

Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَلَمَةَ النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ، حَدَّثَنَا أَبِي عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنِي عبادة بن الوليد بن عبادة بن الصامت، عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَ: قُلْتُ لَهَا: حَدِّثِينِي حَدِيثَكِ. قَالَتِ: اخْتَلَعْتُ مِنْ زَوْجِي، ثُمَّ جِئْتُ عُثْمَانَ، فَسَأَلْتُ: مَاذَا عَلَيَّ مِنَ الْعِدَّةِ؟ قَالَ: لَا عِدَّةَ عَلَيْكِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَدِيثَ عَهْدٍ بِكِ فَتَمْكُثِينَ عِنْدَهُ حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً. قَالَتْ: وَإِنَّمَا تَبِعَ فِي ذَلِكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَةِ، وَكَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ، فَاخْتَلَعَتْ مِنْهُ.

telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi', "Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu." Ar-Rabi' menjawab, "Aku pernah meminta khulu' dari suamiku. Kemudian aku datang kepada Khalifah Us'man dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, 'Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid'." selanjutnya Ar-Rabi' mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh Rasulullah Saw. terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu' darinya.

Ibnu Luhai'ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi' binti Mu'awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu' dari suaminya agar melakukan idah sekali haid.

Lelaki yang meng-khulu' istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta khulu' dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.

Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa'id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, "Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri." Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Saur rahimahullah.

Sufyan As-Sauri mengatakan, "Jika khulu' terjadi bukan dengan memakai lafaz talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya. Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya." Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri.

Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu' istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah.

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu', sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya. Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat diterima.

Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali'ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan ulama.

Pendapat pertama: mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Saur.

Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, "Jika talak diikutkan dengan khulu' tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafaz khulu' dan lafaz talak), maka talaknya tidak jatuh." Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman r.a.

Pendapat ke


فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۥ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍۢ يَعْلَمُونَ 230

(230) Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

(230) 

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 23)

Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar. Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama.

Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah mengatakan, "Maksud yang dituju telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang lain." Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.

Dikatakan demikian karena Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkan:

حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ مَرْثَدٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا الْبَتَّةَ، فَيَتَزَوَّجُهَا زَوْجٌ آخَرُ فَيُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَرْجِعُ إِلَى الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا".

telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, dari Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya. Hal ini ditanyakan kepada Nabi Saw., "Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?" Nabi Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya.

Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ رَزِينٍ يُحَدِّثُ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، يَعْنِي: ابْنَ عُمَرَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي الرَّجُلِ تَكُونُ لَهُ الْمَرْأَةُ فَيُطَلِّقُهَا، ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَتَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "حتى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ".

telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadis berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa'ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya. Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi Saw. bersabda: (Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya.

Demikian pula menurut riwayat Imam Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadis ini dari Muhammad Ibnu Ja'far Gundar, dari Syu'bah dengan lafaz yang sama.

Apa yang diriwayatkan oleh Sa'id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu' bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi. Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya.

Imam Ahmad meriwayatkan pula —begitu pula Imam Nasai dan Imam Ibnu Jarir— hadis ini melalui jalur Sufyan As-Sauri:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ، عَنْ رَزِينِ بْنِ سُلَيْمَانَ الْأَحْمَرِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَيَتَزَوَّجُهَا آخَرُ، فَيُغْلِقُ الْبَابَ وَيُرْخِي السِّتْرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا، قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: هَلْ تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ".

dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi Saw. pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan kain kelambunya. Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab, "Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya."

Demikianlah menurut lafaz Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دِينَارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَزِيدَ الْهَنَائِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ رَجُلًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا حَتَّى يَكُونَ الْآخَرُ قَدْ ذَاقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا وَذَاقَتْ مِنْ عُسَيْلَتِهِ".

telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana'i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak. Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadis ini.

Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadis berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Daud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ آدَمَ بْنِ أَبِي إِيَاسٍ الْعَسْقَلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شَيْبَانُ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ أَبِي الْحَارِثِ الْغِفَارِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا فَتَتَزَوَّجُ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَيُرِيدُ الْأَوَّلُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا".

telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafaz yang sama. Abu Haris orangnya tidak terkenal.

Hadis lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا ابْنُ مُثَنَّى، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا، فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَحِلُّ لِلْأَوَّلِ؟ فَقَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ مِنْ عُسَيْلَتِهَا كَمَا ذَاقَ الْأَوَّلُ".

telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Lalu Rasulullah Saw. ditanya, "Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?" Maka Rasulullah Saw. bersabda: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya.

Hadis ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta Imam Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.

Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir:

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَبَّارِيُّ، وَسُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ، وَأَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَتْ رَجُلًا غَيْرَهُ، فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ حَتَّى يَذُوقَ الْآخَرُ عُسَيْلَتَهَا وَتَذُوقَ عُسَيْلَتَهُ".

telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki' serta Abu Hisyam Ar-Rifa'i. Semuanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah Saw. bersabda: Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dari Musaddad dan Imam Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafaz yang sama.

Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ فَيُطَلِّقُهَا، فَتَتَزَوَّجُ رَجُلًا فَيُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا: أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ؟ قَالَ: "لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا".

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya. Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi Saw. menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya.

Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.

Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu'awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafaz yang sama. Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah secara marfu' dengan lafaz yang sama atau yang semisal dengannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik).

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.

Konteks hadis di atas merupakan kependekan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu:

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيَّ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَتْ آخَرَ فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّهُ لَا يَأْتِيهَا، وَأَنَّهُ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ: "لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ ".

Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti Aisyah secara marfu', dari Nabi Saw. Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rifa'ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya. Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi Saw. dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi Saw. bersabda: Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.

Imam Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya.

Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتِ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ -وَأَنَا وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -فَقَالَتْ: إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِي الْبَتَّةَ، وَإِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ تَزَوَّجَنِي، وَإِنَّمَا عِنْدُهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ، وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ جِلْبَابِهَا، وَخَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بِالْبَابِ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ، أَلَا تَنْهَى هَذِهِ عَمَّا تَجْهَرُ بِهِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ! فَمَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التَّبَسُّمِ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "كَأَنَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ، لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ".

telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Istri Rifa'ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi Saw. Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa'ah berkata, "Sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju," seraya memegang ujung kain jilbabnya. Ketika itu Khalid ibnu Sa'id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi Saw. karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, "Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah Saw.?" Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, "Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa'ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu."

Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadis Abdur Razzaq, serta Imam Nasai melalui hadis Yazid ibnu Zurai'. Ketiga-tiganya meriwayatkan hadis ini dari Ma'mar dengan lafaz yang sama.

Menurut hadis Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan:

أن رِفَاعَةَ طَلَّقَهَا آخِرَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ.

Bahwa Rifa'ah menceraikannya dengan tiga kali talak.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Daud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid. Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah dengan lafaz yang sama.

Imam Malik meriwayatkan:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الزُّبَيْرِ: أَنَّ رِفَاعَةَ بْنَ سِمْوَالٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَمِيمَةَ بِنْتَ وَهْبٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، فَنَكَحَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَاعْتَرَضَ عَنْهَا فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا، فَفَارَقَهَا، فَأَرَادَ رِفَاعَةُ أَنْ يَنْكِحَهَا، وَهُوَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ الَّذِي كَانَ طَلَّقَهَا، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُ عَنْ تَزْوِيجِهَا، وَقَالَ: "لَا تَحِلُّ لَكَ حَتَّى تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ"

dari Al-Miswar ibnu Rifa'ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa'ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah Saw. dengan tiga kali talak. Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa'ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. melarang Rifa'ah mengawininya seraya bersabda: Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta', dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita'.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa'ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadis ini.

Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan.

Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihrarn atau sedang berpuasa atau sedang i'tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i'tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.

Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki.

Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan: Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.

Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi).

Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah 'usailah bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"أَلَا إِنَّ الْعُسَيْلَةَ الْجِمَاعُ"

Ingatlah, sesungguhnya 'usailah adalah jimak (persetubuhan).

Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah 'penghapus talak' yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadis. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.

*******************

Hadis-hadis tentang muhallil

Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْن، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، عَنِ الْهُذَيْلِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ، وَالْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ.

telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari Al-Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: Rasulullah Saw. telah melaknat wanita yang menato dan yang ditato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wakilnya.

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan (yakni As-Sauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Sarwan Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang sama.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi sahih. Imam Turmuzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang diamalkan di kalangan ahlul 'ilmi dari kalangan sahabat yang antara lain ialah Usman, Umar, dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang dipakai oleh ulama fiqih dari kalangan tabi'in. Hal ini diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas'ud, dan Ibnu Abbas.

Jalur lain melalui Ibnu Mas'ud.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ عَدِيٍّ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ، عَنْ أَبِي الْوَاصِلِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".

telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim, dari Abul Wasil, dari Ibnu Mas'ud, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda: Allah melaknat muhallil dan muhallal lah.

Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Nasai melalui hadis Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Harts Al-A'war, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa pemakan riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut zakat yang melampaui batas; orang yang murtad dari kalangan bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil serta muhallal lah; semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad Saw. di hari kiamat.

Hadis yang diriwayatkan melalui sahabat Ali r.a.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنْ جَابِرٍ [وَهُوَ ابْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ] عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ، وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ للحُسْن، وَمَانِعَ الصَّدَقَةِ، وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ، وَكَانَ يَنْهَى عَنِ النَّوْحِ.

telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali r.a. yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya; dan wanita yang menato serta wanita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang tidak mau membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau Saw. melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah).

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Gundar, dari Syu'bah, dari Jabir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju'fi), dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali dengan lafaz yang sama.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui hadis Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur Rahman, Mujalid ibnu Sa'id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama.

Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui hadis Asy-Sya'bi dengan lafaz yang sama.

Kemudian Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاحِبَ الرِّبَا، وَآكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَهُ، وَالْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat tukang riba, pemakannya, juru tulisnya, kedua saksinya, muhallil, dan muhallal lah.

Hadis yang diriwayatkan dari Jabir r.a.

Imam Turmuzi mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، أَخْبَرَنَا أَشْعَثُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زُبَيْدٍ الْيَامِيُّ، حَدَّثَنَا مَجَالِدٌ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَعَنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَلِيٍّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asy'as" ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid Al-Ayyami, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah dan dari Al-Haris, dari Ali r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah telah melaknat muhallil dan muhallal lah (lelaki penghapus talak dan yang memintanya).

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, sanad hadis ini kurang kuat, karena Mujalid dinilai daif bukan hanya oleh seorang saja, antara lain ialah Imam Ahmad ibnu Hambal.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Ali r.a. Imam Turmuzi mengatakan, sanad ini merupakan dugaan dari Ibnu Numair; hadis pertama tadi lebih sahih.

Hadis yang diriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir r.a.

Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah) mengatakan:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عُثْمَانَ بْنِ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، سَمِعْتُ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ يَقُولُ: قَالَ أَبُو مُصْعَبٍ مِشْرَحٌ هُوَ: ابْنُ عَاهَانَ، قَالَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ " قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "هُوَ المحلِّل، لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ".

telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Lais ibnu Sa'd mengatakan bahwa Abul Mus’ab (yaitu Musarrih yang dikenal dengan panggilan Ibnu Ahan) pernah menceritakan bahwa Uqbah ibnu Amir r.a. pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Maukah kalian aku ceritakan tentang pejantan sewaan?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah." Nabi Saw. bersabda, "Dia adalah muhallil (lelaki penghapus talak). Allah melaknat muhallil dan muhallal lah."

Hadis ini hanya ada pada Imam Ibnu Majah sendiri.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani, dari Usman ibnu Saleh, dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka menilai Usman dalam hadis ini munkar dengan penilaian munkar yang berat.

Menurut kami, Usman yang disebut dalam sanad hadis ini adalah salah seorang perawi siqah; Imam Bukhari meriwayatkan hadis darinya di dalam kitab sahihnya, kemudian jejaknya itu diikuti oleh yang lain. Maka hadis ini diriwayatkan pula oleh Ja'far Al-Giryani, dari Al-Abbas yang dikenal dengan nama Ibnu Fariq, dari Abu Saleh (yaitu Abdullah ibnu Saleh), dari Al-Lais dengan lafaz yang sama. Karena itu, maka Usman terbebas dari tuduhan yang dilancarkan kepada dirinya.

Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.

Imam Ibnu Majah mengatakan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، عَنْ زَمْعَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ وَهْرَامَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam'ah ibnu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lahu.

Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Al-Hafiz juru khotbah kota Damaskus, yaitu Abu Ishaq (yakni Ibrahim ibnu Ya'qub Al-Jauzjani As-Sa'di):

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَبِيبَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ قَالَ: "لَا إِلَّا نِكَاحَ رَغْبَةٍ، لَا نِكَاحَ دُلْسَة وَلَا اسْتِهْزَاءٍ بِكِتَابِ اللَّهِ، ثُمَّ يَذُوقُ عُسَيْلَتَهَا".

telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ismail ibnu Abu Hanifah dari Daud Ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai nikah yang dilakukan oleh muhallil, maka beliau bersabda, "Tidak sah, kecuali nikah karena kehendak sendiri (senang), bukan nikah palsu, bukan pula memperolok-olokkan Kitabullah, kemudian dia merasakan kemanisannya."

Kedua sanad ini bertambah kuat dengan adanya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Musa ibnu Abul Furat, dari Amr ibnu Dinar, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal. Dengan demikian, maka bertambah kuatlah dengan adanya hadis mursal ini, satu sama lainnya saling memperkuat.

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، هُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مُحَمَّدٍ، الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.

telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Ja'far), dari Usman ibnu Muhammad Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Rasulullah Saw. telah melaknat muhallil dan muhallal lah.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Al-Jauzjani Al-Baihaqi melalui jalur Abdullah ibnu Ja'far Al-Qurasyi. Imam Ahmad menilainya siqah, begitu pula Ali ibnul Madini dan Yahya ibnu Mu'in serta lain-lainnya.

Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya dari Usman ibnu Muhammad Al-Akhnasi yang dinilai siqah oleh Ibnu Mu'in, dari Sa'id Al-Maqbari. Hadis ini termasuk hadis yang dinilai muttafaq 'alaih (disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.

Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya: telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Al-Asam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Yaman (yaitu Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani), dari Umar ibnu Nafi', dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Umar, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang masalah seorang lelaki yang menalak istrinya tiga kali. Lalu wanita itu dikawini oleh saudaranya tanpa ada persetujuan dari pihak suaminya yang pertama tadi. Maka apakah wanita tersebut halal dikawini lagi oleh suaminya yang pertama (setelah diceraikan oleh suami barunya yang merupakan saudara lelaki dari suami pertamanya)? Maka Ibnu Umar menjawab, "Tidak boleh, kecuali nikah karena senang. Kami dahulu menganggap perkawinan seperti itu termasuk sifah (zina), yakni di masa Rasulullah Saw."

Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini berpredikat sahih, tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh As-Sauri, dari Abdullah ibnu Nafi', dari ayahnya, dari Ibnu Umar dengan lafaz yang sama. Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa hadis ini berpredikat marfu'.

Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, Al-Jauzjani, Harb Al-Kirmani, dan Abu Bakar ibnul Asram melalui hadis Al-A'masy, dari Al-Musayyab ibnu Rafi', dari Qubaisah ibnu Jabir, dari Umar r.a. yang mengatakan: Tidak sekali-kali dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lah, melainkan aku pasti merajam keduanya.

Imam Baihaqi meriwayatkan melalui hadis Ibnu Luhai'ah, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sulaiman ibnu Yasar, bahwa Khalifah Usman ibnu Affan pernah menangani kasus seorang lelaki yang kawin dengan seorang wanita untuk tujuan menghapus talaknya agar si wanita halal dikawini oleh suami pertamanya. Maka Khalifah Usman ibnu Affan memisahkan keduanya.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas serta sahabat lainnya yang bukan hanya seorang, semoga Allah melimpah-kan rida-Nya kepada mereka.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ طَلَّقَهَا

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqarah: 23)

Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya.

فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا

maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali. (Al-Baqarah: 23)

Yaitu dia dan bekas suami yang pertama.

إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 23)

Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara makruf. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu.

وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ

Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 23)

Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya.

يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah: 23)

Para Imam rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah bila seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si lelaki membiarkannya hingga masa idahnya habis. Kemudian si wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia dicerai kembali hingga habis masa idahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal? Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat. Ataukah suami yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya talak tiga ecara utuh, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak yang dihapuskan itu kurang dari tiga.