2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًۭا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍۢ وَعَشْرًۭا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌۭ 234

(234) Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

(234) 

Hal ini merupakan perintah dari Allah yang ditujukan kepada wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka, yaitu mereka harus melakukan idahnya selama empat bulan sepuluh hari. Hukum ini mengenai pula pada istri-istri yang telah digauli oleh suaminya, juga istri-istri yang belum sempat digauli suaminya. Demikianlah menurut kesepakatan para ulama. Dalil yang dijadikan sandaran bagi wanita yang masih belum digauli ialah makna umum yang terkandung di dalam ayat ini. Hadis berikut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunnah dan dinilai sahih oleh Imam Turmuzi, yaitu: Bahwa Ibnu Mas'ud pernah ditanya mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki itu meninggal dunia sebelum sempat menggaulinya dan belum pula memastikan jumlah maskawinnya kepada istrinya itu. Lalu mereka (yang bertanya) itu bolak-balik kepada Ibnu Mas'ud berkali-kali menanyakan masalah ini. Pada akhirnya Ibnu Mas'ud berkata, "Aku akan memutuskan masalah ini dengan rayu (pendapat)ku sendiri. Jika jawaban ini benar, maka dari Allah; dan jika keliru, maka dariku dan dari setan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari jawaban ini. Si wanita mendapat maskawinnya dengan penuh —menurut riwayat yang lain disebutkan mendapat mahar misilnya— tanpa ada pengurangan dan penggelapan, dan diwajibkan atas diri si wanita melakukan idahnya, serta ia dapat mewaris (dari peninggalan suaminya)." Lalu berdirilah Ma'qal ibnu Yasar Al-Asyja'i dan mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq." Mendengar hal itu hati Abdullah ibnu Mas'ud sangat gembira.

Menurut riwayat yang lain disebutkan seperti berikut: Maka berdirilah orang-orang lelaki dari Bani Asyja', lalu mereka mengatakan, "Kami menyaksikan bahwa Rasulullah Saw. pernah memutuskan hal yang sama terhadap Buru' binti Wasyiq."

Tiada yang dikecualikan dari masa idah tersebut kecuali wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia dalam keadaan mengandung. Maka sesungguhnya idah yang harus dilakukannya ialah sampai ia melahirkan bayinya, sekalipun sesudah kematian suaminya selang waktu yang sebentar ia melahirkan bayinya. Dikatakan demikian karena mengingat keumuman makna firman-Nya yang mengatakan:

وَأُولاتُ الأحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (At-Talaq: 4)

Tersebutlah bahwa Ibnu Abbas berpendapat, "Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya diharuskan melakukan masa idahnya selama masa yang paling panjang di antara kedua masa tersebut, yaitu antara masa melahirkan, atau empat bulan sepuluh hari." Pendapatnya ini merupakan kesimpulan gabungan dari kedua ayat di atas. Pendapat ini merupakan kesimpulan yang baik dan berdasarkan penalaran yang kuat seandainya tidak ada apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dalam hadis yang menceritakan kasus Subai'ah Al-Aslamiyyah. Hadis ini diketengahkah di dalam kitab Sahihain melalui berbagai jalur periwayatan.

Disebutkan bahwa suami Subai'ah (yaitu Sa'd ibnu Khaulah) meninggal dunia, sedangkan Subai'ah dalam keadaan hamil darinya. Tidak lama kemudian setelah kematian suaminya, Subai'ah melahirkan bayinya. Menurut riwayat yang lain, Subai'ah melahirkan bayinya selang beberapa malam sesudah kematian suaminya. Setelah Subai'ah bersih dari nifasnya, ia menghias diri untuk para pelamar. Maka masuklah Abus Sanabil ibnu Ba'kak menemuinya, dan langsung berkata kepadanya, "Mengapa engkau kulihat menghiasi dirimu, barangkali kamu mengharapkan kawin? Demi Allah, kamu tidak boleh kawin sebelum kamu melewati masa empat bulan sepuluh hari." Subai'ah mengatakan, "Setelah Abus Sanabil berkata demikian kepadaku, maka kupakai pakaianku pada petang harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah Saw. dan menanyakan kepadanya masalah tersebut. Maka beliau Saw. memberikan jawabannya kepadaku, bahwa diriku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan bayiku, dan beliau Saw. memerintahkan kepadaku untuk kawin jika aku suka."

Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, sesungguhnya menurut suatu riwayat disebutkan bahwa Ibnu Abbas meralat pendapatnya, lalu merujuk kepada hadis Subai'ah. Dikatakan demikian karena Ibnu Abbas sendiri membantah pendapat tersebut dengan berdalilkan hadis Subai'ah.

Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal ini dibenarkan dengan adanya suatu riwayat darinya yang mengatakan bahwa semua temannya menekuni hadis Subai'ah, sama halnya dengan pendapat semua ahlul ilmi.

Dikecualikan dari makna ayat ini bilamana si istri adalah seorang budak wanita, karena sesungguhnya idah seorang budak wanita adalah separo dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama. Dikatakan demikian karena hukuman had yang di jalani oleh budak wanita adalah separo dari hukuman had yang di jalani oleh seorang wanita merdeka. Maka demikian pula dalam masalah idah, yaitu separo dari idah wanita merdeka.

Tetapi di kalangan ulama —seperti Muhammad ibnu Sirin dan sebagian kalangan mazhab Zahiri— dikatakan bahwa dalam masalah idah ini sama saja antara wanita merdeka dan budak wanita, mengingat keumuman makna ayat ini. Juga karena masalah idah merupakan masalah yang menyangkut pembawaan yang tidak mengenal adanya perbedaan antara seorang wanita dengan wanita lainnya.

Sa'id ibnul Musayyab dan Abul Aliyah serta selain keduanya mengatakan bahwa hikmah penentuan idah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari, karena barangkali rahimnya telah terisi oleh kandungan. Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan menunggu dalam idahnya selama masa itu, bila ternyata kandungannya telah terisikan, niscaya akan tampak.

Di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang ada pada kitab sahihain dan kitab lainnya disebutkan seperti berikut:

«إِنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ»

Sesungguhnya penciptaan seseorang di antara kalian dihimpun di dalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, lalu menjadi ‘alaqah dalam masa yang sama (empat puluh hari), kemudian beralih menjadi segumpal daging dalam masa yang sama, kemudian diutus kepadanya malaikat, lalu malaikat itu meniupkan roh ke dalam tubuhnya.

Ketiga empat puluh hari ini sama bilangannya dengan empat bulan, adapun sepuluh hari yang sesudahnya merupakan masa cadangan karena adakalanya bilangan sebagian bulan itu ada yang kurang genap. Sesudah peniupan roh ke dalam janin, maka janin mulai bergerak menunjukkan tanda kehidupan.

Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qatadah yang pernah bertanya kepada Sa'id ibnul Musayyab, "Untuk apakah yang sepuluh hari itu?" Sa'id ibnul Musayyab menjawab, "Di masa itu dilakukan tiupan roh ke dalam tubuh janin."

Ar-Rabi' ibnu Anas pernah mengatakan, "Aku pernah bertanya kepada Abul Aliyah, 'Mengapa sepuluh hari ini ditambahkan kepada empat bulan?' Abul Aliyah menjawab, 'Karena digunakan untuk peniupan roh ke dalam tubuh janin'." Kedua asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Berangkat dari asar ini Imam Ahmad berpendapat di dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, bahwa idah seorang ummul walad (budak perempuan yang mempunyai anak dari hasil tuannya) sama dengan idah wanita merdeka dalam masalah ini, karena ia telah berubah status menjadi firasy (hamparan atau pendamping suaminya), sama halnya dengan wanita merdeka. Juga karena berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: dari Yazid ibnu Harun, dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah ibnu Zuaib, dari Amr ibnul As yang mengatakan: Janganlah kalian mengaburkan sunnah Nabi kita kepada kita; idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya ialah empat bulan sepuluh hari.

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Daud, dari Qutaibah, dari Gundar, dari Ibnul Musanna ibnu Abdul A'la, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad, dari Ar-Rabi'; ketiga-tiganya menerima hadis ini dari Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Matar Al-Wariq, dari Raja ibnu Haywah, dari Qubaisah, dari Amr ibnul As yang menceritakan hadis ini.

Sesungguhnya menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam Ahmad, disebutkan bahwa ia mengingkari hadis ini.

Menurut suatu pendapat, Qubaisah belum pernah mendengar dari Amr. Akan tetapi, ada segolongan ulama Salaf yang berpegang kepada hadis ini, di antaranya ialah Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abu Iyad, Az-Zuhri, dan Umar ibnu Abdul Aziz. Hal ini pula yang dianjurkan oleh Yazid ibnu Abdul Malik ibnu Marwan ketika ia menjabat sebagai Amirul Muminin. Hal ini pula yang dikatakan oleh Al-Auza'i, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat darinya.

Sedangkan Tawus dan Qatadah mengatakan bahwa idah ummul walad apabila ditinggal mati oleh tuannya adalah setengah dari idah wanita merdeka, yaitu dua bulan lima hari.

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta As-Sauri dan Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Huyay mengatakan bahwa ummul walad melakukan idahnya dengan tiga kali haid. Pendapat ini berasal dari Ali r.a., Ibnu Mas'ud, Ata, dan Ibrahim An-Nakha'i.

Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad menurut riwayat yang terkenal darinya mengatakan bahwa idahnya adalah sekali haid. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ibnu Umar, Asy-Sya'bi, Makhul, Al-Lais, Abu Ubaid, dan Abu Saur serta jumhur ulama.

Al-Lais mengatakan, "Seandainya suami ummul walad meninggal dunia, sedangkan dia dalam keadaan berhaid, maka haidnya itu sudah cukup untuk idahnya."

Imam Malik mengatakan, "Seandainya ummul walad dari kalangan wanita yang tidak berhaid, maka idahnya adalah tiga bulan."

Imam Syafii dan jumhur ulama mengatakan, "Hal yang paling aku sukai ialah bila ummul walad menjalani idahnya selama satu bulan tiga hari."

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kalian perbuat. (Al-Baqarah: 234)

Dari makna ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wajib hukumnya ihdad (berbelasungkawa) bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya selama ia menjalani masa idahnya, karena ada sebuah hadis di dalam kitab Sahihain yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ummu Habibah dan Zainab binti Jahsy Ummul Muminin, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِالْلَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»

Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad (belasungkawa)nya atas mayat lebih dari tiga hari; kecuali bila yang meninggal adalah suaminya, maka selama empat bulan sepuluh hari.

Di dalam kitab Sahihain pula disebutkan sebuah hadis dari Ummu Salamah r.a.:

أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوَفِّي عَنْهَا زَوْجُهَا وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنُهَا أَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ «لَا» كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ- لَا- مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّمَا هِيَ أربعة أشهر وعشر، وقد كانت إحداكم فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَمْكُثُ سَنَةً»

Bahwa ada seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan matanya mengalami gangguan penyakit, bolehkah kami mencelakinya (mengobatinya dengan celak mata)?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak," semua pertanyaan beliau jawab dengan tidak sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau Saw. bersabda, "Sesungguhnya idah yang harus di jalaninya adalah empat bulan sepuluh hari. Sesungguhnya seseorang di antara kalian di masa Jahiliah menjalani idahnya selama satu tahun."

Zainab binti Ummu Salamah mengatakan bahwa dahulu bila seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya (yakni di masa Jahiliah), maka wanita itu memasuki sebuah namah gubuk, lalu memakai pakaiannya yang paling buruk; tiada wewangian dan tiada lainnya yang ia pakai selama satu tahun. Setelah lewat satu tahun ia keluar dari gubuk itu dan diberi kotoran unta, lalu ia melempar kotoran itu. Kemudian diberikan kepadanya seekor hewan, yaitu keledai atau kambing atau burung, lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan tersebut. Maka jarang sekali hewan yang diusapnya dapat bertahan hidup melainkan kebanyakan mati (karena baunya yang sangat busuk).

Dari kesimpulan makna ayat ini banyak ulama berpendapat bahwa ayat ini me-nasakh ayat sesudahnya, yaitu firman-Nya:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah. (Al-Baqarah: 24), hingga akhir ayat.

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian dalam pembahasannya.

Yang dimaksud dengan istilah ihdad ialah meninggalkan perhiasan berupa wewangian dan tidak memakai pakaian yang mendorongnya untuk bergairah kawin lagi, seperti pakaian dan perhiasan serta lain-lainnya. Hal ini hukumnya wajib bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, tanpa ada yang memperselisihkannya. Tetapi sebaliknya, hal ini tidak wajib bagi wanita yang berada dalam idah talak raji'.

Akan tetapi, apakah ber-ihdad hukumnya wajib bagi wanita yang ditalak ba-in? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat.

Ber-ihdad hukumnya wajib bagi semua istri yang ditinggal oleh suami-suami mereka, baik yang masih kecil, wanita yang tidak ber-haid, wanita merdeka, maupun budak wanita yang muslimah dan yang kafir, mengingat keumuman makna ayat.

As-Sauri dan Imam Abu Hanifah beserta semua temannya mengatakan tidak ada ihdad atas wanita kafir. Hal yang sama dikatakan pula oleh Asyhab dan Ibnu Nafi' dari kalangan teman-teman Imam Malik. Hujah yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah sabda Nabi Saw. yang mengatakan: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan ihdad atas meninggalnya seseorang lebih dari tiga hari; kecuali bila ditinggal mati suaminya, maka empat bulan sepuluh hari. Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah ta'abbud.

Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta As-Sauri memasukkan ke dalam pengertian ini istri yang masih kecil yang belum terkena taklif. Imam Abu Hanifah serta teman-temannya memasukkan ke dalam pengertian ini budak wanita muslimah yang tidak memiliki kemerdekaan (mengingat masalah idah adalah masalah ta'abbud). Pembahasan mengenai masalah ini secara rinci terdapat di dalam kitab-kitab yang membahas masalah hukurn dan cabang-cabangnya.

********************

Firman Allah Swt.:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ

Kemudian apabila telah habis idahnya. (Al-Baqarah: 234)

Yakni masa idahnya telah habis, menurut Ad-Dahhak dan Ar-Rabi' ibnu Anas.

فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

maka tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 234)

Yaitu bagi para walinya, menurut Az-Zuhri.

فِيمَا فَعَلْنَ

membiarkan mereka berbuat. (Al-Baqarah: 234)

Maksudnya, membiarkan wanita-wanita yang telah menghabiskan masa idahnya. Al-Wunni meriwayatkan dari Ibnu Abbas, apabila seorang istri diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, bila ia telah menghabiskan masa idahnya, maka tidak dosa atas dirinya untuk menghias diri dan mempercantik diri serta menawarkan diri untuk dikawini. Pengertian ini sudah dimaklumi. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Muqatil ibnu Hayyan.

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: maka tiada dosa bagi kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (Al-Baqarah: 234) Makna yang dimaksud ialah untuk nikah yang halal lagi baik.

Telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Az-Zuhri, dan As-Saddi.


وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِۦ مِنْ خِطْبَةِ ٱلنِّسَآءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّآ أَن تَقُولُوا۟ قَوْلًۭا مَّعْرُوفًۭا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا۟ عُقْدَةَ ٱلنِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ ٱلْكِتَٰبُ أَجَلَهُۥ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ فَٱحْذَرُوهُ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌۭ 235

(235) Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

(235) 

Firman Allah Swt.:

وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

Dan tidak ada dosa bagi kalian. (Al-Baqarah: 235)

Yakni untuk melamar wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suami mereka dalam idahnya secara sindiran (tidak terang-terangan).

As-Sauri, Syu'bah,dan Ibnu Jarir serta lain-lainnya meriwayatkan dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. (Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan istilah ta'rid atau sindiran ialah bila seorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin, dan sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang anu dan anu sifatnya," dengan kata-kata yang telah dikenal. Menurut suatu riwayat, contoh kata-kata sindiran lamaran ialah seperti, "Aku ingin bila Allah memberiku rezeki (mengawinkan aku) dengan seorang wanita," atau kalimat yang bermakna; yang penting tidak boleh menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya. Menurut riwayat yang lain ialah, "Sesungguhnya aku tidak ingin kawin dengan seorang wanita selainmu, insya Allah." Atau "Sesungguhnya aku berharap dapat menemukan seorang wanita yang saleh." Akan tetapi, seseorang tidak boleh menegaskan lamarannya kepada dia selagi dia masih dalam idahnya.

Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepadanya Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari Mansur, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. (Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud dengan sindiran ialah bila seseorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin kawin. Sesungguhnya wanita benar-benar merupakan hajatku. Aku berharap semoga dimudahkan untuk mendapat wanita yang saleh."

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Yazid ibnu Qasit, Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Qasim ibnu Muhammad serta sejumlah ulama Salaf dan para imam sehubungan dengan masalah ta'rid atau sindiran ini. Mereka mengatakan, boleh melakukan pinangan secara sindiran kepada wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.

Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang ditalak bain, yakni boleh melamarnya dengan kata-kata sindiran, seperti yang telah dikatakan oleh Nabi Saw. kepada Fatimah binti Qais ketika diceraikan oleh suaminya Abu Amr ibnu Hafs dalam talak yang ketiga. Nabi Saw. terlebih dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk melakukan idahnya di dalam rumah Ibnu Ummi Maktum, lalu bersabda kepadanya:

"فَإِذَا حَلَلْت فَآذِنِينِي". فَلَمَّا حلَّتْ خَطَبَ عَلَيْهَا أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مَوْلَاهُ، فزَوّجها إِيَّاهُ

Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka beri tahulah aku. Ketika masa idah Fatimah binti Qais telah habis, maka ia dilamar oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan Nabi Saw.), lalu Nabi Saw. mengawinkan Fatimah binti Qais dengan Usamah.

Wanita yang diceraikan, tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh bagi selain suaminya melakukan lamaran secara terang-terangan, tidak boleh pula secara sindiran.

********************

Firman Allah Swt.:

أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ

atau kalian menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 235)

Yakni kalian memendam keinginan untuk melamar mereka menjadi istri kalian. Perihalnya sama dengan makna firman-Nya:

وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَما يُعْلِنُونَ

Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. (Al-Qashash: 69)

وَأَنَا أَعْلَمُ بِما أَخْفَيْتُمْ وَما أَعْلَنْتُمْ

Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan. (Al-Mumtahanah: 1)

Karena itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:

عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ

Allah mengetahui bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka. (Al-Baqarah: 235)

Yakni di dalam hati kalian. Maka Allah menghapus dosa dari kalian karena hal tersebut. Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا

tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235)

Menurut Abu Mijlaz, Abu Sya'sa Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, Ad-Dahhak, Ar-Rabi ibnu Anas, Sulai-man At-Taimi, Muqatil ibnu Hayyan, dan As-Saddi, makna yang dimaksud ialah zina. Dan ini adalah makna riwayat Al-Aufa dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Jarir telah memilihnya;

Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) Yakni janganlah kamu katakan kepadanya, "Sesungguhnya aku cinta kepadamu. Berjanjilah kamu bahwa kamu tidak akan kawin dengan lelaki selainku," atau kalimat-kalimat lain yang semisal.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Ikrimah, Abud Duha, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Mujahid, dan As-Sauri, yaitu bila si lelaki mengambil janji darinya agar dia tidak kawin dengan orang lain selain dirinya.

Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud dengan janji rahasia ialah ucapan seorang lelaki kepada wanita yang bersangkutan, "Janganlah engkau biarkan dirimu terlepas dariku, karena sesungguhnya aku akan mengawinimu."

Qatadah mengatakan, yang dimaksud ialah bila seorang lelaki mengambil janji dari seorang wanita yang masih berada dalam idah-nya, yang isinya mengatakan, "Janganlah kamu kawin dengan selainku nanti."

Maka Allah melarang hal tersebut dan melakukannya, tetapi dia menghalalkan lamaran dan ucapan secara makruf.

Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tetapi janganlah kalian mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia. (Al-Baqarah: 235) Yakni bila si lelaki mengawininya secara rahasia, sedangkan dia masih berada dalam idah. Lalu sesudah si wanita halal untuk kawin, barulah si lelaki itu mengumumkannya.

Akan tetapi, barangkali makna ayat tersebut lebih menyeluruh daripada semuanya itu. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:

إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا

kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. (Al-Baqarah: 235)

Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, As-Saddi, As-Sauri, dan Ibnu Zaid, makna yang dimaksud ialah apa yang sebelumnya diperbolehkan, yaitu melakukan lamaran secara sindiran, seperti ucapan, "Sesungguhnya aku berhasrat kepadamu," atau kalimat-kalimat lain yang semisal.

Muhammad ibnu Sirin mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubaidah tentang makna firman-Nya: kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. (Al-Baqarah: 235) Yaitu bila si lelaki berkata kepada wali si wanita, "Janganlah engkau mendahulukan orang lain daripada aku untuk memperolehnya," yakni aku mau mengawininya, beri tahukanlah aku lebih dahulu. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ

Dan janganlah kalian ber-'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis idahnya. (Al-Baqarah: 235)

Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah idah, yakni janganlah kalian melakukan akad nikah dengannya sebelum masa idahnya habis.

Ibnu Abbas, Mujahid, Asy-Sya'bi, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan, Az-Zuhri, Ata Al-Khurrasani, As-Saddi, As-Sauri, dan Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sebelum habis masa idahnya. (Al-Baqarah: 235) Yakni janganlah kalian melakukan akad nikah sebelum idahnya habis.

Para ulama sepakat bahwa tidak sah melakukan akad nikah dalam masa idah. Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai masalah seorang lelaki yang mengawini seorang wanita dalam idahnya, lalu si lelaki menggaulinya, kemudian keduanya dipisahkan. Maka apakah wanita tersebut haram bagi lelaki yang bersangkutan untuk selama-lamanya? Sehubungan dengan masalah ini ada dua pendapat di kalangan para ulama.

Jumhur ulama berpendapat bahwa si wanita tidak haram baginya, melainkan pihak lelaki boleh melamarnya kembali bila idah si wanita telah habis.

Imam Malik berpendapat bahwa si wanita haram bagi pihak lelaki untuk selama-lamanya. Ia mengatakan demikian berdalilkan sebuah asar yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab dan Sulaiman ibnu Yasar yang menceritakan bahwa Khalifah Umar r.a. pernah mengatakan, 'Wanita mana pun yang melakukan perkawinan di dalam idahnya, jika suami yang kawin dengannya belum menggaulinya, maka keduanya dipisahkan, lalu si wanita melakukan sisa idah dari suaminya pertama, sedangkan si lelaki dianggap sebagai salah seorang pelamarnya. Akan tetapi, jika suaminya yang baru ini telah menggaulinya, maka keduanya dipisahkan, lalu si wanita menjalani sisa idah dari suami pertamanya, setelah itu ia harus melakukan idah lagi dari suaminya yang kedua. Setelah selesai, maka si wanita haram bagi lelaki tersebut untuk selama-lamanya."

Mereka mengatakan, diputuskan demikian mengingat ketika si suami mempercepat masa tangguh yang telah ditetapkan oleh Allah, maka ia dihukum dengan hal yang kebalikan dari niatnya, untuk itu si wanita diharamkan atas dirinya untuk selama-lamanya. Perihalnya sama dengan seorang pembunuh yang diharamkan dari hak mewaris (harta peninggalan si terbunuh).

Imam Syafii meriwayatkan asar ini dari Imam Malik. Imam Baihaqi mengatakan bahwa kemudian Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya merevisi pendapat yang telah ia katakan dalam qaul qadim-nya.. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa si wanita halal bagi lelaki tersebut. Menurut hemat saya, kemudian asar ini hanya sampai pada Ibnu Umar. As-Sauri telah meriwayatkan dari Asy'as, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, bahwa Khalifah Umar r.a. menarik kembali keputusannya itu, lalu menjadikan bagi pihak wanita maskawinnya, kemudian menjadikan keduanya dapat bersatu lagi.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ

Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kalian; maka takutlah kepada-Nya. (Al-Baqarah: 235)

Allah memperingatkan mereka tentang apa yang ada di dalam hati mereka menyangkut masalah wanita, dan memberikan bimbingan kepada mereka agar menyembunyikan niat yang baik dan menjauhi keburukan. Kemudian Allah tidak membuat mereka berputus asa dari rahmat-Nya dan ampunan-Nya, untuk itulah maka Allah Swt. berfirman dalam ayat selanjutnya:

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 235)


لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةًۭ ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ 236

(236) Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

(236) 

Allah Swt. memperbolehkan menalak istri sesudah melakukan akad nikah dengannya dan sebelum menggaulinya.

Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan, yang dimaksud dengan istilah al-massu ialah nikah. Bahkan boleh menceraikannya sebelum menggaulinya, dan sebelum menetapkan besarnya maskawin jika dia menyerahkan hal tersebut, sekalipun dalam perceraian itu menyakitkan hatinya. Karena itulah Allah Swt. memerintahkan kepada pihak suami agar memberinya mut'ah, yaitu pemberian untuk menghibur hatinya. Pemberian mut'ah tersebut disesuaikan dengan keadaan kemampuan ekonomi pihak suami; bagi yang kaya disesuaikan dengan kekayaannya, dan bagi yang tidak mampu disesuaikan dengan kemampuannya.

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ismail ibnu Umayyah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mut'ah talak yang jumlahnya paling besar ialah berupa seorang pelayan (budak), sedangkan yang lebih rendah dari itu berupa uang perak, dan yang lebih rendah lagi dari semuanya adalah berupa pakaian.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yaitu apabila si lelaki yang bersangkutan dari kalangan orang yang mampu, hendaklah ia memberinya mut'ah berupa seorang pelayan atau yang seimbang dengannya. Jika dia orang yang tidak mampu, hendaklah dia memberi mut'ah dengan tiga setel pakaian.

Asy-Sya'bi mengatakan bahwa mut'ah yang pertengahan ialah berupa baju kurung, kerudung, milhafah, dan jilbab. Ia mengatakan bahwa dahulu Syuraih memberikan mut'ah-nya sejumlah lima ratus (dirham).

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub ibnu Sirin yang mengatakan bahwa ia pernah memberi mut'ah berupa seorang pelayan, atau nafkah atau pakaian. Ia mengatakan, Al-Hasan ibnu Ali pernah memberi mut'ah-nya sejumlah sepuluh ribu (dirham). Menurut suatu riwayat, wanita yang diceraikannya mengatakan, "Harta yang sedikit dari kekasih yang menceraikannya."

Imam Abu Hanifah berpendapat, apabila suami istri bersengketa mengenai jumlah mut'ah, maka hal yang diwajibkan atas pihak suami bagi pihak istri adalah separo mahar misil-nya.

Imam Syafii di dalam qaul jadid-nya mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh dipaksa membayar jumlah tertentu dari mut'ah, kecuali bila mut'ah yang dibayarnya itu jauh di bawah standar yang dinamakan mut'ah. Imam Syafii mengatakan, hal yang paling ia sukai dalam jumlah minimal mut'ah ialah pakaian yang cukup untuk dikenakan si wanita dalam salatnya.

Di dalam qaul qadim-nya Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengetahui kadar tertentu dalam masalah mut'ah kecuali ia menganggap baik berupa uang yang jumlahnya tiga puluh dirham, seperti apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.

Para ulama berselisih pendapat pula mengenai mut'ah ini, apakah mut'ah diwajibkan bagi setiap wanita yang ditalak, atau mut'ah itu hanya wajib diberikan kepada istri yang diceraikan sebelum digauli lagi belum ditentukan jumlah maskawinnya? Di kalangan ulama banyak pendapat yang menanggapinya.

Pendapat pertama mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan kepada setiap wanita yang diceraikan, mengingat keumuman makna firman-Nya:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)

Juga karena firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْواجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَياةَ الدُّنْيا وَزِينَتَها فَتَعالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَراحاً جَمِيلًا

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepada kalian mut'ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik.” (Al-Ahzab: 28)

Sedangkan mereka telah menerima maskawinnya yang telah disebutkan, dan mereka pun telah digauli. Hal ini merupakan pendapat Sa'id ibnu Jubair, Abul Aliyah, Al-Hasan Al-Basri, dan pendapat ini merupakan salah satu dari pendapat Imam Syafii. Akan tetapi, dari kalangan mereka ada yang memilih pendapat dalam qaul jadid merupakan pendapat yang benar.

Pendapat kedua mengatakan bahwa mut'ah wajib diberikan kepada seorang wanita apabila diceraikan sebelum digauli, sekalipun maskawinnya telah ditentukan, karena firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِناتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَما لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَها فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَراحاً جَمِيلً

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab: 49)

Syu'bah dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Baqarah (ayat 236).

Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab Sahih-nya dari Sahl ibnu Sa'd dan Abu Usaid, bahwa keduanya pernah menceritakan hadis berikut:

تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أميمة بنت شرحبيل، فَلَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَيْهِ، بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا، فَكَأَنَّهَا كَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَمَرَ أَبَا أَسِيدٍ أَنْ يُجَهِّزَهَا وَيَكْسُوَهَا ثَوْبَيْنِ رازِقِيَّين.

Rasulullah Saw. pernah mengawini Umaimah binti Syurahbil, ketika Umaimah dimasukkan ke dalam rumah Nabi Saw. dan Nabi Saw. mengulurkan tangannya kepada Umaimah, maka seakan-akan Umaimah tidak suka dengan perkawinan ini. Lalu Nabi Saw. memerintahkan kepada Abu Usaid agar memberinya perlengkapan dan pakaian, yaitu berupa dua setel pakaian berwarna biru (sebagai mut'ah-nya).

Pendapat ketiga mengatakan bahwa mut'ah hanya diberikan kepada wanita yang diceraikan dalam keadaan belum digauli dan belum ditentukan maharnya. Untuk itu apabila si suami pernah menggaulinya, maka suami diwajibkan membayar mahar misil-nya, bilamana si istri menyerahkan masalah tersebut. Jika pihak suami telah menentukan jumlah maskawinnya, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka wajib diberikan kepadanya separo dari maskawin yang telah ditentukan itu. Apabila si suami telah menggaulinya (serta telah menentukan mahamya), maka seluruh mahar harus diberikan kepada si istri sebagai ganti dari mut'ah.

Sesungguhnya wanita yang berhak menerima mut'ah hanyalah wanita yang belum ditentukan maskawinnya, juga belum digauli oleh suaminya. Pengertian inilah yang ditunjukkan oleh ayat di atas, yaitu yang mewajibkan pemberian mut'ah kepadanya atas tanggungan pihak suami yang menceraikannya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Umar dan Mujahid.

Tetapi di kalangan ulama ada yang menyunatkan pemberian mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan selain wanita mufawwidah (yang memasrahkan jumlah maskawinnya), lalu ia diceraikan sebelum digauli. Hal ini jelas tidak diingkari, dan berdasarkan pengertian ini pula ditakwilkan ayat takhyir yang ada di dalam surat Al-Ahzab. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)

Tetapi di antara ulama ada yang mengatakan bahwa pemberian mut'ah disunatkan secara mutlak. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr (yakni Ibnu Abu Qais), dari Abu Ishaq, dari Asy-Sya'bi yang mengatakan bahwa mereka menanyakan kepadanya tentang mut'ah, apakah ada batasannya? Maka ia membacakan firman-Nya: Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula). (Al-Baqarah: 236)

Asy-Sya'bi mengatakan bahwa ia belum pernah melihat seseorang yang melakukan batasan dalam mut'ah. Demi Allah, seandainya mut'ah adalah hal yang wajib, niscaya para kadi menetapkan batasan untuknya.


وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةًۭ فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ 237

(237) Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

(237) 

Ayat ini termasuk dalil yang menunjukkan kekhususan mut'ah (pemberian) yang ditunjukkan oleh ayat sebelumnya, mengingat di dalam ayat ini yang diwajibkan hanyalah separo dari mahar yang telah ditentukan, bilamana seorang suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya. Karena sesungguhnya seandainya ada kewajiban lain menyangkut masalah mut'ah ini, niscaya akan dijelaskan oleh Allah Swt., terlebih lagi ayat ini mengiringi ayat sebelumnya yang kedudukannya men-takhsis masalah mut'ah yang ada padanya.

Membayar separo maskawin dalam kondisi demikian merupakan hal yang telah disepakati oleh seluruh ulama, tiada seorang pun yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Untuk itu manakala seorang lelaki telah menentukan jumlah maskawin kepada wanita yang dinikahinya, kemudian si lelaki menceraikannya sebelum menggaulinya, maka si lelaki diwajibkan membayar separo maskawin yang telah ditentukannya itu.

Tetapi menurut ketiga orang imam (selain Imam Syafii, pent.), pihak suami tetap diwajibkan membayar mahar secara penuh jika ia ber-khalwat dengannya, sekalipun tidak menyetubuhinya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii di dalam qaul qadim-nya. Hal ini pulalah yang dijadikan pegangan dalam keputusan oleh para Khalifah Ar-Rasyidun. Akan tetapi, Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan seorang lelaki yang mengawini seorang wanita, lalu si lelaki ber-khalwat dengannya tanpa menyetubuhinya, setelah itu si lelaki menceraikannya, "Tiada yang berhak diperoleh istrinya selain separo maskawin." Ibnu Abbas mengatakan demikian karena berdasarkan firman-Nya yang mengatakan: Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu. (Al-Baqarah: 237)

Imam Syafii mengatakan, "Pendapat inilah yang saya pegang karena memang demikian makna lahiriah dari ayat yang bersangkutan."

Imam Baihaqi berkata: Lais ibnu Abu Sulaim —sekalipun predikatnya tidak dapat dijadikan hujah— telah mengatakan bahwa sesungguhnya kami telah meriwayatkannya melalui Ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, bahwa hal ini merupakan perkataan Ibnu Abbas sendiri.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِلا أَنْ يَعْفُونَ

kecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237)

Yakni mereka memaafkan suaminya dan membebaskannya dari tanggungan yang harus dibayarnya kepada mereka, maka tiada suatu pun yang harus dibayar oleh si suami.

As-Saddi meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: kecuali jika istri-istri kalian ilu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'kecuali jika si janda yang bersangkutan memaafkan dan merelakan haknya'.

Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari Syuraih, Sa'id ibnul Musayyab, Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Nafi', Qatadah, Jabir ibnu Zaid, Ata Al-Khurrasani, Ad-Dahhak, Az-Zuhri, Muqatil ibnu Hayyan, Ibnu Sirin, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Saddi hal yang semisal.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, lain halnya dengan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, ia berpendapat berbeda. Ia mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: terkecuali jika istri-istri kalian itu memaafkan. (Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud ialah para suami.

Akan tetapi, pendapat ini bersifat syaz (menyendiri) dan tidak dapat dijadikan sebagai pegangan.

*******************

Firman Allah Swt.:

أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

atau orang yang memegang ikatan nikah memaafkan. (Al-Baqarah: 237)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diceritakan dari Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

"وَلِيُّ عُقْدَةِ النِّكَاحِ الزَّوْجُ".

Orang yang menguasai ikatan nikah adalah suami.

Demikian pula menurut sanad yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih melalui hadis Abdullah ibnu Luhai'ah dengan lafaz yang sama.

Ibnu Jarir telah menyandarkannya pula dari Ibnu Luhai'ah, dari Amr ibnu Syu'aib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda demikian. Lalu Ibnu Jarir mengetengahkan hadis ini, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayah Amr, dari kakeknya.

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Jabir (yakni Ibnu Abu Hazim), dari Isa (yakni Ibnu Asim) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syuraih mengatakan, "Ali ibnu Abu Talib pernah bertanya kepadaku tentang makna orang yang memegang ikatan nikah. Maka aku menjawabnya, bahwa dia adalah wali si pengantin wanita. Maka Ali mengatakan, 'Bukan, bahkan dia adalah suami'."

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa di dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas, Jubair ibnu Mut'im, Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih di dalam salah satu pendapatnya, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Asy-Sya'bi. Ikrimah, Nafi', Muhammad ibnu Sirin, Ad-Dahhak, Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, Jabir ibnu Zaid, Abul Mijlaz, Ar-Rabi' ibnu Anas, has ibnu Mu'awiyah, Makhul, dan Muqatil ibnu Hayyan, disebutkan bahwa dia (orang yang di tangannya ikatan nikah) adalah suami.

Menurut kami, pendapat ini pula yang dikatakan oleh Imam Syafii dalam salah satu qaul jadid-nya, mazhab Imam Abu Hanifah dan semua temannya, As-Sauri, Ibnu Syabramah, dan Al-Auza'i. Ibnu Jarir memilih pendapat ini.

Alasan pendapat ini yang mengatakan bahwa orang yang di tangannya terpegang ikatan nikah secara hakiki adalah suami, karena sesungguhnya hanya di tangan suamilah terpegang ikatan nikah, kepastian, pembatalan, dan pengrusakannya. Perihalnya sama saja, ia tidak boleh memberikan sesuatu pun dari harta anak yang berada dalam perwaliannya kepada orang lain, begitu pula dalam masalah mas-kawin ini.

Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa pendapat yang kedua mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna orang yang di tangannya terdapat ikatan nikah. Ibnu Abbas mengatakan, dia adalah ayahnya atau saudara laki-lakinya atau orang yang si wanita tidak boleh kawin melainkan dengan seizinnya.

Telah diriwayatkan dari Alqamah, Al-Hasan, Ata, Tawus, Az-Zuhri, Rabi'ah, Zaid ibnu Aslam, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah di dalam salah satu pendapatnya dan Muhammad ibnu Sirin menurut salah satu pendapatnya, bahwa dia adalah wali.

Pendapat ini merupakan mazhab Imam Malik dan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim-nya. Alasannya ialah karena walilah yang mengizinkan mempelai lelaki boleh mengawininya, maka pihak walilah yang berkuasa menentukannya; berbeda halnya dengan harta lain milik si mempelai wanita (maka pihak wali tidak berhak ber-tasarruf padanya).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnur Rabi' Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa Allah telah mengizinkan untuk memberi maaf, bahkan menganjurkannya. Karena itu, wanita yang memaafkan, tindakannya itu diperbolehkan. Apabila ternyata dia kikir dan tidak mau memaafkan, maka pihak walinyalah yang boleh memaafkan. Hal ini jelas menunjukkan keabsahan tindakan pemaafan si wali, sekalipun pihak mempelai wanita bersikap keras.

Riwayat ini diketengahkan melalui Syuraih, tetapi sikapnya itu diprotes oleh Asy-Sya'bi. Akhirnya Syuraih mencabut kembali pendapatnya dan cenderung mengatakan bahwa dia adalah suami, dan tersebutlah bahwa Asy-Sya'bi melakukan mubahalah terhadapnya (Syuraih) untuk memperkuat pendapatnya ini.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian kalangan mufassirin mengatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum lelaki dan kaum wanita.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Juraij menceritakan asar berikut dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. (Al-Baqarah: 237) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang paling dekat kepada takwa di antara kedua belah pihak (suami istri) adalah orang yang memaafkan. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Asy-Sya'bi dan lain-lainnya.

Mujahid, An-Nakha'i, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Sauri mengatakan bahwa hal yang utama dalam masalah ini ialah hendaknya pihak wanita memaafkan separo mas kawinnya, atau pihak lelaki melengkapkan maskawin secara penuh buat pihak wanita. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. (Al-Baqarah: 237) Yang dimaksud dengan al-fadl ialah kebajikan, menurut Sa'id.

Ad-Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan Abu Wail mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-fadl ialah hal yang bajik, yakni janganlah kamu melupakan kebajikan, melainkan amalkanlah di antara sesama kalian.

Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkan:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إسحاق، حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ليأتينَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ عَضُوض، يَعَضّ الْمُؤْمِنُ عَلَى مَا فِي يَدَيْهِ وَيَنْسَى الْفَضْلَ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ شِرَارٌ يُبَايِعُونَ كُلَّ مُضْطَرٍّ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ، وَعَنْ بَيْعِ الغَرَر، فَإِنْ كَانَ عِنْدَكَ خَيْرٌ فعُدْ بِهِ عَلَى أَخِيكَ، وَلَا تَزِدْهُ هَلَاكًا إِلَى هَلَاكِهِ، فَإِنَّ الْمُسْلِمَ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحْزُنه وَلَا يَحْرِمُهُ"

telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Walid Ar-Rassafi, dari Abdullah ibnu Ubaid, dari Ali ibnu Abu Talib, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya benar-benar akan datang atas manusia suatu zaman yang kikir akan kebajikan, seorang mukmin menggigit (kikir) apa yang ada pada kedua tangannya (harta bendanya) dan melupakan kebajikan. Padahal Allah Swt. telah berfirman, "Janganlah kalian melupakan keutamaan (kebajikan) di antara kalian" (Al-Baqarah: 237). Mereka adalah orang-orang yang jahat, mereka melakukan jual beli dengan semua orang yang terpaksa. Rasulullah Saw. sendiri melarang melakukan jual beli terpaksa dan jual beli yang mengandung unsur tipuan. Sebagai jalan keluarnya ialah apabila kamu memiliki kebaikan, maka ulurkanlah tanganmu untuk menolong saudaramu. Janganlah kamu menambahkan kepadanya kebinasaan di atas kebinasaan yang dideritanya, karena sesungguhnya seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain; ia tidak boleh membuatnya susah, tidak boleh pula membuatnya sengsara.

Sufyan meriwayatkan dari Abu Harun yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Aun ibnu Abdullah berada di dalam majelis Al-Qurazi, dan Aun berbicara kepada kami, sedangkan janggutnya basah karena air matanya. Ia berkata, "Aku pernah bergaul dengan orang-orang kaya dan ternyata diriku adalah orang yang paling banyak mengalami kesusahan ketika aku melihat mereka berpakaian yang baik-baik dan penuh dengan bebauan yang wangi serta menaiki kendaraan yang paling baik. Tetapi ketika aku bergaul dengan kaum fakir miskin, maka hatiku menjadi tenang bersama mereka."

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian. (Al-Baqarah: 237)

Apabila seseorang kedatangan orang yang meminta-minta, sedangkan ia tidak memiliki sesuatu pun yang akan diberikan kepadanya, maka hendaklah ia berdoa untuknya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan. (Al-Baqarah: 237)

Yakni tiada sesuatu pun dari urusan kalian dan sepak terjang kalian yang samar bagi Allah Swt. Kelak Dia akan membalas semua orang sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya.