2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

حَٰفِظُوا۟ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُوا۟ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ 238

(238) Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.

(238) 

Allah memerintahkan agar semua salat dipelihara dalam waktunya masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di dalam waktunya masing-masing. Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan:

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أفضل؟ قال: «الصلاة في وَقْتِهَا» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» . قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ «بِرُّ الْوَالِدَيْنِ» ، قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم ولو استزدته لزادني.

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., "Amal apakah yang paling utama?" Ia menjawab, "Mengerjakan salat pada waktunya." Aku berkata lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab, "Berjihad di jalan Allah." Aku bertanya lagi, "Lalu apa lagi?" Beliau menjawab, "Berbakti kepada kedua orang tua." Ibnu Mas'ud mengatakan, "Semua itu diceritakan oleh Rasulullah Saw. kepadaku. Seandainya aku meminta keterangan yang lebih lanjut, niscaya beliau akan menambahkannya."

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا يُونُسُ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ غَنَّامٍ، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ أَبِيهِ الدُّنْيَا، عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ فَرْوَة -وَكَانَتْ مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذَكَرَ الْأَعْمَالَ، فَقَالَ: "إِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تعجيلُ الصَّلَاةِ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا".

telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Lais, dari Abdullah ibnu Umar ibnu Hafs ibnu Asim, dari Al-Qasim ibnu Ganam, dari neneknya (yakni ibu ayahnya yang bernama Ad-Dunia), dari neneknya (yaitu Ummu Farwah). Ummu Farwah termasuk salah seorang sahabat wanita yang ikut ber-baiat kepada Rasulullah Saw. Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. menyebut tentang berbagai amal perbuatan. Beliau Saw. bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah ialah menyegerakan salat pada awal waktunya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi, dan ia mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui jalur Al-Umari, sedangkan dia orangnya dinilai tidak kuat oleh kalangan ahli hadis."

Allah Swt. menyebutkan sccara khusus di antara semua salat, yaitu salat wusta, dengan sebutan yang lebih kuat kedudukannya. Ulama Salaf dan Khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dari salat wusta ini, salat apakah ia?

Menurut suatu pendapat, salat wusta itu adalah salat Subuh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya melalui Ali dan Ibnu Abbas.

Hasyim, Ibnu Ulayyah, Gundar, Ibnu Abu Add:, Abdul Wahhab, dan Syarik serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Auf Al-A'rabi, dari Abu Raja Al-Utaridi yang mengatakan bahwa ia pernah salat Subuh bermakmum kepada Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas membaca doa qunut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata, "Inilah salat wusta yang diperintahkan kepada kita agar kita berdiri di dalamnya seraya membaca doa qunut." Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan dia telah meriwayatkannya pula melalui Auf, dari Khallas ibnu Amr, dari Ibnu Abbas dengan lafaz yang semisal.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basvsyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abul Minhal, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia salat di masjid Basrah, yaitu salat Subuh, lalu ia melakukan doa qunut sebelum rukuk. Sesudah itu ia berkata, "Inilah salat wusta yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitab (Al-Qur'an)-Nya," lalu ia membacakan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238)

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah yang mengatakan, "Aku pernah salat di belakang Abdullah ibnu Qais di Basrah, yaitu salat Subuh. Lalu aku bertanya kepada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang berada di sebelahku, 'Apakah salat wusta itu?' Ia menjawab, 'Salat wusta adalah salat sekarang ini (yaitu Subuh)'."

Diriwayatkan melalui jalur lain, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, bahwa ia pernah salat bersama sahabat Rasulullah Saw., yaitu salat Subuh. Ketika mereka selesai dari salatnya, maka aku bertanya kepada mereka, "Manakah yang dimaksud dengan salat wusta itu?" Mereka menjawab, "Salat yang baru saja kamu kerjakan."

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Asmah, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Salat wusta adalah salat Subuh.

Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abul Aliyah, Ubaid ibnu Umair, Ata, Mujahid, Jabir ibnu Zaid, Ikrimah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had. Hal inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii rahimahullah seraya berdalilkan firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan membaca doa qunut. (Al-Baqarah: 238) Doa qunut menurut Imam Syafii di dalam salat Subuh.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa salat ini dinamakan wusta karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak di antara dua salat ruba'iyyah yang dapat diqasar. Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Magrib, karena letak waktunya di antara dua salat jahriyyah di malam hari dan dua salat siang yang sirri (perlahan bacaannya).

Menurut pendapat yang lain, salat wusta adalah salat Lohor. Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi'b, dari Az-Zabarqan (yakni Ibnu Amr), dari Zahrah (yakni Ibnu Ma'bad) yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di dalam majelis sahabat Zaid ibnu Sabit, mereka (jamaah yang hadir) mengirimkan utusan kepada sahabat Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang salat wusta. Maka ia berkata: 'Salat wusta adalah salat Lohor, dahulu Rasulullah Saw. selalu mengerjakannya di waktu hajir (panas matahari terik sekali)'."

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Hakim, bahwa ia pernah mendengar Az-Zabarqan menceritakan hadis berikut dari Urwah ibnuz Zubair, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan: Rasulullah Saw. melakukan salat Lohor di waktu hajir (panas matahari sangat terik), tiada suatu salat pun yang dirasakan amat berat oleh sahabat-sahabat Rasul Saw. selain dari salat Lohor. Maka turunlah firman-Nya, "Peliharalah semua salat-(mu), dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk" (Al-Baqarah: 238). Beliau mengatakan:

"إِنَّ قَبْلَهَا صَلَاتَيْنِ وَبَعْدَهَا صَلَاتَيْنِ"

bahwa sebelum salat Lohor terdapat dua salat lain, dan sesudahnya terdapat pula dua salat lainnya.

Imam Abu Daud meriwayatkannya pula di dalam kitab sunannya melalui hadis Syu'bah dengan lafaz yang sama.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Da’b, dari Az-Zabarqan, bahwa segolongan orang-orang Quraisy dijumpai oleh Zaid ibnu Sabit ketika mereka sedang berkumpul. Lalu mereka mengutus dua orang budak kepada Zaid ibnu Sabit untuk menanyakan kepadanya tentang apa yang dimaksud dengan salat wusta. Maka Zaid ibnu Sabit menjawab, bahwa salat wusta adalah salat Asar. Mereka kurang puas, lalu berdirilah dua orang lelaki dari kalangan mereka. Kemudian keduanya menanyakan hal tersebut kepada Zaid, maka Zaid ibnu Sabit menjawab bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor. Kemudian keduanya berangkat menuju sahabat Usamah ibnu Zaid, lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepadanya, dan ia menjawab bahwa salat wusta adalah salat Lohor. Sesungguhnya Nabi Saw. selalu mengerjakan salat Lohornya di waktu hajir, maka orang-orang yang bermakmum di belakangnya hanya terdiri atas satu atau dua saf saja, karena saat itu orang-orang sedang dalam istirahat siang harinya dan di antara mereka ada yang sibuk dengan urusan dagangnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua salal(mu) dan (peliharalah) salat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238); Maka Rasulullah Saw. bersabda:

«لَيَنْتَهِيَنَّ رِجَالٌ أَوْ لَأُحَرِّقَنَّ بُيُوتَهُمْ»

Hendaklah kaum lelaki benar-benar berhenti (dari meninggalkan salat jamaah Lohor) atau aku benar-benar akan membakar rumah mereka.

Az-Zabarqan adalah Ibnu Amr ibnu Umayyah Ad-Dimri, ia belum pernah menjumpai masa seorang sahabat pun.

Hal yang benar ialah apa yang telah disebutkan sebelum ini, yaitu riwayatnya yang dari Zuhrah ibnu Ma'bad dan Urwah ibnuz Zubair.

Syu'bah, Hammam meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat Lohor."

Abu Daud At-Tayalisi dan lain-lainnya meriwayatkan dari Syu'bah, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar (salah seorang anak Umar ibnul Khattab r.a.) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abdur Rahman ibnu Aban ibnu Usman menceritakan asar berikut dari ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, "Salat wusta adalah salat Lohor."

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zai-dah, dari Abdus Samad, dari Syu'bah, dari Umar ibnu Sulaiman, dari Zaid ibnu Sabit di dalam hadis marfu'-nya yang mengatakan: Salat wusta adalah salat Lohor.

Di antara orang-orang yang meriwayatkan darinya (Zaid ibnu Sabit), bahwa salat wusta itu adalah salat Lohor ialah Ibnu Umar, Abu Sa'id, dan Siti Aisyah, sekalipun masih diperselisihkan keabsahannya dari mereka. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair dan Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had, serta salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah.

Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Asar. Imam Turmuzi dan Imam Bagawi mengatakan bahwa hal inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya.

Al-Qadi Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan tabi'in.

Al-Hafiz Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ahli asar. Abu Muhammad ibnu Atiyyah di dalam tafsirnya mengatakan, hal inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama.

Al-Hafiz Abu Muhammad Abdul Mumin ibnu Khalaf Ad-Dimyati di dalam kitabnya yang berjudul Kasyful Gita fi Tabyini Salatil Wusta (Menyingkap Tabir Rahasia Salat Wusta) mengatakan, telah di-naskan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar. Ia meriwayatkannya dari Umar, Ali, Ibnu Mas'ud, Abu Ayyub, Abdullah ibnu Amr, Samurah ibnu Jundub, Abu Hurairah, Abu Sa'id, Hafsah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah, menurut pendapat yang sahih dari mereka.

Ubaidah, Ibrahim An-Nakha'i, Razin, Zur ibnu Hubaisy, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Ubaid ibnu Maryam dan lain-lainnya mengatakan bahwa pendapat inilah yang dianut oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal.

Al-Qadi Al-Mawardi dan Imam Syafii mengatakan bahwa Ibnul Munzir pernah mengatakan, "Pendapat inilah yang sahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dipilih oleh Ibnu Habib Al-Maliki."

Dalil yang memperkuat pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Muslim, dari Syittir ibnu Syakl, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda dalam Perang Ahzab:

"شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى، صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ نَارًا". ثُمَّ صَلَّاهَا بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ: الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ

Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api. Kemudian Rasulullah Saw. mengerjakannya di antara salat Magrib dan Isya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Abu Mu'awiyah dan Muhammad ibnu Hazm yang tuna netra, sedangkan Imam Nasai meriwayatkannya dari jalur Isa ibnu Yunus. Keduanya meriwayatkan hadis ini dari Al-A'masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Abud Duha, dari Syittir ibnu Syakl ibnu Humaid, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Syu'bah, dari Al-Hakam ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnul Jazzar, dari Ali ibnu Abu Talib.

Syaikhain, Abu Daud, Turmuzi, dan Imam Nasai serta bukan hanya seorang dari kalangan pemilik kitab musnad, sunah, dan sahih telah mengetengahkannya melalui berbagai jalur yang amat panjang bila dikemukakan, melalui Ubaidah As-Salmani, dari Ali dengan lafaz yang sama.

Imam Turmuzi dan Imam Nasai meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, dari Ali dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, "Belum pernah dikenal bahwa Al-Hasan Al-Basri pernah mendengar dari Ali."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari Asim, dari Zur yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ubaidah, "Tanyakanlah kepada sahabat Ali tentang makna salat wusta." Lalu Ubaidah menanyakan hal ini kepadanya. Maka Ali menjawab, "Dahulu kami menganggapnya salat fajar yakni salat Subuh, hingga aku mendengar dari Rasulullah Saw. yar.g telah bersabda dalam Perang Ahzab:

"شَغَلُونَا عَنِ الصَّلَاةِ الْوُسْطَى صَلَاةِ الْعَصْرِ، مَلَأَ اللَّهُ قُبُورَهُمْ وَأَجْوَافَهُمْ -أَوْ بُيُوتَهُمْ -نَارًا"

Mereka menyibukkan kami dari salat wusta, yaitu salat Asar. Semoga Allah memenuhi kubur mereka dan perut mereka atau rumah mereka dengan api'."

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari Ibnu Mahdi dengan lafaz yang sama.

Hadis mengenai Perang Ahzab dan kaum musyrik yang membuat Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sibuk hingga tidak dapat mengerjakan salat Asar pada hari itu diriwayatkan oleh banyak perawi dari para sahabat yang bila disebutkan akan panjang sekali. Hal yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah menerangkan tentang pendapat orang yang mengatakan bahwa salat wusta itu adalah salat Asar dengan berdalilkan hadis ini.

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Ibnu Mas'ud dan Al-Barra ibnu Azib r.a.

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"صَلَاةُ الْوُسْطَى: صَلَاةُ الْعَصْرِ"

Salat wusta adalah salat Asar.

Telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu beliau Saw. menyebutkan keterangannya kepada kami sebagai salat Asar.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far dan Rauh; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda sehubungan dengan salat wusta: Ia adalah salat Asar,

Ibnu Ja'far mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda demikian karena ditanya mengenai maksud salat wusta.

Imam Turmuzi meriwayatkan pula hadis ini melalui hadis Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih. Imam Turmuzi pernah mendengar hadis lainnya (mengenai masalah yang sama) dari Sa'id ibnu Abu Arubah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mani', telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Ata, dari At-Taimi, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.

Jalur yang lain —dan bahkan hadis yang lain— diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa Al-Musanna telah menceritakan kepadanya, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad Al-Jarasyi Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang pernah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepadanya Khalid ibnu Dihqan, dari Khalid ibnu Sailan, dari Kahil ibnu Harmalah yang pernah menceritakan bahwa Abu Hurairah pernah ditanya mengenai makna salat wusta. Maka ia menjawab, "Kami pernah berselisih pendapat mengenainya sebagaimana kalian berbeda pendapat mengenainya. Saat itu kami berada di halaman rumah Rasulullah Saw. dan di kalangan kami terdapat seorang lelaki yang saleh, yaitu Abu Hasyim ibnu Atabah ibnu Rabi'ah ibnu Abdu Syams. Ia berkata, 'Akulah yang akan memberitahukannya kepada kalian.' Lalu ia meminta izin untuk menemui Rasulullah Saw. Setelah diberi izin, ia masuk menemuinya. Kemudian ia keluar menemui kami, lalu berkata, 'Beliau telah bersabda kepada kami bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Asar'." Ditinjau dari segi sanad ini predikat hadis garib jiddan.

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam, dari Muslim maula Abu Jubair, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Yazid Ad-Dimasyqi yang menceritakan asar berikut: Ketika aku sedang duduk di majelis Abdul Aziz ibnu Marwan, maka Abdul Aziz ibnu Marwan berkata, "Hai Fulan, berangkatlah kepada si anu dan tanyakanlah 'apa saja yang pernah ia dengar dari Rasulullah Saw. tentang salat wusta'." Maka seorang lelaki dari hadirin yang ada di majelis berkata, "Abu Bakar dan Umar pernah mengutusku, ketika itu aku masih kecil untuk menanyakan kepada beliau Saw. tentang salat wusta. Maka beliau Saw. memegang jari kecilku, lalu bersabda, 'Ini adalah salat Subuh,' lalu memegang jari sesudahnya dan bersabda, 'Ini salat Lohor.' Lalu memegang jari jempolku dan bersabda, 'Ini salat Magrib,' lalu beliau memegang jari sesudahnya (yakni jari telunjukku) dan bersabda, 'Ini salat Isya.' Kemudian beliau Saw. bersabda, 'Jarimu yang manakah yang belum terpegang?' Aku menjawab, 'Jari tengah.' Dan beliau saw. bersabda, 'Salat apakah yang belum disebutkan?' Aku menjawab, 'Salat Asar.' Maka beliau bersabda, 'Salat wusta adalah salat Asar'."

Akan tetapi, hadis ini pun berpredikat garib (aneh).

Hadis lainnya, Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Auf At-Ta-i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abu Damdam ibnu Zar'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.

Sanad hadis ini tidak mengandung cela.

Hadis lain diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban yang mengatakan di dalam kitab sahihnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Hammam ibnu Mauriq Al-Ajali, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.

Dan sesungguhnya Imam Turmuzi meriwayatkan melalui hadis Muhammad ibnu Talhah ibnu Musarrif, dari Zubaid Al-Yami, dari Mur-rah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Salat wusta adalah salat Asar.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya melalui jalur Muhammad ibnu Talhah yang lafaznya seperti berikut: Mereka telah menyibukkan kita dari salat wusta, yaitu salat Asar.

Semua dalil dalam masalah ini tidak mengandung suatu takwil pun (karena sudah jelas), dan hal ini diperkuat dengan adanya perintah yang menganjurkan untuk memelihara salat wusta. Dalil lainnya ialah sabda Nabi Saw. di dalam sebuah hadis sahih melalui riwayat Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«مَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وَتِرَ أَهْلَهُ وَمَالَهُ»

Barang siapa yang meninggalkan salat Asarnya, maka seakan-akan ia seperti orang yang kehilangan keluarga dan harta bendanya.

Di dalam kitab sahih pula dari hadis Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Qilabah, dari Abu Kasir, dari Abul Mujahir, dari Buraidah ibnul Hasib, dari Nabi Saw., disebutkan seperti berikut, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

«بَكِّرُوا بِالصَّلَاةِ فِي يَوْمِ الْغَيْمِ، فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ، فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»

Bersegeralah dalam melakukan salat (yakni di awal waktunya) pada hari yang berawan; karena sesungguhnya barang siapa yang meninggalkan salat Asar, niscaya amal perbuatannya dihapuskan.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هُبَيْرَةَ، عَنْ أَبِي تَمِيمٍ، عَنْ أَبِي بَصْرَةَ الْغِفَارِيِّ قَالَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَادٍ مِنْ أَوْدِيَتِهِمْ، يُقَالُ لَهُ: المخَمَّص صَلَاةَ الْعَصْرِ، فَقَالَ: "إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ صَلَاةَ الْعَصْرِ عُرِضَت عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ فَضَيَّعُوهَا، أَلَا وَمَنْ صَلَّاهَا ضُعِّف لَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ، أَلَا وَلَا صَلَاةَ بَعْدَهَا حَتَّى تَرَوُا الشَّاهِدَ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Hubairah, dari Abu Tamim, dari Abu Nadrah Al-Gifari yang menceritakan hadis berikut: Kami salat dengan Rasulullah Saw. di sebuah lembah milik mereka yang dikenal dengan nama Al-Hamis, yaitu salat Asar. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya salat ini pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu mereka menyia-nyiakannya. Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya, maka dilipatgandakan pahalanya menjadi dua kali lipat. Ingatlah, tiada salat (sunat) sesudahnya sebelum kalian melihat asy-syahid (matahari tenggelam dan malam hari mulai gelap).

Kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa dia meriwayatkannya pula dari Yahya ibnu Ishaq, dari Al-Lais, dari Jubair ibnu Na'im, dari Abdullah ibnu Hubairah dengan lafaz yang sama.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Nasai secara bersamaan, dari Qutaibah, dari Al-Lais.

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadis Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib; keduanya menerima hadis ini dari Jubair ibnu Na'im Al-Hadrami, dari Abdullah ibnu Hubairah As-Siba-i dengan lafaz yang sama.

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah seperti berikut:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ، أَخْبَرَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ أَبِي يُونُسَ مَوْلَى عَائِشَةَ قَالَ: أَمَرَتْنِي عَائِشَةُ أَنْ أَكْتُبَ لَهَا مُصْحَفًا، قَالَتْ: إِذَا بَلَغْتَ هَذِهِ الْآيَةَ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى فَآذِنِّي. فَلَمَّا بَلَغْتُهَا آذَنْتُهَا، فَأَمْلَتْ عَلَيَّ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ" قَالَتْ: سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Al-Qa'qa ibnu Hakim, dari Abu Yunus maula Aisyah yang menceritakan hadis berikut: Siti Aisyah pernah memerintahkan kepadaku agar menuliskan buatnya sebuah mushaf. Ia berkata, "Apabila tulisanmu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya, 'Peliharalah semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238), maka beri tahukanlah aku." Ketika tulisanku sampai pada ayat ini, maka kuberi tahu dia. Lalu ia mengimlakan kepadaku yang bunyinya menjadi seperti berikut, "Peliharalah semua salat kalian dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk." Lalu Siti Aisyah-berkata bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah Saw.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Yahya ibnu Yahya, dari Malik dengan lafaz yang sama.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: كَانَ فِي مُصْحَفِ عَائِشَةَ: "حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَهِيَ صَلَاةُ الْعَصْرِ".

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan ke-pada kami Hammad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Aisyah disebutkan seperti berikut: Peliharalah semua salat (kalian) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.

Hal yang sama diriwayatkan pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, seperti berikut: Bahwa Rasulullah Saw. membacanya seperti itu (yakni memakai tafsirnya).

Imam Malik meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Amr ibnu Rafi' yang mengatakan, "Dahulu aku pernah menuliskan sebuah mushaf untuk Siti Hafsah, istri Nabi SAW. Lalu ia berkata, 'Apabila tulisanmu sampai kepada firman-Nya: Peliharalah semua salatmu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah: 238) maka beri tahukanlah aku.' Ketika tulisanku sampai kepadanya, aku beri tahu dia, dan ia mengirimkan kepadaku ayat tersebut yang bunyinya seperti berikut: 'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk'."

Hal yang sama diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ja'far (yaitu Muhammad ibnu Ali dan Nafi' maula Ibnu Umar), bahwa Amr ibnu Rafi' menceritakan hadis ini dengan lafaz yang semisal. Akan tetapi, di dalam riwayat ini ditambahkan bahwa Siti Hafsah berkata, "Seperti yang aku hafalkan dari Nabi Saw."

Jalur lain dari Hafsah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Abdullah ibnu Yazid Al-Azdi, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Siti Hafsah memerintahkan seseorang untuk menuliskan sebuah mushaf buatnya, lalu ia berpesan, "Jika kamu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah semua salatmu) dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238). maka beri tahukanlah aku." Ketika si penulis sampai pada ayat tersebut, ia memberitahukannya kepada Siti Hafsah. Lalu Siti Hafsah memerintahkan kepadanya agar mencatat apa yang diucapkannya, yaitu: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar.

Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', bahwa Siti Hafsah pernah memerintahkan kepada salah seorang maula (pelayan)nya untuk menuliskan sebuah mushaf untuknya. Ia berpesan kepada maulanya, "Apabila tulisanmu sampai kepada ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta' (Al-Baqarah: 238). janganlah kamu tulis, karena aku yang akan mengimlakannya kepadamu seperti apa yang pernah kudengar Rasulullah Saw. membacakannya." Setelah Nafi' sampai kepada ayat ini, maka Hafsah memerintahkan kepadanya untuk menulisnya seperti berikut:

«حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَصَلَاةِ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ»

Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.

Nafi' mengatakan bahwa ia membaca mushaf tersebut, dan ternyata ia menjumpai adanya huruf wawu.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas dan Ubaid ibnu Umair, bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan tersebut (yakni memakai wasalatil asri).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Amr ibnu Rafi' maula Urnar yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Hafsah terdapat: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta, yaitu salat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.

Menurut analisis dari orang-orang yang menentang pendapat ini, lafaz salatil 'asri di-'ataf-kan kepada salatil wusta dengan memakai wawu 'ataf. Hal ini menunjukkan makna mugayarah (perbedaaan antara ma'tuf dan ma'tuf 'alaih). Maka demikian itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah selain salat Asar.

Akan tetapi, sanggahan tersebut dapat dibantah dengan berbagai alasan, antara lain ialah 'jika hal ini diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadis Ali lebih sahih dan lebih jelas darinya'. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa wawu yang ada merupakan huruf zaidah (tambahan), seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:

وَكَذلِكَ نُفَصِّلُ الْآياتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur'an, supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An'am: 55)

وَكَذلِكَ نُرِي إِبْراهِيمَ مَلَكُوتَ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ

Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. (Al-An'am: 75)

Atau huruf wawu pada ayat untuk tujuan 'ataf sifat kepada sifat yang lain, bukan zat kepada zat. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

وَلكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخاتَمَ النَّبِيِّينَ

tetapi dia adalah Rasulullah dan penulup nabi-nabi. (Al-Ahzab: 4)

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدى وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعى

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. (Al-A'la: 1-4)

Ayat-ayat lainnya yang serupa cukup banyak. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan:

إِلَى الْمَلِكِ الْقَرْمِ وَابْنِ الْهُمَامِ ... وَلَيْثِ الْكَتِيبَةِ فِي الْمُزْدَحَمِ ...

Kepada raja yang agung yaitu anak orang yang berkuasa, harimau dalam barisan perang bila perang berkobar.

Abu Daud Al-Iyadi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:

سَلَّطَ الْمَوْتَ وَالْمَنُونَ عَلَيْهِمْ ... فَلَهُمْ فِي صَدَى الْمَقَابِرِ هَامُ

Semoga maut dan ajal menguasai mereka, maka tempat mereka hanyalah kuburan.

Al-maut yang juga berarti al-manun; keduanya mempunyai makna yang sama, yaitu maut. Addi ibnu Zaid Al-Ibadi mengatakan:

فَقَدَّمْتُ الْأَدِيمَ لِرَاهِشِيهِ ... فَأَلْفَى قَوْلَهَا كَذِبًا وَمَيْنَا

Ia memotong kulit itu untuk kedua sisi pelananya, maka ia menjumpai ucapannya hanya dusta dan main-main.

Al-main dan al-kazib artinya sama, yakni dusta. Imam Sibawaih —Syekh ilmu Nahwu— menaskan bahwa seseorang diperbolehkan mengatakan, "Aku bersua dengan saudaramu yang juga temanmu." Dengan demikian, berarti pengertian teman adalah saudara juga, yakni keduanya adalah orang yang sama.

Jika diriwayatkan bacaan wasalatil 'asri adalah Al-Qur'an, maka riwayat mengenainya tidak mutawatir dan hanya dibuktikan melalui hadis ahad yang tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan Al-Qur'an. Karena itulah maka bacaan tersebut tidak ditetapkan oleh Amirul Muminin Usman ibnu Affan di dalam mushafnya. Tiada seorang ahli qurra pun yang membacanya dari kalangan mereka yang qiraahnya dapat dijadikan sebagai hujah, baik dari kalangan qurra sab'ah maupun dari lainnya.

Kemudian ada suatu riwayat yang menunjukkan bahwa qiraah tersebut di-mansukh, yang dimaksud ialah qiraah yang terdapat di dalam hadis di atas (yakni lafaz wa salatil 'asri).

Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Rahawaih, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Fudail ibnu Marzuq. dari Syaqiq ibnu Uqbah, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pada mulanya diturunkan ayat berikut: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat Asar. Maka kami membacakannya kepada Rasulullah Saw. selama apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah Swt. menasakhnya dengan menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua salat(mu) dan (peliharalah) salat wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Zahir yang saat itu ada bersama Syaqiq. Ia bertanya, "Apakah salat wusta itu adalah salat Asar?" Syaqiq menjawab, "Sesungguhnya aku telah menceritakan kepadamu bagaimana pada mulanya ayat ini diturunkan dan bagaimana pada akhirnya Allah Swt. menasakhnya."

Imam Muslim mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al-Asyja'i, dari As-Sauri, dari Al-Aswad, dari Syaqiq.

Menurut kami, Syaqiq ini tidak pernah hadisnya diriwayatkan oleh Imam Muslim kecuali hanya hadis yang satu ini.

Berdasarkan hal ini berarti tilawah. ini —yakni tilawah yang terakhir— menasakh lafaz yang ada di dalam riwayat Siti Aisyah dan Siti Hafsah, juga maknanya, sekalipun huruf wawu yang ada menunjukkan makna mugayarah. Jika bukan menunjukkan makna mugayarah, berarti yang di-mansukh hanyalah lafazhya saja.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Magrib. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Abbas, tetapi di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan kesahihannya. Karena sesungguhnya Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Abul Jamahir, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari pamannya, dari Ibnu Abbas.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Magrib, dan pendapat ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Qubaisah ibnu Zuaib. Qatadah meriwayatkan demikian, menurut riwayat yang bersumber darinya, sekalipun ada perbedaan pendapat.

Sebagian dari mereka yang berpendapat demikian mengemukakan alasannya bahwa salat Magrib dinamakan salat wusta karena bilangan rakaatnya pertengahan antara salat ruba'iyyah dan salat Sunaiyyah, atau karena bilangan rakaatnya ganjil di antara salat-salat fardu lainnya, juga karena hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaannya.

Menurut pendapat lain, salat wusta adalah salat Isya. Pendapat ini dipilih oleh Ali ibnu Ahmad Al-Wahidi di dalam kitab tafsirnya yang terkenal itu.

Menurut pendapat yang lainnya, salat wusta adalah salah satu dari salat fardu yang lima waktu tanpa ada penentuan, dan sesungguhnya salat wusta ini disamarkan di antara salat lima waktu; perihalnya sama dengan lailatul qadar yang disamarkan dalam tahun, bulan, dan bilangan puluhannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, dan Nafi' maula Ibnu Umar serta Ar-Rabi' ibnu Khaisam. Pendapat ini dinukil pula dari Zaid ibnu Sabit, lalu dipilih oleh Imamul Haramain —yaitu Al-Juwaini— di dalam kitab nihayahnya.

Menurut pendapat lain, salat wusta itu adalah semua salat lima waktu. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Umar. Akan tetapi, kesahihan dari riwayat ini pun masih perlu dipertimbangkan. Yang mengherankan, pendapat ini dipilih oleh Syekh Abu Amr ibnu Abdul Bar An-Numairi, seorang imam di negeri seberang laut. Sesungguhnya hal ini merupakan salah satu dosa besar, mengingat ia memilihnya, padahal ia memiliki wawasan luas lagi hafal semuanya, selagi ia tidak dapat menegakkan hujah yang memperkuat pendapatnya, baik dari Al-Qur'an atau sunnah atau asar.

Menurut pendapat yang lain, salat wusta itu adalah salat Isya dan salat Subuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah salat berjamaah. Pendapat lain mengatakan salat Jumat, ada yang berpendapat salat Khauf, yang lain mengatakan salat Idul Fitri, dan yang lainnya lagi mengatakan salat Idul Adha. Menurut pendapat yang lain yaitu salat witir, ada pula yang mengatakannya salat duha. Sementara ulama lainnya hanya bersikap abstain, mengingat menurut mereka dalilnya bersimpang siur dan tidak jelas mana yang lebih kuat di antaranya. Sedangkan ijma' belum pernah ada kesepakatan mengenainya dalam satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat masih tetap ada sejak zaman sahabat hingga masa sekarang.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar dan Ibnu Musanna; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Qatadah menceritakan asar berikut dari Sa'id ibnul Musayyab yang pernah bercerita bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Saw. berselisih pendapat tentang salat wusta seperti ini, lalu ia merangkumkan jari jemari kedua tangannya menjadi satu.

Semua pendapat mengenai salat wusta ini dinilai lemah bila dibandingkan dengan pendapat sebelumnya. Sesungguhnya pokok pangkal perselisihan ini terpusat pada salat Subuh dan salat Asar. Sunnah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan salat wusta ialah salat Asar, maka hal ini dapat dijadikan pegangan.

قَدْ رَوَى الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ الرَّازِيُّ فِي كِتَابِ "فَضَائِلِ الشَّافِعِيِّ" رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا أَبِي، سَمِعْتُ حَرْمَلَةَ بْنَ يَحْيَى التُّجِيبِيَّ يَقُولُ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ، فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَى، وَلَا تُقَلِّدُونِي.

Imam Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu Hatim Ar-Razi) telah mengatakan di dalam kitab Fadhail Asy-Syafii, telah menceritakan kepada kami ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Harmalah ibnu Yahya Al-Lakhami mengatakan bahwa Imam Syafii pernah berkata, "Semua pendapatku, lalu ada hadis Nabi Saw. yang sahih berbeda dengan pendapatku, maka hadis Nabi adalah lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian mengikutiku."

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ar-Rabi', Az-Za'farani, dan Ahmad ibnu Hambal, dari Imam Syafii.

Musa Abul Walid ibnu Abul Jarud meriwayatkan dari Imam Syafii yang mengatakan,

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ وَقُلْتُ قَوْلًا فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْ قَوْلِي وَقَائِلٌ بِذَلِكَ.

"Apabila ada hadis sahih, sedangkan aku mempunyai pendapat lain, maka aku mencabut kembali pendapatku dan merujuk kepada hadis sahih tersebut."

Demikianlah keutamaan dan ketulusan yang dimiliki oleh Imam Syafii. Jejaknya itu ternyata diikuti pula oleh saudara-saudaranya dari kalangan para imam rahimahumullah.

Berangkat dari pengertian tersebut, maka Al-Qadi Al-Mawardi memutuskan bahwa mazhab Imam Syafii mengatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar, sekalipun dalam qaul jadid-nya Imam Syafii menaskan bahwa salat wusta adalah salat Subuh, mengingat hadis-hadis yang sahih menyatakan bahwa salat wusta adalah salat Asar.

Pendapatnya ini ternyata didukung oleh sejumlah ahli hadis dari kalangan mazhab Imam Syafii sendiri.

Akan tetapi, dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafii ada yang menolak bahwa salat wusta sebagai salat Asar, dan mereka bersikeras bahwa yang dimaksud dengan salat wusta adalah salat Subuh saja.

Al-Mawardi mengatakan bahwa di antara mereka ada yang meriwayatkan masalah ini dua pendapat. Untuk lebih jelasnya, rincian mengenai masalah ini antara sanggahan dan bantahan terdapat di dalam kitab lain yang telah kami tulis khusus untuk masalah tersebut.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238)

Yakni khusyuk, rendah diri, dan tenang berada di hadapan-Nya. Perintah ini mengharuskan tidak boleh berbicara dalam salat, karena berbicara dalam salat bertentangan dengan hal tersebut. Karena itulah Rasulullah Saw. tidak menjawab salam yang diucapkan oleh Ibnu Mas'ud kepadanya ketika beliau sedang salat. Setelah beliau Saw. selesai dari salatnya, barulah beliau bersabda:

«إِنَّ فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا»

Sesungguhnya di dalam salat benar-benar ada kesibukan.

Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Mu'awiyah ibnu Hakam As-Sulami ketika berbicara dalam salatnya:

«إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ، إِنَّمَا هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَذِكْرُ اللَّهِ»

Sesungguhnya salat ini tidak layak dilakukan padanya sesuatu pun dari pembicaraan manusia, melainkan salat itu adalah tasbih, takbir, dan zikrullah.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ismail, telah menceritakan kepadaku Al-Haris ibnu Syubail, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Zaid ibnu Arqam yang menceritakan bahwa di zaman Nabi Saw. seorang lelaki biasa berbicara dengan temannya untuk suatu keperluan di dalam salat, hingga turunlah firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) Kemudian kami diperintahkan agar diam. Hadis ini diriwayatkan oleh Jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur, dari Ismail.

Akan tetapi, hadis ini dianggap sebagai suatu hal yang musykil oleh sebagian ulama, karena telah terbukti di kalangan mereka bahwa pengharaman berbicara dalam salat terjadi di Mekah sebelum hijrah ke Madinah, tetapi sesudah hijrah ke negeri Habsyah. Seperti yang ditunjukkan oleh makna yang terkandung di dalam hadis Ibnu Mas'ud yang terdapat di dalam kitab sahih.

Disebutkan, "Kami dahulu biasa mengucapkan salam kepada Nabi Saw. sebelum kami hijrah ke negeri Habsyah, sedangkan beliau dalam salatnya. Maka beliau Saw. selalu menjawab salam kami." Ibnu Mas'ud melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia tiba (dari Habsyah), lalu ia mengucapkan salam kepadanya, tetapi ternyata beliau tidak menjawab salamnya. Maka hati Ibnu Mas'ud dipenuhi oleh berbagai macam perasaan yang mengkhawatirkan. Tetapi setelah beliau Saw. bersalam, beliau bersabda:

وَعَلَيْكَ السَّلَامُ، أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا كُنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ فَاقْنُتُوا وَلَا تَكَلَّمُوا"

Sesungguhnya aku tidak menjawab kamu tiada lain karena aku sedang dalam salat, dan sesungguhnya Allah memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya; dan sesungguhnya di antara perintah yang diperbarui-Nya ialah janganlah kalian berbicara di dalam salat.

Sesungguhnya sahabat Ibnu Mas'ud termasuk salah seorang yang masuk Islam paling dahulu, ia ikut hijrah ke negeri Habsyah dan datang kembali dari Habsyah ke Mekah bersama orang-orang yang datang, lalu ia hijrah ke Madinah. Ayat ini, yaitu firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) adalah Madiniyah, tanpa ada yang memperselisihkannya. Maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Zaid ibnu Arqan bermaksud dengan ucapannya yang mengatakan bahwa 'seorang lelaki berbicara kepada saudaranya tentang keperluannya di dalam salat' hanyalah menceritakan tentang jenis pembicaraan. Ia mengambil kesimpulan dalil dari ayat ini untuk mengharamkan hal tersebut sesuai dengan apa yang dipahaminya dari ayat ini.

Ulama lainnya berpendapat, sesungguhnya ia bermaksud bahwa hal tersebut (berbicara dalam salat) telah terjadi pula sesudah hijrah ke Madinah. Dengan demikian, berarti hal tersebut telah diperbolehkan sebanyak dua kali dan diharamkan sebanyak dua kali pula, seperti pendapat yang dipilih oleh segolongan orang dari kalangan teman-teman kami dan lain-lainnya. Akan tetapi, pendapat pertama lebih kuat.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى: حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْوَلِيدِ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يَحْيَى، عَنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: كُنَّا يُسَلِّمُ بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الصَّلَاةِ، فَمَرَرْتُ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ، فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهُ نَزَلَ فيَّ شَيْءٌ، فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ: "وَعَلَيْكَ السَّلَامُ، أَيُّهَا الْمُسَلِّمُ، وَرَحْمَةُ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، يُحْدِثُ مِنْ أَمْرِهِ مَا يَشَاءُ فَإِذَا كُنْتُمْ فِي الصَّلَاةِ فَاقْنُتُوا وَلَا تَكَلَّمُوا"

Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yahya, dari Al-Musayyab, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadis berikut: Kami biasa mengucapkan salam antara sebagian kami kepada sebagian yang lain di dalam salat. Lalu aku bersua dengan Rasulullah Saw., dan aku mengucapkan salam kepadanya, ternyata beliau tidak menjawab salamku, hingga timbullah dugaan dalam diriku bahwa telah turun sesuatu mengenai diriku. Setelah Nabi Saw. Menyelesaikan salatnya, beliau bersabda, "Wa'alaikas salam warahmatulldhi, hai orang muslim. Sesungguhnya Allah Swt. memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka apabila kalian berada di dalam salat, bersikap khusyuklah kalian dan janganlah kalian berbicara.”

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239)

Sesudah Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar memelihara semua salat dan menegakkan batasan-batasannya serta mempertegas perintah ini dengan ungkapan yang mengukuhkan, lalu Allah Swt. menyebutkan suatu keadaan yang biasanya menyibukkan seseorang dari mengerjakan salat dengan cara yang sempurna, yaitu keadaan perang dan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا

Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)

Yakni salatlah kalian dalam keadaan bagaimanapun, baik kalian sedang berjalan ataupun berkendaraan. Dengan kata lain, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak. Demikianlah seperti yang diriwaya-kan oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat khauf, maka ia menggambarkannya, lalu berkata, "Dan jika keadaan takut lebih mencekam dari keadaan lainnya, maka mereka salat sambil berjalan kaki atau berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak menghadap kepadanya."

Selanjutnya Nafi' mengatakan, ia merasa yakin bahwa tidak sekali-kali Ibnu Umar menyebutkan demikian melainkan hanya dari Nabi Saw. semata-mata. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari pula, sedangkan apa yang disebutkan menurut lafaz Imam Muslim.

Imam Bukhari meriwayatkan pula dari jalur yang lain, yaitu dari Ibnu Juraij, dari Musa ibnii Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. hal yang semisal atau mirip dengannya.

Imam Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Umar yang telah mengatakan: Apabila rasa takut (bahaya) lebih mencekam dari itu, maka salatlah kamu —baik sedang berkendaraan ataupun berdiri— dengan memakai isyarat yang sesungguhnya.

Di dalam hadis Abdullah ibnu Unais Al-Juhani disebutkan bahwa tatkala Nabi Saw. mengutusnya untuk membunuh Khalid ibnu Sufyan Al-Huzali, ketika itu Khalid berada di arah Arafah atau Arafat. Setelah Abdullah ibnu Unais berhadapan dengannya, maka tibalah waktu salat Asar. Abdullah ibnu Unais melanjutkan kisahnya, ""Maka aku merasa khawatir bila kesempatan ini digunakan oleh musuh, lalu aku salat dengan memakai isyarat," hingga akhir hadis yang cukup panjang. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud dengan sanad yang jayyid (baik).

Salat dengan cara demikian merupakan salah satu rukhsah (keringanan) dari Allah buat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, maka terlepaslah dari mereka belenggu dan beban yang memberatkan mereka.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula melalui jalur Syahib, dari Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu 'hendaklah orang yang berkendaraan salat di atas kendaraannya dan orang yang berjalan kaki salat sambil berjalan kaki'.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Mujahid, Makhul, As-Saddi, Al-Hakam, Malik, Al-Auza'i, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh. Di dalam riwayat ini ditambahkan, hendaklah ia salat dengan cara memakai isyarat dengan kepalanya ke arah mana pun kendaraannya menghadap.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Gassan, telah menceritakan kepada kami Daud (yakni Ibnu Ulayyah), dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, "Apabila pedang saling beradu, hendaklah seseorang salat dengan isyarat kepalanya menghadap ke arah mana pun menurut mukanya menghadap." Yang demikian itu adalah makna firman-Nya: sambil berjalan kaki atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)

Telah diriwayatkan hal yang sama dari Al-Hasan, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Atiyyah, Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah.

Imam Ahmad berpendapat menurut nas yang telah ditetapkannya, bahwa salat khauf dalam kondisi tertentu adakalanya dikerjakan hanya dengan satu rakaat, yaitu di saat kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran yang sengit. Berdasarkan pengertian inilah diinterpretasikan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir melalui hadis Abu Uwanah Al-Waddah, dari Abdullah Al-Yasykuri —Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ayyub ibnu Aiz menambahkan— bahwa keduanya meriwayatkan hadis ini dari Bukair ibnul Akhnas Al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Allah telah memfardukan salat atas kalian melalui lisan Nabi kalian sebanyak empat rakaat bila kalian berada di tempat tinggal dan dua rakaat bila kalian sedang bepergian, dan dalam keadaan khauf satu rakaat.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi,dari Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah tentang salat di .saat pedang sedang beradu. Maka mereka menjawab, "Satu rakaat saja."

Hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sauri dari mereka.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa salat khauf adalah satu rakaat.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Jarir.

Imam Bukhari di dalam Bab "Salat di Saat Mengepung Benteng Musuh dan Bersua dengan Musuh" dan Al-Auza'i mengatakan, "Apabila kemenangan telah di ambang pintu, sedangkan mereka tidak mampu mengerjakan salat, hendaklah mereka salat dengan isyarat, yakni masing-masing dari pasukan salat untuk dirinya sendiri. Jika mereka tidak juga mampu mengerjakan salat dengan isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan salat hingga perang berhenti dan aman dari serangan musuh, barulah mereka mengerjakan salat sebanyak dua rakaat saja. Apabila situasi tidak mengizinkan mereka salat dua rakaat, maka salat cukup dilakukan hanya dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika mereka tidak mampu mengerjakannya, karena takbir saja tidak cukup untuk mereka, maka hendaklah mereka akhirkan salatnya hingga situasi aman."

Hal yang sama dikatakan pula oleh Makhul.

Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia ikut dalam serangan menjebolkan Benteng Tustur. Serangan ini dilakukan di saat fajar mulai terang, lalu berkobarlah pertempuran sengit, hingga mereka tidak mampu mengerjakan salat (Subuhnya). Kami tidak salat kecuali setelah matahari meninggi, lalu kami salat bersama Abu Musa dan kami peroleh kemenangan. Anas mengatakan, "Salat tersebut bagiku lebih baik daripada dunia dan seisinya." Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari.

Kemudian Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya itu dengan dalil hadis yang menceritakan Nabi Saw. mengakhirkan salat Asar pada hari Perang Khandaq karena uzur sedang menjalani perang, dan beliau baru melaksanakan salatnya itu setelah matahari tenggelam. Ketika Nabi Saw. mempersiapkan mereka untuk menyerang Bani Quraizah, maka beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya:

"لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"

Jangan sekali-kali seseorang dari kalian salat Asar melainkan nanti di tempat Bani Quraizah.

Akan tetapi, sebagian orang ada yang menjumpai waktu salat di tengah jalan, lalu mereka mengerjakannya, dan mereka mengatakan, "Tidak sekali-kali Rasulullah Saw. memerintahkan demikian kepada kami melainkan beliau menghendaki agar kami tiba dengan cepat." Di antara mereka ada yang menjumpai waktu salat, tetapi mereka tidak mengerjakannya hingga matahari tenggelam di tempat Bani Quraizah (karena patuh kepada makna lahiriah perintah Rasul Saw.). Tetapi Nabi Saw. tidak mencela salah satu pihak pun di antara dua kelompok sahabatnya itu. Hal inilah yang menjadi dasar pegangan pilihan Imam Bukhari terhadap pendapat ini, sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan alasannya bahwa salat khauf menurut gambaran yang disebutkan di dalam surat An-Nisa dan diterangkan oleh banyak hadis masih belum disyariatkan di waktu Perang Khandaq. Sesungguhnya salat khauf itu hanyalah disyariatkan setelah masa itu, hal ini secara jelas disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id dan lain-lainnya.

Adapun Makhul, Al-Auza'i, dan Imam Bukhari menjawab bantahan itu, bila salat khauf memang disyariatkan sesudah Perang Khandaq, kenyataan ini tidaklah bertentangan dengan hal tersebut, mengingat hal ini merupakan keadaan yang jarang terjadi lagi bersifat khusus. Oleh karena itu, sehubungan dengan masalah ini diperbolehkan hal seperti apa yang kami katakan. Sebagai dalilnya ialah perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat di masa pemerintahan Khalifah Umar, yaitu dalam penaklukan kota Tustur yang terkenal itu, dan tiada seorang ulama pun yang membantahnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah. (Al-Baqarah: 239)

Artinya, dirikanlah salat kalian seperti yang diperintahkan kepada kalian. Untuk itu sempurnakanlah rukuk, sujud, qiyam, duduk, khusyuk, dan bangunnya.

كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239)

Yakni sebagaimana Dia telah melimpahkan nikmat dan memberi petunjuk iman serta mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Maka kalian harus membalas-Nya dengan bersyukur dan berzikir menyebut-Nya. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang juga setelah menyebut masalah salat khauf, yaitu firman-Nya:

فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتاباً مَوْقُوتاً

Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 13)

Hadis-hadis yang menerangkan perihal salat khauf dan cara-caranya akan diketengahkan nanti dalam tafsir surat An-Nisa yaitu pada firman-Nya:

وَإِذا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 12)


فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًۭا ۖ فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ 239

(239) Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

(239) 

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239)

Sesudah Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar memelihara semua salat dan menegakkan batasan-batasannya serta mempertegas perintah ini dengan ungkapan yang mengukuhkan, lalu Allah Swt. menyebutkan suatu keadaan yang biasanya menyibukkan seseorang dari mengerjakan salat dengan cara yang sempurna, yaitu keadaan perang dan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا

Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)

Yakni salatlah kalian dalam keadaan bagaimanapun, baik kalian sedang berjalan ataupun berkendaraan. Dengan kata lain, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak. Demikianlah seperti yang diriwaya-kan oleh Imam Malik dari Nafi', bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai salat khauf, maka ia menggambarkannya, lalu berkata, "Dan jika keadaan takut lebih mencekam dari keadaan lainnya, maka mereka salat sambil berjalan kaki atau berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak menghadap kepadanya."

Selanjutnya Nafi' mengatakan, ia merasa yakin bahwa tidak sekali-kali Ibnu Umar menyebutkan demikian melainkan hanya dari Nabi Saw. semata-mata. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari pula, sedangkan apa yang disebutkan menurut lafaz Imam Muslim.

Imam Bukhari meriwayatkan pula dari jalur yang lain, yaitu dari Ibnu Juraij, dari Musa ibnii Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw. hal yang semisal atau mirip dengannya.

Imam Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Umar yang telah mengatakan: Apabila rasa takut (bahaya) lebih mencekam dari itu, maka salatlah kamu —baik sedang berkendaraan ataupun berdiri— dengan memakai isyarat yang sesungguhnya.

Di dalam hadis Abdullah ibnu Unais Al-Juhani disebutkan bahwa tatkala Nabi Saw. mengutusnya untuk membunuh Khalid ibnu Sufyan Al-Huzali, ketika itu Khalid berada di arah Arafah atau Arafat. Setelah Abdullah ibnu Unais berhadapan dengannya, maka tibalah waktu salat Asar. Abdullah ibnu Unais melanjutkan kisahnya, ""Maka aku merasa khawatir bila kesempatan ini digunakan oleh musuh, lalu aku salat dengan memakai isyarat," hingga akhir hadis yang cukup panjang. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud dengan sanad yang jayyid (baik).

Salat dengan cara demikian merupakan salah satu rukhsah (keringanan) dari Allah buat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, maka terlepaslah dari mereka belenggu dan beban yang memberatkan mereka.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula melalui jalur Syahib, dari Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu 'hendaklah orang yang berkendaraan salat di atas kendaraannya dan orang yang berjalan kaki salat sambil berjalan kaki'.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Mujahid, Makhul, As-Saddi, Al-Hakam, Malik, Al-Auza'i, As-Sauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh. Di dalam riwayat ini ditambahkan, hendaklah ia salat dengan cara memakai isyarat dengan kepalanya ke arah mana pun kendaraannya menghadap.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Gassan, telah menceritakan kepada kami Daud (yakni Ibnu Ulayyah), dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, "Apabila pedang saling beradu, hendaklah seseorang salat dengan isyarat kepalanya menghadap ke arah mana pun menurut mukanya menghadap." Yang demikian itu adalah makna firman-Nya: sambil berjalan kaki atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239)

Telah diriwayatkan hal yang sama dari Al-Hasan, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Atiyyah, Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah.

Imam Ahmad berpendapat menurut nas yang telah ditetapkannya, bahwa salat khauf dalam kondisi tertentu adakalanya dikerjakan hanya dengan satu rakaat, yaitu di saat kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran yang sengit. Berdasarkan pengertian inilah diinterpretasikan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir melalui hadis Abu Uwanah Al-Waddah, dari Abdullah Al-Yasykuri —Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ayyub ibnu Aiz menambahkan— bahwa keduanya meriwayatkan hadis ini dari Bukair ibnul Akhnas Al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Allah telah memfardukan salat atas kalian melalui lisan Nabi kalian sebanyak empat rakaat bila kalian berada di tempat tinggal dan dua rakaat bila kalian sedang bepergian, dan dalam keadaan khauf satu rakaat.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi,dari Syu'bah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah tentang salat di .saat pedang sedang beradu. Maka mereka menjawab, "Satu rakaat saja."

Hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sauri dari mereka.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa salat khauf adalah satu rakaat.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Jarir.

Imam Bukhari di dalam Bab "Salat di Saat Mengepung Benteng Musuh dan Bersua dengan Musuh" dan Al-Auza'i mengatakan, "Apabila kemenangan telah di ambang pintu, sedangkan mereka tidak mampu mengerjakan salat, hendaklah mereka salat dengan isyarat, yakni masing-masing dari pasukan salat untuk dirinya sendiri. Jika mereka tidak juga mampu mengerjakan salat dengan isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan salat hingga perang berhenti dan aman dari serangan musuh, barulah mereka mengerjakan salat sebanyak dua rakaat saja. Apabila situasi tidak mengizinkan mereka salat dua rakaat, maka salat cukup dilakukan hanya dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika mereka tidak mampu mengerjakannya, karena takbir saja tidak cukup untuk mereka, maka hendaklah mereka akhirkan salatnya hingga situasi aman."

Hal yang sama dikatakan pula oleh Makhul.

Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia ikut dalam serangan menjebolkan Benteng Tustur. Serangan ini dilakukan di saat fajar mulai terang, lalu berkobarlah pertempuran sengit, hingga mereka tidak mampu mengerjakan salat (Subuhnya). Kami tidak salat kecuali setelah matahari meninggi, lalu kami salat bersama Abu Musa dan kami peroleh kemenangan. Anas mengatakan, "Salat tersebut bagiku lebih baik daripada dunia dan seisinya." Demikianlah menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari.

Kemudian Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya itu dengan dalil hadis yang menceritakan Nabi Saw. mengakhirkan salat Asar pada hari Perang Khandaq karena uzur sedang menjalani perang, dan beliau baru melaksanakan salatnya itu setelah matahari tenggelam. Ketika Nabi Saw. mempersiapkan mereka untuk menyerang Bani Quraizah, maka beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya:

"لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ"

Jangan sekali-kali seseorang dari kalian salat Asar melainkan nanti di tempat Bani Quraizah.

Akan tetapi, sebagian orang ada yang menjumpai waktu salat di tengah jalan, lalu mereka mengerjakannya, dan mereka mengatakan, "Tidak sekali-kali Rasulullah Saw. memerintahkan demikian kepada kami melainkan beliau menghendaki agar kami tiba dengan cepat." Di antara mereka ada yang menjumpai waktu salat, tetapi mereka tidak mengerjakannya hingga matahari tenggelam di tempat Bani Quraizah (karena patuh kepada makna lahiriah perintah Rasul Saw.). Tetapi Nabi Saw. tidak mencela salah satu pihak pun di antara dua kelompok sahabatnya itu. Hal inilah yang menjadi dasar pegangan pilihan Imam Bukhari terhadap pendapat ini, sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan alasannya bahwa salat khauf menurut gambaran yang disebutkan di dalam surat An-Nisa dan diterangkan oleh banyak hadis masih belum disyariatkan di waktu Perang Khandaq. Sesungguhnya salat khauf itu hanyalah disyariatkan setelah masa itu, hal ini secara jelas disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id dan lain-lainnya.

Adapun Makhul, Al-Auza'i, dan Imam Bukhari menjawab bantahan itu, bila salat khauf memang disyariatkan sesudah Perang Khandaq, kenyataan ini tidaklah bertentangan dengan hal tersebut, mengingat hal ini merupakan keadaan yang jarang terjadi lagi bersifat khusus. Oleh karena itu, sehubungan dengan masalah ini diperbolehkan hal seperti apa yang kami katakan. Sebagai dalilnya ialah perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat di masa pemerintahan Khalifah Umar, yaitu dalam penaklukan kota Tustur yang terkenal itu, dan tiada seorang ulama pun yang membantahnya.

*******************



وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًۭا وَصِيَّةًۭ لِّأَزْوَٰجِهِم مَّتَٰعًا إِلَى ٱلْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍۢ ۚ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِى مَا فَعَلْنَ فِىٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعْرُوفٍۢ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌۭ 240

(240) Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

(240) 

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat sebelumnya, yaitu firman-Nya:

يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umayyah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zura'i, dari Habib, dari Ibnu Abu Mulaikah yang menceritakan bahwa Ibnuz Zubair pernah mengatakan bahwa ia pernah mengatakan kepada Usman ibnu Affan mengenai firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 24) Bahwa ayat ini di-mansukh oleh ayat lainnya, maka mengapa engkau tetap menulisnya atau mengapa tidak engkau tinggalkan? Khalifah Usman ibnu Affan menjawab, "Hai anak saudaraku, aku tidak akan mengubah barang sedikit pun bagian dari Al-Qur'an ini dari tempatnya."

Kemusykilan yang diutarakan oleh Ibnuz Zubair kepada Usman ibnu Aftan ialah bilamana hukum ayat telah di-mansukh dengan ayat yang menyatakan beridah empat bulan sepuluh hari, maka hikmah apakah yang terkandung dalam penetapan rasamnya, padahal hukum-nya telah dihapuskan. Sedangkan keberadaan rasamnya sesudah hukumnya telah di-mansukh memberikan pengertian bahwa hukum ayat yang bersangkutan masih tetap ada? Maka Amirul Muminin menjawabnya, bahwa hal ini merupakan perkara yang bersifat tauqifi. Aku menjumpainya ditetapkan dalam mushaf sesudah itu (penasikhan), maka aku pun menetapkannya pula seperti apa yang aku jumpai.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ata, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 24) Pada mulanya istri yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah dan tempat tinggal selama satu tahun penuh, kemudian ayat ini di-mansukh oleh ayat mawaris (waris-mewaris) yang di dalamnya dicantumkan bahwa si istri beroleh seperempat atau seperdelapan dari harta peninggalan suaminya.

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnuz Zubair, Mujahid, Ibrahim, Ata, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, As-Saddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Ata Al-Khurrasani, dan Ar-Rabi' ibnu Anas, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 24) telah di-mansukh.

Telah diriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu apabila seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istrinya, maka si istri melakukan idahnya selama satu tahun di rumah si suami dan menerima nafkah dari harta suaminya. Sesudah itu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234) Demikianlah idah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya; kecuali jika ia dalam keadaan hamil, maka idahnya sampai batas ia melahirkan kandungannya. Allah Swt. telah berfirman pula:

وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ

Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan. (An-Nisa: 12) Maka melalui ayat ini dijelaskan hak waris istri dan ditinggalkanlah wasiat dan nafkah yang telah disebutkan oleh ayat di atas (Al-Baqarah: 24).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, Ikrimah, Qatadah, Ad-Dahhsk, Ar-Rabi', dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 24) telah di-mansukh oleh firman-Nya: selama empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah: 234)

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 24) telah di-mansukh oleh ayat yang ada di dalam surat Al-Ahzab, yaitu firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Ahzab: 49), hingga akhir ayat.

Menurut kami, telah diriwayatkan pula dari Muqatil dan Qatadah bahwa ayat ini (Al-Baqarah: 24) telah di-mansukh oleh ayat miras (pembagian waris –ed).

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri. (Al-Baqarah: 24) Mujahid mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang menunggu masa idahnya di rumah keluarga suaminya, sebagai suatu kewajiban. Kemudian Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 24) Allah menjadikan kelengkapan satu tahun —yaitu tujuh bulan dua puluh hari— sebagai wasiat (dari pihak suami). Untuk itu jika pihak istri setuju dengan wasiat tersebut, ia boleh tinggal selama satu tahun (di rumah mendiang suaminya); jika ia suka keluar, maka ia boleh keluar. Pengertian inilah yang tersitirkan dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal). (Al-Baqarah: 24) Pada garis besarnya idah tetap diwajibkan seperti apa adanya.

Imam Bukhari menduga bahwa hal ini diriwayatkan dari Mujahid.

Ata mengatakan, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat di atas me-mansukh pengertian harus beridah di rumah keluarganya. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun menurut apa yang dikehendakinya. Pengertian inilah yang tersitir dari firman-Nya: dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 24)

Ata mengatakan, jika si istri suka, ia boleh beridah di rumah suaminya dan tinggal sesuai dengan hak wasiat yang diperolehnya; jika ia suka, boleh keluar (untuk melakukan idahnya di rumahnya sendiri), karena Allah Swt. telah berfirman: maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 24)

Ata mengatakan lagi bahwa sesudah itu turunlah ayat miras (waris-mewaris), maka di-mansukh-lah ayat memberi tempat tinggal. Untuk itu si istri boleh beridah di mana pun yang disukainya, tetapi tidak berhak mendapat tempat tinggal lagi.

Kemudian Imam Bukhari menyandarkan kepada Ibnu Abbas suatu riwayat yang sama dengan pendapat yang disandarkan kepada Mujahid dan Ata yang mengatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajib beridah selama satu tahun. Pendapat ini sama dengan apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, dan sama sekali tidak di-mansukh oleh ayat yang menyatakan beridah selama empat bulan sepuluh hari. Melainkan ayat ini menunjukkan bahwa hal tersebut menyangkut masalah anjuran berwasiat buat para istri yang akan ditinggal mati oleh suami-suaminya, yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk tinggal di rumah suami-suami mereka sesudah suami-suami mereka meninggal dunia selama satu tahun, jika mereka mau menerimanya. Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya: hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya. (Al-Baqarah: 24) Yakni Allah mensyariatkan kepada kalian untuk membuat wasiat buat mereka.

Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman lainnya, yaitu:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ

Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11), hingga akhir ayat.

Dan Firman-Nya:

وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ

(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah. (An-Nisa: 12)

Menurut pendapat yang lain, lafaz wasiyyatan di-nasab-kan karena mengandung pengertian, "Maka hendaklah kalian berwasiat buat mereka dengan sebenar-benarnya." Sedangkan yang lainnya membacanya rafa' (wasiyyatun) dengan pengertian, "Telah ditetapkan atas kalian berwasiat," pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.

Tiada yang melarang mereka (para istri) untuk melakukan hal tersebut, karena ada firman-Nya yang mengatakan:

غَيْرَ إِخْرَاجٍ

dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (Al-Baqarah: 24)

Jika ia telah menyelesaikan masa idahnya yang empat bulan sepuluh hari, atau telah melahirkan kandungannya, lalu ia memilih keluar dari rumah mendiang suaminya serta pindah darinya, maka ia tidak dilarang untuk melakukannya, karena firman Allah Swt.:

فَإِنْ خَرَجْنَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ

Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagi kalian (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. (Al-Baqarah: 24)

Pendapat ini cukup terarah dan sesuai dengan makna ayat secara lahiriahnya. Pendapat ini ternyata dipilih oleh sejumlah ulama, antara lain Imam Abul Abbas ibnu Taimiyah. Tetapi ulama lainnya membantah pendapat tersebut, di antaranya adalah Abu Umar ibnu Abdul Barr.

Pendapat Ata dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa hal tersebut di-mansukh oleh ayat miras, jika mereka bermaksud tidak lebih dari empat bulan sepuluh hari, maka hal ini bukan merupakan suatu masalah. Akan tetapi, jika mereka bermaksud bahwa memberi tempat tinggal selama empat bulan sepuluh hari bukan merupakan suatu kewajiban yang dibebankan kepada peninggalan mayat, maka hal inilah yang menjadi topik perbedaan pendapat di kalangan para imam. Imam Syafii sehubungan dengan masalah ini mempunyai dua pendapat.

Mereka yang berpendapat wajib memberi tempat tinggal di rumah suami berdalilkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya dari Sa'd ibnu Ishaq ibnu Ka'b ibnu Ujrah, dari bibinya (yaitu Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah). Disebutkan bahwa Fari'ah binti Malik ibnu Sinan (yaitu saudara perempuan Abu Sa'id Al-Khudri r.a.) pernah menceritakan kepadanya (Zainab binti Ka'b ibnu Ujrah) bahwa ia pernah datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta izin agar diperkenankan kembali ke rumah keluarganya di kalangan orang-orang Bani Khudrah. Karena sesungguhnya suaminya telah berangkat untuk mencari budak-budaknya yang minggat (melarikan diri). Tetapi ketika ia sampai di Tarful Qadum, ia dapat menyusul mereka, hanya saja mereka membunuhnya. Fari'ah melanjutkan kisahnya, "Aku meminta kepada Rasulullah Saw. untuk kembali ke rumah keluargaku, karena sesungguhnya suamiku tidak meninggalkan diriku di dalam rumahnya sendiri, tiada pula nafkah buatku. Maka Rasulullah Saw. hanya menjawab, 'Ya.' Lalu aku pergi. Tetapi ketika aku sampai di Hujrah, Rasulullah Saw. memanggilku, atau memerintahkan seseorang untuk memanggilku. Setelah aku datang, beliau Saw. bertanya, 'Apa yang tadi kamu katakan?' Maka aku mengulangi lagi kepadanya kisah mengenai nasib yang menimpa suamiku, lalu beliau Saw. bersabda:

«امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ»

Diamlah di dalam rumahmu hingga masa idahmu habis.' Maka aku melakukan idah di dalam rumah suamiku selama empat bulan sepuluh hari. Ketika Khalifah Usman ibnu Affan mengutus seseorang untuk menanyakan kasus yang sama, maka aku ceritakan hal itu kepadanya, dan ia mengikutinya serta memutuskan perkara dengan keputusan yang sama."

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama.

Imam Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui jalur Sa'd ibnu Ishaq dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih.

*******************

Firman Allah Swt:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.

Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236)

Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ

Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242)

Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batasan-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang bermakna global kepada kalian di saat kalian memerlukannya.

لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah: 242)

Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya.


وَلِلْمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ 241

(241) Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.

(241) 

*******************

Firman Allah Swt:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 241)

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ketika firman-Nya diturunkan, yaitu: Mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236) Maka seorang lelaki berkata, "Jika aku menghendaki untuk berbuat kebajikan, niscaya aku akan melakukannya. Jika aku suka tidak melakukannya, niscaya aku tidak akan melakukannya." Maka Allah Swt. menurunkan ayat ini: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa. (Al-Baqarah: 241)

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa wajib diberikan mut'ah kepada setiap wanita yang diceraikan, baik ia wanita yang memasrahkan jumlah maskawinnya atau telah mendapat ketentuan jumlah maharnya ataupun diceraikan sebelum digauli atau telah digauli. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii. Pendapat ini pula yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf, dan dipilih oleh Ibnu Jarir.

Sedangkan menurut pendapat orang-orang yang tidak mewajibkan mut'ah secara mutlak, pengertian umum ayat ini di-takhsis oleh firman lainnya, yaitu:

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al-Baqarah: 236)

Golongan yang pertama membantah pendapat ini, bahwa ayat di atas termasuk ke dalam pengertian menuturkan sebagian dari rincian yang umum. Karena itu, tidak ada takhsis menurut pendapat yang terkenal lagi banyak pendukungnya.

*******************


كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ 242

(242) Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.

(242) 

Firman Allah Swt.:

كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ

Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya). (Al-Baqarah: 242)

Yakni mengenai halal dan haram-Nya serta fardu dan batasan-batasan-Nya dalam semua yang diperintahkan-Nya kepada kalian dan semua yang dilarang-Nya kepada kalian. Dia menerangkan dan menjelaskannya serta menafsirkannya. Dia tidak akan membiarkan hal yang bermakna global kepada kalian di saat kalian memerlukannya.

لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

supaya kalian memahaminya. (Al-Baqarah: 242)

Maksudnya, agar kalian memahami dan memikirkannya.


أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ خَرَجُوا۟ مِن دِيَٰرِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ ٱلْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ ٱللَّهُ مُوتُوا۟ ثُمَّ أَحْيَٰهُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ 243

(243) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.

(243) 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa jumlah mereka adalah empat ribu orang, dan diriwayatkan pula darinya bahwa jumlah mereka adalah delapan ribu orang. Abu Saleh mengatakan, jumlah mereka adalah sembilan ribu orang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas pula bahwa jumlah mereka adalah empat puluh ribu orang.

Wahb ibnu Munabbih dan Abu Malik mengatakan, mereka terdiri atas tiga puluh ribu orang lebih. Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mereka adalah penduduk sebuah kota yang dikenal dengan nama jawurdan. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dan Abu Saleh, tetapi ditambahkan bahwa mereka dari arah Wasit.

Sa'id ibnu Abdul Aziz mengatakan bahwa mereka adalah penduduk negeri Azri'at Sedangkan menurut Ibnu Juraij, dari Ata, hal ini hanyalah semata-mata misal (perumpamaan) saja.

Ali ibnu Asim mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Zawurdan yang jauhnya satu farsakh dari arah Wasit.

Waki' Ibnul Jarrah di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Maisarah ibnu Habib An-Nahdi, dari Al-Minhal ibnu Amr Al-Asadi, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan deagan firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243) Ibnu Abbas mengatakan bahwa jumlah mereka ada empat ribu orang; mereka keluar meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari penyakit ta'un yang sedang melanda negeri mereka. Mereka berkata, "Kita akan mendatangi suatu tempat yang tiada kematian padanya." Ketika mereka sampai di tempat anu dan anu, maka Allah berfirman kepada mereka: Matilah kalian! (Al-Baqarah: 243) Maka mereka semuanya mati. Kemudian lewatlah kepada mereka seorang nabi, lalu nabi itu berdoa kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali, maka Allah menghidupkan mereka. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati. (Al-Baqarah: 243), hingga akhir ayat.

Bukan hanya seorang saja dari kalangan ulama Salaf menyebutkan bahwa mereka adalah suatu kaum penduduk sebuah negeri di zaman salah seorang nabi Bani Israil. Mereka bertempat tinggal di kemah-kemahnya di tanah kampung halaman mereka. Akan tetapi, datanglah wabah penyakit yang membinasakan, menimpa mereka. Akhirnya mereka keluar menghindari maut ke daerah-daerah pedalaman.

Mereka bertempat di sebuah lembah yang luas, dan jumlah mereka yang banyak itu memenuhi lembah tersebut. Maka Allah mengirimkan dua malaikat kepada mereka; salah satunya dari bawah lembah, sedangkan yang lainnya datang dari atasnya. Kedua malaikat itu memekik sekali pekik di antara mereka, akhirnya matilah mereka semuanya seperti halnya seseorang mati. Kemudian mereka dikumpulkan di kandang-kandang ternak, lalu di sekitar mereka dibangun tembok-tembok (yang mengelilingi) mereka. Mereka semuanya binasa dan tercabik-cabik serta berantakan.

Setelah lewat masa satu tahun, lewatlah kepada mereka seorang nabi dari kalangan nabi-nabi Bani Israil yang dikenal dengan sebutan Hizqil. Lalu Nabi Hizqil meminta kepada Allah agar mereka dihidupkan kembali di hadapannya, dan Allah memperkenankan permintaan tersebut. Allah memerintahkan kepadanya agar mengucapkan, "Hai tulang belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar berkumpul kembali!" Maka tergabunglah tulang-belulang tiap jasad sebagian yang lain menyatu dengan yang lainnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada nabi tersebut untuk mengucapkan, "Hai tulang-belulang yang telah hancur, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk memakai daging, urat, dan kulitmu!" Maka terjadilah hal tersebut, sedangkan nabi menyaksikannya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan kepada nabi untuk mengatakan.”Hai para arwah, sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu agar setiap roh kembali kepada jasad yang pernah dimasukinya!" Maka mereka bangkit hidup kembali seraya berpandangan; Allah telah menghidupkan mereka dari tidurnya yang cukup panjang itu, sedangkan mereka mengucapkan kalimat berikut: Mahasuci Engkau, tidak ada Tuhan selain Engkau.

Dihidupkan-Nya kembali mereka merupakan pelajaran dan bukti yang akurat yang menunjukkan bahwa kelak di hari kiamat jasad akan dibangkitkan hidup kembali. Karena itulah Allah Swt. berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ

Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia. (Al-Baqarah: 243)

Yakni melalui ayat-ayat (tanda-tanda) yang jelas yang diperlihatkan kepada mereka, hujah-hujah yang kuat, dan dalil-dalil yang akurat.

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ

Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak bersyukur. (Al-Baqarah: 243)

Yaitu mereka tidak menunaikan syukurnya atas limpahan nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam urusan agama dan keduniawian mereka.

Di dalam kisah ini terkandung pelajaran dan dalil yang menunjukkan bahwa tiada gunanya kewaspadaan dalam menghadapi takdir, dan tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali hanya kepada Dia. Karena sesungguhnya mereka keluar untuk tujuan melarikan diri dari wabah penyakit mematikan yang melanda mereka agar hidup mereka panjang. Akan tetapi, pada akhirnya nasib yang menimpa mereka adalah kebalikan dari apa yang mereka dambakan, dan datanglah maut dengan ccpat sekaligus membinasakan mereka semuanya.

Termasuk ke dalam pengertian ini ialah sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى أَخْبَرَنَا مَالِكٌ وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ كِلَاهُمَا عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زيد [ابن أَسْلَمَ] بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عباس: أن عمر بن الْخَطَّابِ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغٍ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ: أَبُو عُبَيْدَةُ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَجَاءَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا لِبَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي مِنْ هَذَا عِلْمًا، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِذَا كَانَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ، وَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ" فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ.

telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Malik dan Abdur Razzaq, telah meneeritakan kepada kami Ma'mar; keduanya meriwayatkan hadis berikut dari Az-Zuhri, dari Abdul Hamid ibnu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnul Khattab, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Naufal, dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berangkat menuju negeri Syam. Ketika ia sampai di Sarg, para pemimpin pasukan yang terdiri atas Abu Ubaidah ibnul Jarrah dan teman-temannya datang menjumpainya. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa wabah penyakit yang mematikan sedang melanda negeri Syam. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab menuturkan hadis mengenai hal ini. Abdur Rahman ibnu Auf —yang tadinya tidak ada di tempat karena mempunyai suatu keperluan— datang, lalu ia berkata memberikan kesaksiannya, bahwa sesungguhnya ia mempunyai suatu pengetahuan tentang masalah ini. Ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Apabila wabah berada di suatu tempat, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar untuk menghindarinya. Dan apabila kalian mendengar suatu wabah sedang melanda suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Akhirnya Khalifah Umar mengucapkan hamdalah (memuji kepada Allah atas kesaksian tersebut), lalu ia kembali.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz sama, sebagiannya melalui jalur yang lain.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ وَيَزِيدُ العمِّي قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ أَخْبَرَ عُمَرَ، وَهُوَ فِي الشَّامِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَنَّ هَذَا السَّقَمَ عُذِّبَ بِهِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ فِيهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ" قَالَ: فَرَجَعَ عُمَرُ مِنَ الشَّامِ.

telah meneeritakan kepada kami Hajjaj dan Yazid Al-Ama; keduanya mengatakan, telah meneeritakan kepada kami Ibnu Abu Zu'aib, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah meneeritakan kepada Khalifah Umar hadis berikut dari Nabi Saw. ketika Umar berada di negeri Syam, yaitu: Sesungguhnya wabah ini pernah menimpa umat-umat sebelum kalian sebagai azab. Karena itu, apabila kalian mendengar wabah ini berada di suatu daerah, maka janganlah kalian memasukinya. Dan apabila ia berada di suatu daerah, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya karena menghindarinya. Maka Umar (dan pasukannya) kembali lagi (ke Madinah) dari Syam.

Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Malik, dari Az-Zuhri dengan lafaz yang semisal.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 244)

Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya dalam menghadapi takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena menghindarinya tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagiannya masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang dikurangi, semuanya tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah, "Tolaklah kematian itu dari diri kalian, jika kalian orang-orang yang benar." (Ali Imran: 168)

وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا * أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78)

Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima pasukan kaum muslim yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid r.a., bahwa ia mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku yang selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, panah, dan pukulan pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, seperti unta mati (di kandangnya). Semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur," maksudnya dia merasa sedih dan sakit karena dirinya tidak mati dalam peperangan, dan ia merasa kecewa atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di atas kasur.

*******************

Firman Allah Swt.:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah Swt. mengulang-ulang ayat ini di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja. Di dalam hadis yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:

"مَنْ يُقْرِضُ غَيْرَ عَدِيمٍ وَلَا ظَلُومٍ"

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat aniaya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ حُمَيْدٍ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قال: لَمَّا نَزَلَتْ: مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ قَالَ أَبُو الدَّحْدَاحِ الْأَنْصَارِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُرِيدُ مِنَّا الْقَرْضَ؟ قَالَ: "نَعَمْ يَا أَبَا الدَّحْدَاحِ" قَالَ: أَرِنِي يَدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَنَاوَلَهُ يَدَهُ قَالَ: فَإِنِّي قَدْ أَقْرَضْتُ رَبِّي حَائِطِي. قَالَ: وَحَائِطٌ لَهُ فِيهِ سِتُّمِائَةِ نَخْلَةٍ وَأُمُّ الدَّحْدَاحِ فِيهِ وَعِيَالُهَا. قَالَ: فَجَاءَ أَبُو الدَّحْدَاحِ فَنَادَاهَا: يَا أُمَّ الدَّحْدَاحِ. قَالَتْ: لَبَّيْكَ قَالَ: اخْرُجِي فَقَدْ أَقْرَضْتُهُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ.

telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya. (Al-Baqarah: 245) Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi Saw. menjawab, "Benar, Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tanganmu." Maka Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebun milikku." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. secara marfu' dengan lafaz yang semisal.

Yang dimaksud dengan firman-Nya:

قَرْضًا حَسَنًا

pinjaman yang baik. (Al-Baqarah: 245)

Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضاعِفُ لِمَنْ يَشاءُ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.

Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada tempatnya.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ. فَقَالَ: وَمَا أَعْجَبَكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah r.a., dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang membuatmu heran dari hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi Saw.' Nabi Saw. telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta kali lipat pahala kebaikan'."

Hadis ini berpredikat garib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak memiliki hadis-hadis yang munkar.

Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو خَلَّادٍ سُلَيْمَانُ بْنُ خَلَّادٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُقْبَةَ الرُّبَاعِيُّ عَنْ زِيَادٍ الْجَصَّاصِ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي فَقَدِمَ قَبْلِي حَاجًّا قَالَ: وَقَدِمْتُ بَعْدَهُ فَإِذَا أَهْلُ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: إِنِ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ" فَقُلْتُ: وَيَحْكُمُ، وَاللَّهِ مَا كَانَ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي، فَمَا سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ. قَالَ: فَتَحَمَّلْتُ أُرِيدُ أَنَّ أَلْحَقَهُ فَوَجَدْتُهُ قَدِ انْطَلَقَ حَاجًّا فَانْطَلَقْتُ إِلَى الْحَجِّ أَنْ أَلْقَاهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَلَقِيتُهُ لِهَذَا فَقُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا حَدِيثٌ سَمِعْتُ أَهْلَ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْكَ؟ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: زَعَمُوا أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الحسنة ألف ألف حَسَنَةٍ. قَالَ: يَا أَبَا عُثْمَانَ وَمَا تَعْجَبُ مِنْ ذَا وَاللَّهُ يَقُولُ: مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَيَقُولُ: فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ [التَّوْبَةِ:38] وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan asar darinya, bahwa ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji. Maka aku berangkat pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadis ini. Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadis apakah itu?' Aku menjawab, 'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Allah Swt. telah berfirman pula: padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38) Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan'."

Semakna dengan hadis ini adalah hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَنْ دَخَلَ سُوقًا مِنَ الْأَسْوَاقِ فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفَ سَيِّئَةٍ"

Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya firman Allah Swt.: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Nabi Saw. berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Az-Zumar: 1)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, "Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Istilah ka'sir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki. (Al-Baqarah: 245)

Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.

وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan. (Al-Baqarah: 245)

Yakni di hari kiamat nanti.


وَقَٰتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ 244

(244) Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

(244) 

Firman Allah Swt.:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Dan berperanglah kalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 244)

Yakni sebagaimana sikap waspada tiada gunanya dalam menghadapi takdir, demikian pula melarikan diri dari jihad karena menghindarinya tidak dapat memperpendek atau memperpanjang ajal, melainkan ajal itu telah dipastikan serta rezeki telah ditetapkan takaran dan bagiannya masing-masing, tiada yang diberi tambahan, tiada pula yang dikurangi, semuanya tepat seperti apa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang ada dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

الَّذِينَ قَالُوا لإخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang, "Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh." Katakanlah, "Tolaklah kematian itu dari diri kalian, jika kalian orang-orang yang benar." (Ali Imran: 168)

وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلا تُظْلَمُونَ فَتِيلا * أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban perang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (An-Nisa: 77-78)

Telah diriwayatkan kepada kami dari panglima pasukan kaum muslim yang dijuluki 'Pedang Allah', yaitu Khalid ibnul Walid r.a., bahwa ia mengatakan ketika sedang menjelang ajalnya, "Sesungguhnya aku telah mengikuti perang anu dan anu, dan tiada suatu anggota tubuhku yang selamat melainkan padanya terdapat bekas tusukan pedang, panah, dan pukulan pedang. Tetapi aku kini mati di atas tempat tidurku, seperti unta mati (di kandangnya). Semoga mata orang-orang yang pengecut tidak dapat tidur," maksudnya dia merasa sedih dan sakit karena dirinya tidak mati dalam peperangan, dan ia merasa kecewa atas hal tersebut, mengingat dirinya mati di atas kasur.


مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًۭا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًۭا كَثِيرَةًۭ ۚ وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۜطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ 245

(245) Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

(245) 

Firman Allah Swt.:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Allah Swt. menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya agar menafkahkan hartanya di jalan Allah. Allah Swt. mengulang-ulang ayat ini di dalam Al-Qur'an bukan hanya pada satu tempat saja. Di dalam hadis yang berkaitan dengan asbabun nuzul ayat ini disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:

"مَنْ يُقْرِضُ غَيْرَ عَدِيمٍ وَلَا ظَلُومٍ"

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Tuhan yang tidak miskin dan tidak pula berbuat aniaya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ خَلِيفَةَ عَنْ حُمَيْدٍ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قال: لَمَّا نَزَلَتْ: مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ قَالَ أَبُو الدَّحْدَاحِ الْأَنْصَارِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُرِيدُ مِنَّا الْقَرْضَ؟ قَالَ: "نَعَمْ يَا أَبَا الدَّحْدَاحِ" قَالَ: أَرِنِي يَدَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: فَنَاوَلَهُ يَدَهُ قَالَ: فَإِنِّي قَدْ أَقْرَضْتُ رَبِّي حَائِطِي. قَالَ: وَحَائِطٌ لَهُ فِيهِ سِتُّمِائَةِ نَخْلَةٍ وَأُمُّ الدَّحْدَاحِ فِيهِ وَعِيَالُهَا. قَالَ: فَجَاءَ أَبُو الدَّحْدَاحِ فَنَادَاهَا: يَا أُمَّ الدَّحْدَاحِ. قَالَتْ: لَبَّيْكَ قَالَ: اخْرُجِي فَقَدْ أَقْرَضْتُهُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ.

telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Arafah, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnu Khalifah, dari Humaid Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (membelanjakan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya. (Al-Baqarah: 245) Maka Abud Dahdah Al-Ansari berkata, "Wahai Rasulullah, apakah memang Allah menginginkan pinjaman dari kami?" Nabi Saw. menjawab, "Benar, Abud Dahdah." Abud Dahdah berkata, "Wahai Rasulullah, ulurkanlah tanganmu." Maka Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya kepada Abud Dahdah. Lalu Abud Dahdah berkata, "Sesungguhnya aku meminjamkan kepada Tuhanku kebun milikku." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa di dalam kebun milik Abud Dahdah terdapat enam ratus pohon kurma, sedangkan istri dan anak-anaknya tinggal di dalam kebun itu. Maka Abud Dahdah datang ke kebunnya dan memanggil istrinya, "Hai Ummu Dahdah." Ummu Dahdah menjawab, "Labbaik." Abud Dahdah berkata, "Keluarlah kamu, sesungguhnya aku telah meminjamkan kebun ini kepada Tuhanku."

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar r.a. secara marfu' dengan lafaz yang semisal.

Yang dimaksud dengan firman-Nya:

قَرْضًا حَسَنًا

pinjaman yang baik. (Al-Baqarah: 245)

Menurut apa yang diriwayatkan dari Umar dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf ialah berinfak untuk jalan Allah. Menurut pendapat lain, yang dimaksud ialah memberi nafkah kepada anak-anak. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah membaca tasbih dan taqdis.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Sama halnya dengan makna yang ada di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضاعِفُ لِمَنْ يَشاءُ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat.

Tafsir ayat ini akan dikemukakan nanti pada tempatnya.

Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا مُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ الْحَسَنَةَ تُضَاعَفُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ. فَقَالَ: وَمَا أَعْجَبَكَ مِنْ ذَلِكَ؟ لَقَدْ سَمِعْتُهُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, dari Ali ibnu Za'id, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Aku datang kepada sahabat Abu Hurairah r.a., dan kukatakan kepadanya, 'Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, sesungguhnya amal kebaikan itu dilipatgandakan pahalanya menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah r.a. berkata, 'Apakah yang membuatmu heran dari hal ini? Sesungguhnya aku mendengarnya sendiri dari Nabi Saw.' Nabi Saw. telah bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan kebaikan sebanyak dua juta kali lipat pahala kebaikan'."

Hadis ini berpredikat garib karena Ali ibnu Zaid ibnu Jad'ah banyak memiliki hadis-hadis yang munkar.

Akan tetapi, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Abu Hatim dari jalur lain. Ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبُو خَلَّادٍ سُلَيْمَانُ بْنُ خَلَّادٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمُؤَدِّبُ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُقْبَةَ الرُّبَاعِيُّ عَنْ زِيَادٍ الْجَصَّاصِ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي فَقَدِمَ قَبْلِي حَاجًّا قَالَ: وَقَدِمْتُ بَعْدَهُ فَإِذَا أَهْلُ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يَقُولُ: إِنِ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ" فَقُلْتُ: وَيَحْكُمُ، وَاللَّهِ مَا كَانَ أَحَدٌ أَكْثَرَ مُجَالَسَةً لِأَبِي هُرَيْرَةَ مِنِّي، فَمَا سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ. قَالَ: فَتَحَمَّلْتُ أُرِيدُ أَنَّ أَلْحَقَهُ فَوَجَدْتُهُ قَدِ انْطَلَقَ حَاجًّا فَانْطَلَقْتُ إِلَى الْحَجِّ أَنْ أَلْقَاهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ، فَلَقِيتُهُ لِهَذَا فَقُلْتُ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا حَدِيثٌ سَمِعْتُ أَهْلَ الْبَصْرَةِ يَأْثُرُونَ عَنْكَ؟ قَالَ: مَا هُوَ؟ قُلْتُ: زَعَمُوا أَنَّكَ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الحسنة ألف ألف حَسَنَةٍ. قَالَ: يَا أَبَا عُثْمَانَ وَمَا تَعْجَبُ مِنْ ذَا وَاللَّهُ يَقُولُ: مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَيَقُولُ: فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا قَلِيلٌ [التَّوْبَةِ:38] وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ يُضَاعِفُ الْحَسَنَةَ أَلْفَيْ أَلْفِ حَسَنَةٍ"

telah menceritakan kepada kami Abu Khallad (yaitu Sulaiman ibnu Khallad Al-Muaddib), telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad Al-Muaddib, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Uqbah Ar-Rufa'i, dari Ziad Al-Jahssas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa "Tiada seorang pun yang lebih banyak duduk di majelis Abu Hurairah selain dari aku sendiri. Abu Hurairah datang berhaji sebelumku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba penduduk Basrah meriwayatkan asar darinya, bahwa ia pernah mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kali lipat pahala kebaikan.'' Maka aku berkata, 'Celakalah kalian. Demi Allah, tiada seorang pun yang lebih banyak berada di majelis Abu Hurairah selain dari aku, tetapi aku belum pernah mendengar hadis ini.' Maka aku berangkat dengan maksud untuk menyusulnya, tetapi kujumpai dia telah berangkat berhaji. Maka aku berangkat pula menunaikan ibadah haji untuk menjumpainya dan menanyakan hadis ini. Lalu aku menjumpainya untuk tujuan ini dan kukatakan kepadanya, 'Wahai Abu Hurairah, hadis apakah yang pernah kudengar dari penduduk Basrah, mereka mengatakannya bersumber dari kamu?' Abu Hurairah bertanya, 'Hadis apakah itu?' Aku menjawab, 'Mereka menduga engkau pernah mengatakan: Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan.' Abu Hurairah menjawab, 'Wahai Abu Usman, apakah yang engkau herankan dari masalah ini, sedangkan Allah Swt. telah berfirman: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Allah Swt. telah berfirman pula: padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (At-Taubah: 38) Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah melipat gandakan pahala suatu kebaikan menjadi dua juta kebaikan'."

Semakna dengan hadis ini adalah hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan lain-lainnya melalui jalur Amr ibnu Dinar, dari Salim, dari Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"مَنْ دَخَلَ سُوقًا مِنَ الْأَسْوَاقِ فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفَ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفَ سَيِّئَةٍ"

Barang siapa yang memasuki sebuah pasar, lalu ia mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu," maka Allah mencatatkan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta keburukan (dosa).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim ibnu Bassam, telah menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, dari Isa ibnul Musayyab, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa ketika diturunkannya firman Allah Swt.: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir. (Al-Baqarah: 261), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. berdoa, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245) Nabi Saw. berdoa lagi, "Wahai Tuhanku, tambahkanlah buat umatku." Lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Az-Zumar: 1)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula dari Ka'b Al-Ahbar, bahwa Ka'b Al-Ahbar pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata bahwa sesungguhnya ia pernah mendengar seseorang mengatakan, "Barang siapa yang membaca qul huwallahu ahad sekali, maka Allah akan membangun untuknya sepuluh juta gedung dari mutiara dan yaqut di surga." Apakah aku harus mempercayai ucapannya itu? Ka'b Al-Ahbar menjawab, "Ya, apakah engkau heran terhadap hal tersebut?" Lelaki itu menjawab, "Ya." Ka'b berkata, "Bahkan dilipatgandakan menjadi dua puluh atau tiga puluh juta, dan bahkan lebih dari itu, tiada yang dapat menghitungnya selain dari Allah sendiri." Selanjutnya Ka'b membacakan firman-Nya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (Al-Baqarah: 245)

Istilah ka'sir atau banyak dari Allah berarti tidak terhitung jumlahnya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ

Dan Allah menyempitkan dan melapangkan rezeki. (Al-Baqarah: 245)

Dengan kata lain, belanjakanlah harta kalian dan janganlah kalian pedulikan lagi dalam melakukannya, karena Allah Maha Pemberi rezeki; Dia menyempitkan rezeki terhadap siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan Dia melapangkannya terhadap yang lainnya di antara mereka; hal tersebut mengandung hikmah yang sangat bijak dari Allah.

وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

dan kepada-Nyalah kalian dikembalikan. (Al-Baqarah: 245)

Yakni di hari kiamat nanti.