4 - النساء - An-Nisaa

Juz : 4

The Women
Medinan

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌۭ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّۭا كَبِيرًۭا 34

(34) Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

(34) 

Firman Allah Swt.:

الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34)

Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.

بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (An-Nisa: 34)

Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»

Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.

Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya. Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan peradilan dan lain-lainnya.

وَبِما أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوالِهِمْ

dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)

Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas kaum laki-laki terhadap kaum wanita, melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya.

Diri lelaki lebih utama daripada wanita, laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, juga laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

وَلِلرِّجالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas mereka; seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh Allah yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami. Hal yang sama dikatakan oleh Muqatil, As-Saddi, dan Ad-Dahhak.

Al-Hasan Al-Basri meriwayatkan bahwa ada seorang istri datang kepada Nabi Saw. mengadukan perihal suaminya yang telah menamparnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Balaslah!" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Akhirnya si istri kembali kepada suaminya tanpa ada qisas (pembalasan).

Ibnu Juraij dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Al-Hasan Al-Basri. Hal yang sama di-mursal-kan hadis ini oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi. Semuanya itu diketengahkan oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Murdawaih menyandarkan hadis ini ke jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَلِيٍّ النَّسَائِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْهَاشِمِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْأَشْعَثُ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ مُوسَى بْنِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدِّي، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ علي قال: أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ بِامْرَأَةٍ لَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجَهَا فُلَانُ بْنُ فُلَانٍ الْأَنْصَارِيُّ، وَإِنَّهُ ضَرَبَهَا فَأَثَّرَ فِي وَجْهِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ليْسَ ذَلِكَ لَه". فَأَنْزَلَ اللَّهُ: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ [بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ] أَيْ: قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ فِي الْأَدَبِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَرَدْتُ أمْرًا وأرَادَ اللَّهُ غَيْرَه"

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali An-Nasai, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad Al-Asy'as, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail ibnu Musa ibnu Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, dari kakekku, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah Saw. seorang lelaki dari kalangan Ansar dengan seorang wanita mahramnya. Lalu si lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya suami wanita ini (yaitu Fulan bin Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya hingga membekas padanya." Rasulullah Saw. bersabda, "ia tidak boleh melakukan hal itu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni dalam hal mendidik. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku menghendaki suatu perkara, tetapi ternyata Allah menghendaki yang lain.

Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi; semuanya diketengahkan oleh Ibnu Jarir.

Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang diberikan oleh laki-laki kepadanya. Tidakkah Anda melihat seandainya si suami menuduh istrinya berzina, maka si suami melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had). Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera.

Firman Allah Swt. yang mengatakan, "As-Salihat," artinya wanita-wanita yang saleh.

Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Qanitat menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.

حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ

lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. (An-Nisa: 34)

Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah wanita yang memelihara kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.

*******************

Firman Allah Swt.:

بِما حَفِظَ اللَّهُ

oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisa: 34)

Orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَر، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمقبري، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "خَيرُ النساءِ امرأةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ وَإِذَا أمَرْتَها أطاعتكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظتْكَ فِي نَفْسِها ومالِكَ". قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ إِلَى آخِرِهَا.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu melihat kepadanya, membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia menaatimu; dan apabila kamu pergi meninggalkan dia, maka ia memelihara kehormatan dirinya dan hartamu. Abu Hurairah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34), hingga akhir ayat.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Yunus ibnu Habib, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Zi-b, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah dengan lafaz yang semisal.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، عَنْ عُبيد اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرَ: أَنَّ ابْنَ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِذَا صَلَّت الْمَرْأَةُ خَمسها، وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَها؛ وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far; Ibnu Qariz pernah menceritakan kepada-nya bahwa Abdur Rahman ibnu Auf pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Seorang wanita itu apabila mengerjakan salat lima waktunya, puasa bulan (Ramadan)nya, memelihara kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya, "Masuklah kamu ke dalam surga dari pintu mana pun yang kamu sukai."

Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam Ahmad melalui jalur Abdullah ibnu Qariz, dari Abdur Rahman ibnu Auf.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاللَّاتِي تَخافُونَ نُشُوزَهُنَّ

Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya. (An-Nisa: 34)

Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya.

An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Rasulullah Saw. sehubungan dengan hal ini telah bersabda:

"لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجد لِأَحَدٍ لأمرتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَم حَقِّه عَلَيْهَا"

Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seseorang agar bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar terhadap dirinya.

Imam Bukhari meriwayatkan melalui Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى فِرَاشِه فأبَتْ عَلَيْهِ، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِح"

Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.

Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:

"إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجرة فِراش زَوْجِها، لَعْنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصبِح"

Apabila seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.

Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ

Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka. (An-Nisa: 34)

*******************

Adapun firman Allah Swt.:

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضاجِعِ

dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. (An-Nisa: 34)

Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah hendaklah si suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama. maka si suami memalingkan punggungnya dari dia.

Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang. Tetapi ulama yang lainnya, antara lain As-Saddi, Ad-Dahhak, Ikrimah, juga Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan bahwa selain itu si suami jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol dengannya.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, hendaknya si suami menasihatinya sampai si istri kembali taat. Tetapi jika si istri tetap membangkang, hendaklah si suami berpisah dengannya dalam tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa menyerahkan masalah nikah kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak istri.

Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Ka’b, Miqsam, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah hendaknya si suami tidak menidurinya.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي حَرَّةَ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ عَمِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "فَإِن خِفْتُمْ نُشُوزَهُنَّ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ" قَالَ حَمَّادٌ: يَعْنِي النِّكَاحَ

Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid. dari Abu Murrah Ar-Raqqasyi, dari pamannya, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Jika kalian merasa khawatir mereka akan nusyuz (membangkang), maka pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka. Hammad mengatakan bahwa yang dimaksud ialah jangan menyetubuhinya.

Di dalam kitab sunan dan kitab musnad disebutkan dari Mu'awiyah ibnu Haidah Al-Qusyairi, bahwa ia pernah bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ امْرَأَةِ أَحَدِنَا؟ قَالَ: "أَنْ تُطعمها إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِب الوَجْهَ وَلَا تُقَبِّح، وَلَا تَهْجُر إِلَّا فِي البَيْتِ"

"Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri di antara kami atas diri suaminya?" Nabi Saw. menjawab: Hendaknya kamu memberi dia makan jika kamu makan, dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajah dan jangan memburuk-burukkan, janganlah kamu mengasingkannya kecuali dalam lingkungan rumah.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَاضْرِبُوهُنَّ

dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34)

Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai.

Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya:

واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ"

Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.

Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, yaitu dengan pukulan yang tidak melukakan.

Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak membekas.

Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikit pun.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas; jika si istri nusyuz, hendaklah si suami memisahkan diri dari tempat tidurnya. Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka masalahnya sudah selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah mengizinkan kepadamu untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak melukakan, dan janganlah kamu mematahkan suatu tulang pun dari tubuhnya, hingga ia kembali taat kepadamu. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan bagimu menerima tebusan (khulu') darinya.

Sufyan ibnu Uyaynah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Umar, dari Iyas ibnu Abdullah ibnu Abu Ziab yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

"لَا تَضْرِبوا إماءَ اللهِ". فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذئِرَت النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ، فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَقَدْ أطافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ"

Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah! Maka datanglah Umar r.a. kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, "'Banyak istri yang membangkang terhadap suaminya," Lalu Rasulullah Saw. memperbolehkan memukul mereka (sebagai pelajaran). Akhirnya banyak istri datang kepada keluarga Rasulullah Saw. mengadukan perihal suami mereka. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya banyak istri yang berkerumun di rumah keluarga Muhammad mengadukan perihal suami mereka; mereka (yang berbuat demikian terhadap istrinya) bukanlah orang-orang yang baik dari kalian.

Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ -يَعْنِي أَبَا دَاوُدَ الطَّيَالِسِيَّ-حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ دَاوُدَ الأوْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ المُسْلي عَنِ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ ضفْتُ عُمَرَ، فَتَنَاوَلَ امْرَأَتَهُ فَضَرَبَهَا، وَقَالَ: يَا أَشْعَثُ، احْفَظْ عَنِّي ثَلَاثًا حَفظتهن عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَسألِ الرَّجُلَ فِيمَ ضَرَبَ امرَأَتَهُ، وَلَا تَنَم إِلَّا عَلَى وِتْر ... وَنَسِيَ الثَّالِثَةَ

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud (yakni Abu Daud At-Tayalisi), telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi, dari Abdur Rahman As-Sulami, dari Al-Asy’as ibnu Qais yang menceritakan, "Aku pernah bertamu di rumah Umar r.a. Lalu Umar memegang istrinya dan menamparnya, setelah itu ia berkata, 'Hai Asy'as, hafalkanlah dariku tiga perkara berikut yang aku hafalkan dari Rasulullah Saw. yaitu: Janganlah kamu menanyai seorang suami karena telah memukul istrinya, dan janganlah kamu tidur melainkan setelah mengerjakan witir'." Al-Asy'as lupa perkara yang ketiganya.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dari hadis Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Abu Uwwanah, dari Daud Al-Audi dengan lafaz yang sama.

*******************

Firman Allah Swt.:

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (An-Nisa: 34)

Artinya, apabiia seorang istri taat kepada suaminya dalam semua apa yang dikehendaki suaminya pada diri si istri sebatas yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si suami untuk menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula mengasingkannya.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلِيًّا كَبِيراً

Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa: 34)

Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika mereka berlaku aniaya terhadap istri-istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar yang akan menolong para istri; Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat aniaya terhadap istrinya.


وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَٱبْعَثُوا۟ حَكَمًۭا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًۭا مِّنْ أَهْلِهَآ إِن يُرِيدَآ إِصْلَٰحًۭا يُوَفِّقِ ٱللَّهُ بَيْنَهُمَآ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًۭا 35

(35) Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

(35) 

Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا

Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)

Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.

Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:

إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا

Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.

Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk melerai keduanya.

Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata, "Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.

Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya.

Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud.

Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.

Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.

Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.

Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)

Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.

Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii —juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya— cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.

Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).


وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًۭٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًۭا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًۭا فَخُورًا 36

(36) Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

(36) 

Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar menyembah Dia semata, tiada sekutu bagi Dia. Karena sesungguhnya Dialah Yang Maha Pencipta, Maha Pemberi rezeki, Yang memberi nikmat, Yang memberikan karunia kepada makhluk-Nya dalam semua waktu dan keadaan. Dialah Yang berhak untuk disembah oleh mereka dengan mengesakan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam sabda Nabi Saw. kepada Mu'az ibnu Jabal:

"أتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ ؟ " قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: "أَنْ يَعْبدُوهُ ولا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا"، ثُمَّ قَالَ: "أتَدْري مَا حَقُّ العبادِ عَلَى اللهِ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ؟ أَلَّا يُعَذِّبَهُم"

"Tahukah kamu, apakah hak Allah atas hamba-hamba-Nya?" Mu'az menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Nabi Saw. bersabda, "Hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." Antara lain Nabi Saw. bersabda pula: Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah atas Allah, apabila mereka mengerjakan hal tersebut? Yaitu Dia tidak akan mengazab mereka.

Kemudian Nabi Saw. mewasiatkan agar kedua orang tua diperlakukan dengan perlakuan yang baik, karena sesungguhnya Allah Swt. menjadikan keduanya sebagai penyebab bagi keberadaanmu dari alam 'adam sampai ke alam wujud. Sering sekali Allah Swt. menggandengkan antara perintah beribadah kepada-Nya dengan berbakti kepada kedua orang tua, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوالِدَيْكَ

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. (Luqman: 14)

وَقَضى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوالِدَيْنِ إِحْساناً

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu (Al-Isra: 23)

Kemudian berbuat baik kepada ibu bapak ini diiringi dengan perintah berbuat baik kepada kaum kerabat dari kalangan kaum laki-laki dan wanita. Seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis:

«الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ»

Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, tetapi kepada kerabat adalah sedekah dan silaturahmi.

*******************

Selanjutnya Allah Swt. berfirman:

وَالْيَتامى

dan (berbuat baiklah kepada) anak-anak yatim. (An-Nisa: 36)

Demikian itu karena mereka telah kehilangan orang yang mengurus kemaslahatan mereka dan orang yang memberi mereka nafkah. Maka Allah memerintahkan agar mereka diperlakukan dengan baik dan dengan penuh kasih sayang.

Kemudian disebutkan oleh firman-Nya:

وَالْمَساكِينِ

dan (berbuat baiklah kepada) orang-orang miskin. (An-Nisa: 36)

Mereka adalah orang-orang yang memerlukan uluran tangan karena tidak menemukan apa yang dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Maka Allah memerintahkan agar mereka dibantu hingga kebutuhan hidup mereka cukup terpenuhi dan terbebaskan dari keadaan daruratnya. Pembahasan mengenai fakir miskin ini akan disebutkan secara rinci dalam tafsir surat Bara’ah (surat At-Taubah).

*******************

Firman Allah Swt.:

وَالْجارِ ذِي الْقُرْبى وَالْجارِ الْجُنُبِ

dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36)

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan jari dzil qurba ialah tetangga yang antara kamu dan dia ada hubungan kerabat, sedangkan jaril junub ialah tetangga yang antara kamu dan dia tidak ada hubungan kerabat.

Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Maimun ibnu Mihran, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Muqatil ibnu Hayyan. dan Qatadah.

Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al-Bakkali sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat. (An-Nisa: 36) Yakni tetangga yang muslim. dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36) Yakni yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.

Jabir Al-Ju'fi meriwayatkan dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang dekat. (An-Nisa: 36) Yakni istri.

Mujahid mengatakan pula sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) tetangga yang jauh. (An-Nisa: 36) Yaitu teman seperjalanan.

Banyak hadis yang menganjurkan berbuat baik kepada tetangga, berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah, hanya kepada Allah kami memohon pertolongan.

Hadis pertama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ مُحَمَّدًا يُحَدِّثُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا زَالَ جِبرِيل يُوصِينِي بالْجَارِ حَتِّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِثُه".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Umar ibnu Muhammad ibnu Zaid, bahwa ia pernah mendengar Muhammad menceritakan hadis berikut dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak mewaris.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing dengan melalui Muhammad ibnu Zaid ibnu Abdullah ibnu Umar dengan lafaz yang sama.

Hadis kedua.

قَالَ الإمامُ أحمدُ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ داودَ بنِ شَابُورٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا زالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالْجَارِ حتى ظننْتُ أنَّه سَيُوَرِّثُهُ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Daud ibnu Syabur, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jibril masih terus berwasiat kepadaku mengenai tetangga sehingga aku menduga bahwa Jibril akan memberinya hak mewaris.

Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang semisal melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah, dari Basyir Abu Ismail.

Imam Turmuzi menambahkan Daud ibnu Syabur, keduanya (yakni Abu Ismail dan Daud ibnu Syabur) dari Mujahid dengan lafaz yang sama.

Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib bila ditinjau dari sanadnya. Hadis ini diriwayatkan pula dari Mujahid, Aisyah, dan Abu Hurairah, dari Nabi Saw.

Hadis ketiga.

قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيد، أَخْبَرَنَا حَيْوةُ، أَخْبَرَنَا شَرْحَبِيلُ بنُ شُرَيكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُلي يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بنِ الْعَاصِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قَالَ: "خَيْرُ الأصْحَابِ عِندَ اللهِ خَيْرُهُم لِصَاحِبِهِ، وخَيْرُ الجِيرانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ".

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Syurahbil ibnu Syarik, bahwa ia pernah mendengar Abu Abdur Rahman Al-Jaili menceritakan hadis berikut dari Abdullah ibnu Amr ibnul As, dari Nabi Saw., bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.

Imam Turmuzi meriwayatkannya dari Ahmad ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Haiwah ibnu Syuraih dengan lafaz yang sama. Ia mengatakan bahwa hadis ini garib.

Hadis keempat.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ عُمَر قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَشْبَعُ الرَّجُلُ دُونَ جَارِهِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari ayahnya, dari Abayah ibnu Rifa'ah, dari Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang lelaki tidak boleh kenyang tanpa tetangganya.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).

Hadis kelima.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلِ بْنِ غَزْوان، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيُّ، سَمِعْتُ أَبَا ظَبْية الكَلاعِيّ، سَمِعْتُ المقدادَ بْنَ الْأَسْوَدِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ: ["مَا تَقُولُونَ فِي الزِّنَا؟ " قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ ورسُولُه، فَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. فَقَالَ: رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] لأنْ يَزني الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَة، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَن يزنيَ بامرَأَةِ جَارِهِ". قَالَ: مَا تَقُولُونَ فِي السَّرِقَة؟ قَالُوا: حَرَّمَهَا اللهُ وَرَسُولُهُ فَهِيَ حَرَامٌ. قَالَ "لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِن عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يسرِقَ مِنْ جَارِهِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail ibnu Gazwan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sa'd Al-Ansari yang mengatakan bahwa ia mendengar dari Abu Zabyah Al-Kala'i yang telah mendengarnya dari Al-Miqdad ibnul Aswad yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada sahabat-sahabatnya: "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan zina itu?" Mereka menjawab, "Perbuatan haram yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, zina tetap diharamkan sampai hari kiamat." Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya bila seseorang lelaki berbuat zina dengan sepuluh orang wanita, hal ini lebih ringan baginya daripada ia berbuat zina dengan istri tetangganya." Rasulullah Saw. bertanya pula, "Bagaimanakah menurut kalian perbuatan mencuri itu?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, dan ia tetap haram sampai hari kiamat." Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya bila seseorang lelaki mencuri dari sepuluh rumah, hal ini lebih ringan baginya daripada ia mencuri dari rumah tetangganya."

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri). Tetapi hadis ini mempunyai syahid yang memperkuatnya di dalam kitab Sahihain melalui hadis Ibnu Mas'ud yang mengatakan:

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أيُّ الذَّنْب أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهُوَ خَلَقَكَ". قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَن يُطْعَم مَعَكَ". قُلتُ: ثُمَّ أيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تُزَاني حَليلةَ جَارِكَ"

Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?" Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia Yang menciptakan kamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw. menjawab.”Bila kamu membunuh anakmu karena khawatir dia akan makan bersamamu." Aku bertanya, "Kemudian apa lagi?" Nabi Saw. menjawab, "Bila kamu berzina dengan istri tetanggamu."

Hadis keenam.

قَالَ الإمامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، أَخْبَرَنَا هِشَامُ، عَنْ حَفْصَةَ، عَنْ أبِي الْعَالية، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: خَرَجْتُ مِنْ أَهْلِي أريدُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فإذَا بِهِ قَائِمٌ وَرَجُلٌ مَعَهُ مُقْبِل عَليه، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُمَا حَاجة -قَالَ الأنْصَارِيُّ: لَقَدْ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حتى جَعَلْتُ أَرْثِي لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ، فَلمَّا انْصَرفَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَقَدْ قَامَ بِكَ هَذَا الرَّجُلُ حَتَّى جَعَلْتُ أَرْثِي لَك مِنْ طُولِ الْقِيَامِ. قَالَ: "وَلَقَدْ رَأَيتَه؟ " قُلتُ: نَعَمْ. قَالَ: "أَتَدْرِي مَن هُوَ؟ " قُلْتُ: لَا. قَال: "ذَاكَ جِبْرِيِلُ، مَا زَالَ يُوصِينِي بِالجِارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّه سَيُورثُه. ثُمَّ قَالَ: أَمَا إِنَّك لَو سَلَّمْتَ عَلَيْهِ، رَدَّ عَلَيْكَ السَّلَامَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Hafsah, dari Abul Aliyah, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar yang telah menceritakan hadis berikut: Aku keluar dari rumah keluargaku menuju rumah Nabi Saw. Tiba-tiba aku jumpai beliau sedang berdiri menghadapi seorang lelaki yang ada bersamanya. Aku menduga bahwa keduanya sedang dalam suatu keperluan. Lelaki Ansar melanjutkan kisahnya, bahwa Rasulullah Saw. terus berdiri dalam waktu yang cukup lama sehingga aku merasa kasihan kepadanya. Ketika lelaki itu pergi, aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki ini sangat lama berdiri denganmu, sehingga aku merasa kasihan kepadamu karena lama berdiri melayaninya." Rasulullah Saw. bersabda, "Apakah kamu melihatnya?" Aku menjawab, "Ya." Rasulullah Saw. bertanya, "Tahukah kamu siapakah dia?" Aku menjawab, "Tidak." Nabi Saw, bersabda: Dia adalah Jibril, dia terus-menerus mewasiatkan kepadaku mengenai tetangga, hingga aku menduga bahwa dia akan memberinya hak mewaris. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda pula: Ingatlah, sesungguhnya kamu seandainya mengucapkan salam kepadanya, niscaya dia menjawab salammu.

Hadis ketujuh.

Abdu ibnu Humaid mengatakan di dalam kitab musnadnya.

حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عُبَيْد، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ -يَعْنِي الْمدَنيّ-عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْعَوَالِي وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وجِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يُصَلِّيانِ حَيْثُ يُصَلَّى عَلَى الْجَنائِز، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ الرَّجُلُ: يَا رسولَ اللَّهِ، مَنْ هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي رَأَيْتُ مَعَكَ؟ قَالَ: "وَقَدْ رأيْتَه؟ " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: "لَقَدْ رأَيْتَ خَيْرًا كَثِيرًا، هَذَا جِبْرِيلُ مَا زَالَ يُوصِينِي بِالْجَارِ حَتَّى رُئِيت أَنَّه سَيُورثُه".

telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar (yakni Al-Madani), dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari pegunungan datang ketika Rasulullah Saw. dan Malaikat Jibril sedang salat, yaitu pada saat Nabi Saw. sedang menyalatkan jenazah. Ketika Nabi Saw. menyelesaikan salatnya, lelaki tersebut bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah lelaki yang kulihat ikut salat bersamamu itu?" Rasulullah Saw. balik bertanya, "Apakah kamu melihatnya?" ia menjawab, "Ya." Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya engkau telah melihat kebaikan yang banyak. Orang ini adalah Jibril. Dia terus-menerus berwasiat kepadaku mengenai tetangga, hingga aku berpendapat bahwa dia akan memberinya hak mewaris.

Ditinjau dari segi ini hadis diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid secara munfarid, tetapi hadis ini mengukuhkan hadis sebelumnya.

Hadis kedelapan.

قَالَ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَبُو الرَّبِيعِ الْحَارِثِيّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْن أَبِي فُدَيْك، أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحمن بنُ الْفَضل عَنْ عَطَاء الخَراساني، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رسولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الجِيرانُ ثَلاثَةٌ: جَارٌ لهُ حَقٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ أَدْنَى الجيرانِ حَقًّا، وَجَارٌ لَهُ حقَّان، وجَارٌ لَهُ ثلاثةُ حُقُوقٍ، وَهُوَ أفضلُ الجيرانِ حَقًّا، فَأَمَّا الَّذِي لَهُ حَقٌّ وَاحِدٌ فَجَارٌ مُشْرِكٌ لَا رَحمَ لَهُ، لَهُ حَقُّ الجَوار. وأمَّا الَّذِي لَهُ حقانِ فَجَارٌ مُسْلِمٌ، لَهُ حَقُّ الْإِسْلَامِ وَحَقُّ الْجِوارِ، وأَمَّا الَّذِي لَهُ ثَلاثةُ حُقُوقٍ، فَجَارٌ مُسْلِمٌ ذُو رَحِمٍ لَهُ حَقُّ الْجِوَارِ وَحَقُّ الْإِسْلَامِ وحَقُّ الرحِمِ".

Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Muhammad alias Abur Rabi' Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Abu Fudail, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnul Fadl, dari Ata Al-Khurrasani, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tetangga itu ada tiga macam, yaitu tetangga yang mempunyai satu hak; dia adalah tetangga yang memiliki hak paling rendah. Lalu tetangga yang mempunyai dua hak, dan tetangga yang mempunyai tiga hak, dia adalah tetangga yang memiliki hak paling utama. Adapun tetangga yang mempunyai satu hak, maka dia adalah tetangga musyrik yang tidak mempunyai hubungan kerabat baginya; dia mempunyai hak tetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, maka dia adalah tetangga muslim; dia mempunyai hak Islam dan hak tetangga. Adapun tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga muslim yang masih mempunyai hubungan kerabat; dia mempunyai hak tetangga, hak Islam, dan hak kerabat.

Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui ada seseorang yang meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnul Fadl kecuali hanya Ibnu Abu Fudail."

Hadis kesembilan.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حدثنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ، عنْ طَلْحَةَ بنِ عَبْد اللهِ، عَنْ عَائِشَةَ؛ أَنَّهَا سَأَلَتْ رسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: "إنَّ لِي جَارَيْنِ، فَإِلَى أيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: "إِلَى أقْرَبِهِمَا مِنْك بَابًا"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Imran, dari Talhah ibnu Abdullah, dari Aisyah, bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. Untuk itu ia mengatakan: "Sesungguhnya aku mempunyai dua orang tetangga. maka kepada siapakah aku akan mengirimkan hadiah (kiriman) ini?" Nabi Saw. bersabda, "Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat kepadamu."

Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah dengan sanad yang sama.

Hadis kesepuluh.

Imam Tabrani dan Abu Na'im meriwayatkan dari Abdur Rahman yang di dalam riwayatnya ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan wudu, lalu orang-orang berebutan mengusapkan bekas air wudunya. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Apakah gerangan yang mendorong kalian berbuat demikian?" Mereka menjawab, "Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah Saw. bersabda:

«من سره أن يحب الله ورسوله فليصدق الحديث إذا حدث، وليؤد الأمانة إذا ائتمن»

Barang siapa yang menginginkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah ia berkata benar apabila berbicara, dan hendaklah ia menunaikan amanat bila dipercaya, (dan hendaklah ia berbuat baik dengan tetangga).

Hadis kesebelas.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

«إن أَوَّلُ خَصْمَيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ جَارَانِ »

Sesungguhnya mula-mula dua seteru yang diajukan di hari kiamat nanti adalah dua orang yang bertetangga.

*******************

Firman Allah Swt.

وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ

dan (berbuat baiklah kepada) teman-teman sejawat. (An-Nisa: 36)

As-Sauri meriwayatkan dari Jabir Al-Ju'fi, dari Asy-Sya'bi, dari Ali dan Ibnu Mas'ud, yang dimaksud ialah istri.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, dan Sa'id ibnu Jubair dalam salah satu riwayatnya yang menyatakan hal selain itu.

Ibnu Abbas dan sejumlah ulama mengatakan, yang dimaksud adalah tamu. Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah teman seperjalanan.

Adapun Ibnu Sabil, menurut Ibnu Abbas dan sejumlah ulama, yang dimaksud adalah tamu. Menurut Mujahid, Abu Ja'far, Al-Baqir, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Muqatil, yang dimaksud dengan Ibnu Sabil ialah orang yang sedang dalam perjalanan yang mampir kepadamu. Pendapat ini lebih jelas, sekalipun pendapat yang mengatakan "tamu" bermaksud orang yang dalam perjalanan, lalu bertamu, pada garis besarnya kedua pendapat bermaksud sama.

Pembahasan mengenai Ibnu Sabil ini akan diketengahkan secara rinci dalam tafsir surat Al-Bara’ah (surat At-Taubah). Hanya kepada Allah mohon keperca-yaan dan hanya kepada-Nya bertawakal.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَما مَلَكَتْ أَيْمانُكُمْ

dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki. (An-Nisa: 36)

Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada para hamba sahaya, karena hamba sahaya adalah orang yang lemah upayanya, dan dikuasai oleh orang lain. Karena itu, terbukti bahwa Rasulullah Saw. mewasiatkan kepada umatnya dalam sakit yang membawa kewafatannya melalui sabdanya yang mengatakan:

«الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ»

Salat, salat, dan budak-budak yang kalian miliki!

Maka beliau Saw. mengulang-ulang sabdanya hingga lisan beliau kelihatan terus berkomat-kamit mengatakannya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي الْعَبَّاسِ، حَدَّثَنَا بَقِيّة، حَدَّثَنَا بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَان، عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يكَرِب قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَك فَهُوَ لَكَ صدقةٌ، وَمَا أطعمتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، ومَا أطعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَك صَدَقَهٌ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abul Abbas, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, telah menceritakan kepada kami Bujair ibnu Sa'd. dari Khalid ibnu Ma'dan, dari Al-Miqdam ibnu Ma'di Kariba yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak sekali-kali kamu beri makan dirimu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan anakmu melainkan hal itu sedekah bagimu, tidak sekali-kali kamu beri makan istrimu melainkan hal itu sedekah bagimu, dan tidak sekali-kali kamu beri makan pelayanmu melainkan hal itu sedekah bagimu.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Baqiyyah, sanad hadis berpredikat sahih.

Dari Abdullah ibnu Amr, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Qahriman (pegawai)nya, "Apakah engkau telah memberikan makanan pokok kepada budak-budak?" Ia menjawab, "Belum." Abdullah ibnu Amr berkata, "Berangkatlah sekarang dan berikanlah makanan pokok itu kepada mereka, karena sesungguhnya Rasulullah Saw. telah bersabda:

«كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُمْ»

Cukuplah dosa seseorang, bila ia menahan makanan pokok terhadap hamba sahayanya.’

Hadis riwayat Imam Muslim.

Disebutkan dari sahabat Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

«لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ، وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ»

Hamba sahaya berhak mendapatkan makanan dan pakaiannya, dan tidak boleh dibebani dengan pekerjaan melainkan sebatas kemampuannya.

Hadis riwayat Imam Muslim pula.

Dari Abu Hurairah r.a. pula, dari Nabi Saw. Disebutkan bahwa. Nabi Saw. pernah bersabda:

«إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ، أَوْ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ، فَإِنَّهُ وَلِيَ حَرَّهُ وَعِلَاجَهُ»

Apabila pelayan seseorang di antara kalian datang menyuguhkan makanan, lalu ia tidak mau mempersilakan pelayan untuk makan bersamanya, maka hendaklah ia memberikan kepadanya sesuap atau dua suap makanan, sepiring atau dua piring makanan, karena sesungguhnya pelayanlah yang memasak dan yang menghidangkannya.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Lafaz hadis ini berdasarkan apa yang ada pada Sahih Bukhari, sedangkan menurut lafaz Imam Muslim adalah seperti berikut:

«فَلْيُقْعِدْهُ مَعَهُ فَلْيَأْكُلْ، فَإِنْ كَانَ الطَّعَامُ مَشْفُوهًا قَلِيلًا، فَلْيَضَعْ فِي يَدِهِ أَكْلَةً أَوْ أَكْلَتَيْنِ»

Hendaklah ia mempersilakan pelayannya untuk makan bersamanya; dan jika makanan tersebut untuk orang banyak lagi sedikit, maka hendaklah ia memberinya makanan di tangannya barang sesuap atau dua suap makanan.

Dari Abu Zar r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

«هُمْ إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ »

Mereka (para pelayan) adalah saudara-saudara kalian lagi budak-budak kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah kekuasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, dan hendaklah ia memberinya pakaian dari apa yang ia pakai, dan janganlah kalian membebani mereka pekerjaan yang tidak mampu mereka lakukan; dan jika kalian terpaksa membebani mereka (dengan pekerjaan berat), maka bantulah mereka.

Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كانَ مُخْتالًا فَخُوراً

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)

Yakni congkak, takabur, dan sombong terhadap orang lain; dia melihat bahwa dirinya lebih baik daripada mereka. Dia merasa dirinya besar, tetapi di sisi Allah hina dan di kalangan manusia dibenci.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. (An-Nisa: 36) yang dimaksud dengan mukhtal ialah takabur dan sombong. Sedangkan yang dimaksud dengan firman-Nya: lagi membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36) tidak pernah bersyukur kepada Allah Swt. setelah diberi nikmat oleh-Nya, bahkan dia berbangga diri terhadap orang-orang dengan karunia nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepadanya, dan dia orang yang sedikit bersyukur kepada Allah atas hal tersebut.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, dari Abdullah ibnu Waqid, dari Abu Raja Al-Harawi yang mengatakan bahwa ia tidak pernah menjumpai orang yang jahat perangainya kecuali ada pada diri orang yang sombong lagi membangga-banggakan dirinya, lalu ia membacakan firman-Nya: dan (berbuat baiklah kepada) hamba sahaya yang kalian miliki. (An-Nisa: 36), hingga akhir ayat. Tidak pernah ia jumpai orang yang menyakiti kedua orang tuanya kecuali ada pada diri orang sombong lagi durhaka, lalu ia membacakan firman-Nya: dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (Maryam: 32)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Al-Awwam ibnu Hausyab hal yang semisal sehubungan dengan makna mukhtal (sombong) dan fakhur (membangga-banggakan diri). Untuk itu ia mengatakan:

حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا الْأُسُودُ بْنُ شَيْبَان، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الشِّخِّير قَالَ: قَالَ مُطَرِّف: كَانَ يَبْلُغُنِي عَنْ أَبِي ذَرٍّ حَدِيثٌ كُنْتُ أَشْتَهِي لِقَاءَهُ، فَلَقِيتُهُ فَقُلْتُ: يَا أَبَا ذَرٍّ، بَلَغَنِي أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَكُمْ: "إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ ثَلَاثَةً ويُبْغض ثَلَاثَةً"؟ قَالَ: أَجَلْ، فَلَا إِخَالُنِي أَكْذِبُ عَلَى خَلِيلِي، ثَلَاثًا. قُلْتُ: مَنِ الثَّلَاثَةُ الَّذِينَ يُبْغِضُ اللَّهُ؟ قَالَ: الْمُخْتَالُ الْفَخُورُ، أَوَلَيْسَ تَجِدُونَهُ عِنْدَكُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ الْمُنَزَّلِ؟ ثُمَّ قَرَأَ الْآيَةَ: إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Al-Aswad ibnu Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdullah ibnusy Syiklikhir yang mengatakan bahwa Mutarrif pernah menceritakan bahwa telah sampai kepadanya sebuah hadis dari Abu Zar yang membuatnya ingin sekali bersua dengan Abu Zar. Lalu ia menjumpai Abu Zar. Aku (Mutarrif) bertanya, "Hai Abu Zar, telah sampai kepadaku bahwa dirimu pernah menduga bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, 'Sesungguhnya Allah menyukai tiga orang dan membenci tiga orang'." Abu Zar menjawab, "Memang benar, kamu tentu percaya bahwa aku tidak akan berdusta kepada kekasihku (Nabi Saw.)," sebanyak tiga kali. Aku bertanya, "Lalu siapakah tiga macam orang yang dibenci oleh Allah itu?" Abu Zar menjawab, "Orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri. Bukankah kamu pun telah menjumpainya di dalam Kitabullah yang ada pada kalian?" Kemudian Abu Zar r.a. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (An-Nisa: 36)

وَحَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا وُهَيْبُ عَنْ خَالِدٍ، عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَلْهُجَيم قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَوْصِنِي. قَالَ: "إِيَّاكَ وإسبالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّ إِسْبَالَ الْإِزَارِ مِنَ المَخِيلة، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ المَخِيلة"

Dan telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Khalid, dari Abu Tamimah, dari seorang lelaki dari kalangan Banil Hujaim yang menceritakan: Aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Jangan sekali-kali kamu memanjangkan kainmu, karena sesungguhnya memanjangkan kain merupakan sikap orang yang sombong, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai (orang yang bersikap) sombong."


ٱلَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ عَذَابًۭا مُّهِينًۭا 37

(37) (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.

(37) 

Allah Swt. berfirman mencela orang-orang yang kikir dengan harta benda mereka, tidak mau menginfakkannya untuk keperluan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah, seperti berbakti kepada kedua orang tua, berbuat kebajikan kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh dan teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang mereka miliki. Mereka tidak mau membayar hak Allah yang ada pada harta mereka, bahkan mereka menganjurkan orang lain untuk bersikap kikir. Rasulullah Saw. telah bersabda:

"وَأَيُّ دَاءٍ أَدْوَأ مِنَ الْبُخْلِ؟ "

Penyakit manakah yang lebih parah dari penyakit kikir?

Dalam kesempatan yang lain Rasulullah Saw. bersabda pula:

«إِيَّاكُمْ وَالشُّحَ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا»

Hati-hatilah kalian terhadap sifat kikir, karena sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk memutuskan hubungan silaturahmi, lalu mereka memutuskannya. Dan sifat kikir memerintahkan kepada mereka untuk berbuat maksiat, lalu mereka mengerjakannya.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَيَكْتُمُونَ مَا آتاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)

Orang yang kikir adalah orang yang ingkar kepada nikmat Allah; nikmat Allah tidak tampak pada dirinya, tidak kelihatan pada makanan, pakaian, tidak pula pada pemberian dan sumbangan. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

إِنَّ الْإِنْسانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ وَإِنَّهُ عَلى ذلِكَ لَشَهِيدٌ

Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. (Al-Adiyat: 6-7)

Yakni menyaksikan keadaan dan sepak terjangnya sendiri yang ingkar itu.

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta. (Al-Adiyat: 8)

Sedangkan dalam surat An-Nisa ini disebutkan:

وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. (An-Nisa: 37)

Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah Swt. mengancam mereka:

وَأَعْتَدْنا لِلْكافِرِينَ عَذاباً مُهِيناً

Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)

Al-Kufru artinya menutupi dan menyembunyikan; orang yang kikir menutupi nikmat Allah yang diberikan kepadanya, lalu ia sembunyikan dan ia ingkari, maka dia kafir terhadap nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya. Di dalam sebuah hadis disebutkan:

"إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَنْعَمَ نِعْمَةً عَلَى عبدٍ أحبَّ أَنْ يَظْهَرَ أثرُها عَلَيْهِ"

Sesungguhnya Allah apabila memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba, Dia suka bila si hamba menampakkan pengaruh dari nikmat itu pada dirinya.

Dalam doa Nabawi disebutkan:

"وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ، مُثِنِينَ بِهَا عَلَيْكَ قَابِلِيهَا -وَيُرْوَى: قَائِلِيهَا-وَأَتْمِمْهَا عَلَيْنَا"

Dan jadikanlah kami orang-orang yang mensyukuri nikmat-Mu, memuji-Mu karenanya, menerimanya, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami.

Sebagian ulama Salaf menginterpretasikan makna ayat ini ditujukan kepada kekikiran orang-orang Yahudi, karena mereka telah mengetahui perihal sifat Nabi Muhammad Saw. melalui kitab-kitab yang ada di tangan mereka, tetapi mereka menyembunyikannya. Untuk itulah disebutkan di dalam firman-Nya:

وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (An-Nisa: 37)

Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

Tidak diragukan memang ayat ini mengandung pengertian tersebut. Tetapi makna lahiriah ayat menunjukkan sifat kikir dalam masalah harta benda, sekalipun kikir dalam masalah ilmu termasuk pula ke dalam maknanya dengan pengertian yang prioritas.

Konteks ayat ini berkaitan dengan memberi nafkah kepada kaum kerabat dan orang-orang lemah (miskin). Begitu pula ayat yang sesudahnya, yaitu firman-Nya:

والَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ رِئَاءَ النَّاسِ

Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya (pamer) kepada manusia. (An-Nisa: 38)

Pada ayat pertama disebutkan perihal orang-orang yang menyembunyikan hartanya lagi tercela; mereka adalah orang-orang yang kikir. Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena pamer, dengan tujuan pada pemberiannya itu ingin dipuji dan dihormati, dan dalam hal tersebut mereka sama sekali tidak mengharapkan pahala Allah Swt.

Di dalam hadis mengenai tiga macam orang yang api neraka dibesarkan untuk mereka —yaitu orang alim, orang yang berperang, dan orang yang berinfak; yang semuanya itu dilakukan mereka karena riya (pamer) dengan amal perbuatan mereka— disebutkan seperti berikut:

«يَقُولُ صَاحِبُ الْمَالِ: مَا تَرَكْتُ مِنْ شَيْءٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهِ إِلَّا أَنْفَقْتُ فِي سَبِيلِكَ، فَيَقُولُ اللَّهُ: كَذَبْتَ إِنَّمَا أَرَدْتَ أَنْ يُقَالَ: جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ»

Pemilik harta berkata.”Aku tidak pernah membiarkan suatu jalan pun yang Engkau sukai bila aku berinfak untuknya, melainkan aku mengeluarkan infak di jalan-Mu itu." Maka Allah berfirman, "Kamu dusta, sesungguhnya yang kamu ingini ialah agar dikatakan bahwa kamu orang yang dermawan, dan hal itu telah diucapkan."

Yakni kamu telah mengambil (menerima) pahalamu di dunia yang merupakan tujuan dari perbuatanmu itu.

Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepada Addi ibnu Hatim:

«إِنَّ أَبَاكَ رَامَ أَمْرًا فَبَلَغَهُ»

Sesungguhnya ayahmu menghendaki suatu perkara, dan ia telah mencapai (mendapatkan)nya.

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai Abdullah ibnu Jad'an, apakah infak dan memerdekakan budak yang dilakukannya bermanfaat bagi dia. Maka Rasulullah Saw. menjawab:

"لَا إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ"

Tidak, karena sesungguhnya dia dalam suatu hari dari masa hidupnya belum pernah mengatakan, "Ya Tuhanku, ampunilah bagiku atas kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)ku di hari pembalasan (nanti)."

Karena itulah dalam ayat ini disebutkan:

وَلا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ

dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. (An-Nisa: 38), hingga akhir ayat.

Dengan kata lain, sesungguhnya yang mendorong mereka berbuat perbuatan yang buruk itu dan menyimpang dari jalan ketaatan adalah setan. Setanlah yang membisikkan hal itu kepada mereka dan membuat mereka berangan-angan untuk melakukannya. dan setan selalu menemani mereka hingga semua perbuatan yang buruk akan mereka kerjakan dengan baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan seperti berikut: Barang siapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya. (An-Nisa: 38)

Salah seorang penyair sehubungan dengan pengertian ini telah mengatakan:

عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ ... فَكُلُّ قَرِينٍ بِالْمَقَارَنِ يَقْتَدِي

Jangan kamu tanyakan kepada seseorang siapa dia adanya, tetapi lihatlah siapa temannya, karena setiap teman mempengaruhi orang yang ditemaninya.

*******************

Kemudian Allah Swt. berfirman:

وَماذا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ

Apakah kemudaratannya bagi mereka. kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka? (An-Nisa: 39), hingga akhir ayat.

Apakah bahayanya sekiranya mereka beriman kepada Allah dan menempuh jalan yang terpuji, membebaskan diri dari riya (pamer) dan berikhlas serta beriman kepada Allah dengan mengharapkan janji-Nya di hari akhirat bagi orang yang beramal baik, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang diberikan oleh Allah kepada mereka ke jalan-jalan yang disukai dan diridai Allah Swt.?

*******************

Firman Allah Swt.:

وَكانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيماً

Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka. (An-Nisa: 39)

Dia Maha Mengetahui niat mereka. apakah niat yang baik atau yang buruk, dan Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak dari mereka yang mendapat taufik, lalu Dia memberinya jalan petunjuk dan memberinya ilham untuk mengerjakanya serta menggerakkannya untuk melakukan amal saleh yang diridai-Nya. Dia Maha mengetahui tentang orang yang berhak mendapat kehinaan dan yang terusir dari sisi-Nya Yang Mahabesar, yaitu orang yang terusir dari rahmat-Nya. Sesungguhnya orang tersebut sangat kecewa dan merugi di dunia dan akhirat. Semoga Allah melindungi kita semua dari keadaan seperti itu.