2 - البقرة - Al-Baqara

Juz : 1

The Cow
Medinan

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ 62

(62) Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(62) 

Setelah Allah Swt. menyebutkan keadaan orang-orang yang menentang perintah-perintah-Nya, melanggar larangan-larangan-Nya, berlaku kelewat batas melebihi dari apa yang diizinkan, serta berani melakukan perkara-perkara yang diharamkan dan akibat azab yang menimpa mereka, maka Allah mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa yang berbuat baik dari kalangan umat-umat terdahulu dan taat, baginya pahala yang baik. Demikianlah kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, maka baginya kebahagiaan yang abadi. Tiada ketakutan bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tidak pula mereka bersedih hati atas apa yang telah mereka lewatkan dan tinggalkan. Makna ayat ini sama dengan firman lainnya, yaitu:

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yunus: 62)

Seperti yang dikatakan oleh para malaikat kepada kaum mukmin di saat menghadapi kematiannya yang disitir oleh firman-Nya seperti berikut:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami ialah Allah,'" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), "Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian." (Fushshilat: 3)

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ العَدني، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: قَالَ سَلْمَانُ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِ دِينٍ كُنْتُ مَعَهُمْ، فذكرتُ مِنْ صَلَاتِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ، فَنَزَلَتْ: إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Umar Al-Adawi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Salman r.a. pernah menceritakan hadis berikut: Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang pemeluk agama yang dahulunya aku salah seorang dari mereka, maka aku menceritakan kepada beliau tentang cara salat dan ibadah mereka. Lalu turunlah firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian," hingga akhir ayat.

As-Saddi mengatakan bahwa firman-Nya yang mengatakan: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh.... (Al-Baqarah: 62) diturunkan berkenaan dengan teman-teman Salman Al-Farisi. Ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi Saw., lalu ia menyebutkan perihal teman-teman yang seagamanya di masa lalu, ia menceritakan kepada Nabi berita tentang mereka. Untuk itu ia mengatakan, "Mereka salat, puasa, dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus sebagai seorang nabi." Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung pujian kepada mereka, maka Nabi Saw. bersabda kepadanya, "Hai Salman, mereka termasuk ahli neraka." Maka hal ini terasa amat berat bagi Salman. Lalu Allah menurunkan ayat ini.

Iman orang-orang Yahudi itu ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya diterima hingga Nabi Isa a.s. datang. Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s. tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikut kepada syariat Nabi Isa, maka ia termasuk orang yang binasa.

Iman orang-orang Nasrani ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Injil dari kalangan mereka dan syariat-syariat Nabi Isa, maka dia termasuk orang yang mukmin lagi diterima imannya hingga Nabi Muhammad Saw. datang. Barang siapa dari kalangan mereka yang tidak mau mengikut kepada Nabi Muhammad Saw. dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa serta ajaran Injilnya sesudah Nabi Muhammad Saw. datang, maka dia termasuk orang yang binasa.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.

Menurut kami riwayat ini tidak bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 62). Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa sesudah itu diturunkan oleh Allah firman berikut:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85)

Sesungguhnya apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ini merupakan suatu pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari seseorang suatu cara dan tidak pula suatu amal pun, kecuali apa yang bersesuaian dengan syariat Nabi Muhammad Saw. sesudah beliau diutus membawa risalah yang diembannya. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam jalan petunjuk dan jalan keselamatan.

Orang-orang Yahudi adalah pengikut Nabi Musa a.s., yaitu mereka yang berpegang kepada kitab Taurat di zamannya. Kata al-yahud diambil dari kata al-hawadah yang artinya kasih sayang, atau berasal dari kata at-tahawwud yang artinya tobat, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. dalam firman-Nya:

إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ

Sesungguhnya kami kembali kepada Engkau. (Al-A'raf: 156)

Maksudnya, kami bertobat kepada Engkau. Seakan-akan mereka dinamakan demikian pada asal mulanya karena tobat dan kasih sayang sebagian mereka kepada sebagian yang lain.

Menurut pendapat yang lain, nama Yahudi itu dinisbatkan (dikaitkan) dengan Yahuda, nama anak tertua Ya'qub.

Abu Amr ibnul Ala mengatakan, disebut demikian karena mereka selalu bergerak di kala membaca kitab Taurat.

Ketika Nabi Isa diutus, kaum Bani Israil diwajibkan untuk mengikuti dan menaatinya. Sahabat-sahabat Nabi Isa dan pemeluk agamanya dinamakan Nasrani karena mereka saling menolong di antara sesama mereka. Mereka disebut pula Ansar, seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa a.s. dalam firman-Nya:

مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ

Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama) Allah! Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah." (Ali Imran: 52)

Menurut pendapat yang lain, mereka dinamakan demikian karena pernah bertempat tinggal di suatu daerah yang dikenal dengan nama Nasirah. Demikian menurut Qatadah dan Ibnu Juraij, serta diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas.

Nasara adalah bentuk jamak dari nasran, sama halnya dengan lafaz nasyawa bentuk jamak dari lafaz nasywan, dan sukara bentuk jamak dari lafaz sakran. Dikatakan Nasranah untuk seorang wanita Nasrani. Salah seorang penyair mengatakan, "Dan seorang wanita Nasranah yang tidak pernah ibadah."

Ketika Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. sebagai pemungkas para nabi dan rasul kepada semua anak Adam secara mutlak, maka diwajibkan bagi mereka percaya kepada apa yang disampaikannya, taat kepada perintahnya, dan mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Mereka adalah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya. Umat Nabi Muhammad Saw. dinamakan kaum mukmin karena banyaknya keimanan mereka dan keyakinan mereka yang sangat kuat, mengingat mereka beriman kepada semua nabi yang terdahulu dan perkara-perkara gaib yang akan datang.

Mengenai orang-orang Sabi-in, para ulama berbeda pendapat mengenai hakikat mereka. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa mereka (yakni orang-orang Sabi-in) adalah suatu kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani; pada hakikatnya mereka tidak mempunyai agama. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.

Telah diriwayatkan dari Ata dan Sa'id ibnu Jubair hal yang semi-sal dengan pendapat di atas.

Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Abusy Sya'sa (yakni Jabir ibnu Zaid), Ad-Dahhak, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu sekte dari kalangan ahli kitab, mereka mengakui kitab Zabur. Karena itu, Imam Abu Hanifah dan Ishaq mengatakan bahwa tidak mengapa dengan sembelihan mereka dan menikah dengan mereka.

Hasyim meriwayatkan dari Mutarrif, "Ketika kami sedang bersama Al-Hakam ibnu Atabah, lalu ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Basrah bercerita kepadanya, dari Al-Hasan yang mengatakan tentang orang-orang Sabi-in, bahwa sesungguhnya mereka itu sama dengan orang-orang Majusi. Kemudian Al-Hakam berkata, 'Bukankah aku pun telah mengatakan hal yang sama kepada kalian?'."

Abdur Rahman ibnu Mahdi meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan menceritakan tentang orang-orang Sabi-in. Dia mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum yang menyembah malaikat.

Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hasan yang menceritakan, "Diberitakan kepada Ziad bahwa orang-orang Sabi-in salat menghadap ke arah kiblat, mereka salat lima waktu. Ziad bermaksud membebaskan mereka dari pungutan jizyah, tetapi sesudah itu dia mendapat berita bahwa mereka menyembah malaikat."

Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan, telah sampai berita kepadanya bahwa orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah malaikat, percaya kepada kitab Zabur, dan salat menghadap ke arah kiblat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya yang mengatakan bahwa orang-orang Sabi-in adalah suatu kaum yang tinggal di sebelah negeri Irak. Mereka kaum yang suka menangis, beriman kepada semua nabi serta puasa selama tiga puluh hari setiap tahunnya, dan mereka salat menghadap negeri Yaman setiap harinya sebanyak lima kali.

Wahb ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai Sabi-in. Ia menjawab bahwa mereka hanya mengenal Allah semata, tidak mempunyai syariat yang diamalkan, tidak pula berbuat kekufuran.

Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Zaid pernah berkata, "Sabi-in adalah pemeluk suatu agama yang tinggal di Mausul. Mereka mengatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tetapi mereka tidak mempunyai amal, kitab, dan nabi kecuali hanya ucapan 'tidak ada Tuhan selain Allah'." Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan pula bahwa mereka tidak beriman kepada rasul. Karena itulah orang-orang musyrik mengatakan kepada Nabi Saw. dan para sahabatnya, bahwa Nabi Saw. dan sahabatnya adalah orang-orang Sabi-in. Orang-orang musyrik menyerupakan Nabi Saw. dan para sahabatnya dengan mereka dalam hal ucapan 'tidak ada Tuhan selain Allah'.

Al-Khalil mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum yang agamanya menyerupai agama Nasrani, hanya kiblat mereka mengarah kepada datangnya angin selatan; mereka menduga bahwa dirinya berada dalam agama Nabi Nuh a.s.

Al-Qurtubi meriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, dan Ibnu Abu Nujaih, bahwa mereka adalah suatu kaum yang agamanya merupakan campuran antara agama Yahudi dan agama Majusi; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, dan kaum wanitanya tidak boleh dinikahi.

Al-Qurtubi mengatakan, yang tersimpul dari pendapat mereka menurut apa yang disebut oleh sebagian ulama yaitu mereka adalah orang-orang yang mengesakan Tuhan dan meyakini akan pengaruh bintang-bintang, bahwa bintang-bintang tersebutlah yang melakukannya. Karena itulah Abu Sa'id Al Astakhri mengeluarkan fatwa bahwa mereka adalah orang kafir. Ia katakan demikian ketika Al-Qadir Billah menanyakan kepadanya tentang hakikat mereka.

Ar-Razi memilih pendapat yang mengatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum yang menyembah bintang-bintang, dengan pengertian bahwa Allah telah menjadikannya sebagai kiblat untuk ibadah dan doa, yakni Allah menyerahkan pengaturan urusan alam ini kepada bintang-bintang tersebut. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan bahwa pendapat ini dinisbatkan kepada orang-orang Kasyrani yang didatangi oleh Nabi Ibrahim a.s. untuk membatalkan pendapat mereka dan memenangkan perkara yang hak.

Pendapat Mujahid dan para pengikutnya serta pendapat Wahb ibnu Munabbih menyatakan bahwa Sabi-in adalah suatu kaum bukan pemeluk agama Yahudi, bukan Nasrani, bukan Majusi, bukan pula kaum musyrik. Sesungguhnya mereka adalah suatu kaum yang hanya tetap pada fitrah mereka, tiada agama tetap yang menjadi panutan dan pegangan mereka. Karena itulah maka kaum musyrik memperolok-olokkan orang yang masuk Islam dengan sebutan Sabi, dengan maksud bahwa dia telah menyimpang dari semua agama penduduk bumi di saat itu.

Sebagian ulama mengatakan, Sabi-in adalah orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah seorang nabi pun.

Pendapat yang paling kuat di antara semuanya hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.


وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ ٱلطُّورَ خُذُوا۟ مَآ ءَاتَيْنَٰكُم بِقُوَّةٍۢ وَٱذْكُرُوا۟ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 63

(63) Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa".

(63) 

Allah Swt. berfirman mengingatkan Bani Israil akan apa yang telah Dia ambil dari mereka berupa janji-janji dan ikrar untuk beriman hanya kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya, dan mau mengikuti rasul-rasul-Nya. Allah menceritakan bahwa ketika Dia mengambil janji dari mereka, maka Dia angkat gunung itu di atas mereka agar mereka mau mengakui apa yang disumpahkan kepada mereka, mengambilnya dengan sekuat tenaga, dan bertekad untuk melaksanakannya. Seperti yang disebutkan di dalam firman lainnya, yaitu:

وَإِذْ نَتَقْنَا الْجَبَلَ فَوْقَهُمْ كَأَنَّهُ ظُلَّةٌ وَظَنُّوا أَنَّهُ وَاقِعٌ بِهِمْ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka), "Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepada kalian, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kalian menjadi orang-orang yang bertakwa." (Al-A'raf: 171)

Ath-Thur artinya gunung, sesuai dengan apa yang ditafsirkan dalam ayat surat Al-A'raf ini. Hal ini dinaskan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya; pendapat ini sudah jelas.

Tetapi menurut suatu riwayat yang dikatakan dari Ibnu Abbas, tur ialah bukit yang mempunyai tetumbuhan, sedangkan bukit yang tidak ada tetumbuhannya bukan dinamakan tur.

Di dalam hadis futun disebutkan dari Ibnu Abbas, "Ketika mereka menolak untuk taat, maka diangkat di atas mereka bukit tersebut dengan maksud agar mereka mau menurut."

As-Saddi mengatakan, "Ketika mereka membangkang untuk sujud, maka Allah memerintahkan kepada gunung untuk runtuh menimpa mereka. Lalu mereka melihat gunung tersebut telah menutupi mereka, akhirnya mereka jatuh tersungkur bersujud. Tetapi mereka hanya sujud dengan separo tubuh mereka, sedangkan separo yang lainnya melihat ke arah gunung tersebut. Akhirnya Allah kasihan kepada keadaan mereka, lalu mengembalikan gunung tersebut ke tempatnya, menjauhi mereka." Para ulama mengatakan, "Demi Allah, tiada suatu sujud yang lebih disukai oleh Allah selain sujud yang menyebabkan azab diangkat dari mereka (orang-orang Bani Israil), padahal mereka melakukan sujud seperti itu." Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya, "Dan (ingatlah) ketika Kami mengangkat bukit itu di atas kalian" (Al-Baqarah: 63).

Al-Hasan mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian. (Al-Baqarah: 63) Yang dimaksud adalah kitab Taurat.

Abul Aliyah dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa biquwwah artinya dengan taat. Menurut Mujahid, biquwwah artinya mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan quwwah ialah kesungguhan; jika tidak, niscaya Aku akan melemparkan bukit ini kepada kalian. Akhirnya setelah diancam demikian mereka mau memegang apa yang diberikan kepada mereka.

Abul Aliyah dan Ar-Rabi' mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya. (Al-Baqarah: 63) Artinya, bacalah dan amalkanlah apa yang terkandung di dalam kitab Taurat.

***********

Firman Allah Swt.:

ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ

Kemudian kalian berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah. (Al-Baqarah: 64)

Allah Swt. berfirman bahwa setelah adanya perjanjian yang telah dikukuhkan dan diagungkan itu, lalu kalian berpaling darinya, kalian menyimpang dan melanggarnya.

فَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ

maka kalau tidak ada karunia dan rahmat-Nya atas kalian. (Al-Baqarah: 64)

Yakni kalau Allah tidak menerima tobat kalian dan tidak mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul kepada kalian.

لَكُنْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

niscaya kalian tergolong orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 64)

disebabkan kalian merusak perjanjian tersebut, yakni kalian akan rugi di dunia dan di akhirat.


ثُمَّ تَوَلَّيْتُم مِّنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ ۖ فَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ لَكُنتُم مِّنَ ٱلْخَٰسِرِينَ 64

(64) Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi.

(64) 

Firman Allah Swt.:

ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ

Kemudian kalian berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah. (Al-Baqarah: 64)

Allah Swt. berfirman bahwa setelah adanya perjanjian yang telah dikukuhkan dan diagungkan itu, lalu kalian berpaling darinya, kalian menyimpang dan melanggarnya.

فَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ

maka kalau tidak ada karunia dan rahmat-Nya atas kalian. (Al-Baqarah: 64)

Yakni kalau Allah tidak menerima tobat kalian dan tidak mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul kepada kalian.

لَكُنْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ

niscaya kalian tergolong orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 64)

disebabkan kalian merusak perjanjian tersebut, yakni kalian akan rugi di dunia dan di akhirat.


وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ ٱلَّذِينَ ٱعْتَدَوْا۟ مِنكُمْ فِى ٱلسَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا۟ قِرَدَةً خَٰسِـِٔينَ 65

(65) Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina".

(65) 

Allah Swt. berfirman bahwa sesungguhnya kalian —hai orang-orang Yahudi— telah mengetahui azab yang menimpa penduduk kampung itu yang durhaka terhadap perintah Allah dan melanggar perjanjian dan ikrar-Nya yang telah Dia ambil dari kalian. Yaitu kalian harus mengagungkan hari Sabtu dan menaati perintah-Nya. Dikatakan demikian karena hal tersebut disyariatkan bagi mereka. Akan tetapi, pada akhirnya mereka membuat kilah (tipu daya) agar mereka tetap dapat berburu ikan di hari Sabtu, yaitu dengan cara meletakkan jaring-jaring dan perangkap-perangkap ikan sebelum hari Sabtu.

Apabila hari Sabtu tiba dan ikan-ikan banyak didapat sebagaimana biasanya, ikan-ikan tersebut terjerat oleh jaring-jaring dan perangkap-perangkap tersebut, tiada suatu ikan pun yang selamat di hari Sabtu itu. Apabila malam hari tiba, mereka mengambil ikan-ikan tersebut sesuduh hari Sabtu berlalu. Ketika mereka melakukan hal tersebut, maka Allah mengutuk rupa mereka menjadi kera. Kera adalah suatu binatang yang rupanya lebih mirip dengan manusia, tetapi kera bukan jenis manusia. Dengan kata lain, demikian pula perbuatan dan tipu muslihat mereka, mengingat apa yang mereka lakukan itu menurut lahiriah mirip dengan perkara yang hak, tetapi batiniahnya berbeda bahkan kebalikannya. Maka pembalasan dikutuk menjadi kera itu merupakan balasan dari perbuatan mereka sendiri yang disesuaikan dengan jenis pelanggarannya.

Kisah ini disebutkan panjang lebar dalam tafsir surat Al-A'raf, yaitu pada firman-Nya:

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. (Al-A'raf:163)

Demikianlah kisah tersebut secara lengkap. As-Saddi mengatakan bahwa mereka adalah penduduk kota Ailah, demikian pula menurut Qatadah. Kami akan mengetengahkan pendapat ulama tafsir secara panjang lebar dalam tafsir ayat ini, insya Allah.

**********

Firman Allah Swt.:

كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

lalu Kami berfirman kepada mereka, Jadilah kalian kera-kera yang hina. (Al-Baqarah:65)

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Syibl, dari Ibnu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa hati merekalah yang dikutuk, bukan rupa mereka. Sesungguhnya hal ini hanyalah sebagai perumpamaan yang dibuat oleh Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam firman lainnya:

كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا

seperti keledai yang membawa kitab-kitab. (Al-Jumu'ah:5)

Telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Al-Musanna, dari Abu Huzaifah dan dari Muhammad ibnu Umar Al-Bahili dan dari Asim, dari Isa, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid dengan lafaz yang sama. Sanad yang jayyid dan pendapat yang garib (aneh) sehubungan dengan makna ayat ini bertentangan dengan makna lahiriah ayat itu sendiri. Dalam ayat lainnya disebutkan melalui firman-Nya:

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ

Katakanlah, Apakah akan aku beritakan kepada kalian tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya daripada (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah tagut? (Al-Maidah:6)

Al-Aufi mengatakan di dalam kitab tafsirnya, dari ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: lalu Kami berfirman kepada mereka, Jadilah kalian kera yang hina. (Al-Baqarah:65) Bahwa Allah menjadikan sebagian dari mereka (Bani Israil) kera dan babi. Diduga bahwa para pemuda dari kalangan mereka dikutuk menjadi kera, sedangkan orang-orang yang sudah lanjut usianya dikutuk menjadi babi.

Syaiban An-Nahwi meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, Lalu Kami berfirman kepada mereka, 'Jadilah kalian kera yang hina', bahwa kaum itu menjadi kera yang memiliki ekor; sebelum itu mereka adalah manusia yang terdiri atas kalangan kaum pria dan wanita.

Ata Al-Khurrasani mengatakan. diserukan kepada mereka, Hai penduduk negeri, jadilah kalian kera yang hina. Kemudian orang-orang yang melarang mereka masuk menemui mereka dan berkata, Hai Fulan, bukankah kami telah melarang kamu (untuk melakukan perburuan di hari Sabtu)? Mereka menjawab hanya dengan anggukan kepala, yang artinya memang benar.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Rabi'ah di Masisiyyah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim (yakni At-Taifi), dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan.”Sesungguhnya nasib yang menimpa mereka yang melakukan perburuan di hari Sabtu ialah mereka dikutuk menjadi kera sungguhan, kemudian mereka dibinasakan sehingga tidak ada keturunannya.

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah mengutuk mereka menjadi kera karena kedurhakaan mereka. Ibnu Abbas mengatakan, mereka hanya hidup di bumi ini selama tiga hari. Tiada suatu pun yang dikutuk dapat bertahan hidup lebih dari tiga hari. Sesudah rupa mereka dikutuk dan diubah, mereka tidak mau makan dan minum serta tidak dapat mengembangbiakkan keturunannya. Karena sesungguhnya Allah telah menciptakan kera dan babi serta makhluk lainnya dalam masa enam hari, seperti yang disebutkan di dalam Kitab-Nya. Allah mengubah rupa kaum tersebut menjadi kera. Demikianlah Allah dapat melakukan terhadap siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia dapat mengubah rupa ke dalam bentuk seperti apa yang dikehendaki-Nya.

Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Jadilah kalian kera-kera yang hina. (Al-Baqarah:65) Yakni jadilah kalian orang-orang yang nista dan hina (seperti kera). Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi', dan Abu Malik.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnu Abul Husain, dari Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan, Sesungguhnya hal yang difardukan oleh Allah kepada kaum Bani Israil pada mulanya adalah sama dengan hari yang difardukan oleh Allah kepada kalian dalam hari raya kalian, yaitu hari Jumat. Tetapi mereka menggantinya menjadi hari Sabtu, lalu mereka menghormati hari Sabtu (sebagai ganti hari Jumat) dan mereka meninggalkan apa-apa yang diperintahkan kepadanya. Tetapi setelah mereka membangkang dan hanya menetapi hari Sabtu, maka Allah menguji mereka dengan hari Sabtu itu dan diharamkan atas mereka banyak hal yang telah dihalalkan bagi mereka diselain hari Sabtu. Mereka yang melakukan demikian tinggal di suatu kampung yang terletak di antara Ailah dan Tur, yaitu Madyan. Maka Allah mengharamkan mereka melakukan perburuan ikan di hari Sabtu, juga mengharamkan memakannya di hari itu.

Tersebutlah apabila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan datang kepada mereka terapung-apung di dekat pantai mereka berada. Tetapi apabila hari Sabtu telah berlalu, ikan-ikan itu pergi semua hingga mereka tidak dapat menemukan seekor ikan pun, baik yang besar maupun yang kecil. Singkatnya, bila hari Sabtu tiba ikan-ikan itu muncul begitu banyak secara misteri; tetapi bila hari Sabtu berlalu, ikan-ikan itu lenyap tak berbekas.

Mereka tetap dalam keadaan demikian dalam waktu yang cukup lama memendam rasa ingin memakan ikan. Kemudian ada seseorang dari kalangan mereka sengaja menangkap ikan dengan sembunyi-sembunyi di hari Sabtu, lalu ia mengikat ikan tersebut dengan benang, kemudian melepaskannya ke laut; sebelum itu ia mengikat benang itu ke suatu pasak yang ia buat di tepi laut, lalu ia pergi meninggalkannya. Keesokan harinya ia datang ke tempat itu, lalu mengambil ikan tersebut dengan alasan bahwa ia tidak mengambilnya di hari Sabtu. Selanjutnya ia pergi membawa ikan tangkapannya itu, kemudian dimakannya. Pada hari Sabtu berikutnya ia melakukan hal yang sama, ternyata orang-orang mencium bau ikan itu. Maka penduduk kampung berkata, Demi Allah, kami mencium bau ikan.

Kemudian mereka menemukan orang yang melakukan hal tersebut, lalu mereka mengikuti jejak si lelaki itu. Mereka melakukan hal tersebut dengan sembunyi-sembunyi dalam waktu cukup lama; Allah sengaja tidak menyegerakan siksaan-Nya terhadap mereka, sebelum mereka melakukan perburuan ikan secara terang-terangan dan menjualnya di pasar-pasar.

Segolongan orang dari kalangan mereka yang tidak ikut berburu berkata, Celakalah kalian ini, bertakwalah kepada Allah. Golongan ini melarang apa yang diperbuat oleh kaumnya itu. Sedangkan golongan lainnya yang tidak memakan ikan dan tidak pula melarang kaum dari perbuatan mereka berkata, Apa gunanya kamu menasihati suatu kaum yang bakal diazab oleh Allah atau Allah akan mengazab mereka dengan azab yang keras. Mereka yang memberi peringatan kepada kaumnya menjawab, Sebagai permintaan maaf kepada Tuhan kalian, kami tidak menyukai perbuatan mereka, dan barangkali saja mereka mau bertakwa (kepada Allah).

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, Ketika mereka dalam keadaan demikian, maka pada pagi harinya orang-orang yang tidak ikut berburu di tempat perkumpulan dan masjid-masjidnya merasa kehilangan orang-orang yang berburu, mereka tidak melihatnya. Kemudian sebagian dari kalangan mereka berkata kepada sebagian yang lain, 'Orang-orang yang suka berburu di hari Sabtu sedang sibuk, marilah kita lihat apakah yang sedang mereka lakukan.' Lalu mereka berangkat untuk melihat keadaan orang-orang yang berburu di rumah-rumah mereka, ternyata mereka menjumpai rumah-rumah tersebut dalam keadaan terkunci. Rupanya mereka memasuki rumahnya masing-masing di malam hari, lalu menguncinya dari dalam, seperti halnya orang yang mengurung diri. Ternyata pada pagi harinya mereka menjadi kera di dalam rumahnya masing-masing, dan sesungguhnya orang-orang yang melihat keadaan mereka mengenal seseorang yang dikenalnya kini telah berubah bentuk menjadi kera. Para wanitanya menjadi kera betina, dan anak-anaknya menjadi kera kecil.

Ibnu Abbas mengatakan, seandainya Allah tidak menyelamatkan orang-orang yang melarang mereka berbuat kejahatan itu, niscaya semuanya dibinasakan oleh Allah. Kampung tersebut adalah yang disebut oleh Allah Swt. dalam firman-Nya kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu:

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut. (Al-A'raf:163) hingga akhir ayat.

Ad-Dahhak meriwayatkan pula hal yang semisal dari Ibnu Abbas r.a.

As-Saddi meriwayatkan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Dan sesungguhnya telah kalian ketahui orang-orang yang melanggar di antara kalian pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, Jadilah kalian kera yang hina. (Al-Baqarah:65) Mereka adalah penduduk kota Ailah, yaitu suatu kota yang terletak di pinggir pantai. Tersebutlah bila hari Sabtu tiba, maka ikan-ikan bermunculan. sedangkan Allah telah mengharamkan orang-orang Yahudi melakukan suatu pekerjaan pun di hari Sabtu. Bila hari Sabtu tiba, tiada seekor ikan pun yang ada di laut itu yang tidak bermunculan sehingga ikan-ikan tersebut menampakkan songot (kumis)nya ke permukaan air. Tetapi bila hari Ahad tiba, ikan-ikan itu menetap di dasar laut, hingga tiada seekor ikan pun yang tampak, dan baru muncul lagi pada hari Sabtu mendatang. Yang demikian itu dinyatakan di dalam firman-Nya: Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. (Al-A’raf:163)

Maka sebagian dari mereka ada yang ingin makan ikan, lalu seseorang (dari mereka) menggali pasir dan membuat suatu parit sampai ke laut yang dihubungkan dengan kolam galiannya itu. Apabila hari Sabtu tiba, ia membuka tambak paritnya, lalu datanglah ombak membawa ikan hingga ikan-ikan itu masuk ke dalam kolamnya. Ketika ikan-ikan itu hendak keluar dari kolam tersebut, ternyata tidak mampu karena paritnya dangkal, hingga ikan-ikan itu tetap berada di dalam kolam tersebut. Apabila hari Ahad tiba, maka lelaki itu datang, lalu mengambil ikan-ikan tersebut. Lalu seseorang memanggang ikan hasil tangkapannya dan ternyata tetangganya mencium bau ikan bakar. Ketika si tetangga menanyakan kepadanya, ia menceritakan apa yang telah dilakukannya. Maka si tetangga tersebut melakukan hal yang sama seperti dia, hingga tersebarlah kebiasaan makan ikan di kalangan mereka.

Kemudian ulama mereka berkata, Celakalah kalian, sesungguhnya kalian melakukan perburuan di hari Sabtu, sedangkan hari tersebut tidak dihalalkan bagi kalian. Mereka menjawab, Sesungguhnya kami hanya menangkapnya pada hari Ahad, yaitu di hari kami mengambilnya. Maka orang-orang yang ahli hukum berkata, Tidak, melainkan kalian menangkapnya di hari kalian membuka jalan air bagi-nya, lalu ia masuk.

Akhirnya mereka tidak dapat mencegah kaumnya menghentikan hal tersebut. Lalu sebagian orang yang melarang mereka berkata kepada sebagian yang lain, sebagaimana yang disebutkan oleh Firman-Nya:

لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا

Mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? (Al-A'raf164)

Dengan kata lain, mengapa kalian bersikeras menasihati mereka, padahal kalian telah menasihati mereka, tetapi ternyata mereka tidak mau menuruti nasihat kalian. Maka sebagian dari mereka berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya:

مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhan kalian, dan supaya mereka bertakwa. (Al-A'raf:164)

Ketika mereka menolak nasihat tersebut, maka orang-orang yang taat kepada perintah Allah berkata, Demi Allah, kami tidak mau hidup bersama kalian dalam satu kampung. Lalu mereka membagi kampung itu menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah tembok penghalang.

Lalu kaum yang taat pada perintah Allah membuat suatu pintu khusus buat mereka sendiri, dan orang-orang yang melanggar pada hari Sabtu membuat pintunya sendiri pula. Nabi Daud a.s. melaknat mereka yang melanggar di hari Sabtu itu. Kaum yang taat pada perintah Allah keluar memakai pintunya sendiri, dan orang-orang yang kafir keluar dari pintunya sendiri pula.

Pada suatu hari orang-orang yang taat pada perintah Tuhannya keluar. sedangkan orang-orang yang kafir tidak membuka pintu khusus mereka. Maka orang-orang yang taat melongok keadaan mereka dengan menaiki tembok penghalang tersebut setelah merasakan bahwa mereka tidak mau juga membuka pintunya. Ternyata mereka yang kafir itu telah berubah ujud menjadi kera, satu sama lainnya saling melompati. Kemudian orang-orang yang taat membuka pintu mereka, lalu kera-kera tersebut keluar dan pergi menuju suatu tempat. Yang demikian itu dijelaskan di dalam firman-Nya:

فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepada mereka, Jadilah kalian kera yang hina! (Al-A'raf:166)

Kisah inilah yang pada mulanya disebutkan oleh firman-Nya:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. (Al-Maidah:78) hingga akhir ayat.

Merekalah yang dikutuk menjadi kera-kera itu.

Menurut kami, tujuan mengetengahkan pendapat para imam tersebut untuk menjelaskan kelainan pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid rahimahullah. Dia berpendapat bahwa kutukan yang menimpa mereka hanyalah kutukan maknawi, bukan kutukan yang mengakibatkan mereka berubah ujud menjadi kera. Pendapat yang sahih adalah yang mengatakan bahwa kutukan tersebut maknawi dan suwari.

*********

Firman Allah Swt.:

فَجَعَلْنَاهَا نَكَالا

Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan. (Al-Baqarah:66)

Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa damir yang terkandung pada lafaz faja alnaha kembali kepada al-qiradah (menjadi kera). Menurut pendapat lain kembali kepada al-hitan (ikan-ikan). Menurut pendapat yang lainnya kembali kepada siksaan, dan menurut yang lainnya lagi kembali kepada al-qaryah (kampung tempat mereka tinggal). Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.

Menurut pendapat yang sahih, damir tersebut kembali kepada al-qaryah, yakni Allah menjadikan kampung itu; sedangkan yang dimaksud adalah para penduduknya, karena merekalah yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu.

Nakalan, peringatan; yakni Kami siksa mereka dengan suatu siksaan, lalu Kami jadikan siksaan itu sebagai peringatan, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya mengenai Fir'aun, yaitu:

فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الآخِرَةِ وَالأولَى

Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan di dunia. (An-Nazi'at:25)

********

Firman Allah Swt.:

لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا

bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian. (Al-Baqarah:66)

Damir ha kembali kepada al-qura (kampung-kampung). Ibnu Abbas mengatakan bahwa Kami jadikan siksaan yang telah menimpa penduduk kampung tersebut sebagai pelajaran atau peringatan bagi orang-orang yang ada di kampung-kampung sekitarnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertobat). (Al-Ahqaf:27)

Termasuk ke dalam pengertian ini firman lainnya, yaitu:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya (sekitarnya). (Ar-Ra'd:41)

Makna yang dimaksud dengan lafaz lima baina yadaiha wa ma khalfaha ialah menyangkut tempat, seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa lima bainaha artinya penduduk kampung setempat; wa ma khalfaha, penduduk kampung-kampung yang di sekitarnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, bahwa lima baina yadaiha wa ma khalfaha, artinya orang yang ada di tempat tersebut di masa itu.

Telah diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Khalid, Qatadah, dan Atiyyah Al-Aufi sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu. (Al-Baqarah:66) Ma baina yadaiha artinya ma qablaha, yakni bagi orang-orang yang sebelumnya yang menyangkut masalah hari Sabtu. Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Atiyyah mengatakan bahwa wa ma khalfaha artinya buat orang-orang yang sesudah mereka dari kalangan Bani Israil agar mereka tidak melakukan hal yang semisal dengan perbuatan orang-orang yang dikutuk itu. Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha berkaitan dengan zaman, yakni sebelum dan sesudahnya.

Pengertian tersebut dapat dibenarkan bila dikaitkan dengan orang-orang sesudah mereka, agar apa yang telah menimpa penduduk kampung itu menjadi peringatan dan pelajaran bagi mereka. Jika dikaitkan dengan orang-orang sebelum mereka, mana mungkin ayat ini ditafsirkan dengan makna tersebut, yakni sebagai pelajaran dan peringatan buat orang-orang sebelum mereka? Barangkali setelah dipahami tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian.

Dengan demikian, maka tertentulah pengertian lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha artinya 'buat orang-orang yang tinggal di kampung-kampung sekitarnya'. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, mengenai firman-Nya: Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian. (Al-Baqarah:66)

Bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hukuman terhadap dosa-dosa mereka yang sekarang dan yang lalu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, As-Saddi Al-Farra, dan Ibnu Atiyyah bahwa lima baina yadaiha artinya 'bagi dosa-dosa kaum tersebut', sedangkan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang sesudahnya yang berani melakukan hal yang semisal dengan dosa-dosa mereka itu'.

Ar-Razi meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang pertama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha ialah 'bagi orang-orang sebelum mereka yang telah mengetahui beritanya melalui kitab-kitab terdahulu dan bagi orang-orang sesudah mereka. Pendapat kedua mengatakan, makna yang dimaksud ialah 'bagi para penduduk kampung dan umat-umat yang semasa dengannya. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Allah Swt. menjadikan hal tersebut sebagai hukuman buat orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut sebelumnya, juga bagi orang-orang sesudahnya. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat Al-Hasan.

Menurut kami, pendapat yang kuat ialah yang mengartikan bahwa ma baina yadaiha dan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga bagi orang-orang yang akan datang sesudah mereka', seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya;

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian. (Al-Ahqaf:27) hingga akhir ayat.

Dan Allah telah berfirman:

وَلا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا تُصِيبُهُمْ بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ

Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri. (Ar-Ra'd:31)

أَفَلا يَرَوْنَ أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

Maka apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi negeri (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya (Al-Anbiya:44)

Maka Allah menjadikan mereka sebagai pelajaran dan peringatan buat orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang kemudian melalui berita yang mutawatir dari mereka. Karena itulah di akhir ayat disebutkan:

وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ

serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66)

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66) Yang dimaksud ialah bagi orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat.

Al-Hasan Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66) Ia memperingatkan mereka sehingga mereka memelihara diri dari hal-hal yang menyebabkan siksa Allah dan mewaspadainya.

As-Saddi dan Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa makna firman-Nya: serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66) ialah umat Nabi Muhammad Saw.

Menurut kami, makna yang dimaksud dari lafaz al-mauizah dalam ayat ini ialah peringatan. Dengan kata lain, Kami jadikan azab dan pembalasan yang telah menimpa mereka sebagai balasan dari perbuatan mereka yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan tipu muslihat yang mereka jalankan. Karena itu, hati-hatilah orang-orang yang bertakwa terhadap perbuatan seperti yang mereka lakukan itu, agar tidak tertimpa siksaan yang telah menimpa mereka.

Sehubungan dengan pengertian ini Imam Abu Abdullah ibnu Buttah meriwayatkan:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو [عَنْ أَبِي سَلَمَةَ] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah Az-Za'farani, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah kalian lakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, karena akibatnya kalian akan menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah hanya dengan tipu muslihat yang rendah.

Sanad ini berpredikat jayyid; Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim dinilai siqah oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Khatib Al-Bagdadi, sedangkan perawi lainnya sudah dikenal dengan syarat sahih.


فَجَعَلْنَٰهَا نَكَٰلًۭا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةًۭ لِّلْمُتَّقِينَ 66

(66) Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

(66) 

Firman Allah Swt.:

فَجَعَلْنَاهَا نَكَالا

Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan. (Al-Baqarah:66)

Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa damir yang terkandung pada lafaz faja alnaha kembali kepada al-qiradah (menjadi kera). Menurut pendapat lain kembali kepada al-hitan (ikan-ikan). Menurut pendapat yang lainnya kembali kepada siksaan, dan menurut yang lainnya lagi kembali kepada al-qaryah (kampung tempat mereka tinggal). Demikian menurut riwayat Ibnu Jarir.

Menurut pendapat yang sahih, damir tersebut kembali kepada al-qaryah, yakni Allah menjadikan kampung itu; sedangkan yang dimaksud adalah para penduduknya, karena merekalah yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu.

Nakalan, peringatan; yakni Kami siksa mereka dengan suatu siksaan, lalu Kami jadikan siksaan itu sebagai peringatan, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya mengenai Fir'aun, yaitu:

فَأَخَذَهُ اللَّهُ نَكَالَ الآخِرَةِ وَالأولَى

Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan di dunia. (An-Nazi'at:25)

********

Firman Allah Swt.:

لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا

bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian. (Al-Baqarah:66)

Damir ha kembali kepada al-qura (kampung-kampung). Ibnu Abbas mengatakan bahwa Kami jadikan siksaan yang telah menimpa penduduk kampung tersebut sebagai pelajaran atau peringatan bagi orang-orang yang ada di kampung-kampung sekitarnya, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian dan Kami telah mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang supaya mereka kembali (bertobat). (Al-Ahqaf:27)

Termasuk ke dalam pengertian ini firman lainnya, yaitu:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya (sekitarnya). (Ar-Ra'd:41)

Makna yang dimaksud dengan lafaz lima baina yadaiha wa ma khalfaha ialah menyangkut tempat, seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa lima bainaha artinya penduduk kampung setempat; wa ma khalfaha, penduduk kampung-kampung yang di sekitarnya. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, bahwa lima baina yadaiha wa ma khalfaha, artinya orang yang ada di tempat tersebut di masa itu.

Telah diriwayatkan oleh Ismail ibnu Abu Khalid, Qatadah, dan Atiyyah Al-Aufi sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu. (Al-Baqarah:66) Ma baina yadaiha artinya ma qablaha, yakni bagi orang-orang yang sebelumnya yang menyangkut masalah hari Sabtu. Abul Aliyah, Ar-Rabi', dan Atiyyah mengatakan bahwa wa ma khalfaha artinya buat orang-orang yang sesudah mereka dari kalangan Bani Israil agar mereka tidak melakukan hal yang semisal dengan perbuatan orang-orang yang dikutuk itu. Mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha berkaitan dengan zaman, yakni sebelum dan sesudahnya.

Pengertian tersebut dapat dibenarkan bila dikaitkan dengan orang-orang sesudah mereka, agar apa yang telah menimpa penduduk kampung itu menjadi peringatan dan pelajaran bagi mereka. Jika dikaitkan dengan orang-orang sebelum mereka, mana mungkin ayat ini ditafsirkan dengan makna tersebut, yakni sebagai pelajaran dan peringatan buat orang-orang sebelum mereka? Barangkali setelah dipahami tidak ada seorang pun yang mengatakan demikian.

Dengan demikian, maka tertentulah pengertian lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha artinya 'buat orang-orang yang tinggal di kampung-kampung sekitarnya'. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Jubair.

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah, mengenai firman-Nya: Maka Kami jadikan yang demikian itu sebagai peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian. (Al-Baqarah:66)

Bahwa makna yang dimaksud ialah sebagai hukuman terhadap dosa-dosa mereka yang sekarang dan yang lalu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, As-Saddi Al-Farra, dan Ibnu Atiyyah bahwa lima baina yadaiha artinya 'bagi dosa-dosa kaum tersebut', sedangkan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang sesudahnya yang berani melakukan hal yang semisal dengan dosa-dosa mereka itu'.

Ar-Razi meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan tafsir ayat ini: Yang pertama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari lafaz ma baina yadaiha wa ma khalfaha ialah 'bagi orang-orang sebelum mereka yang telah mengetahui beritanya melalui kitab-kitab terdahulu dan bagi orang-orang sesudah mereka. Pendapat kedua mengatakan, makna yang dimaksud ialah 'bagi para penduduk kampung dan umat-umat yang semasa dengannya. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Allah Swt. menjadikan hal tersebut sebagai hukuman buat orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut sebelumnya, juga bagi orang-orang sesudahnya. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat Al-Hasan.

Menurut kami, pendapat yang kuat ialah yang mengartikan bahwa ma baina yadaiha dan wa ma khalfaha artinya 'bagi orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga bagi orang-orang yang akan datang sesudah mereka', seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya;

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُمْ مِنَ الْقُرَى وَصَرَّفْنَا الآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitar kalian. (Al-Ahqaf:27) hingga akhir ayat.

Dan Allah telah berfirman:

وَلا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا تُصِيبُهُمْ بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ

Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri. (Ar-Ra'd:31)

أَفَلا يَرَوْنَ أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا

Maka apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi negeri (orang kafir), lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya (Al-Anbiya:44)

Maka Allah menjadikan mereka sebagai pelajaran dan peringatan buat orang-orang yang sezaman dengan mereka, juga menjadi pelajaran bagi orang-orang yang kemudian melalui berita yang mutawatir dari mereka. Karena itulah di akhir ayat disebutkan:

وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ

serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66)

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66) Yang dimaksud ialah bagi orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat.

Al-Hasan Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66) Ia memperingatkan mereka sehingga mereka memelihara diri dari hal-hal yang menyebabkan siksa Allah dan mewaspadainya.

As-Saddi dan Atiyyah Al-Aufi mengatakan bahwa makna firman-Nya: serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah:66) ialah umat Nabi Muhammad Saw.

Menurut kami, makna yang dimaksud dari lafaz al-mauizah dalam ayat ini ialah peringatan. Dengan kata lain, Kami jadikan azab dan pembalasan yang telah menimpa mereka sebagai balasan dari perbuatan mereka yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan tipu muslihat yang mereka jalankan. Karena itu, hati-hatilah orang-orang yang bertakwa terhadap perbuatan seperti yang mereka lakukan itu, agar tidak tertimpa siksaan yang telah menimpa mereka.

Sehubungan dengan pengertian ini Imam Abu Abdullah ibnu Buttah meriwayatkan:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو [عَنْ أَبِي سَلَمَةَ] عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللَّهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah Az-Za'farani, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Umar, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Janganlah kalian lakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, karena akibatnya kalian akan menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah hanya dengan tipu muslihat yang rendah.

Sanad ini berpredikat jayyid; Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muslim dinilai siqah oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Khatib Al-Bagdadi, sedangkan perawi lainnya sudah dikenal dengan syarat sahih.


وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِۦٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا۟ بَقَرَةًۭ ۖ قَالُوٓا۟ أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًۭا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِٱللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ ٱلْجَٰهِلِينَ 67

(67) Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".

(67) 

Allah Swt. berfirman melalui ayat ini, "Ingatlah kalian, hai kaum Bani Israil, akan nikmat-Ku yang telah Kulimpahkan kepada kalian dalam hal yang menyangkut perkara yang berlainan dengan hukum alam bagi kalian," yaitu mengenai seekor sapi betina dan keterangan mengenai si pembunuhnya dengan melalui sapi betina itu, kemudian Allah menghidupkan si terbunuh, lalu si terbunuh menyebut siapa pelaku yang telah membunuh dirinya dari kalangan mereka. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hassan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah As-Salmani yang menceritakan hadis berikut:

Ada seorang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil yang mandul, tidak mempunyai anak, sedangkan dia mempunyai harta benda yang banyak. Orang yang mewarisinya hanyalah anak lelaki dari saudara laki-lakinya. Pada suatu malam keponakannya itu membunuhnya dan meletakkan mayatnya di depan pintu rumah salah seorang dari kalangan mereka. Di pagi harinya si pembunuh menuduh mereka, hingga masing-masing pihak memakai senjatanya dan sebagian dari mereka berperang dengan sebagian yang lain.

Kemudian orang-orang yang bijak dan berkuasa dari kalangan mereka berkata, "Mengapa kalian saling membunuh di antara sesama kalian, sedangkan utusan Allah berada di antara kalian?" Akhirnya mereka datang menghadap Nabi Musa a.s., lalu menceritakan peristiwa tersebut. Maka Nabi Musa a.s. berkata, seperti yang disitir oleh firman-Nya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina" Mereka berkata, "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab, "Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang yang jahil." (Al-Baqarah: 67)

Perawi mengatakan, seandainya mereka tidak menyangkal, niscaya sapi apa pun yang mudah didapat sudah cukup bagi mereka. Tetapi mereka keras kepala, akhirnya mereka diperberat. Setelah mereka mendapatkan sapi betina yang diperintahkan agar mereka menyembelihnya, ternyata sapi betina itu adalah milik seorang lelaki yang tidak punya sapi lain kecuali satu-satunya yang mereka harapkan itu. Akhirnya si pemilik sapi berkata, "Demi Allah, sebagai tukarannya aku tidak mau kurang dari sejumlah emas yang memenuhi kulitnya." Maka mereka terpaksa mengambil sapi betina tersebut dengan memberikan tukaran berupa emas sepenuh kulitnya. Mereka menyembelih sapi tersebut, lalu memukulkan sebagian dari anggota badannya ke tubuh mayat yang dimaksudkan. Akhirnya si mayat dapat hidup. Mereka bertanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia menjawab, "Orang ini," seraya mengisyaratkan kepada keponakannya, lalu ia lunglai dan mati.

Si pembunuh tidak diberi sedikit harta pun dari peninggalan si mayat. Setelah peristiwa tersebut, maka pembunuh tidak dapat mewarisi (harta si terbunuh).

Ibnu Jarir meriwayatkan hadis semisal melalui hadis Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah. Diriwayatkan pula oleh Abdu Ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya, disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun dengan lafaz yang sama. Telah diriwayatkan pula oleh Adam ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Ja'far (yakni Ar-Razi), dari Hisyam ibnu Hassan dengan lafaz yang sama.

Adam ibnu Abu Iyas di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Ar-Razi, dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah mengenai firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil, dia orang kaya dan tidak mempunyai seorang anak pun, yang mewarisinya adalah salah seorang kerabatnya. Kemudian si kerabat membunuhnya agar cepat memperoleh harta warisannya, lalu mayatnya ia campakkan di perempatan jalan. Si pembunuh datang kepada Nabi Musa dan berkata, "Sesungguhnya kerabatku telah terbunuh, hal ini merupakan suatu peristiwa yang sangat berat, karena aku tidak menjumpai seorang pun selainmu yang dapat menjelaskan kepadaku siapa pembunuhnya, wahai Nabi Allah?"

Maka Nabi Musa menyeru kepada semua orang, "Kuminta —demi Allah— siapa yang mengetahui peristiwa ini, hendaknya dia menceritakannya kepada kami." Ternyata tiada seorang pun dari mereka yang mengetahuinya. Lalu si pembunuh datang kepada Musa dan berkata, "Engkau adalah Nabi Allah, maka mintakanlah kepada Allah buat kami agar Dia menjelaskannya kepada kami." Nabi Musa a.s. memohon kepada Tuhannya, lalu Allah berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Mereka heran dengan jawaban tersebut, lalu berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab, "Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang yang jahil’ Mereka menjawab, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu? " Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan di antara itu.” (Al-Baqarah: 67-68) Artinya sapi betina tersebut tidak terlalu tua, tidak pula terlalu muda, melainkan pertengahan di antara keduanya.

Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami warna sapi itu." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya." (Al-Baqarah: 69) Sapi betina tersebut berwama kuning mulus lagi membuat takjub orang-orang yang memandangnya.

Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikal sapi betina itu? Karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami, dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." (Al-Baqarah: 7-71) Yakni sapi betina tersebut belum pernah dipekerjakan untuk membajak tanah dan mengairi tanaman, juga tidak ada cacat serta tidak ada belangnya. Mereka berkata, "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya." Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71)

Perawi mengatakan, "Seandainya kaum itu di saat menerima perintah untuk menyembelih sapi betina, mereka langsung mendatangkan seekor sapi betina yang mana pun, hal itu sudah cukup. Tetapi mereka memperberat dirinya sendiri, maka Allah benar-benar memperberat mereka. Seandainya saja kaum itu tidak mengucapkan kata istisna seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 7) niscaya mereka tidak akan beroleh petunjuk untuk mendapatkan sapi betina tersebut untuk selama-lamanya."

Menurut riwayat yang sampai kepada kami, mereka tidak menemukan sapi betina yang spesifikasinya disebutkan kepada mereka kecuali hanya pada seorang wanita tua yang memelihara banyak anak yatim; si nenek itulah yang mengurus mereka. Tatkala si nenek mengetahui bahwa tiada yang dapat membersihkan mereka kecuali hanya sapi miliknya, maka ia melipatgandakan harganya kepada mereka. Lalu mereka menghadap Nabi Musa a.s. dan menceritakan kepadanya bahwa mereka tidak menemukan sapi berciri khas seperti itu kecuali pada seorang wanita dan wanita itu meminta harga pembelian yang berlipat ganda dari biasanya.

Nabi Musa a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberikan keringanan kepada kalian, tetapi kalian memperberat diri kalian sendiri. Maka berikanlah kepada si nenek itu apa yang disukainya dan apa yang telah ditetapkannya." Lalu mereka melakukannya, membeli sapi betina itu dan menyembelihnya. Kemudian Nabi Musa a.s. memerintahkan mereka agar memotong salah satu dari tulang sapi betina itu untuk dipukulkan kepada jenazah tersebut. Mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa a.s., dan ternyata jenazah tersebut dapat hidup kembali, lalu menyebutkan kepada mereka nama orang yang telah membunuhnya. Sesudah itu ia mati kembali seperti semula. Maka Nabi Musa a.s. menangkap si pembunuh yang ternyata adalah orang yang pernah datang dan mengadu kepada Nabi Musa a.s. itu sendiri. Akhirnya si pembunuh tersebut dihukum mati sebagai pembalasan dari perbuatan jahatnya itu.

Muhammad ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku pamanku, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat yang menceritakan perihal sapi betina ini. Disebutkan bahwa ada seorang lelaki yang lanjut usia di kalangan kaum Bani Israil pada zaman Nabi Musa a.s. Lelaki tua tersebut mempunyai harta yang banyak, sedangkan anak-anak saudara lelakinya miskin, tak berharta. Lelaki tua itu tidak beranak, dan ahli warisnya adalah anak-anak saudara lelakinya. Mereka berkata, "Aduhai, seandainya paman kita telah mati, niscaya kita akan mewarisi hartanya." Tetapi setelah masa berlalu sangat lama, sedangkan paman mereka tidak juga mati, datanglah setan kepada mereka dan mengatakan kepada mereka, "Mengapa tidak kalian bunuh saja paman kalian, niscaya kalian akan segera mewarisi hartanya dan kalian menimpakan diatnya kepada penduduk kota yang kalian tidak ada di dalamnya." Demikian itu karena ada dua kota di sekitar daerah tersebut, dan mereka berada di salah satunya. Sedangkan hukum yang berlaku di kalangan mereka ialah apabila ada seseorang yang terbunuh, lalu mayatnya tergeletak di antara kedua kota, maka dilakukan pengukuran jarak antara si mayat dan dua kota tersebut. Kota mana pun di antara keduanya yang jaraknya lebih dekat kepada si mayat, maka penduduk kota tersebutlah yang harus menanggung diatnya.

Ketika setan membujuk mereka untuk melakukan hal tersebut, mengingat paman mereka tidak juga mati dalam waktu yang cukup lama, mereka terbujuk. Maka dengan sengaja mereka membunuh pamannya, sesudah itu mereka lemparkan mayatnya di depan pintu gerbang kota yang mereka bukan berasal dari kota tersebut. Pada keesokan harinya penduduk kota kedatangan anak-anak saudara lelaki tua tersebut, lalu mereka berkata, "Paman kami terbunuh di depan pintu gerbang kalian. Demi Allah, kalian harus membayar diat paman kami kepada kami." Penduduk kota menjawab, "Kami bersumpah dengan nama Allah, kami tidak membunuhnya dan kami tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Kami belum pernah membuka pintu gerbang kota kami sejak kami menutupnya hingga pagi hari."

Mereka datang kepada Nabi Musa a.s., lalu berkata, "Paman kami telah kami temukan dalam keadaan terbunuh di depan pintu kota mereka." Penduduk kota menjawab, "Kami bersumpah kepada Allah, kami tidak membunuhnya dan kami tidak pernah membuka pintu gerbang kota kami bila telah kami tutup hingga pagi hari."

Kemudian datanglah Malaikat Jibril —membawa perintah dari Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui— kepada Nabi Musa a.s. Nabi Musa a.s. berkata kepada mereka: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Kemudian kalian pukul mayat itu dengan salah satu anggota badan sapi betina yang telah disembelih itu.

As-Saddi meriwayatkan sehubungan dengan firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina." (Al-Baqarah: 67) Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang memiliki banyak harta dan seorang anak perempuan serta seorang keponakan laki-laki yang miskin. Lalu si keponakan melamar anak perempuannya. tetapi ia menolak dan tidak mau mengawinkan anak perempuannya dengan keponakannya itu. Akhirnya si keponakan yang masih muda itu marah dan mengatakan, "Demi Allah, aku benar-benar akan membunuh pamanku, merampas hartanya, mengawini anak perempuannya, dan memakan diat pembunuhannya."

Si pemuda datang kepada pamannya ketika ada berita tentang kedatangan para pedagang di salah satu suku Bani Israil, lalu si pemuda mengatakan kepada pamannya, "Hai paman, berangkatlah bersamaku dan tolong ambilkan buatku sebagian dari harta dagangan kaum tersebut, barangkali aku dapat memperoleh keuntungan darinya. Sesungguhnya jika mereka melihat engkau bersamaku, niscaya mereka mau memberikannya kepadaku." Si paman berangkat bersama keponakannya di malam hari. Ketika si paman sampai di tempat kabilah yang dituju, maka si keponakan membunuhnya, lalu si keponakan kembali kepada keluarganya.

Pada keesokan harinya si keponakan tersebut datang seakan-akan sedang mencari pamannya, ia berpura-pura tidak mengetahui di mana pamannya berada dan seakan-akan ia tidak menemukannya. Lalu ia berangkat menuju tempat pamannya terbunuh, ternyata ia menjumpai kabilah tersebut sedang mengerumuni mayat pamannya. Lalu ia mengambil mayat pamannya seraya berkata, "Kalian telah membunuh pamanku, maka kalian harus membayar diatnya kepadaku." Ia mengatakan demikian seraya menangis dan menaburkan pasir ke atas kepalanya sendiri dan mengatakan, "Aduhai pamanku.'

Ia melaporkan hal tersebut kepada Nabi Musa a.s. Maka Nabi Musa a.s. menjatuhkan keputusan agar mereka membayar diat kepada si pemuda itu. Tetapi mereka berkata, "Wahai utusan Allah, mohonkanlah kepada Tuhanmu buat kami agar Dia menjelaskan kepada kami siapakah yang telah membunuhnya, lalu kita tangkap pelakunya. Demi Allah, sesungguhnya diat si terbunuh ini mudah bagi kami, tetapi kami merasa malu dituduh sebagai pembunuh." Yang demikian itu disebutkan di dalam firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika kalian membunuh seorang manusia, lalu kalian saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 72)

Musa a.s. berkata kepada mereka, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya melalui ayat berikut: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67) Tetapi jawaban mereka, "Kami bertanya kepadamu tentang orang yang dibunuh dan orang yang membunuhnya, tetapi engkau menjawabnya, 'Sembelihlah seekor sapi betina.' Apakah engkau memperolok-olokkan kami?" Maka Nabi Musa a.s. menjawab: Musa menjawab, "Aku berlindung kepada Allah akan termasuk golongan orang-orang yang jahil." (Al-Baqarah: 67)

Sahabat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, seandainya mereka mengambil seekor sapi betina mana pun lalu, mereka menyembelihnya, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka. Akan tetapi, mereka bersikpp keras dan membandel terhadap Nabi Musa a.s., maka Allah memperkeras sanksi-Nya terhadap mereka. Mereka mengatakan: Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami sapi betina apakah itu. Musa menjawab, "Se-ungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yangg tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu." (Al-Baqarah: 68)

Al-farid. sapi betina yang sudah tua dan tidak beranak lagi. Al-bikr, sapi betina yang belum pernah beranak kecuali hanya baru sekali. Al-'awan, pertengahan di antara keduanya.

Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian. Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya." Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.'"' Mereka berkata, "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk.” Musa berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak cacat, tidak ada belangnya.”(Al-Baqarah: 68-71) Yakni tidak ada belang putih, belang hitam, dan belang merah, melainkan kuning mulus.

Mereka berkata, "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya." (Al-Baqarah: 71) Mereka mencarinya, dan ternyata mereka tidak mampu menemukannya.

Tersebut di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang pemuda yang sangat berbakti kepada ayahnya, pada suatu hari ada seorang lelaki lain yang lewat kepadanya seraya membawa mutiara jualannya. Ketika itu ayahnya sedang tidur, sedangkan kunci brankas berada di bawah bantalnya. Si lelaki penjual mutiara itu berkata kepadanya, "Maukah engkau beli mutiara ini dengan harga tujuh puluh ribu dirham?" Si pemuda menjawab, "Jika kamu bersabar hingga ayahku terbangun dari tidur, aku mau membelinya darimu dengan harga delapan puluh ribu dirham." Si penjual mutiara berkata, "Bangunkan saja ayahmu, nanti mutiara ini kujual kepadamu dengan harga enam puluh ribu dirham." Maka si penjual mutiara terus menurunkan harganya hingga mencapai harga tiga puluh ribu dirham, sedangkan si pemuda menaikkannya sampai harga seratus ribu dirham, dengan syarat ayahnya harus terbangun dengan sendirinya terlebih dahulu. Ketika si penjual mendesak terus, maka si pemuda kesal, lalu berkata kepadanya "Demi Allah, aku tidak mau membelinya darimu dengan harga berapa pun juga selama-lamanya." Dia menolak untuk membangunkan ayahnya. Maka Allah mengganti mutiara tersebut menjadi sapi betina untuk si pemuda (sebagai pahala berbakti kepada ayahnya).

Ketika kaum Bani Israil yang sedang mencari sapi betina itu melihat sapi betina yang dicarinya berada di tangan si pemuda, mereka langsung meminta agar si pemuda menjual sapinya kepada mereka, ditukar dengan sapi yang lain; tetapi si pemuda itu menolak. Lalu mereka menambahkan tukarannya dengan dua ekor sapi, namun si pemuda tetap menolak, dan mereka terus-menerus menambah hingga sampai sepuluh ekor sapi seraya berkata, "Demi Allah, kami tidak akan membiarkanmu sebelum kami membelinya darimu."

Lalu mereka membawa si pemuda itu kepada Nabi Musa a.s. Mereka berkata, "Hai Nabi Allah, sesungguhnya kami menemukan sapi betina itu berada di tangan lelaki muda ini, tetapi dia menolak memberikannya kepada kami, padahal kami telah memberinya harga yang pantas." Maka Nabi Musa a.s. berkata kepada si pemuda, "Berikanlah kepada mereka sapi betinamu itu." Si pemuda menjawab, "Wahai urusan Allah, aku lebih berhak terhadap harta bendaku." Nabi Musa a.s. menjawab, "Engkau benar." Selanjutnya Nabi Musa a.s. berkata kepada kaumnya, "Buatlah teman kalian ini rela." Akhirnya mereka bersedia mengganti. sapi betinanya itu dengan emas seberat sapi tersebut, tetapi si pemuda tetap menolak, dan mereka terus menambah nilai tukarnya hingga sampai sepuluh kali lipat emas seberat timbangan sapi betinanya. Akhirnya si pemuda memberikan sapi betinanya kepada mereka dan mengambil harganya, lalu mereka menyembelih sapi betina tersebut.

Nabi Musa a.s. berkata, "Pukullah mayat itu dengan sebagian dari anggota tubuh sapi betina yang disembelih itu!" Mereka memukulnya dengan bagian tubuh di antara dua pundak sapi, maka mayat itu dapat hidup kembali. Lalu mereka bertanya kepadanya, "Siapakah yang telah membunuhmu?" Ia berkata kepada mereka, "Keponakanku. Dia mengatakan bahwa dia akan membunuhku, merampas hartaku, dan mengawini anak perempuanku." Akhirnya mereka menangkap si pembunuh dan membunuhnya.

Sunaid meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj (yakni Ibnu Muhammad), dari Ibnu Juraij, dari Mujahid; dan Hajjaj, dari Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan Muhammad ibnu Qais —riwayat sebagian dari mereka dimasukkan ke dalam riwayat sebagian yang lainnya—. Disebutkan, ketika suatu suku dari kalangan Bani Israil merasakan bahwa tindak kejahatan di kalangan mereka kian banyak, maka mereka membangun sebuah kota terpisah, lalu mereka menghindar dari kejahatan yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Untuk itu apabila sore hari tiba, mereka tidak membiarkan ada seorang pun di luar kota melainkan disuruh masuk ke dalam kota. Apabila pagi hari tiba, pemimpin mereka naik ke atas benteng dan melihat-lihat keadaan di luar; apabila ia tidak melihat sesuatu pun yang mecurigakan, barulah ia membuka pintu gerbang kotanya, dan ia selalu bersama mereka hingga petang harinya.

Tersebutlah bahwa ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang memiliki harta yang banyak, sedangkan ia tidak mempunyai ahli waris kecuali hanya saudara lelakinya. Tetapi setelah dirasakan oleh si saudara pewaris bahwa saudaranya yang kaya itu tidak juga mati melainkan berusia panjang, terdorong keinginannya untuk mewaris dengan secepatnya. Maka ia membunuh saudaranya itu, kemudian mayatnya ia letakkan di depan pintu kota tersebut, lalu ia dan teman-temannya bersembunyi di suatu tempat yang tak terlihat.

Ketika pemimpin kota naik ke atas benteng pintu gerbang kotanya, lalu melihat-lihat keadaan di luar, dan ternyata ia tidak melihat adanya sesuatu yang mencurigakan, barulah ia membuka pintu gerbang kotanya. Tetapi begitu ia membuka pintu gerbang kotanya, ia melihat ada seseorang yang mati terbunuh, untuk itu ia segera menutup kembali pintu gerbang kotanya. Lalu saudara si terbunuh dan teman-temannya berseru dari tempat persembunyiannya dan menampakkan diri, "Kalian telah membunuhnya, kemudian kalian tutup kembali pintu gerbang kalian."

Tersebutlah pula ketika Nabi Musa a.s. melihat banyak kejahatan pembunuhan di kalangan kaum Bani Israil, maka apabila ia melihat ada seseorang terbunuh di dekat suatu kaum, ia menghukum kaum tersebut. Di antara saudara si terbunuh dan penduduk kota hampir terjadi perang di saat kedua belah pihak menyandang senjatanya masing-masing, tetapi masing-masing masih bisa dapat menahan diri. Kemudian mereka datang kepada Nabi Musa a.s. dan menceritakan persoalan mereka. Mereka berkata, "Hai Musa, sesungguhnya orang-orang penduduk kota ini telah membunuh seseorang, setelah itu mereka menutup pintu gerbangnya." Penduduk kota menjawab, "Wahai utusan Allah, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami telah menghindarkan diri dari segala bentuk kejahatan, untuk itu kami telah membangun kota tersendiri seperti yang engkau lihat dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari kejahatan orang lain. Demi Allah, kami tidak membunuh dan tidak pula mengetahui pembunuhnya."

Maka Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Musa a.s., memerintahkan agar mereka menyembelih seekor sapi betina. Kemudian Nabi Musa a.s. berkata kepada mereka: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina. (Al-Baqarah: 67)

Konteks ini berasal dari Ubaidah, Abul Aliyah, As-Saddi, dan lain-lainnya; masing-masing terdapat perbedaan, tetapi pada lahiriahnya riwayat ini diambil dari kitab-kitab Bani Israil dari kategori yang boleh dinukil, namun tidak boleh dibenarkan dan tidak boleh didustakan. Karena itu, maka kisah ini tidak dapat dijadikan pegangan kecuali hal-hal yang sesuai dengan kebenaran yang ada pada kita.


قَالُوا۟ ٱدْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِىَ ۚ قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌۭ لَّا فَارِضٌۭ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌۢ بَيْنَ ذَٰلِكَ ۖ فَٱفْعَلُوا۟ مَا تُؤْمَرُونَ 68

(68) Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".

(68) 

Allah Swt. menceritakan kebandelan kaum Bani Israil dan mereka banyak bertanya kepada rasul-rasul-Nya. Karena itu, tatkala mereka mempersempit diri mereka, maka Allah benar-benar mempersempitnya. Seandainya mereka segera menyembelih sapi betina apa pun, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka sesuai dengan apa yang diperintahkan. Demikian menurut Ibnu Abbas, Ubaidah, dan lain-lain-nya; tetapi ternyata orang-orang Bani Israil berkeras kepala, maka Allah memperkeras sanksi-Nya kepada mereka. Mereka berkata seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ

Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerang-kan kepada kami sapi betina apakah itu. (Al-Baqarah: 68)

Makna yang dimaksud ialah bagaimana ciri khas sapi tersebut.

Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Seandainya mereka mengambil sapi betina apa pun sejak semula, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka. Tetapi mereka membandel, maka Allah memperkeras sanksi terhadap mereka." Sanad asar ini berpredikat sahih, dan memang as'ar ini telah diriwayatkan oleh bukan hanya seorang, bersumber dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ubaidah, As-Saddi, Mujahid, Ikrimah, Abul Aliyah, dan lain-lainnya.

قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ [لِي] عَطَاءٌ: لَوْ أَخَذُوا أَدْنَى بَقَرَةٍ كَفَتْهُمْ. قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّمَا أُمِرُوا بِأَدْنَى بَقَرَةٍ، وَلَكِنَّهُمْ لَمَّا شَدَّدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ شَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ؛ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّهُمْ لَمْ يَسْتَثْنُوا مَا بُيِّنَتْ لَهُمْ آخِرَ الْأَبَدِ"

Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa Ata pernah mengatakan kepadanya, seandainya mereka (orang-orang Bani Israil) mengambil sapi betina apa pun, niscaya sudah cukup bagi mereka. Ibnu Juraij meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya mereka hanya diperintahkan untuk mencari sapi betina apa pun, tetapi mereka membandel, maka Allah mempekeras sanksi-Nya terhadap mereka. Demi Allah, seandainya mereka tidak mengucapkan kalimat istisna (insya Allah), niscaya mereka tidak akan diberi penjelasan sampai hari kiamat.

************

Firman Allah Swt.:

قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ

Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda. (Al-Baqarah: 68)

Tidak terlalu tua, tidak pula terlalu kecil, dan belum punya anak. Demikian menurut Abul Aliyah, As-Saddi, Mujahid, Ikrimah, Atiyyah Al-Aufi, Ata Al-Khurrasani, Wahb ibnu Munabbih, Ad-Dahhak, Al-Hasan, dan Qatadah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Abbas.

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, '"Awanum baina zalika," yakni pertengahan antara usia tua dan usia muda; dalam seusia itu biasanya binatang ternak —antara lain sapi— sedang dalam usia puncak kekuatannya dan dalam kondisi paling baik. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Ata Al-Khurrasani, dan Ad-Dahhak.

As-Saddi mengatakan bahwa al-'awan ialah pertengahan di antara hal tersebut, yaitu sapi betina yang telah melahirkan anaknya, lalu anaknya itu telah beranak lagi.

Hasyim meriwayatkan dari Juwaibir, dari Kasir ibnu Ziad, dari Al-Hasan sehubungan dengan sapi betina ini, bahwa sapi betina itu adalah sapi betina liar.

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, dari Ibnu Abbas, "Barang siapa yang memakai sandal (kulit yang berwarna) kuning, maka ia terus-menerus berada dalam kesenangan selagi ia memakainya." Yang demikian itu adalah pengertian yang dimaksud di dalam firman-Nya:

صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ

menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (Al-Baqarah: 69)

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan Wahb ibnu Munabbih, bahwa sapi betina itu berwarna kuning.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa sapi betina itu mempunyai teracak (kuku) berwarna kuning. Telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair bahwa sapi betina tersebut berwarna kuning teracak dan tanduknya.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Qais, telah menceritakan kepada kami Abu Raja', dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya. (Al-Baqarah: 69) Makna yang dimaksud ialah sapi betina hitam, hitam legam warnanya.

Riwayat ini berpredikat garib; riwayat yang benar ialah yang pertama tadi. Karena itu, maka pada lafaz selanjutnya warna kuning dikuatkan dengan firman-Nya, "Faq’iul launuha," yakni yang kuning tua warnanya.

Menurut Atiyyah Al-Aufi, faqi'ul launuha artinya hampir kelihatan hitam karena kuningnya sangat kuat.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa faqi'ul launuha artinya bersih dan mulus warnanya, yakni kuning mulus. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Al-Hasan, dan Qatadah.

Syuraik meriwayatkan dari Ma'mar, bahwa faqi’ul launuha artinya bersih warnanya.

Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa faqi'ul launuha artinya sangat kuning atau kuning tua; karena sangat kuning hingga kelihatan seperti putih warnanya.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (Al-Baqarah: 69)

Yakni membuat kagum orang-orang yang memandangnya. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.

Wahb ibnu Munabbih mengatakan, "Apabila kamu melihatnya, sekan-akan cahaya matahari memancar dari kulitnya."

Di dalam kitab Taurat disebutkan bahwa warna kulit sapi betina itu merah, barangkali hal ini terjadi karena kekeliruan dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Arabnya. Atau seperti pendapat pertama yang mengatakan bahwa warna kulit sapi betina tersebut sangat kuning hingga warnanya cenderung menjadi merah kehitam-hitaman.

*****************

Firman Allah Swt.:

إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا

karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami. (Al-Baqarah: 7)

Yaitu karena banyaknya sapi betina. Maka berikanlah ciri-ciri khas sapi tersebut kepada kami dan jelaskanlah kepada kami secara rinci.

وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ إِذَا بَيَّنْتَهَا لَنَا لَمُهْتَدُونَ

dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 7)

untuk menemukannya.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْأَوْدِيُّ الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ أَحْمَدُ بْنُ دَاوُدَ الْحَدَّادُ، حَدَّثَنَا سُرُورُ بْنُ الْمُغِيرَةِ الْوَاسِطِيُّ، ابْنُ أَخِي مَنْصُورِ بْنِ زَاذَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ لَمَا أُعْطُوا، وَلَكِنِ اسْتَثْنَوْا"

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya Al-Audi As-Sufi, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Ahmad ibnu Daud Al-Haddad, telah menceritakan kepada kami Surur ibnul Mugirah Al-Wasiti (anak lelaki saudara lelaki Mansur ibnu Zazan), dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan, dari Abu Rafi’, dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seandainya Bani Israil tidak mengatakan, "Dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 7), niscaya mereka tidak akan diberi tahu (untuk mendapatkan sapi betina itu), tetapi ternyata mereka mengucapkan istisna (kalimat insya Allah)

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya dari jalur lain:

عَنْ سُرُورِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ زَاذَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ مَنْصُورٍ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَوْلَا أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: وَإِنَّا إِن شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ مَا أُعْطُوا أَبَدًا، وَلَوْ أَنَّهُمُ اعْتَرَضُوا بَقَرَةً مِنَ الْبَقَرِ فَذَبَحُوا لَأَجْزَأَتْ عَنْهُمْ، وَلَكِنَّهُمْ شَدَّدُوا، فَشَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ"

melalui Surur ibnul Mugirah: dari Zazan, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan, dari hadis Abu Rafi', dari Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seandainya kaum Bani Israil tidak mengatakan, "Dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk" (Al-Baqarah: 7), niscaya mereka tidak akan diberi untuk selama-lamanya. Dan seandainya mereka mengambil sapi betina mana pun, lalu mereka menyembelihnya, niscaya hal itu sudah cukup bagi mereka. Tetapi mereka membandel, maka Allah bersikap keras terhadap mereka.

Bila ditinjau dari segi jalur ini, maka hadis ini berpredikat garib, dan yang lebih baik ialah bila hadis ini dianggap sebagai perkataan Abu Hurairah, seperti yang telah disebutkan di atas, dari As-Saddi.

***********

Firman Allah Swt.:

قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا ذَلُولٌ تُثِيرُ الأرْضَ وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ

Musa berkata, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman." (Al-Baqarah: 71)

Sapi betina tersebut bukan sapi betina yang dipersiapkan untuk membajak tanah, tidak pula dipersiapkan untuk mengangkut air guna pengairan, melainkan sapi betina yang dipelihara sebagai hewan kesayangan dalam keadaan sehat, utuh, lagi tiada bercacat.

La syiyatafiha, tiada warna lain pada kulitnya selain dari warna kuning, yakni tidak ada belangnya.

Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa musallamah artinya tidak bercacat. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah dan Ar-Rabi'. Mujahid mengatakan, musallamah artinya bebas dari belang, yakni tidak ada belangnya.

Ata Al-Khurrasani mengatakan bahwa musallamah artinya semua kaki dan seluruh tubuhnya mulus, bebas dari belang. Menurut Mujahid, la syiyata fiha artinya tidak ada warna putih dan hitam, yakni tidak berbelang. Abul Aliyah, Ar-Rabi', Al-Hasan, dan Qatadah mengatakan tidak ada belang putihnya. Ata Al-Khurrasani mengatakan bahwa la syiyatafiha warnanya satu lagi tua. Telah diriwayatkan dari Atiyyah Al-Aufi, Wahb ibnu Munabbih dan Ismail ibnu Abu Khalid hal yang semisal. As-Saddi mengatakan, la syiyata fiha artinya tidak ada belang putih, belang hitam, dan belang merahnya.

Semua makna yang telah disebutkan di atas hampir sama maksudnya, tetapi ada sebagian ulama yang menduga bahwa firman Allah Swt., "Innaha baqaratul La zalulun," artinya sesungguhnya sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak dipersiapkan untuk dipekerjakan. Kemudian lafaz selanjutnya dianggap sebagai kalimat baru, yaitu firman-Nya, "Tusirul arda" yakni dipekerjakan untuk membajak tanah, hanya sapi betina tersebut tidak dipakai untuk mengairi tanaman. Pendapat ini lemah karena lafaz La zalulun ditafsirkan oleh firman selanjutnya, yaitu tusirul arda, yakni sapi betina itu tidak dipersiapkan untuk membajak tanah, tidak pula untuk mengairi tanaman. Demikian menurut ketetapan Al-Qurtubi dan lain-lainnya.

*************

Firman Allah Swt.:

قَالُوا الآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ

Mereka berkata, "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya." (Al-Baqarah: 71)

Menurut Qatadah, makna ayat ialah 'sekarang barulah kamu menerangkan yang sebenarnya kepada kami'. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, pendapat lain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Allah telah menyebutkan kepada mereka hakikat sapi betina yang sebenarnya.

****************

Firman Allah Swt:

فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ

Kemudian mereka menyembelihnya, dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71)

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka hampir saja tidak melakukan perintah itu, karena tujuan mereka bukanlah demikian melainkan mereka bermaksud agar tidak menyembelih sapi betina yang dimaksudkan. Dengan kata lain, setelah ada penjelasan, tanya jawab, dan keterangan ini mereka tidak juga menyembelihnya kecuali setelah susah payah. Di dalam ungkapan ini terkandung arti celaan yang ditujukan kepada mereka. Demikian itu karena maksud dan tujuan mereka yang sesungguhnya hanyalah sebagai ungkapan pembangkangan mereka, maka dikatakanlah bahwa mereka hampir saja tidak menyembelihnya.

Muhammad ibnu Ka'b dan Muhammad ibnu Qais mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Kemudian mereka menyembelihnya, dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (Al-Baqarah: 71) mengingat harganya yang sangat mahal.

Tetapi penafsiran ini masih perlu dipertimbangkan, mengingat berita bahwa harganya mahal masih belum dapat terbukti dengan kuat melainkan hanya melalui nukilan dari kaum Bani Israil, seperti yang telah disebutkan di atas dalam riwayat Abul Aliyah dan As-Saddi; dan Al-Aufi telah meriwayatkannya pula dari Ibnu Abbas.

Ubaidah, Mujahid, Wahb ibnu Munabbih, Abul Aliyah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah meriwayatkan bahwa kaum Bani Israil membeli sapi betina tersebut dengan harta yang banyak jumlahnya. Akan tetapi, hal ini masih diperselisihkan. Kemudian menurut pendapat yang lain harga pembayarannya tidaklah sebanyak itu.

Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Suqah, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa harga pembelian sapi betina itu hanyalah tiga dinar saja. Sanad riwayat ini berpredikat jayyid, bersumber dari Ikrimah. Akan tetapi, pengertian lahiriah riwayat ini menunjukkan bahwa hal ini pun dinukil dari ahli kitab juga.

Ibnu Jarir mengatakan, sehubungan dengan makna ayat ini ulama lainnya mengatakan bahwa mereka hampir tidak melaksanakan perintah itu karena takut rahasia pembunuh yang sebenarnya —yang mereka perselisihkan— akan terungkap. Riwayat ini tidak disandarkan kepada seorang pun oleh perawi. Kemudian Ibnu Jarir memilih bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini ialah mereka hampir tidak melaksanakan perintah itu karena harganya terlampau mahal, juga karena takut rahasia mereka terungkap. Akan tetapi, pendapat ini pun masih perlu dipertimbangkan; dan pendapat yang benar —hanya Allah Yang Maha Mengetahui— ialah seperti apa yang telah disebutkan di atas dalam riwayat Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, menurut pengarahan kami. Hanya kepada Allahlah kami memohon taufik.

Kesimpulan hukum

Ayat ini —yang mengandung pembatasan sifat-sifat (spesifikasi) sapi betina tersebut hingga bentuknya tertentu atau jelas ciri-cirinya yang sebelum itu masih bersifat mutlak— menunjukkan sah melakukan transaksi salam (pesanan) menyangkut hewan ternak, seperti yang disimpulkan oleh mazhab Maliki, Al-Auza'i, Al-Lais, Asy-Syaqi'i, Ahmad, serta jumhur ulama Salaf dan Khalaf. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadis di dalam kitab Sahihain, disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

"لَا تَنْعَتُ المرأةُ المرأةَ لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا"

Janganlah seorang istri menggambarkan sifat-sifat wanita lain kepada suaminya (hingga tersimpulkan oleh suaminya) seakan-akan ia melihat wanita yang dimaksud.

Dalil lainnya ialah seperti sifat-sifat yang dikemukakan oleh Nabi Saw. tentang ternak unta diat dalam kasus pembunuhan secara keliru dan serupa dengan sengaja, yaitu dengan sifat-sifat (spesifikasi) yang disebutkan di dalam hadis mengenainya.

Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, As-Sauri, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat, tidak sah melakukan transaksi salam menyangkut hewan ternak, mengingat keadaan hewan ternak selalu tidak stabil. Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Huzaifah ibnul Yaman, Abdur Rahman ibnu Samurah, dan lain-lainnya.


قَالُوا۟ ٱدْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا لَوْنُهَا ۚ قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌۭ صَفْرَآءُ فَاقِعٌۭ لَّوْنُهَا تَسُرُّ ٱلنَّٰظِرِينَ 69

(69) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya".

(69) 

menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (Al-Baqarah: 69)

Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan Wahb ibnu Munabbih, bahwa sapi betina itu berwarna kuning.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa sapi betina itu mempunyai teracak (kuku) berwarna kuning. Telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair bahwa sapi betina tersebut berwarna kuning teracak dan tanduknya.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Qais, telah menceritakan kepada kami Abu Raja', dari Al-Hasan sehubungan dengan firman-Nya: sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya. (Al-Baqarah: 69) Makna yang dimaksud ialah sapi betina hitam, hitam legam warnanya.

Riwayat ini berpredikat garib; riwayat yang benar ialah yang pertama tadi. Karena itu, maka pada lafaz selanjutnya warna kuning dikuatkan dengan firman-Nya, "Faq’iul launuha," yakni yang kuning tua warnanya.

Menurut Atiyyah Al-Aufi, faqi'ul launuha artinya hampir kelihatan hitam karena kuningnya sangat kuat.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa faqi'ul launuha artinya bersih dan mulus warnanya, yakni kuning mulus. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Al-Hasan, dan Qatadah.

Syuraik meriwayatkan dari Ma'mar, bahwa faqi’ul launuha artinya bersih warnanya.

Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa faqi'ul launuha artinya sangat kuning atau kuning tua; karena sangat kuning hingga kelihatan seperti putih warnanya.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: menyenangkan orang-orang yang memandangnya. (Al-Baqarah: 69)

Yakni membuat kagum orang-orang yang memandangnya. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas.

Wahb ibnu Munabbih mengatakan, "Apabila kamu melihatnya, sekan-akan cahaya matahari memancar dari kulitnya."

Di dalam kitab Taurat disebutkan bahwa warna kulit sapi betina itu merah, barangkali hal ini terjadi karena kekeliruan dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Arabnya. Atau seperti pendapat pertama yang mengatakan bahwa warna kulit sapi betina tersebut sangat kuning hingga warnanya cenderung menjadi merah kehitam-hitaman.

*****************