24 - النور - An-Noor

Juz : 18

The Light
Medinan

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

سُورَةٌ أَنزَلْنَٰهَا وَفَرَضْنَٰهَا وَأَنزَلْنَا فِيهَآ ءَايَٰتٍۭ بَيِّنَٰتٍۢ لَّعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ 1

(1) (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.

(1) 

Firman Allah Swt. yang mengatakan bahwa 'ini adalah suatu surat yang Kami turunkan' mengandung pengertian yang mengisyaratkan perhatian Allah Swt. kepada surat ini, tetapi bukan berarti surat-surat lainnya tidak diperhatikan-Nya.

وَفَرَّضْنَاهَا

dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya (An-Nur: 1)

Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa makna ayat ialah Kami telah menjelaskan halal, haram, perintah, larangan, dan batasan-batasan (hukum) di dalamnya.

Imam Bukhari mengatakan bahwa orang yang membacanya dengan bacaan Faradnaha, maka artinya, 'Kami wajibkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya kepada kalian, juga kepada orang-orang yang sesudah kalian'.

وَأَنزلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ

dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas. (An-Nur: 1)

Yaitu ayat-ayat yang jelas dan gamblang maknanya.

لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

agar kalian selalu mengingatnya. (An-Nur: 1)

*******************

Kemudian Allah Swt. berfirman:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)

Yakni ayat yang mulia ini di dalamnya terkandung hukum had bagi orang yang berzina. Para ulama membahas masalah ini dengan pembahasan yang terinci berikut segala perbedaan pendapat di kalangan mereka. Akan tetapi pada kesimpulannya pezina itu adakalanya seorang yang belum pernah menikah dan adakalanya seorang yang muhsan (yakni orang yang pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan nikah yang sahih sedangkan dia telah akil balig).

Jika seseorang belum pernah menikah, lalu melakukan zina, maka hukuman had-nya seratus kali dera, seperti yang disebutkan oleh ayat yang mulia ini. Dan sebagai hukuman tambahannya ialah dibuang selama satu tahun jauh dari negerinya, menurut pendapat jumhur ulama. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah; ia berpendapat bahwa hukuman pengasingan ini sepenuhnya diserahkan kepada imam. Dengan kata lain, jika imam melihat bahwa si pelaku zina harus diasingkan, maka ia boleh melakukannya; dan jika ia melihat bahwa pelaku zina tidak perlu diasingkan, maka ia boleh melakukannya.

Alasan jumhur ulama dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kita Sahihain melalui riwayat Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Abu Hurairah dan Zaid ibnu Khalid Al-Juhani tentang kisah dua orang Badui yang datang menghadap kepada Rasulullah Saw.

Salah seorang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini pernah menjadi pekerja orang ini, dan ternyata anak laki-lakiku ini berbuat zina dengan istrinya. Maka aku tebus anak laki-lakiku ini darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang 'alim, maka mereka mengatakan bahwa anakku dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan istri orang ini dikenai hukuman rajam."

Maka Rasulullah Saw. menjawab:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ: الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وتغريبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ -لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ -إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا"

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan melakukan peradilan di antara kamu berdua dengan berdasarkan Kitabullah. Budak perempuan dan ternak kambingmu dikembalikan kepadamu, dan anak laki-lakimu dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun. Sekarang pergilah kamu, hai Unais -seorang lekuki dari Bani Aslam yang ada di majelis itu- kepada istri lelaki ini. (Tanyailah dia) jika dia mengaku, maka hukum rajamlah dia.

Maka Unais berangkat menemui istri lelaki Badui itu dan menanyainya. Akhirnya wanita itu mengakui perbuatannya, lalu ia dihukum rajam (dengan dilempari batu-batu sebesar genggaman tangan hingga mati).

Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukuman pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum pernah kawin sesudah menjalani hukuman dera sebanyak seratus kali. Jika dia adalah seorang muhsan (yakni seorang yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sahih, sedang dia merdeka, akil dan balig), maka hukumannya adalah dirajam dengan batu.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Imam Malik. Ia mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud; Ibnu Abbas pernah mengatakan kepadanya bahwa Khalifah Umar pada suatu hari berdiri di atas mimbarnya, lalu mengucapkan puji dan sanjungan kepada Allah Swt., kemudian mengatakan:

أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ، فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْناها، وَرَجمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجمْنا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يُطَولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: لَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ قَدْ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، فَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى، إِذَا أُحْصِنَ، مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ، أَوِ الْحَبَلُ، أَوْ الِاعْتِرَافُ.

Amma Ba'du. Hai manusia, sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Muhammad Saw. dengan hak dan menurunkan kepadanya Al-Qur’an. Maka di antara yang diturunkan kepada­nya ialah ayat rajam, lalu kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukuman rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudah beliau tiada. Aku merasa khawatir dengan berlalunya masa pada manusia, lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitabullah. Akhirnya mereka sesat karena meninggalkan suatu perintah fardu yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Hukum rajam benar ada di dalam Kitabullah ditujukan kepada orang yang berbuat zina bila ia telah muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan kesaksian telah ditegakkan terhadapnya atau terjadi kandungan atau pengakuan.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Malik secara panjang lebar. Sedangkan yang kami kemukakan ini merupakan petikan dari sebagiannya yang di dalamnya terkandung dalil yang kita maksudkan.

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Hasyim, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, bahwa telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada orang-orang banyak, dan aku (Abdur Rahman ibnu Auf) mendengarnya mengatakan: Ingatlah, sesungguhnya ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa tiada hukum rajam di dalam Kitabullah, dan sesung­guhnya yang ada hanyalah hukum dera. Padahal Rasulullah Saw. pernah merajam, dan kami pun merajam pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan ada seseorang berpendapat atau mengatakan bahwa Umar membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan menetapkannya sebagaimana ia diturunkan.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ubaidillah ibnu Abdullah dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Hasyim, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. berkhotbah yang di dalamnya ia menyebutkan masalah hukum rajam. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak mempunyai jalan lain untuk menghindari hukum rajam, karena sesungguhnya hukum rajam itu merupakan salah satu dari hukum had Allah Swt. Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukum rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan akan ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Umar telah membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan mencatatnya di dalam pinggiran mushaf. Umar ibnul Khattab, Abdur Rahman ibnu 'Aun dan Fulan serta Fulan telah bersaksi bahwa Rasulullah Saw. telah melakukan hukuman rajam, maka kami memberlakukannya pula sesudahnya hanya saja kelak akan ada suatu kaum sesudah kalian yang mendustakan hukum rajam, adanya syafaat, adanya siksa kubur, dan adanya suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka hangus."

Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Yahya Al-Qattan, dari Yahya Al-Ansari, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Umar ibnul Khattab, "Jangan biarkan diri kalian binasa karena meninggalkan ayat rajam," hingga akhir hadis.

Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Sa'id, dari Umar dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih.

Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Abu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin, bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Kasir ibnus Silt yang bercerita bahwa ketika ia berada di majelis Marwan, sedangkan di antara mereka yang ada di dalam majelis itu terdapat Zaid ibnu Sabit. Maka Zaid ibnu Sabit berkata, "Kami dahulu (di masa Rasulullah Saw.) pernah membaca ayat berikut, yaitu:

"وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ"

Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dewasa (kawin) berbuat zina, maka pastikanlah keduanya kalian rajam'.”

Marwan berkata, "Mengapa engkau tidak menuliskannya di dalam Al-Qur'an?" Zaid menjawab, "Kami pernah membicarakan hal tersebut di hadapan Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu ia mengatakan, 'Aku bebaskan kalian dari tugas itu.' Ketika kami bertanya, 'Mengapa?' Ia menjawab bahwa pernah seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu menyebutkan masalah rajam dan juga hal lainnya. Lelaki itu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tuliskanlah ayat rajam buatku.' Rasulullah Saw. menjawab, 'Saya tidak bisa melakukannya sekarang,' atau dengan kalimat lainnya yang semisal."

Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Muhammad ibnul Musannadari Gundar, dari Syu'bah dan Qatadah, dari Yunus ibnu Jubair, dari Kasir ibnus Silt, dari Zaid ibnu Sabit dengan sanad yang sama. Semua jalur periwayatan hadis ini sebagiannya dengan sebagian yang lain saling memperkuat. Hal ini menunjukkan bahwa ayat rajam dahulunya memang tertulis, kemudian tilawah (bacaan)nya di-mansukh, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Rasulullah Saw. pernah memerintahkan agar dilakukan hukum rajam terhadap seorang wanita istri seorang lelaki yang mempekerjakan seorang buruh, lalu buruh itu berbuat zina dengan si istri. Rasulullah Saw. pernah pula melakukan hukum rajam terhadap Ma'iz dan seorang wanita dari Bani Gamidiyah.

Para perawi tersebut tidak menukil dari Rasulullah Saw. bahwa beliau mendera mereka yang berbuat zina sebelum dirajam. Sesungguhnya semua hadis sahih yang saling memperkuat satu sama lainnya dengan berbagai lafaz mengatakan bahwa Rasulullah Saw. hanya merajam mereka, dan tidak disebutkan dalam hadis-hadis tersebut adanya hukuman dera. Karena itulah maka hal ini dijadikan pegangan oleh pendapat jumhur ulama; dan berpegangan kepada dalil ini pula berpendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii.

Imam Ahmad berpendapat, diwajibkan penggabungan dua jenis sangsi hukuman terhadap pezina muhsan antara hukuman dera karena berlandaskan sunnah dan hukuman rajam karena berlandaskan sunnah. Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa ketika dihadapkan kepadanya seorang wanita yang bernama Sirajah yang telah berbuat zina, sedangkan dia telah muhsan, maka Ali r.a. menderanya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Lalu Ali r.a. berkata: Saya menderanya berdasarkan (hukum) Kitabullah dan merajamnya berdasarkan (hukum) sunnah Rasulullah Saw.

Imam Ahmad, para pemilik kitab sunnah yang empat orang, dan Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا البِكْر بالبِكْر، جَلْد مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ"

Terimalah keputusanku, terimalah keputusanku, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka (kaum wanita) jalan keluar; orang yang belum pernah kawin (yang berzina) dengan orang yang belum pernah kawin didera seratus kali dan diasingkan satu tahun, dan orang yang sudah kawin (yang berzina) dengan orang yang sudah kawin didera seratus kali dan dirajam.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ

dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2)

Yakni untuk menjalankan hukum Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian berbelas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan syariat Allah. Hal yang dilarang bukanlah belas kasihan yang manusiawi saat menimpa­kan hukuman had. melainkan belas kasihan yang mendorong hakim untuk membatalkan hukuman had. Belas kasihan yang terakhir ini tidak diperbolehkan.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yaitu untuk menjalankan hukuman had bilamana kasusnya telah dilaporkan kepada sultan (penguasa); hukuman harus dijalankan dan tidak boleh diabaikan. Hal yang sama telah dikatakan melalui riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Ata ibnu Abu Rabah. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan:

"تعافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ، فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَب"

Hindarilah hukuman had yang terjadi di antara sesama kalian; karena kasus had apa pun yang telah dilaporkan kepadaku, maka pelaksanaannya adalah suatu keharusan.

Di dalam hadis yang lain disebutkan:

"لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ، خَيْرٌ لِأَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمطَروا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا"

Sesungguhnya suatu hukuman had yang dilaksanakan di bumi lebih baik bagi penghuninya daripada mendapat hujan selama empat puluh hari.

Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah Swt.: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Artinya, janganlah kalian menegakkan hukuman had sebagaimana mestinya seperti melakukan pukulan yang keras untuk mencegah terulangnya perbuatan dosa. Dan makna yang dimaksud bukanlah melakukan pukulan yang membuat si terhukum luka berat.

Amir Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yakni belas kasihan untuk melakukan pukulan yang keras.

Ata mengatakan bahwa deraan yang dimaksud adalah deraan yang tidak melukakan (memayahkan).

Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Hammad ibnu Abu Sulaiman, bahwa orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti dihukum dera dalam keadaan memakai baju yang dipakainya, sedangkan si pezina menjalani hukuman deranya dalam keadaan terbuka pakaiannya (ditanggalkan), kemudian Hammad ibnu Abu Sulaiman membaca firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Sa'id ibnu Abu Arubah berkata, "Itu kalau dalam memutuskan hukum." Hammad menjawab, "Berlaku dalam memutuskan hukuman dan pelaksanaan eksekusi." Yakni dalam menegakkan hukuman had dan dalam menjatuhkan pukulan yang keras.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnu Nafi', dari Ibnu Amr, dari Ibnu Abu Malaikah, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar, bahwa pernah ada seorang budak perempuan Ibnu Umar berbuat zina, lalu Ibnu Umar memukuli kedua kakinya. Nafi' berkata bahwa menurutnya Ubaidillah mengatakan juga punggungnya. Ubaidillah ibnu Abdullah mengatakan kepada ayahnya, "Bukankah engkau telah membacakan firman-Nya yang mengatakan: 'dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah' (An-Nur: 2) Ibnu Umar menjawab, "Hai Anakku, apakah engkau melihat bahwa diriku merasa belas kasihan terhadapnya? Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepadaku untuk membunuhnya, tidak pula agar aku mendera kepalanya. Sesungguhnya aku telah membuatnya kesakitan saat aku memukulinya."

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. (An-Nur: 2)

Yakni lakukanlah hal tersebut dan tegakkanlah hukuman-hukuman had terhadap orang-orang yang berzina; dan pukullah mereka dengan pukulan yang keras, tetapi tidak dengan pukulan yang membuat mereka lumpuh. Dimaksudkan agar dia jera, juga dijadikan pelajaran bagi orang lain yang hendak melakukan perbuatan yang semisal.

Di dalam kitab musnad telah disebutkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar menyembelih kambing, sedangkan hatiku merasa kasihan kepadanya." Maka Rasulullah Saw. bersabda:

"وَلَكَ فِي ذَلِكَ أَجْرٌ"

Engkau mendapat suatu pahala atas belas kasihanmu itu.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2)

Hal ini merupakan pembalasan bagi sepasang pezina bila keduanya didera di hadapan orang banyak dan akan lebih keras pengaruhnya terhadap keduanya agar keduanya benar-benar jera. Sesungguhnya hal tersebut adalah kecaman dan pencemoohan terhadap si terhukum, juga mem­permalukannya, bila banyak orang menyaksikan pelaksanaan hukuman­nya.

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yaitu hendaknya eksekusi itu dilaksanakan secara terang-terangan.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah satu orang laki-laki hingga seterusnya.

Mujahid mengatakan bahwa sekumpulan orang ialah satu orang laki-laki hingga seribu orang. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa sesungguhnya satu orang laki-laki sudah termasuk ke dalam pengertian taifah.

Ata ibnu Abu Rabah mengatakan dua orang. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ishaq ibnu Rohawais.

Demikian pula Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah dua orang laki-laki lebih.

Az-Zuhri mengatakan tiga orang lebih.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, dari Malik sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa taifah itu artinya empat orang lebih, karena sesungguhnya persaksian terhadap tindak pidana zina belumlah cukup melainkan hanya dengan empat orang saksi lebih; pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii.

Sedangkan menurut Rabi'ah, lima orang.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sepuluh orang.

Qatadah mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan agar pelaksanaan eksekusi keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman, yakni sejumlah kaum muslim. Dimaksudkan agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan pembalasan bagi pelakunya (dan juga orang lain).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, bahwa ia pernah mendengar Nasr ibnu Alqamah yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa hal tersebut bukanlah untuk tujuan mempermalukannya, melainkan agar mereka mendoakan kepada Allah buat keduanya supaya diterima tobat keduanya dan mendapatkan rahmat dari-Nya.


ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍۢ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌۭ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌۭ مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ 2

(2) Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

(2) 


Kemudian Allah Swt. berfirman:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur: 2)

Yakni ayat yang mulia ini di dalamnya terkandung hukum had bagi orang yang berzina. Para ulama membahas masalah ini dengan pembahasan yang terinci berikut segala perbedaan pendapat di kalangan mereka. Akan tetapi pada kesimpulannya pezina itu adakalanya seorang yang belum pernah menikah dan adakalanya seorang yang muhsan (yakni orang yang pernah melakukan persetubuhan dalam ikatan nikah yang sahih sedangkan dia telah akil balig).

Jika seseorang belum pernah menikah, lalu melakukan zina, maka hukuman had-nya seratus kali dera, seperti yang disebutkan oleh ayat yang mulia ini. Dan sebagai hukuman tambahannya ialah dibuang selama satu tahun jauh dari negerinya, menurut pendapat jumhur ulama. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah; ia berpendapat bahwa hukuman pengasingan ini sepenuhnya diserahkan kepada imam. Dengan kata lain, jika imam melihat bahwa si pelaku zina harus diasingkan, maka ia boleh melakukannya; dan jika ia melihat bahwa pelaku zina tidak perlu diasingkan, maka ia boleh melakukannya.

Alasan jumhur ulama dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang telah ditetapkan di dalam kita Sahihain melalui riwayat Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Abu Hurairah dan Zaid ibnu Khalid Al-Juhani tentang kisah dua orang Badui yang datang menghadap kepada Rasulullah Saw.

Salah seorang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak laki-lakiku ini pernah menjadi pekerja orang ini, dan ternyata anak laki-lakiku ini berbuat zina dengan istrinya. Maka aku tebus anak laki-lakiku ini darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan. Kemudian aku bertanya kepada orang-orang yang 'alim, maka mereka mengatakan bahwa anakku dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan istri orang ini dikenai hukuman rajam."

Maka Rasulullah Saw. menjawab:

"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ: الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ، وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وتغريبُ عَامٍ. وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ -لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ -إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا"

Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh aku akan melakukan peradilan di antara kamu berdua dengan berdasarkan Kitabullah. Budak perempuan dan ternak kambingmu dikembalikan kepadamu, dan anak laki-lakimu dikenai hukuman seratus kali dera dan diasingkan selama satu tahun. Sekarang pergilah kamu, hai Unais -seorang lekuki dari Bani Aslam yang ada di majelis itu- kepada istri lelaki ini. (Tanyailah dia) jika dia mengaku, maka hukum rajamlah dia.

Maka Unais berangkat menemui istri lelaki Badui itu dan menanyainya. Akhirnya wanita itu mengakui perbuatannya, lalu ia dihukum rajam (dengan dilempari batu-batu sebesar genggaman tangan hingga mati).

Di dalam hadis ini terkandung dalil yang menunjukkan adanya hukuman pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum pernah kawin sesudah menjalani hukuman dera sebanyak seratus kali. Jika dia adalah seorang muhsan (yakni seorang yang pernah melakukan persetubuhan dalam nikah yang sahih, sedang dia merdeka, akil dan balig), maka hukumannya adalah dirajam dengan batu.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Imam Malik. Ia mengatakan telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud; Ibnu Abbas pernah mengatakan kepadanya bahwa Khalifah Umar pada suatu hari berdiri di atas mimbarnya, lalu mengucapkan puji dan sanjungan kepada Allah Swt., kemudian mengatakan:

أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ، فَكَانَ فِيمَا أَنْزَلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ، فَقَرَأْنَاهَا وَوَعَيْناها، وَرَجمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجمْنا بَعْدَهُ، فَأَخْشَى أَنْ يُطَولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: لَا نَجِدُ آيَةَ الرَّجْمِ فِي كِتَابِ اللَّهِ، فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ قَدْ أَنْزَلَهَا اللَّهُ، فَالرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى، إِذَا أُحْصِنَ، مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ، أَوِ الْحَبَلُ، أَوْ الِاعْتِرَافُ.

Amma Ba'du. Hai manusia, sesungguhnya Allah Swt. telah mengutus Muhammad Saw. dengan hak dan menurunkan kepadanya Al-Qur’an. Maka di antara yang diturunkan kepada­nya ialah ayat rajam, lalu kami membacanya dan menghafalnya. Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukuman rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudah beliau tiada. Aku merasa khawatir dengan berlalunya masa pada manusia, lalu ada seseorang yang mengatakan bahwa kami tidak menemukan ayat rajam di dalam Kitabullah. Akhirnya mereka sesat karena meninggalkan suatu perintah fardu yang telah diturunkan oleh Allah Swt. Hukum rajam benar ada di dalam Kitabullah ditujukan kepada orang yang berbuat zina bila ia telah muhsan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan kesaksian telah ditegakkan terhadapnya atau terjadi kandungan atau pengakuan.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadis Malik secara panjang lebar. Sedangkan yang kami kemukakan ini merupakan petikan dari sebagiannya yang di dalamnya terkandung dalil yang kita maksudkan.

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Hasyim, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas, bahwa telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Auf, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada orang-orang banyak, dan aku (Abdur Rahman ibnu Auf) mendengarnya mengatakan: Ingatlah, sesungguhnya ada sejumlah orang yang mengatakan bahwa tiada hukum rajam di dalam Kitabullah, dan sesung­guhnya yang ada hanyalah hukum dera. Padahal Rasulullah Saw. pernah merajam, dan kami pun merajam pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan ada seseorang berpendapat atau mengatakan bahwa Umar membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan menetapkannya sebagaimana ia diturunkan.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Ubaidillah ibnu Abdullah dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Hasyim, dari Ali ibnu Zaid, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. berkhotbah yang di dalamnya ia menyebutkan masalah hukum rajam. Ia mengatakan, "Sesungguhnya kami tidak mempunyai jalan lain untuk menghindari hukum rajam, karena sesungguhnya hukum rajam itu merupakan salah satu dari hukum had Allah Swt. Ingatlah, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memberlakukan hukum rajam dan kami pun memberlakukannya pula sesudahnya. Dan seandainya tidak dikhawatirkan akan ada orang-orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Umar telah membubuhkan tambahan di dalam Kitabullah hal-hal yang bukan berasal darinya, tentulah aku akan mencatatnya di dalam pinggiran mushaf. Umar ibnul Khattab, Abdur Rahman ibnu 'Aun dan Fulan serta Fulan telah bersaksi bahwa Rasulullah Saw. telah melakukan hukuman rajam, maka kami memberlakukannya pula sesudahnya hanya saja kelak akan ada suatu kaum sesudah kalian yang mendustakan hukum rajam, adanya syafaat, adanya siksa kubur, dan adanya suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka hangus."

Imam Ahmad telah meriwayatkan pula dari Yahya Al-Qattan, dari Yahya Al-Ansari, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Umar ibnul Khattab, "Jangan biarkan diri kalian binasa karena meninggalkan ayat rajam," hingga akhir hadis.

Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Sa'id, dari Umar dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih.

Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Abu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin, bahwa Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Kasir ibnus Silt yang bercerita bahwa ketika ia berada di majelis Marwan, sedangkan di antara mereka yang ada di dalam majelis itu terdapat Zaid ibnu Sabit. Maka Zaid ibnu Sabit berkata, "Kami dahulu (di masa Rasulullah Saw.) pernah membaca ayat berikut, yaitu:

"وَالشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ"

Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dewasa (kawin) berbuat zina, maka pastikanlah keduanya kalian rajam'.”

Marwan berkata, "Mengapa engkau tidak menuliskannya di dalam Al-Qur'an?" Zaid menjawab, "Kami pernah membicarakan hal tersebut di hadapan Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu ia mengatakan, 'Aku bebaskan kalian dari tugas itu.' Ketika kami bertanya, 'Mengapa?' Ia menjawab bahwa pernah seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu menyebutkan masalah rajam dan juga hal lainnya. Lelaki itu mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tuliskanlah ayat rajam buatku.' Rasulullah Saw. menjawab, 'Saya tidak bisa melakukannya sekarang,' atau dengan kalimat lainnya yang semisal."

Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui Muhammad ibnul Musannadari Gundar, dari Syu'bah dan Qatadah, dari Yunus ibnu Jubair, dari Kasir ibnus Silt, dari Zaid ibnu Sabit dengan sanad yang sama. Semua jalur periwayatan hadis ini sebagiannya dengan sebagian yang lain saling memperkuat. Hal ini menunjukkan bahwa ayat rajam dahulunya memang tertulis, kemudian tilawah (bacaan)nya di-mansukh, sedangkan hukumnya masih tetap berlaku. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Rasulullah Saw. pernah memerintahkan agar dilakukan hukum rajam terhadap seorang wanita istri seorang lelaki yang mempekerjakan seorang buruh, lalu buruh itu berbuat zina dengan si istri. Rasulullah Saw. pernah pula melakukan hukum rajam terhadap Ma'iz dan seorang wanita dari Bani Gamidiyah.

Para perawi tersebut tidak menukil dari Rasulullah Saw. bahwa beliau mendera mereka yang berbuat zina sebelum dirajam. Sesungguhnya semua hadis sahih yang saling memperkuat satu sama lainnya dengan berbagai lafaz mengatakan bahwa Rasulullah Saw. hanya merajam mereka, dan tidak disebutkan dalam hadis-hadis tersebut adanya hukuman dera. Karena itulah maka hal ini dijadikan pegangan oleh pendapat jumhur ulama; dan berpegangan kepada dalil ini pula berpendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii.

Imam Ahmad berpendapat, diwajibkan penggabungan dua jenis sangsi hukuman terhadap pezina muhsan antara hukuman dera karena berlandaskan sunnah dan hukuman rajam karena berlandaskan sunnah. Telah diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali ibnu Abu Talib r.a., bahwa ketika dihadapkan kepadanya seorang wanita yang bernama Sirajah yang telah berbuat zina, sedangkan dia telah muhsan, maka Ali r.a. menderanya pada hari Kamis dan merajamnya pada hari Jumat. Lalu Ali r.a. berkata: Saya menderanya berdasarkan (hukum) Kitabullah dan merajamnya berdasarkan (hukum) sunnah Rasulullah Saw.

Imam Ahmad, para pemilik kitab sunnah yang empat orang, dan Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Qatadah, dari Al-Hasan, dari Hattan ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, dari Ubadah ibnus Samit yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"خُذُوا عَنِّي، خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا البِكْر بالبِكْر، جَلْد مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ، جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ"

Terimalah keputusanku, terimalah keputusanku, sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka (kaum wanita) jalan keluar; orang yang belum pernah kawin (yang berzina) dengan orang yang belum pernah kawin didera seratus kali dan diasingkan satu tahun, dan orang yang sudah kawin (yang berzina) dengan orang yang sudah kawin didera seratus kali dan dirajam.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ

dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2)

Yakni untuk menjalankan hukum Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian berbelas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan syariat Allah. Hal yang dilarang bukanlah belas kasihan yang manusiawi saat menimpa­kan hukuman had. melainkan belas kasihan yang mendorong hakim untuk membatalkan hukuman had. Belas kasihan yang terakhir ini tidak diperbolehkan.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yaitu untuk menjalankan hukuman had bilamana kasusnya telah dilaporkan kepada sultan (penguasa); hukuman harus dijalankan dan tidak boleh diabaikan. Hal yang sama telah dikatakan melalui riwayat yang bersumber dari Sa'id ibnu Jubair dan Ata ibnu Abu Rabah. Di dalam sebuah hadis telah disebutkan:

"تعافَوُا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ، فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَب"

Hindarilah hukuman had yang terjadi di antara sesama kalian; karena kasus had apa pun yang telah dilaporkan kepadaku, maka pelaksanaannya adalah suatu keharusan.

Di dalam hadis yang lain disebutkan:

"لَحَدٌّ يُقَامُ فِي الْأَرْضِ، خَيْرٌ لِأَهْلِهَا مِنْ أَنْ يُمطَروا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا"

Sesungguhnya suatu hukuman had yang dilaksanakan di bumi lebih baik bagi penghuninya daripada mendapat hujan selama empat puluh hari.

Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah Swt.: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Artinya, janganlah kalian menegakkan hukuman had sebagaimana mestinya seperti melakukan pukulan yang keras untuk mencegah terulangnya perbuatan dosa. Dan makna yang dimaksud bukanlah melakukan pukulan yang membuat si terhukum luka berat.

Amir Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Yakni belas kasihan untuk melakukan pukulan yang keras.

Ata mengatakan bahwa deraan yang dimaksud adalah deraan yang tidak melukakan (memayahkan).

Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Hammad ibnu Abu Sulaiman, bahwa orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti dihukum dera dalam keadaan memakai baju yang dipakainya, sedangkan si pezina menjalani hukuman deranya dalam keadaan terbuka pakaiannya (ditanggalkan), kemudian Hammad ibnu Abu Sulaiman membaca firman-Nya: dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah. (An-Nur: 2) Sa'id ibnu Abu Arubah berkata, "Itu kalau dalam memutuskan hukum." Hammad menjawab, "Berlaku dalam memutuskan hukuman dan pelaksanaan eksekusi." Yakni dalam menegakkan hukuman had dan dalam menjatuhkan pukulan yang keras.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi, telah menceritakan kepada kami Waki' ibnu Nafi', dari Ibnu Amr, dari Ibnu Abu Malaikah, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Umar, bahwa pernah ada seorang budak perempuan Ibnu Umar berbuat zina, lalu Ibnu Umar memukuli kedua kakinya. Nafi' berkata bahwa menurutnya Ubaidillah mengatakan juga punggungnya. Ubaidillah ibnu Abdullah mengatakan kepada ayahnya, "Bukankah engkau telah membacakan firman-Nya yang mengatakan: 'dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah' (An-Nur: 2) Ibnu Umar menjawab, "Hai Anakku, apakah engkau melihat bahwa diriku merasa belas kasihan terhadapnya? Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kepadaku untuk membunuhnya, tidak pula agar aku mendera kepalanya. Sesungguhnya aku telah membuatnya kesakitan saat aku memukulinya."

*******************

Firman Allah Swt.:

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. (An-Nur: 2)

Yakni lakukanlah hal tersebut dan tegakkanlah hukuman-hukuman had terhadap orang-orang yang berzina; dan pukullah mereka dengan pukulan yang keras, tetapi tidak dengan pukulan yang membuat mereka lumpuh. Dimaksudkan agar dia jera, juga dijadikan pelajaran bagi orang lain yang hendak melakukan perbuatan yang semisal.

Di dalam kitab musnad telah disebutkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar menyembelih kambing, sedangkan hatiku merasa kasihan kepadanya." Maka Rasulullah Saw. bersabda:

"وَلَكَ فِي ذَلِكَ أَجْرٌ"

Engkau mendapat suatu pahala atas belas kasihanmu itu.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2)

Hal ini merupakan pembalasan bagi sepasang pezina bila keduanya didera di hadapan orang banyak dan akan lebih keras pengaruhnya terhadap keduanya agar keduanya benar-benar jera. Sesungguhnya hal tersebut adalah kecaman dan pencemoohan terhadap si terhukum, juga mem­permalukannya, bila banyak orang menyaksikan pelaksanaan hukuman­nya.

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yaitu hendaknya eksekusi itu dilaksanakan secara terang-terangan.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah Swt.: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah satu orang laki-laki hingga seterusnya.

Mujahid mengatakan bahwa sekumpulan orang ialah satu orang laki-laki hingga seribu orang. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa sesungguhnya satu orang laki-laki sudah termasuk ke dalam pengertian taifah.

Ata ibnu Abu Rabah mengatakan dua orang. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ishaq ibnu Rohawais.

Demikian pula Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Yang dimaksud dengan sekumpulan ialah dua orang laki-laki lebih.

Az-Zuhri mengatakan tiga orang lebih.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, dari Malik sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa taifah itu artinya empat orang lebih, karena sesungguhnya persaksian terhadap tindak pidana zina belumlah cukup melainkan hanya dengan empat orang saksi lebih; pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii.

Sedangkan menurut Rabi'ah, lima orang.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sepuluh orang.

Qatadah mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan agar pelaksanaan eksekusi keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman, yakni sejumlah kaum muslim. Dimaksudkan agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan pembalasan bagi pelakunya (dan juga orang lain).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, bahwa ia pernah mendengar Nasr ibnu Alqamah yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur: 2) Bahwa hal tersebut bukanlah untuk tujuan mempermalukannya, melainkan agar mereka mendoakan kepada Allah buat keduanya supaya diterima tobat keduanya dan mendapatkan rahmat dari-Nya.


ٱلزَّانِى لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةًۭ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌۭ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ 3

(3) Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.

(3) 

Hal ini merupakan suatu berita dari Allah Swt. yang mengatakan bahwa seorang lelaki pezina tidaklah bersetubuh melainkan hanya dengan perempuan pezina atau musyrik. Dengan kata lain, tiada seorang wanita pun yang mau melayani hawa nafsu zina lelaki pezina melainkan hanyalah wanita pezina lagi durhaka atau wanita musyrik yang tidak menganggap perbuatan zina itu haram. Demikian pula makna yang dimaksud oleh firman selanjutnya, yaitu:

الزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ

dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina. (An-Nur: 3)

Yakni laki-laki durhaka karena perbuatan zinanya.

أَوْ مُشْرِكٌ

atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3)

yang meyakini bahwa zina itu tidak haram.

Sufyan As-Sauri mengatakan dari Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. (An-Nur: 3) Bahwa yang dimaksud dengan nikah dalam ayat ini bukanlah kawin, melainkan bersetubuh. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada seorang pun yang berzina dengan perempuan pezina melainkan hanyalah lelaki pezina atau lelaki musyrik. Sanad riwayat ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas.

Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas melalui berbagai jalur sehubungan dengan masalah ini.

Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Urwah ibnuz Zubair, Ad-Dahhak, Makhul, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.

*******************

Firman Allah Swt.:

وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)

Maksudnya, diharamkan atas mereka melakukan perbuatan tersebut dan mengawini pelacur-pelacur, atau mengawinkan wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya dengan laki-laki yang lacur.

Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qais, dari Abu Husain, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3) Yakni Allah mengharamkan perbuatan zina atas orang-orang mukmin.

Qatadah dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa Allah mengharamkan orang-orang mukmin mengawini para pelacur, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Firman Allah Swt. berikut ini, yaitu: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3) semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:

مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ

sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. (An-Nisa: 25)

مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

الْآيَةَ

dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah: 5), hingga akhir ayat.

Berangkat dari pengertian ini Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah berpendapat bahwa tidak sah akad nikah seorang lelaki yang memelihara diri dari perbuatan zina terhadap wanita tuna susila, selagi wanita yang bersangkutan masih tetap sebagai pelacur, terkecuali bila ia telah bertobat. Jika wanita yang bersangkutan telah bertobat, maka akad nikah terhadapnya dari laki-laki yang memelihara diri hukumnya sah; dan jika masih belum bertobat, akad nikahnya tetap tidak sah. Demikian pula halnya kebalikannya, yaitu mengawinkan wanita yang terpelihara kehormatan dirinya dengan seorang lelaki yang suka melacur, sebelum lelaki itu bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya, karena berdasarkan firman Allah Swt. yang mengatakan: dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Arim, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ayahnya pernah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hadrami, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa pernah ada seorang lelaki dari kaum mukmin meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk mengawini seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul. Mahzul adalah seorang wanita yang suka membeli laki-laki untuk kepuasan hawa nafsunya dengan memberikan imbalan nafkah kepada lelaki yang disukainya. Kemudian lelaki itu mengutarakan maksudnya kepada Rasulullah Saw. atau menyebut-nyebut perihal Ummu Mahzul di hadapannya. Maka Rasulullah Saw. mem­bacakan firman ini kepadanya, yaitu: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)

Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Al- Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hadrami dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa dahulu pernah ada seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul, dia adalah wanita tuna susila. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang ingin mengawininya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)

Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abd ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah, dari Ubaidillah ibnul Akhnas, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang lelaki bernama Marsad ibnu Abu Marsad, dia adalah seorang lelaki yang bertugas membawa para tawanan perang dari Mekah ke Madinah. Perawi (kakek Amr ibnu Syu'aib) melanjutkan kisahnya, bahwa di Mekah terdapat seorang wanita tuna susila yang dikenal dengan nama Anaq. Ia kenal baik dengan Anaq. Dan ia pernah menjanjikan kepada seorang laki-laki dari kalangan para tawanan Mekah bahwa ia akan membawanya (ke Madinah). Maka ia datang ke Mekah hingga sampailah di suatu kebun kurma yang ada di Mekah di suatu malam bulan purnama. Anaq datang dan melihat adanya bayangan hitam di bawah naungan pohon kurma. Ketika Anaq telah berada di dekat pohon itu, ia mulai mengenalku dan berkata, "Kamu Marsad?" Maka aku (perawi) berkata, "Ya, saya Marsad." Ia berkata, "Selamat datang, marilah menginap di rumahku malam ini." Aku menjawab, "Hai Anaq, Allah telah mengharamkan perbuatan zina." Anaq berkata, "Hai penduduk perkemahan, lelaki ini akan membawa tawanan kalian." Ketika aku kembali (bersama orang tersebut yang telah aku janjikan akan membawanya ke Madinah), maka aku diikuti oleh delapan orang, lalu aku memasuki sebuah kebun. Dan sampailah aku pada sebuah gua, lalu aku masuk ke dalamnya, tiba-tiba mereka yang delapan orang itu datang, kemudian berdiri di dekat kepalaku dan mereka kencing sehingga air seni mereka mengenai kepalaku, dan Allah menjadikan mereka tidak dapat melihatku. Setelah itu mereka pulang. Maka aku kembali menemui temanku dan aku bawa dia di atas kendaraan hewanku; dia adalah seorang lelaki yang gendut. Ketika aku sampai di tempat yang banyak izkhir-nya, maka aku lepaskan tali ikatan­nya; dan aku membawa izkhir itu, sedangkan tawanan itu membantuku, hingga sampailah aku di Madinah bersamanya. Aku datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku mau mengawini Anaq, aku mau mengawini Anaq." Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab sepatah kata pun, hingga turunlah firman Allah Swt. yang mengatakan: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3); Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai Marsad, seorang lelaki pezina tidak mengawini kecuali seorang perempuan pezina atau perempuan musyrik. Karena itu, janganlah kamu mengawininya.

Kemudian Iman Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya melalui jalur ini. Imam Abu Daud dan Imam Nasai telah meriwayatkannya di dalam Kitabun Nikah, bagian dari kitab sunannya masing-masing melalui hadis Ubaidillah ibnul Akhnas dengan sanad yang sama.

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُسَدَّد أَبُو الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ حَبِيبٍ الْمُعَلِّمِ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ المَقْبُرِيّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مَثْلَهُ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musaddad Abul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, dari Habib Al-Mu'allim, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang pezina yang telah didera tidak mengawini melainkan seseorang yang semisal dengannya.

Hal yang sama telah diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab sunannya melalui Musaddad dan Abu Ma'mar melalui Abdullah ibnu Amr, keduanya menerima riwayat ini dari Abdul Waris dengan sanad yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، عَنْ أَخِيهِ عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ -مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ -قَالَ: أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ سَالِمًا يَقُولُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ -الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ -وَالدَّيُّوثُ. وَثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، ومُدْمِن الْخَمْرَ، والمنَّان بِمَا أَعْطَى".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Muhammad, dari Zaid ibnu Abdullah ibnu Umar ibnul Khattab, dari saudaranya Umar ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Yasarmaula Ibnu Umar yang mengatakan ia bersumpah bahwa dirinya pernah mendengar Salim mengatakan, "Abdullah ibnu Umar pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Ada tiga macam orang yang tidak dapat masuk surga dan Allah tidak melihat mereka kelak di hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang tuanya, seorang wanita yang bertingkah laku kelelaki-lakian lagi mirip dengan laki-laki, dan seorang germo. Ada tiga macam orang yang Allah tidak mau melihat mereka kelak di hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang tuanya, pecandu khamr, dan orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya '.”

Imam Nasai meriwayatkannya dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yazid ibnu Zurai', dari Umar ibnu Muhammad Al-Umra, dari Abdullah ibnu Yasar dengan sanad yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ، عَنْ قَطَن بْنِ وَهْبٍ، عَنْ عُوَيْمر بْنِ الْأَجْدَعِ، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ثَلَاثَةٌ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ، والدَّيُّوث الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ"

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Kasir, dari Qatn ibnu Wahb, dari Uwaimir ibnul Ajda', dari seseorang yang menerimanya dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang Allah mengharamkan surga bagi mereka, yaitu pecandu khamr, orang yang menyakiti kedua orang tuanya, dan lelaki yang menyetujui perbuatan mesum istrinya.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنِي رَجُلٌ -مِنْ آلِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْف -، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمَّار، عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ دَيُّوث"

Abu Daud At-Tayalisi mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari keluarga Sahi ibnu Hanif, dari Muhammad ibnu Ammar, dari Ammar ibnu Yasiryang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak akan "masuk surga seorang lelaki germo.

Hadis ini merupakan syahid yang menguatkan hadis-hadis sebelumnya.

قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا سَلام بْنُ سَوَّار، حَدَّثَنَا كَثِير بْنُ سُلَيم، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِم: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم [يَقُولُ]" مَنْ أَرَادَ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ طَاهِرًا مُطَهَّرًا، فليتزوج الحرائر".

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Salam ibni Siwar, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Sulaim, dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim; ia pernah mendengar sahabat Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang ingin menjumpai Allah dalam keadaan suci lagi disucikan, hendaklah ia mengawini wanita-wanita yang merdeka.

Di dalam sanad hadis ini terdapat ke-daif-an.

Imam Abu Nasr Isma'il ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan di dalam kitab Sihah (yakni kitab kamus tulisannya) bahwa dayyus adalah seorang lelaki yang sama sekali tidak mempunyai rasa cemburu.

Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Abdur Rahman An-Nasai di dalam Kitabun Nikah, dari kitab sunannya, disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isma'il ibnu Aliyyah, dari Yazid ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dan lain-lainnya, dari Harun ibnu Rayyab, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Abdul Karim, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas —Abdul Karim me-rafa '-kannya sampai kepada ibnu Abbas, tetapi Harun tidak me-rafa '-kannya—. Keduanya (Abdul Karim dan Harun) mengatakan:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي امْرَأَةً [هِيَ] مِنْ أحبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَهِيَ لَا تَمْنَعُ يَدَ لامِس قَالَ: "طَلِّقْهَا". قَالَ: لَا صَبْرَ لِي عَنْهَا قَالَ: "اسْتَمْتِعْ بِهَا"

bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Sesungguhnya saya mempunyai seorang istri yang paling saya cintai, tetapi ia tidak pernah menolak tangan lelaki yang menyentuhnya." Maka Nabi Saw. bersabda, "Ceraikanlah dia." Lelaki itu berkata, "Tetapi saya tidak tahan hidup tanpa dia." Rasulullah Saw. bersabda, "Bersenang-senanglah dengannya."

Kemudian Imam Nasai mengatakan bahwa hadis ini kurang kuat karena Abdul Karim predikatnya kurang kuat, padahal Harun predikatnya jauh lebih kuat daripadanya dan dia me-mursal-kan hadis ini; dia adalah seorang yang siqah, dan hadisnya lebih utama untuk mendapat nilai kebenaran ketimbang hadis Abdul Karim.

Menurut saya Abdul Karim adalah Ibnu Abul Mukhariq Al-Basri, seorang sastrawan lagi seorang tabi'in, tetapi da'if dalam periwayatan hadis. Harun Ibnu Rayyab berbeda pendapat dengannya, sedangkan Harun adalah seorang tabi'in yang berpredikat siqah, termasuk salah seorang perawi Imam Muslim, hadisnya berpredikat mursal lebih utama, seperti yang dikatakan oleh Imam Nasai.

Akan tetapi, Imam Nasai telah meriwayatkannya pula di dalam Kitabut Talaq melalui Ishaq ibnu Rahawain, dari An-Nadr ibnu Syamil, dari Hammad ibnu Salamah, dari Harun ibnu Rayyab, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas secara musnad, lalu ia mengetengah-kannya dengan menyebutkan sanad ini. Semua perawinya dengan syarat Imam Muslim. Hanya Imam Nasai sesudah meriwayatkannya mengatakan bahwa menganggapnya marfu' adalah keliru, yang benar adalah mursal. Selain An-Nadr telah meriwayatkannya dengan benar (yakni mursal). Imam Nasai dan Abu Daud telah meriwayatkannya dari Al-Husain ibnu Hurayyis, bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Imarah ibnu Abu Hafzah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. Lalu disebutkanlah hadis ini, dan sanad yang baru disebutkan berpredikat jayyid (baik).

Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan predikat hadis ini, ada yang men-da'if"-kannya, seperti yang telah disebutkan dari Imam Nasai; ada pula yang menilainya munkar, seperti apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad, bahwa hadis ini berpredikat munkar.

Ibnu Qutaibah mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud dari hadis ini tiada lain bahwa istri lelaki tersebut adalah seorang wanita yang dermawan, tidak pernah menolak tangan orang yang meminta-minta.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya dari sebagian di antara mereka yang mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, wanita tersebut adalah seorang yang dermawan lagi banyak berderma.

Tetapi alasan ini disanggah, bahwa seandainya makna yang dimaksud adalah seperti itu, tentulah teks hadis mengatakan Yada Multamisin (tangan orang yang meminta-minta).

Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya watak wanita yang dimaksud ialah tidak pernah menolak tangan orang yang menyentuhnya. Akan tetapi, makna yang dimaksud bukanlah menunjukkan bahwa hal tersebut berdasarkan keinginan wanita itu, dan bahwa wanita itu suka melakukan perbuatan fahisyah (zina). Karena sesungguhnya Rasulullah Saw. telah melarang menjadikan seorang wanita yang berkarakter demikian sebagai seorang istri. Jika seseorang tetap mengawininya, sedangkan watak wanita itu tetap demikian, berarti laki-laki yang mengawininya adalah seorang germo. Padahal dalam keterangan yang lalu telah disebutkan suatu ancaman yang ditujukan terhadap germo. Tetapi karena mengingat bahwa watak wanita tersebut memang demikian, yakni tidak pernah menolak dan tidak pula menepiskan tangan lelaki yang menyentuhnya bila tidak ada seorang pun yang melihat keduanya, maka Rasulullah Saw. menganjurkan kepada lelaki yang menjadi suaminya itu untuk menceraikannya.

Tetapi sesudah si suami mengungkapkan bahwa dia sangat mencintai istrinya itu, maka Rasulullah Saw. membolehkan dia tetap menjadikannya sebagai istri; sebab kecintaannya kepada si istri merupakan suatu hal yang nyata, sedangkan terjadinya perbuatan fahisyah dari istrinya merupakan suatu hal yang masih dalam praduga, maka tidaklah boleh memutuskan vonis secara tergesa-gesa hanya karena rasa curiga belaka. Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi lebih mengetahui.

Mereka (para ulama) mengatakan bahwa adapun jika wanita tuna susila benar-benar telah bertobat, maka ia boleh dikawini, seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim rahimahullah. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Ibnu Abu Zi-b yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Syu'bah maula Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan saat ditanya oleh seorang lelaki yang mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya aku dahulu pernah berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt. dengan seorang wanita yang kusukai, kemudian Allah Swt. memberiku jalan petunjuk untuk bertobat dari perbuatan tersebut. Sekarang saya ingin mengawininya." Maka sejumlah orang mengatakan, "Seorang lelaki pezina tidak mengawini melainkan seorang perempuan pezina atau perempuan yang musyrik." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Bukan itu yang dimaksud oleh ayat tersebut. Sekarang kawinilah dia. Jika keputusan ini berdosa, biarlah aku yang menanggungnya,"

Segolongan ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa pernah disebutkan di hadapannya firman Allah Swt. yang berbunyi: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3) Disebutkan bahwa Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa ayat ini di mansukh oleh firman selanjutnya yang mengatakan: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian. (An-Nur: 32)

Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa yang disebutkan adalah orang-orang yang sendirian dari kalangan kaum muslim.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di dalam kitab Nasikh wal Mansukh-nya, dari Sa'id ibnul Musayyab. Hal tersebut di-nas-kan pula oleh Imam Abu Abdullah ibnu Idris Asy-Syafii.


وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةًۭ وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَٰدَةً أَبَدًۭا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ 4

(4) Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.

(4) 

Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera. Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini. Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya). Karena itulah Allah Swt. menyebutkan dalam firman-Nya:

ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur: 4)

Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu:

Pertama, dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.

Kedua, kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya.

Ketiga, dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.

Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman selanjutnya:

إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا

kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan mem­perbaiki (dirinya). (An-Nur: 5), hingga akhir ayat.

Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat. Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya.

Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.

Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya. Orang yang berpendapat demikian dari kalangan ulama Salaf ialah Qadi Syuraih, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mak-hul, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir.

Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.


إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُوا۟ مِنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ 5

(5) kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(5) 

إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا

kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan mem­perbaiki (dirinya). (An-Nur: 5), hingga akhir ayat.

Para ulama berselisih pendapat tentang makna yang direvisi oleh pengecualian ini, apakah yang direvisinya itu adalah kalimat terakhirnya saja, sehingga pengertiannya ialah tobat yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan dapat menghapuskan predikat fasiknya saja, sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selama-lamanya, sekalipun ia telah bertobat. Ataukah yang direvisi oleh istisna adalah kalimat yang kedua dan yang ketiganya? Adapun mengenai hukuman dera bila telah dijalani yang bersangkutan, maka selesailah, baik ia bertobat ataupun tetap masih menjalankan perbuatannya itu, tidak ada masalah lagi sesudah itu, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama mengenainya.

Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii berpendapat bahwa jika orang yang bersangkutan telah bertobat, maka kesaksiannya dapat diterima kembali dan terhapuslah predikat fasik dari dirinya. Hal ini telah di-nas-kan oleh penghulu para tabi'in, yaitu Sa'id ibnul Musayyab dan sejumlah ulama Salaf.

Imam Abu Hanifah mengatakan, sesungguhnya yang direvisi oleh istisna hanyalah jumlah yang terakhir saja. Karena itu, menurutnya terhapuslah predikat fasik bila yang bersangkutan bertobat (setelah menjalani hukuman had), sedangkan kesaksiannya tetap ditolak untuk selamanya. Orang yang berpendapat demikian dari kalangan ulama Salaf ialah Qadi Syuraih, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mak-hul, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Jabir.

Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa kesaksiannya tetap tidak dapat diterima, sekalipun telah bertobat, kecuali jika ia mengakui bahwa tuduhan yang dilancarkannya adalah bohong semata, maka barulah dapat diterima kesaksiannya (di masa mendatang). Hanya Allah-Iah Yang Maha Mengetahui.


وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَٰجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمْ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَٰدَٰتٍۭ بِٱللَّهِ ۙ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ 6

(6) Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

(6) 

Di dalam ayat-ayat ini terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang mempermudah pemecahan masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan ia sulit menegakkan pem­buktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan li’an terhadap istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt. Yaitu dengan menghadapkan istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di hadapan hakim. Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama Allah, sebagai ganti dari empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang dilancarkannya terhadap istrinya.

وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7)

Jika si suami telah menyatakan sumpah li'an-nya itu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara otomatis terceraikan darinya secara ba'in, menurut pendapat Imam Syafii dan sejumlah banyak orang dari kalangan ulama. Kemudian bekas istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya, sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina. Tiada jalan bagi si istri untuk menghindarkan hukuman yang akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau mengucapkan sumpah Li’an lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.

وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ

dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9)

Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ

Istrinya itu dihindarkan dari hukuman. (An-Nur: 8).

Yakni hukuman had.

أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْها إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ

oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 8-9)

Dalam teks sumpah disebutkan secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat kebanyakan seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh istrinya berbuat zina kecuali bila dia benar dalam tuduhannya dan menyaksikan apa adanya. Sebalik­nya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah yang kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.

Lalu Allah menyebutkan belas kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi mereka, yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ

Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian. (An-Nur: 1)

tentulah kalian berdosa dan tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian.

وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ

dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat. (An-Nur: 1)

kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun hal itu sesudah sumpah yang berat.

حَكِيمٌ

lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 1)

dalam menetapkan syariat-Nya dan dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya. Banyak hadis yang menyebut­kan anjuran mengamalkan ayat ini, kisah latar belakang penurunannya, dan berkenaan dengan siapa saja ayat ini diturunkan dari kalangan para sahabat.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Mansur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. (An-Nur: 4) Sa'd ibnu Ubadah (pemimpin orang-orang Ansar) bertanya, "Apakah memang demikian ayat tersebut diturunkan?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai golongan orang-orang Ansar, tidakkah kalian dengar apa yang telah dikatakan oleh pemimpin kalian?" Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau cela dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki pencemburu. Demi Allah, tidak sekali-kali dia mengawini seorang wanita, melainkan perawan; dan tidak sekali-kali dia menceraikan istrinya, lalu ada seseorang lelaki yang berani mengawini bekas istrinya itu, karena kecemburuannya yang sangat."

Maka Sa'd berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya batin saya meyakini bahwa ayat itu adalah hak (benar), dan bahwa ia diturunkan dari Allah Swt. Tetapi saya merasa heran (saat mendengarnya), bahwa seandainya saya menjumpai istri saya berbuat khianat dengan seorang lelaki, maka saya tidak diperbolehkan mengusiknya dan tidak boleh pula menyingkirkannya sebelum mendatangkan empat orang saksi (laki-laki). Demi Allah, sesungguhnya sebelum saya mendatangkan empat orang saksi itu, si lelaki durjana itu pasti sudah melampiaskan nafsunya."

Tidak lama kemudian Hilal ibnu Umayyah, salah seorang di antara tiga orang Ansar yang diterima tobatnya (karena tidak ikut Perang Tabuk pent.) datang dari kebunnya di waktu isya. Dan ternyata ia menjumpai istrinya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Dia melihat dengan dua mata kepalanya dan mendengar dengan kedua telinganya (dari pemandangan yang disaksikannya itu), dan ia tidak dapat mengusik lelaki itu.

Pada keesokan harinya ia datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi malam saya pulang di waktu isya dan saya menjumpai istri saya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Saya menyaksikan dengan kedua mata kepala saya dan mendengar dengan kedua telinga saya."

Rasulullah Saw. tidak suka mendengar berita itu, dan berita itu tidak mengenakkannya. Orang-orang Ansar berkumpul, lalu berkata.”Kami telah dicoba oleh perkataan yang dikemukakan Sa'd ibnu Ubadah kemarin, dan sekarang Rasulullah Saw. akan menghukum dera Hilal ibnu Umayyah serta tidak menerima kesaksiannya lagi di kalangan orang-orang."

Hilal berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah menjadikan jalan keluar buatku." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat keberatan yang menimpa dirimu karena berita yang aku sampaikan, tetapi Allah mengetahui bahwa sesungguhnya aku benar dalam beritaku ini."

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa demi Allah, saat Rasulullah Saw. hendak memerintahkan agar menjatuhkan hukuman dera terhadap Hilal, tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw. bila sedang menerima wahyu dapat diketahui melalui roman mukanya yang kelihatan berubah. Maka mereka tidak berani mengganggunya sebelum wahyu selesai diturunkan. Wahyu tersebut adalah firman Allah Swt. yang menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. (An-Nur: 6)

Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Rasulullah Saw. bersabda:

"أَبْشِرْ يَا هِلَالُ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا"

Hai Hilal, bergembiralah, sesungguhnya Allah telah memberimu jalan keluar dan penyelesaiannya.

Hilal berkata, "Sesungguhnya aku pun memohon hal itu kepada Tuhanku." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Panggillah istrinya!" Maka mereka memanggil istrinya dan istrinya datang, lalu Rasulullah Saw. membacakan ayat-ayat tersebut kepada keduanya dan memberitahukan kepada keduanya bahwa azab akhirat jauh lebih keras daripada azab dunia. Maka Hilal berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya ayat ini benar menceritakan perihalnya." Istri Hilal berkata membela diri, "Dia (suaminya) bohong."

Rasulullah Saw; bersabda, "Adakanlah sumpah Li’an di antara keduanya." Lalu dikatakan kepada Hilal, "Bersaksilah kamu." Maka Hilal mengemukakan persaksiannya dengan mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya benar dalam dakwaannya.

Ketika sumpahnya menginjak yang kelima, dikatakan kepadanya, "Hai Hilal, bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Hilal menjawab, "Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena tuduhanku kepada istriku ini sebagaimana Dia pun tidak akan menderaku karenanya."

Maka Hilal tanpa ragu-ragu mengucapkan sumpahnya yang kelima, bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya bila ia dusta. Kemudian dikatakan kepada istrinya, "Bersaksilah kamu sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia (suamimu) termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya)." Dan pada sumpahnya yang kelima dikatakan kepada istri Hilal, "Bertaqwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Maka dia diam sejenak dan hampir saja mengaku, kemudian dia berkata, "Demi Allah aku tidak akan mempermalukan kaumku." Maka ia menyatakan sumpahnya yang kelima, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya jika suaminya benar.

Lalu Rasulullah Saw. menceraikan keduanya dan memutuskan bahwa anaknya kelak tidak boleh dinisbatkan kepada ayahnya, dan anaknya tidak boleh disebut anak zina. Barang siapa menuduh ibunya sebagai pezina atau anaknya sebagai anak zina, maka ia dikenai hukuman had (menuduh orang lain berbuat zina). Rasulullah Saw. memutuskan bahwa dia tidak berhak mendapat rumah tempat tinggal dari Hilal, tidak berhak pula mendapat nafkah darinya, karena keduanya dipisahkan tanpa melalui proses talak dan bukan pula karena suami meninggal dunia. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:

"إِنْ جَاءَتْ بِهِ أصَيْهِب أرَيسح حَمْش السَّاقِينَ فَهُوَ لِهِلَالٍ، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعدًا جَمَاليًّا خَدلَّج السَّاقَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، فَهُوَ الَّذِي رُمِيَتْ بِهِ"

Jika anak yang dilahirkannya nanti berambut pirang, tidak keriting lagi betisnya kecil, maka anak itu adalah anak Hilal. Dan jika dia melahirkan bayi yang berambut hitam keriting, betisnya berisi, dan pantatnya besar, maka bayi itu berasal dari lelaki yang dituduhkan berbuat zina dengannya.

Ternyata ia melahirkan bayi yang berambut keriting, padat betisnya, dan besar pantatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:

"لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ".

Seandainya tidak ada sumpah, tentulah aku dan dia berada dalam suatu keadaan.

Ikrimah mengatakan bahwa sesudah dewasa anak tersebut menjadi amir di negeri Mesir, dan ia selalu dipanggil dengan nama ibunya dan tidak dinisbatkan kepada ayahnya.

Abu Daud meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Ali, dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal, tetapi secara ringkas.

Hadis ini mempunyai syawahid (bukti) yang banyak di dalam kitab-kitab sahih dan kitab-kitab lainnya yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang cukup banyak. Antara lain ialah apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Addi, dari Hisyam ibnu Hassan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal ibnu Umayyah menuduh istrinya berbuat zina dengan Syarik ibnu Sahma di hadapan Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda:

" الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدُّ فِي ظَهْرِكَ"

Bukti ataukah hukuman dera menimpa punggungmu.

Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, apabila seseorang di antara kita melihat istrinya berbuat serong dengan seorang lelaki, apakah dia harus pergi untuk mencari saksi?" Maka Nabi Saw. bersabda:

"الْبَيِّنَةُ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ"

Kemukakanlah buktimu. Jika tidak, maka hukuman dera me­nimpa punggungmu.

Hilal berkata, "Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, sesungguhnya saya berkata dengan sebenar-benarnya, dan sungguh Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka turunlah Jibril dengan membawa firman-Nya kepada Nabi Saw., yaitu: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (An-Nur: 9)

Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Nabi Saw. mengirimkan utusan untuk memanggil keduanya (Hilal dan istrinya). Hilal datang, lalu mengemukakan sumpahnya. Nabi Saw. bersabda:

"اللَّهُ يَشْهَدُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ"

Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua dusta, maka adakah yang mau bertobat di antara kamu berdua?

Kemudian istri Hilal bangkit dan bersumpah. Ketika sumpahnya memasuki yang kelima, mereka menghentikannya dan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya hal tersebut dapat mengakibatkan azab Allah menimpa pelakunya.

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu istri Hilal terdiam dan menundukkan kepalanya, sehingga kami mengira bahwa dia akan mengakui perbuatannya. Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku di masa mendatang." Lalu ia mengemukakan sumpahnya yang kelima. Maka Nabi Saw. bersabda:

"أبْصِرُوها، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أكحلَ الْعَيْنَيْنِ، سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، خَدَلَّج السَّاقَيْنِ، فَهُوَ لشَرِيك بْنِ سَحْمَاءَ".

Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang bermata jeli, berpantat besar, dan berbetis padat, maka bayi itu adalah hasil hubungannya dengan Syarik ibnu Sahma.

Ternyata dia melahirkan anak dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan oleh Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda,

"لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كتاب الله، لكان لي ولها شأن".

"Seandainya tidak ada ketentuan dari Kitabullah, tentulah aku dan dia (istri Hilal) berada dalam suatu keadaan."

Hadis ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Bukhari melalui jalur ini. Selain Imam Bukhari ada pula yang meriwayatkannya melalui jalur lain dari Ibnu Abbas.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Az-Ziyadi, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu kulaib, dari ayahnya, telah men­ceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa pernah ada seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu menuduh istrinya berbuat zina dengan seorang lelaki. Rasulullah Saw. tidak suka mendengar berita itu, sedangkan si lelaki tersebut mengulang-ulang pengaduannya, hingga turunlah firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) Kemudian Rasulullah Saw. membacakan ayat berikut ini dengan selanjut­nya, lalu beliau memerintahkan agar keduanya dipanggil untuk membawa pesannya bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang berkenaan dengan masalah mereka berdua. Lelaki itu dipanggil, lalu dibacakan kepadanya ayat-ayat ini. Maka ia menyatakan sumpahnya dengan nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian lelaki itu dibungkam mulutnya atas perintah dari Rasulullah, dan Rasulullah Saw. menasihatinya, "Segala sesuatu lebih ringan baginya daripada laknat Allah." Kemudian lelaki itu dilepaskan dan bersabdalah Rasulullah Saw., "Laknat Allah atas lelaki itu jika dia termasuk orang-orang yang berdusta." Kemudian Nabi Saw. memanggil istrinya dan membacakan kepada­nya ayat-ayat tersebut. Maka ia bersumpah dengan menyebut nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya suaminya termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan agar mulut perempuan itu dibungkam, lalu diberinya nasihat "Celakalah kamu, segala sesuatu itu lebih ringan daripada murka Allah." Lalu dilepaskan dan perempuan itu menyatakan sumpahnya, bahwa murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, demi Allah, aku sungguh-sungguh akan memutuskan peradilan di antara kamu berdua dengan keputusan yang pasti. Maka wanita itu melahirkan anaknya, dan ternyata tiada seorang bayi pun di Madinah yang lebih besar daripada bayi perempuan tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, "Jika dia melahirkan bayi yang berciri khas anu dan anu, maka itu adalah hasil hubungannya dengan suaminya. Dan jika dia melahirkan bayi seperti anu dan anu, berarti hasil hubungannya dengan lelaki lain." Ternyata bayi itu mirip dengan lelaki yang dituduh berbuat mesum dengannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair ketika ditanya mengenai dua orang (suami istri) yang saling melaknat (sumpah li'an), apakah keduanya dipisahkan. Peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan Ibnuz Zubair. Sa'id ibnu Jubair tidak mengetahui apa yang harus ia jawab, maka ia bangkit menuju ke rumah Ibnu Umar dan bertanya kepadanya, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah dua orang yang saling melaknat (sumpah li'an) dipisahkan?" Ibnu Umar menjawab, "Mahasuci Allah, sesungguhnya orang yang mula-mula menanyakan masalah tersebut adalah Fulan bin Fulan." Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, bahwa si Fulan tersebut bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang melihat istrinya sedang melakukan perbuatan keji (zina). Jika lelaki itu berbicara, berarti ia mengatakan suatu perkara yang besar; dan jika dia diam, berarti dia mendiamkan suatu perkara yang besar." Rasulullah Saw. diam dan tidak menjawabnya, kemudian lelaki itu pergi. Di lain waktu lelaki itu datang kembali menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu berkata kepadanya, "Masalah yang pernah saya tanyakan kepada engkau benar-benar menimpa diri saya." Maka Allah Swt. menurunkan beberapa ayat dalam surat An-Nur, dimulai dari firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9) Maka Rasulullah Saw. memulai dari pihak laki-laki. Untuk itu beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat. Lelaki itu menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak berdusta." Kemudian perhatian beliau beralih kepada pihak wanita. Beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Maka pihak wanita menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya suaminya itu dusta." Pihak laki-laki dipersilakan untuk memulai menyatakan sumpahnya sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang benar. Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah menimpa dirinyajika ia termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian pihak wanita menyatakan sumpahnya. Ia mengemukakan sumpah sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya). Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa murka Allah akan menimpa dirinyajika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hammad,.telah menceritakan kepada kami Abu Uwanah, dari Al-Amasy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu kami pernah duduk di petang hari Jumat di dalam masjid, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata, "Apabila seseorang di antara kita melihat ada lelaki lain bersama istrinya (sedang berbuat zina), maka jika dia membunuh lelaki itu, kalian tentu akan membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kalian akan menderanya; dan jika dia diam, maka terpaksa ia memendam rasa amarahnya. Demi Allah, jika keesokan hari aku dalam keadaan sehat, sungguh aku akan bertanya kepada Rasulullah Saw." Maka lelaki itu bertanya dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesung­guhnya seseorang di antara kami bila melihat seorang lelaki sedang berbuat zina bersama istrinya, jika dia membunuh lelaki itu, tentulah kamu membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kamu menderanya; dan jika ia diam, tentu ia diam dengan memendam kemarahan. Ya Allah, berilah keputusan hukum." Maka turunlah ayat li'an, dan lelaki yang bertanya itu adalah orang yang mula-mula mendapat cobaan kasus tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya secara tunggal, ia meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sulaiman ibnu Mahran Al-A'masy dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Sahi ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa Uwaimir datang kepada Asim ibnu Addi, lalu berkata kepadanya, "Tanyakanlah kepada Rasulullah Saw., bagaimanakah pendapatnya tentang seorang lelaki yang menjumpai lelaki lain berbuat zina bersama istrinya, lalu lelaki itu membunuhnya. Apakah ia dihukum mati karenanya, ataukah ada cara lain yang harus dilakukannya?" Asim menanyakan masalah itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela orang yang mengajukan pertanyaan tersebut. Ketika Asim di­temui oleh Uwaimir, maka Uwaimir bertanya, "Apakah yang telah engkau lakukan dengan pesanku?" Asim menjawab, "Kamu tidak membawa kebaikan kepadaku. Sesungguhnya aku telah menanyakan masalah itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela pertanyaan tersebut." Uwaimir berkata, "Demi Allah, sungguh aku akan datang kepada Rasulullah Saw. untuk menanyakan masalah ini kepadanya." Ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menjumpainya dalam keadaan telah diturunkan wahyu mengenai masalahnya itu. Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya dan mengadakan sumpah li'an di antara keduanya. Lalu Uwaimir berkata, "Wahai Rasulullah, jika saya pulang dengan membawanya, berarti saya dusta terhadapnya." Maka Uwaimir men­ceraikannya sebelum diperintahkan oleh Rasulullah Saw. Selanjutnya hal tersebut menjadi suatu ketetapan bagi dua orang yang terlibat dalam sumpah li'an. Rasulullah Saw. bersabda: Perhatikanlah oleh kalian wanita itu, jika dia melahirkan bayi yang berkulit hitam, bermata lebar, berpantai besar, maka tiada lain menurutku Uwaimir benar. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit kemerah-merahan seakan-akan seperti wahrah, maka tiada lain menurutku dia dusta. Ternyata ia melahirkan bayinya seperti yang disebutkan dalam sifat yang tidak disukai.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya, juga Jama'ah lainnya kecuali Imam Turmuzi. Imam Bukhari meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang samar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Falih, dari Az-Zuhri, dari Sahi ibnu Sa'd, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang masalah seorang lelaki yang melihat lelaki lain bersama istrinya (berbuat zina), apakah dia boleh membunuhnya, yang tentunya kalian akan mem­bunuhnya pula, atau bagaimanakah seharusnya yang ia lakukan?" Maka Allah Swt. menurunkan wahyu berkenaan dengan keduanya, yaitu ayat tentang sumpah li'an. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah memutuskan (hukum) mengenai dirimu dan istrimu. Maka keduanya menyatakan sumpah li'an-nya, sedangkan saya menyak­sikan peristiwa itu di hadapan Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. menceraikan (memisahkan) keduanya. Sejak saat itu merupakan suatu ketentuan, bila ada orang yang saling bersumpah li'an dipisahkan untuk selama-lamanya. Kemudian wanita yang terlibat mengandung, dan bekas suaminya mengingkarinya, maka anaknya itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian ketentuan ini berlaku pula dalam hal waris mewaris, si anak mewarisi ibunya dan si ibu mewarisi anaknya sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. baginya.

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami lshaq ibnud Daif, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu Ishaq, dari ayahnya, dari Zaid ibnu Bati', dari Huzaifah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar, "Seandainya kamu melihat Ummu Ruman (istri Abu Bakar) bersama seorang lelaki, apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan perbuatan yang buruk terhadapnya." Rasulullah Saw. bertanya (kepada Umar), "Dan kamu, hai Umar, apakah yang akan kamu lakukan?" Umar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan hal yang sama. Aku berpendapat bahwa semoga Allah melaknat lelaki yang lemah (tidak pencemburu), karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang jahat (buruk)." Maka turunlah firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri. (An-Nur: 6)

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui ada seseorang yang me-musnad-kan hadis ini selain An-Nadr ibnu Syamil, dari Yunus ibnu Ishaq. Kemudian Al-Bazzar meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid ibnu Bati' secara mursal. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Abu Muslim Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya mula-mula terjadinya sumpah li'an dalam Islam adalah karena Syarik ibnu Sahma. Ia dituduh oleh Hilal ibnu Umayyah melakukan perbuatan zina dengan istrinya, lalu Hilal melaporkannya kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. bersabda, "Datangkanlah empat orang saksi laki-laki atau punggungmu terkena hukuman had." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengetahui bahwa diriku benar, dan sesungguhnya Allah pasti akan menurunkan kepadamu wahyu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka Allah menurunkan ayat li'an, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6), hingga akhir ayat li'an. Maka Nabi Saw. memanggil Hilal, lalu beliau Saw. bersabda: Aku bersaksi kepada Allah, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan yang kamu lancarkan terhadap istrimu, bahwa dia telah berbuat zina. Maka Hilal menyatakan sumpah li'an-nya sebanyak empat kali (dengan menyebut nama Allah). Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan laknat Allah atas dirimu jika kamu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang kamu lancarkan terhadap istrimu. Maka Hilal mengucapkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah Saw. memanggil istri Hilal dan bersabda kepadanya: Berdirilah dan bersaksilah (bersumpahlah) kamu dengan me­nyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suamimu itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang dia lancarkan terhadap dirimu. Maka si istri menyatakan sumpah tersebut sebanyak empat kali. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan murka Allah atas dirimu jika suamimu termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan zina yang dilancarkannya terhadapmu. Ketika tiba pada sumpahnya yang keempat atau yang kelima, ia berhenti dan diam sejenak sehingga orang-orang menduga bahwa ia akan mengakui perbuatannya secara jujur. Tetapi ternyata ia berkata, "Aku tidak akan mempermalukan kaumku di masa mendatang." Dan ia melakukan apa yang ditekadkannya. Maka Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya, dan bersabda: Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang berambut keriting, berbetis padat, maka dia adalah anak Syarik ibnu Sahma. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit putih, berperawakan sedang, bermata tidak lebar, maka ia adalah anak Hilal ibnu Umayyah. Ternyata dia melahirkan bayi yang berambut keriting dan berbetis padat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Seandainya tidak diturunkan wahyu Kitabullah mengenai keduanya, tentulah aku dan dia berada dalam keadaan yang lain.


وَٱلْخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ ٱللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ 7

(7) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.

(7) 

وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7)

Jika si suami telah menyatakan sumpah li'an-nya itu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara otomatis terceraikan darinya secara ba'in, menurut pendapat Imam Syafii dan sejumlah banyak orang dari kalangan ulama. Kemudian bekas istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya, sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina. Tiada jalan bagi si istri untuk menghindarkan hukuman yang akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau mengucapkan sumpah Li’an lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.



وَيَدْرَؤُا۟ عَنْهَا ٱلْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَٰدَٰتٍۭ بِٱللَّهِ ۙ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ 8

(8) Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.

(8) 

Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ

Istrinya itu dihindarkan dari hukuman. (An-Nur: 8).


وَٱلْخَٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيْهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ 9

(9) dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.

(9) 

oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 8-9)

Dalam teks sumpah disebutkan secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat kebanyakan seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh istrinya berbuat zina kecuali bila dia benar dalam tuduhannya dan menyaksikan apa adanya. Sebalik­nya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya. Karena itulah dalam sumpah yang kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.

Lalu Allah menyebutkan belas kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi mereka, yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri mereka.


وَلَوْلَا فَضْلُ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُۥ وَأَنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ 10

(10) Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).

(10) 

. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ

Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian. (An-Nur: 1)

tentulah kalian berdosa dan tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian.

وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ

dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat. (An-Nur: 1)

kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun hal itu sesudah sumpah yang berat.

حَكِيمٌ

lagi Mahabijaksana. (An-Nur: 1)

dalam menetapkan syariat-Nya dan dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya. Banyak hadis yang menyebut­kan anjuran mengamalkan ayat ini, kisah latar belakang penurunannya, dan berkenaan dengan siapa saja ayat ini diturunkan dari kalangan para sahabat.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Mansur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. (An-Nur: 4) Sa'd ibnu Ubadah (pemimpin orang-orang Ansar) bertanya, "Apakah memang demikian ayat tersebut diturunkan?" Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hai golongan orang-orang Ansar, tidakkah kalian dengar apa yang telah dikatakan oleh pemimpin kalian?" Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, janganlah engkau cela dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki pencemburu. Demi Allah, tidak sekali-kali dia mengawini seorang wanita, melainkan perawan; dan tidak sekali-kali dia menceraikan istrinya, lalu ada seseorang lelaki yang berani mengawini bekas istrinya itu, karena kecemburuannya yang sangat."

Maka Sa'd berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya batin saya meyakini bahwa ayat itu adalah hak (benar), dan bahwa ia diturunkan dari Allah Swt. Tetapi saya merasa heran (saat mendengarnya), bahwa seandainya saya menjumpai istri saya berbuat khianat dengan seorang lelaki, maka saya tidak diperbolehkan mengusiknya dan tidak boleh pula menyingkirkannya sebelum mendatangkan empat orang saksi (laki-laki). Demi Allah, sesungguhnya sebelum saya mendatangkan empat orang saksi itu, si lelaki durjana itu pasti sudah melampiaskan nafsunya."

Tidak lama kemudian Hilal ibnu Umayyah, salah seorang di antara tiga orang Ansar yang diterima tobatnya (karena tidak ikut Perang Tabuk pent.) datang dari kebunnya di waktu isya. Dan ternyata ia menjumpai istrinya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Dia melihat dengan dua mata kepalanya dan mendengar dengan kedua telinganya (dari pemandangan yang disaksikannya itu), dan ia tidak dapat mengusik lelaki itu.

Pada keesokan harinya ia datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi malam saya pulang di waktu isya dan saya menjumpai istri saya sedang berbuat serong dengan seorang lelaki. Saya menyaksikan dengan kedua mata kepala saya dan mendengar dengan kedua telinga saya."

Rasulullah Saw. tidak suka mendengar berita itu, dan berita itu tidak mengenakkannya. Orang-orang Ansar berkumpul, lalu berkata.”Kami telah dicoba oleh perkataan yang dikemukakan Sa'd ibnu Ubadah kemarin, dan sekarang Rasulullah Saw. akan menghukum dera Hilal ibnu Umayyah serta tidak menerima kesaksiannya lagi di kalangan orang-orang."

Hilal berkata, "Demi Allah, sesungguhnya aku berharap semoga Allah menjadikan jalan keluar buatku." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat keberatan yang menimpa dirimu karena berita yang aku sampaikan, tetapi Allah mengetahui bahwa sesungguhnya aku benar dalam beritaku ini."

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa demi Allah, saat Rasulullah Saw. hendak memerintahkan agar menjatuhkan hukuman dera terhadap Hilal, tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah Saw. Dan Rasulullah Saw. bila sedang menerima wahyu dapat diketahui melalui roman mukanya yang kelihatan berubah. Maka mereka tidak berani mengganggunya sebelum wahyu selesai diturunkan. Wahyu tersebut adalah firman Allah Swt. yang menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah. (An-Nur: 6)

Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Rasulullah Saw. bersabda:

"أَبْشِرْ يَا هِلَالُ، قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا"

Hai Hilal, bergembiralah, sesungguhnya Allah telah memberimu jalan keluar dan penyelesaiannya.

Hilal berkata, "Sesungguhnya aku pun memohon hal itu kepada Tuhanku." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Panggillah istrinya!" Maka mereka memanggil istrinya dan istrinya datang, lalu Rasulullah Saw. membacakan ayat-ayat tersebut kepada keduanya dan memberitahukan kepada keduanya bahwa azab akhirat jauh lebih keras daripada azab dunia. Maka Hilal berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya ayat ini benar menceritakan perihalnya." Istri Hilal berkata membela diri, "Dia (suaminya) bohong."

Rasulullah Saw; bersabda, "Adakanlah sumpah Li’an di antara keduanya." Lalu dikatakan kepada Hilal, "Bersaksilah kamu." Maka Hilal mengemukakan persaksiannya dengan mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya benar dalam dakwaannya.

Ketika sumpahnya menginjak yang kelima, dikatakan kepadanya, "Hai Hilal, bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Hilal menjawab, "Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena tuduhanku kepada istriku ini sebagaimana Dia pun tidak akan menderaku karenanya."

Maka Hilal tanpa ragu-ragu mengucapkan sumpahnya yang kelima, bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya bila ia dusta. Kemudian dikatakan kepada istrinya, "Bersaksilah kamu sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia (suamimu) termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya)." Dan pada sumpahnya yang kelima dikatakan kepada istri Hilal, "Bertaqwalah kamu kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Dan sesungguhnya peristiwa ini dapat memastikan azab atas dirimu." Maka dia diam sejenak dan hampir saja mengaku, kemudian dia berkata, "Demi Allah aku tidak akan mempermalukan kaumku." Maka ia menyatakan sumpahnya yang kelima, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya jika suaminya benar.

Lalu Rasulullah Saw. menceraikan keduanya dan memutuskan bahwa anaknya kelak tidak boleh dinisbatkan kepada ayahnya, dan anaknya tidak boleh disebut anak zina. Barang siapa menuduh ibunya sebagai pezina atau anaknya sebagai anak zina, maka ia dikenai hukuman had (menuduh orang lain berbuat zina). Rasulullah Saw. memutuskan bahwa dia tidak berhak mendapat rumah tempat tinggal dari Hilal, tidak berhak pula mendapat nafkah darinya, karena keduanya dipisahkan tanpa melalui proses talak dan bukan pula karena suami meninggal dunia. Lalu Rasulullah Saw. bersabda:

"إِنْ جَاءَتْ بِهِ أصَيْهِب أرَيسح حَمْش السَّاقِينَ فَهُوَ لِهِلَالٍ، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعدًا جَمَاليًّا خَدلَّج السَّاقَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، فَهُوَ الَّذِي رُمِيَتْ بِهِ"

Jika anak yang dilahirkannya nanti berambut pirang, tidak keriting lagi betisnya kecil, maka anak itu adalah anak Hilal. Dan jika dia melahirkan bayi yang berambut hitam keriting, betisnya berisi, dan pantatnya besar, maka bayi itu berasal dari lelaki yang dituduhkan berbuat zina dengannya.

Ternyata ia melahirkan bayi yang berambut keriting, padat betisnya, dan besar pantatnya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:

"لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ".

Seandainya tidak ada sumpah, tentulah aku dan dia berada dalam suatu keadaan.

Ikrimah mengatakan bahwa sesudah dewasa anak tersebut menjadi amir di negeri Mesir, dan ia selalu dipanggil dengan nama ibunya dan tidak dinisbatkan kepada ayahnya.

Abu Daud meriwayatkannya dari Al-Hasan ibnu Ali, dari Yazid ibnu Harun dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal, tetapi secara ringkas.

Hadis ini mempunyai syawahid (bukti) yang banyak di dalam kitab-kitab sahih dan kitab-kitab lainnya yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang cukup banyak. Antara lain ialah apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari, bahwa telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Addi, dari Hisyam ibnu Hassan, telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Hilal ibnu Umayyah menuduh istrinya berbuat zina dengan Syarik ibnu Sahma di hadapan Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda:

" الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدُّ فِي ظَهْرِكَ"

Bukti ataukah hukuman dera menimpa punggungmu.

Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, apabila seseorang di antara kita melihat istrinya berbuat serong dengan seorang lelaki, apakah dia harus pergi untuk mencari saksi?" Maka Nabi Saw. bersabda:

"الْبَيِّنَةُ وَإِلَّا حَدٌّ فِي ظَهْرِكَ"

Kemukakanlah buktimu. Jika tidak, maka hukuman dera me­nimpa punggungmu.

Hilal berkata, "Demi Tuhan yang mengutusmu dengan hak, sesungguhnya saya berkata dengan sebenar-benarnya, dan sungguh Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka turunlah Jibril dengan membawa firman-Nya kepada Nabi Saw., yaitu: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (An-Nur: 9)

Setelah wahyu selesai diturunkan, maka Nabi Saw. mengirimkan utusan untuk memanggil keduanya (Hilal dan istrinya). Hilal datang, lalu mengemukakan sumpahnya. Nabi Saw. bersabda:

"اللَّهُ يَشْهَدُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ"

Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua dusta, maka adakah yang mau bertobat di antara kamu berdua?

Kemudian istri Hilal bangkit dan bersumpah. Ketika sumpahnya memasuki yang kelima, mereka menghentikannya dan mengatakan kepadanya bahwa sesungguhnya hal tersebut dapat mengakibatkan azab Allah menimpa pelakunya.

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu istri Hilal terdiam dan menundukkan kepalanya, sehingga kami mengira bahwa dia akan mengakui perbuatannya. Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku di masa mendatang." Lalu ia mengemukakan sumpahnya yang kelima. Maka Nabi Saw. bersabda:

"أبْصِرُوها، فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أكحلَ الْعَيْنَيْنِ، سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ، خَدَلَّج السَّاقَيْنِ، فَهُوَ لشَرِيك بْنِ سَحْمَاءَ".

Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang bermata jeli, berpantat besar, dan berbetis padat, maka bayi itu adalah hasil hubungannya dengan Syarik ibnu Sahma.

Ternyata dia melahirkan anak dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan oleh Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda,

"لَوْلَا مَا مَضَى مِنْ كتاب الله، لكان لي ولها شأن".

"Seandainya tidak ada ketentuan dari Kitabullah, tentulah aku dan dia (istri Hilal) berada dalam suatu keadaan."

Hadis ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Bukhari melalui jalur ini. Selain Imam Bukhari ada pula yang meriwayatkannya melalui jalur lain dari Ibnu Abbas.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Az-Ziyadi, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu kulaib, dari ayahnya, telah men­ceritakan kepadaku Ibnu Abbas, bahwa pernah ada seorang lelaki datang menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu menuduh istrinya berbuat zina dengan seorang lelaki. Rasulullah Saw. tidak suka mendengar berita itu, sedangkan si lelaki tersebut mengulang-ulang pengaduannya, hingga turunlah firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) Kemudian Rasulullah Saw. membacakan ayat berikut ini dengan selanjut­nya, lalu beliau memerintahkan agar keduanya dipanggil untuk membawa pesannya bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu yang berkenaan dengan masalah mereka berdua. Lelaki itu dipanggil, lalu dibacakan kepadanya ayat-ayat ini. Maka ia menyatakan sumpahnya dengan nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Kemudian lelaki itu dibungkam mulutnya atas perintah dari Rasulullah, dan Rasulullah Saw. menasihatinya, "Segala sesuatu lebih ringan baginya daripada laknat Allah." Kemudian lelaki itu dilepaskan dan bersabdalah Rasulullah Saw., "Laknat Allah atas lelaki itu jika dia termasuk orang-orang yang berdusta." Kemudian Nabi Saw. memanggil istrinya dan membacakan kepada­nya ayat-ayat tersebut. Maka ia bersumpah dengan menyebut nama Allah sebanyak empat kali, bahwa sesungguhnya suaminya termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian Nabi Saw. memerintahkan agar mulut perempuan itu dibungkam, lalu diberinya nasihat "Celakalah kamu, segala sesuatu itu lebih ringan daripada murka Allah." Lalu dilepaskan dan perempuan itu menyatakan sumpahnya, bahwa murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, demi Allah, aku sungguh-sungguh akan memutuskan peradilan di antara kamu berdua dengan keputusan yang pasti. Maka wanita itu melahirkan anaknya, dan ternyata tiada seorang bayi pun di Madinah yang lebih besar daripada bayi perempuan tersebut. Rasulullah Saw. bersabda, "Jika dia melahirkan bayi yang berciri khas anu dan anu, maka itu adalah hasil hubungannya dengan suaminya. Dan jika dia melahirkan bayi seperti anu dan anu, berarti hasil hubungannya dengan lelaki lain." Ternyata bayi itu mirip dengan lelaki yang dituduh berbuat mesum dengannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair ketika ditanya mengenai dua orang (suami istri) yang saling melaknat (sumpah li'an), apakah keduanya dipisahkan. Peristiwa itu terjadi di masa pemerintahan Ibnuz Zubair. Sa'id ibnu Jubair tidak mengetahui apa yang harus ia jawab, maka ia bangkit menuju ke rumah Ibnu Umar dan bertanya kepadanya, "Hai Abu Abdur Rahman, apakah dua orang yang saling melaknat (sumpah li'an) dipisahkan?" Ibnu Umar menjawab, "Mahasuci Allah, sesungguhnya orang yang mula-mula menanyakan masalah tersebut adalah Fulan bin Fulan." Ibnu Umar melanjutkan kisahnya, bahwa si Fulan tersebut bertanya kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang melihat istrinya sedang melakukan perbuatan keji (zina). Jika lelaki itu berbicara, berarti ia mengatakan suatu perkara yang besar; dan jika dia diam, berarti dia mendiamkan suatu perkara yang besar." Rasulullah Saw. diam dan tidak menjawabnya, kemudian lelaki itu pergi. Di lain waktu lelaki itu datang kembali menghadap kepada Rasulullah Saw., lalu berkata kepadanya, "Masalah yang pernah saya tanyakan kepada engkau benar-benar menimpa diri saya." Maka Allah Swt. menurunkan beberapa ayat dalam surat An-Nur, dimulai dari firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6) sampai dengan firman-Nya: dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9) Maka Rasulullah Saw. memulai dari pihak laki-laki. Untuk itu beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat. Lelaki itu menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, saya tidak berdusta." Kemudian perhatian beliau beralih kepada pihak wanita. Beliau menasihatinya, mengingatkannya kepada Allah, dan memberitahukan kepadanya bahwa azab dunia jauh lebih ringan daripada azab akhirat. Maka pihak wanita menjawab, "Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan hak, sesungguhnya suaminya itu dusta." Pihak laki-laki dipersilakan untuk memulai menyatakan sumpahnya sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang benar. Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah menimpa dirinyajika ia termasuk orang-orang yang dusta. Kemudian pihak wanita menyatakan sumpahnya. Ia mengemukakan sumpah sebanyak empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta (dalam tuduhannya). Dan dalam sumpahnya yang kelima ia menyatakan bahwa murka Allah akan menimpa dirinyajika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Kemudian Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya masing-masing melalui hadis Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hammad,.telah menceritakan kepada kami Abu Uwanah, dari Al-Amasy, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu kami pernah duduk di petang hari Jumat di dalam masjid, lalu ada seorang lelaki dari kalangan Ansar berkata, "Apabila seseorang di antara kita melihat ada lelaki lain bersama istrinya (sedang berbuat zina), maka jika dia membunuh lelaki itu, kalian tentu akan membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kalian akan menderanya; dan jika dia diam, maka terpaksa ia memendam rasa amarahnya. Demi Allah, jika keesokan hari aku dalam keadaan sehat, sungguh aku akan bertanya kepada Rasulullah Saw." Maka lelaki itu bertanya dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesung­guhnya seseorang di antara kami bila melihat seorang lelaki sedang berbuat zina bersama istrinya, jika dia membunuh lelaki itu, tentulah kamu membunuhnya; dan jika ia berbicara, tentu kamu menderanya; dan jika ia diam, tentu ia diam dengan memendam kemarahan. Ya Allah, berilah keputusan hukum." Maka turunlah ayat li'an, dan lelaki yang bertanya itu adalah orang yang mula-mula mendapat cobaan kasus tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya secara tunggal, ia meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Sulaiman ibnu Mahran Al-A'masy dengan sanad yang sama.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Sahi ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa Uwaimir datang kepada Asim ibnu Addi, lalu berkata kepadanya, "Tanyakanlah kepada Rasulullah Saw., bagaimanakah pendapatnya tentang seorang lelaki yang menjumpai lelaki lain berbuat zina bersama istrinya, lalu lelaki itu membunuhnya. Apakah ia dihukum mati karenanya, ataukah ada cara lain yang harus dilakukannya?" Asim menanyakan masalah itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela orang yang mengajukan pertanyaan tersebut. Ketika Asim di­temui oleh Uwaimir, maka Uwaimir bertanya, "Apakah yang telah engkau lakukan dengan pesanku?" Asim menjawab, "Kamu tidak membawa kebaikan kepadaku. Sesungguhnya aku telah menanyakan masalah itu kepada Rasulullah Saw., tetapi beliau mencela pertanyaan tersebut." Uwaimir berkata, "Demi Allah, sungguh aku akan datang kepada Rasulullah Saw. untuk menanyakan masalah ini kepadanya." Ia datang kepada Rasulullah Saw. dan menjumpainya dalam keadaan telah diturunkan wahyu mengenai masalahnya itu. Maka Rasulullah Saw. memanggil keduanya dan mengadakan sumpah li'an di antara keduanya. Lalu Uwaimir berkata, "Wahai Rasulullah, jika saya pulang dengan membawanya, berarti saya dusta terhadapnya." Maka Uwaimir men­ceraikannya sebelum diperintahkan oleh Rasulullah Saw. Selanjutnya hal tersebut menjadi suatu ketetapan bagi dua orang yang terlibat dalam sumpah li'an. Rasulullah Saw. bersabda: Perhatikanlah oleh kalian wanita itu, jika dia melahirkan bayi yang berkulit hitam, bermata lebar, berpantai besar, maka tiada lain menurutku Uwaimir benar. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit kemerah-merahan seakan-akan seperti wahrah, maka tiada lain menurutku dia dusta. Ternyata ia melahirkan bayinya seperti yang disebutkan dalam sifat yang tidak disukai.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya, juga Jama'ah lainnya kecuali Imam Turmuzi. Imam Bukhari meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang samar. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Falih, dari Az-Zuhri, dari Sahi ibnu Sa'd, bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu tentang masalah seorang lelaki yang melihat lelaki lain bersama istrinya (berbuat zina), apakah dia boleh membunuhnya, yang tentunya kalian akan mem­bunuhnya pula, atau bagaimanakah seharusnya yang ia lakukan?" Maka Allah Swt. menurunkan wahyu berkenaan dengan keduanya, yaitu ayat tentang sumpah li'an. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah memutuskan (hukum) mengenai dirimu dan istrimu. Maka keduanya menyatakan sumpah li'an-nya, sedangkan saya menyak­sikan peristiwa itu di hadapan Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw. menceraikan (memisahkan) keduanya. Sejak saat itu merupakan suatu ketentuan, bila ada orang yang saling bersumpah li'an dipisahkan untuk selama-lamanya. Kemudian wanita yang terlibat mengandung, dan bekas suaminya mengingkarinya, maka anaknya itu dipanggil dengan dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian ketentuan ini berlaku pula dalam hal waris mewaris, si anak mewarisi ibunya dan si ibu mewarisi anaknya sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. baginya.

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami lshaq ibnud Daif, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu Ishaq, dari ayahnya, dari Zaid ibnu Bati', dari Huzaifah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abu Bakar, "Seandainya kamu melihat Ummu Ruman (istri Abu Bakar) bersama seorang lelaki, apakah yang akan kamu lakukan?" Abu Bakar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan perbuatan yang buruk terhadapnya." Rasulullah Saw. bertanya (kepada Umar), "Dan kamu, hai Umar, apakah yang akan kamu lakukan?" Umar menjawab, "Demi Allah, aku akan melakukan hal yang sama. Aku berpendapat bahwa semoga Allah melaknat lelaki yang lemah (tidak pencemburu), karena sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang jahat (buruk)." Maka turunlah firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri. (An-Nur: 6)

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui ada seseorang yang me-musnad-kan hadis ini selain An-Nadr ibnu Syamil, dari Yunus ibnu Ishaq. Kemudian Al-Bazzar meriwayatkannya melalui hadis As-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid ibnu Bati' secara mursal. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Abu Muslim Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Makhlad ibnul Husain, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya mula-mula terjadinya sumpah li'an dalam Islam adalah karena Syarik ibnu Sahma. Ia dituduh oleh Hilal ibnu Umayyah melakukan perbuatan zina dengan istrinya, lalu Hilal melaporkannya kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. bersabda, "Datangkanlah empat orang saksi laki-laki atau punggungmu terkena hukuman had." Hilal berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengetahui bahwa diriku benar, dan sesungguhnya Allah pasti akan menurunkan kepadamu wahyu yang membebaskan punggungku dari hukuman dera." Maka Allah menurunkan ayat li'an, yaitu firman-Nya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina). (An-Nur: 6), hingga akhir ayat li'an. Maka Nabi Saw. memanggil Hilal, lalu beliau Saw. bersabda: Aku bersaksi kepada Allah, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan yang kamu lancarkan terhadap istrimu, bahwa dia telah berbuat zina. Maka Hilal menyatakan sumpah li'an-nya sebanyak empat kali (dengan menyebut nama Allah). Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan laknat Allah atas dirimu jika kamu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang kamu lancarkan terhadap istrimu. Maka Hilal mengucapkan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah Saw. memanggil istri Hilal dan bersabda kepadanya: Berdirilah dan bersaksilah (bersumpahlah) kamu dengan me­nyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya suamimu itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan zina yang dia lancarkan terhadap dirimu. Maka si istri menyatakan sumpah tersebut sebanyak empat kali. Kemudian dalam sumpahnya yang kelima Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: Dan murka Allah atas dirimu jika suamimu termasuk orang-orang yang benar dalam tuduhan zina yang dilancarkannya terhadapmu. Ketika tiba pada sumpahnya yang keempat atau yang kelima, ia berhenti dan diam sejenak sehingga orang-orang menduga bahwa ia akan mengakui perbuatannya secara jujur. Tetapi ternyata ia berkata, "Aku tidak akan mempermalukan kaumku di masa mendatang." Dan ia melakukan apa yang ditekadkannya. Maka Rasulullah Saw. memisahkan di antara keduanya, dan bersabda: Perhatikanlah oleh kalian, jika dia melahirkan bayi yang berambut keriting, berbetis padat, maka dia adalah anak Syarik ibnu Sahma. Dan jika dia melahirkan bayi yang berkulit putih, berperawakan sedang, bermata tidak lebar, maka ia adalah anak Hilal ibnu Umayyah. Ternyata dia melahirkan bayi yang berambut keriting dan berbetis padat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Seandainya tidak diturunkan wahyu Kitabullah mengenai keduanya, tentulah aku dan dia berada dalam keadaan yang lain.